Rabu, 01 September 2010

‘Urwah bin Az-Zubair (Tabi’in yang Menjadi Teladan dalam Kesabaran)



Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat-Nya, dua kunci sukses seseorang meraih kepemimpinan di dalam agama ini, memimpin dan mengarahkan umat kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mereka itulah para ulama Rabbaniyyin -yang dengan kesabaran dan keyakinan mereka terhadap ayat-ayat Allah- telah berhasil memimpin umat dari generasi ke generasi untuk berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan sunnah Nabinya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih.

Di antara tokoh ulama yang pantas untuk digelari imam yang berhasil memimpin dan membimbing umat menuju agama Allah adalah ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullah. Kesabarannya yang luar biasa telah membuka jalan baginya untuk meraih kepemimpinan dalam agama ini. Ditambah ketinggian dan kekokohan ilmu yang dimilikinya, semakin menempatkan beliau kepada derajat ‘alim yang layak untuk diteladani.

Kunyah, Nama Lengkap, dan Nasab Beliau

Beliau adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani.

Beliau adalah seorang tabi’in yang mulia, satu dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (tujuh tokoh fuqaha’ /ulama) yang masyhur dalam sejarah kaum muslimin, panutan umat, putra dari Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anhu, salah seorang As-Sabiqunal Awwalun (para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang pertama-tama masuk Islam). Bersama dengan sembilan shahabat yang lain, Hawari (penolong) Rasulullah ini telah mendapatkan kabar gembira masuk ke dalam surga selagi mereka masih hidup di dunia.

Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, wanita mulia yang turut membantu persiapan ayahanda dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat hijrah ke kota Madinah. Bermula dari sinilah beliau kemudian mendapatkan julukan Dzatun Nithaqain (yang memiliki dua ikat pinggang). JAdi, manusia terbaik setelah Rasulullah -yakni Abu Bakr Ash-Shiddiq- adalah kakek beliau dari jalur ibu.

Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang Al-’Abadilah Al-Arba’ah[1], dengan usia yang terpaut 20 tahun.

Bibi beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Yang paling mengetahui hadits (yang diriwayatkan) ‘Aisyah adalah ‘Urwah, ‘Amrah, dan Al-Qasim.

Qabishah bin Dzu’aib mengatakan: ‘Urwah telah mengalahkan kami dalam masuknya beliau (untuk meriwayatkan hadits) dari ‘Aisyah, dan ‘Aisyah adalah orang yang paling berilmu.

Beliau dilahirkan pada tahun ke-23 Hijriyyah pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan di kota Madinah. Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabi’in.

Keilmuan, Ibadah dan Akhlak Beliau

Beliau sempat meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun hanya sedikit. Dan juga meriwayatkan hadits dari Sa’id bin Zaid, ‘Ali bin Abi Thalib, Jabir, Al-Hasan, Al-Husain, Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Mu’awiyah, ‘Amr bin Al-’Ash, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Hakim bin Hizam, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan yang lainnya.

Beliau pun juga menimba ilmu dari para shahabiyah di antaranya Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq -ibunya sendiri-, ‘Aisyah Ummul Mu’minin -bibi beliau-, Asma’ binti ‘Umais, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ummu Hani’, Ummu Syarik, Fathimah bintu Qais, Dhuba’ah bintu Az-Zubair, Busrah bintu Shafwan, Zainab bintu Abi Salamah, ‘Amrah Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anhunna ajma’in.

Para ulama yang berguru dan meriwayatkan hadits dari beliau adalah Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu Az-Zinad, Shalih bin Kaisan, Ja’far Ash-Shadiq, Ibnu Abi Mulaikah, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ‘Atha bin Abi Rabah, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama yang lain.

Beliau adalah orang pertama yang menulis tentang masalah Al-Maghazi (peperangan) dan yang paling banyak melantunkan syair pada zamannya.

Beliau adalah salah seorang di antara sepuluh ulama di kota Madinah yang selalu menjadi rujukan khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz sewaktu beliau menjabat sebagai gubernur di kota tersebut.

Qabishah bin Dzu’aib menceritakan sebuah kisah:

Dahulu semasa khalifah Mu’awiyah, kami yaitu aku, Mush’ab bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair, Abu Bakar bin ‘Abdirrahman, ‘Abdul Malik bin Marwan, ‘Abdurrahman Al-Miswar, Ibrahim bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf dan ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah biasa berkumpul membuat halaqah setiap malam di masjid. Dan pada siang harinya kami berpisah. Maka aku belajar kepada Zaid bin Tsabit -waktu itu beliau ditunjuk sebagai ketua dalam bidang kehakiman, fatwa, qira’ah dan fara’idh sejak masa khalifah ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali di kota Madinah-. Kemudian aku dan Abu Bakar bin ‘Abdirrahman belajar kepada Abu Hurairah. Dan ‘Urwah telah mendahului kami dalam belajar kepada ‘Aisyah.

Abu Az-Zinad menceritakan:

Dahulu pernah berkumpul di Al-Hijr (yakni Hijr Isma’il di Ka’bah) Mush’ab bin Az-Zubair, ‘Abdullah bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair dan Ibnu ‘Umar. Mereka mengatakan: Mari kita berangan-angan!

‘Abdullah bin Az-Zubair berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang khalifah.

‘Urwah berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang yang alim.

Mush’ab berkata: Adapun aku, aku ingin menjadi pemimpin Iraq dan menikahi ‘Aisyah bintu Thalhah dan Sukainah bintu Al-Husain.

Adapun Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Kalau aku hanya menginginkan ampunan dari Allah ‘azza wajalla.

Maka mereka semua telah berhasil menggapai cita-citanya masing-masing dan adapun Ibnu ‘Umar semoga Allah mengampuninya.

Suatu ketika ‘Urwah melihat seorang laki-laki melakukan shalat dengan cepat kemudian setelah selesai shalat dia berdo’a. ‘Urwah berkata: Wahai saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada Rabb-mu dalam shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Allah sampaipun aku meminta garam.

Dahulu kebiasaan beliau setiap kali memasuki kebun, selalu membaca surat Al-Kahfi ayat 39 dan diulang-ulanginya bacaan tersebut:

ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله إن ترن أنا أقل منك مالا وولدا.

Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al Kahfi: 39)

……… sampai beliau keluar darinya.

Kebiasaan beliau dalam setiap harinya adalah membaca seperempat Al-Qur’an. Kemudian seperempat Al-Qur’an yang beliau baca pada siang harinya tersebut, dibaca dalam shalat malamnya. Dan tidak pernah sekalipun beliau meninggalkan kebiasaan ini kecuali pada malam diamputasinya kaki beliau.

Tentang sebab dan peristiwa diamputasinya kaki beliau ini juga menjadi kisah tersendiri yang dapat menyentuh kalbu setiap insan mu’min sekaligus menunjukkan kepada kita bukti sebuah kesabaran luar biasa di dalam menghadapi suatu musibah besar yang telah ditunjukkan oleh seorang hamba Allah yang mu’min yang mungkin tiada lagi didapati kesabaran yang seperti itu apalagi di zaman sekarang ini.

Suatu ketika ‘Urwah bin Az-Zubair mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan yaitu Damaskus di negeri Syam. Maka keluarlah beliau beserta rombongan menuju kota Damaskus. Setibanya di suatu tempat yang masih dekat dengan kota Madinah yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura, terjadi pada beliau semacam luka di telapak kakinya yang kiri. Lambat laun luka tersebut mengeluarkan nanah dan semakin bertambah parah. Waktu berlalu, dan luka tersebut tidak saja semakin bertambah parah namun juga menyebabkan kakinya busuk serta semakin menjalar menggerogoti kakinya.

Dan akhirnya sampailah beliau kepada khalifah Al-Walid di kota Damaskus dalam keadaan ditandu dan penyakit tersebut telah menjalar sampai setengah betis. Begitu mengetahui keadaan yang menimpa ‘Urwah, khalifah Al-Walid segera memanggil para dokter ternama di kota tersebut untuk mengobati penyakit beliau. Maka terkumpullah para dokter dan segera memeriksa penyakit yang beliau derita tersebut. Setelah memeriksa dan mendiagnosa jenis penyakit yang menimpa beliau, sampailah mereka pada keputusan bahwa kaki beliau harus secepatnya diamputasi. Sebab kalau tidak, penyakitnya akan terus menjalar ke pangkal paha dan seterusnya ke arah anggota badan yang lain, dalam keadaan penyakit tersebut sekarang telah menggerogoti sampai mencapai setengah paha kirinya. Disampaikanlah keputusan tersebut kepada beliau dan ternyata beliau bisa menerimanya dengan tabah.

Maka dimulailah persiapan untuk operasi pemotongan kaki beliau. Kemudian para dokter tersebut menawarkan obat bius kepada beliau agar nantinya tidak merasakan sakit ketika kakinya digergaji. Namun beliau menolak tawaran tersebut seraya mengatakan: “Aku tidak pernah menyangka terhadap seorang yang beriman kepada Allah bahwa dia akan minum suatu obat yang akan membuat hilang akalnya sehingga dia tidak mengenal Rabbnya. Akan tetapi kalau kalian mau memotongnya silakan, dan aku akan berusaha menahan rasa sakitnya.”

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa tatkala beliau menolak tawaran para dokter tersebut, beliau mengatakan: “Akan tetapi jika memang kalian mau memotongnya silakan lakukan saja dan biarkanlah diriku dalam keadaan shalat agar aku tidak merasakan sakit dan pedihnya.

Maka dimulailah operasi pemotongan kaki beliau yang sebelah kiri dengan gergaji pada bagian atas sedikit dari kaki yang tidak terkena penyakit. Sewaktu proses amputasi tersebut sedang berlangsung, beliau tidak bergeming atau bergerak sama sekali dan juga tidak terdengar rintihan rasa sakit sedikitpun. Maka ketika telah selesai dari proses pemotongan kaki dan juga telah selesai dari shalatnya, datanglah khalifah Al-Walid menghibur beliau. Dan berkatalah ‘Urwah kepada dirinya sendiri: “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu, dahulu aku memiliki empat anggota tubuh (dua kaki dan dua tangan), kemudian Engkau ambil satu. Walaupun Engkau telah mengambil anggota tubuhku namun Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.

Al-Walid berkata: “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang syaikh yang kesabarannya seperti dia.”

Dan tatkala diperlihatkan potongan kaki tersebut kepadanya, beliau mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwasanya tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku ke arah kemaksiatan.”

Dan pada malam itu juga bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, beliau mendapatkan kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia karena ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.

Maka berkatalah beliau kepada dirinya sendiri: “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak kemudian Engkau ambil satu dan Engkau masih menyisakan enam. Maka walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku maka sesungguhnya Engkau masih menyisakan yang lain.

Selama menunggu proses penyembuhan kakinya, beliau tinggal di kediaman khalifah selama beberapa hari sekaligus sambil menyelesaikan keperluan yang lain. Kemudian setelah dirasa telah sembuh dan semua urusan telah selesai, kembalilah rombongan ke kota Madinah. Selama dalam perjalanan pulang, tidak pernah terdengar sepatah kata pun lisan beliau menyebut-nyebut tentang musibah yang menimpa kakinya dan kematian yang menimpa putra kesayangannya. Dan juga tidak terlihat beliau mengeluhkan musibah yang menimpanya kepada orang lain.

Dan ketika rombongan telah sampai di tempat yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura -awal mula terjadinya musibah pada kaki beliau tersebut-, beliau membaca ayat pada surat Al Kahfi ayat 62:

فلما جاوزا قال لفتاه آتنا غداءنا لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا.

“Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. (Al-Kahfi: 62)

Akhirnya sampailah rombongan di kota Madinah. Ketika mulai memasuki gerbang kota, manusia berduyun-duyun memberikan ucapan salam dan menghibur beliau atas musibah yang beliau alami.

Nasehat Emas

Di antara nasihat emas beliau adalah sebagai berikut:

1. Nasehat beliau kepada para pemuda: “Ada apa dengan kalian ini, kenapa kalian tidak menuntut ilmu. Kalau sekarang ini kalian masih kecil, niscaya nantinya kalian akan menjadi para pembesar di kaum kalian. Dan tidak ada kebaikan pada seorang yang sudah tua sementara ia adalah seorang yang bodoh. Sungguh aku telah melihat pada diriku sendiri selang 4 tahun sebelum meninggalnya ‘Aisyah yaitu aku berkata pada diriku sendiri: Kalau seandainya dia (’Aisyah) meninggal pada hari ini maka tidaklah aku menyesali dan bersedih terhadap hadits (ilmu) yang ada pada dirinya disebabkan aku telah mengambil semuanya. Dan sungguh telah sampai kepadaku adanya sebuah hadits dari salah seorang shahabat maka akupun berusaha untuk mendatanginya. Maka ternyata aku dapati majelisnya telah selesai, akupun pergi ke rumahnya dan duduk di depan pintu rumahnya kemudian aku bertanya kepadanya tentang hadits tersebut.”

2. Beliau juga pernah mengatakan: “Tidaklah pernah aku menyampaikan sebuah ilmu kepada seseorang yang akal sehatnya belum bisa untuk mencernanya, disebabkan yang demikian itu akan menyesatkannya.”

Pujian Para Ulama kepada Beliau

Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Shu’air (’Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air Al-Mazini) tentang suatu permasalahan dalam bidang fiqih. Namun dia menyuruhku untuk bertanya kepada Sa’id bin Al-Musayyib. Maka akupun belajar kepada Sa’id selama 7 tahun dan belum pernah aku menjumpai orang yang paling ‘alim selain dia. Kemudian aku belajar kepada ‘Urwah maka aku mendapatkan pancaran ilmu yang deras sekali darinya. Aku melihat bahwa beliau adalah lautan ilmu yang tidak akan habis terkuras airnya.

Abdurrahman bin Humaid bin Abdirrahman berkata: Aku masuk ke dalam sebuah masjid bersama ayahku. Maka aku melihat manusia sedang berkumpul kepada seseorang. Ayahku berkata: Coba lihat siapa dia! Maka akupun mendekatinya ternyata dia adalah ‘Urwah bin Az-Zubair. Aku pun menceritakannya dengan perasaan kagum kepada ayahku. Ayahku kemudian berkata: Wahai anakku, jangan engkau merasa heran. Sungguh aku telah melihat para shahabat Rasulullah bertanya kepadanya.

Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata: ‘Urwah bin Az-Zubair adalah seorang tabi’in yang tsiqah (terpercaya), seorang yang shalih, dan tidak pernah fitnah menimpanya sedikitpun.

Muhammad bin Sa’d berkata: ‘Urwah adalah seorang yang terpercaya, kuat dalam ilmu, amanah, banyak haditsnya, faqih, dan alim.

Hisyam bin ‘Urwah berkata: Ilmu itu adalah pada salah satu dari tiga keadaan: Yang pertama adalah seorang yang memiliki keturunan yang mulia maka dengan ilmu akan semakin memperindahnya, yang kedua adalah seorang yang ‘alim yang dengan ilmunya dia memimpin agamanya, dan yang ketiga adalah seorang yang akrab dengan penguasa yang dengannya banyak mendapatkan kenikmatan, dan dengan ilmu yang dimilikinya dia dapat melepaskan dari hal tersebut sehingga dia terlepas dari kebinasaan. Dan aku tidak mendapati seorangpun yang terpenuhi padanya tiga keadaan ini selain pada ‘Urwah bin Az-Zubair dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.

Beliau juga berkata: Aku belum pernah mendengar seorangpun dari kalangan ahlul bid’ah menyebutkan tentang ayahku (’Urwah) dengan kejelekan.

Al-Waqidi berkata: Beliau adalah seorang yang faqih, alim, hafizh, kokoh dalam ilmu, sebagai hujjah, dan alim dalam bidang sejarah.

Wafat Beliau

Beliau wafat pada tahun 93 Hijriyah dalam usianya yang ke-70 tahun dalam keadaan sedang berpuasa. Hisyam bin ‘Urwah mengatakan: Dahulu ayahku berpuasa terus-menerus (banyak berpuasa) dan meninggal dalam keadaan berpuasa.

Namanya harum dan senantiasa dikenang sepanjang masa sebagai seorang insan yang sabar dan tabah di dalam menghadapi musibah yang sangat berat. Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya.

____________________
Rujukan:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tadzkiratul Huffazh
4. Tahdzibut Tahdzib
5. Basya’ir Al-Farh bi Taqribi Fawa’idi Al-Imam Al-Wadi’i fi ‘Ilmi Ar-Rijal Wal Mushthalah.

[1] Empat shahabat muda -semuanya bernama ‘Abdullah- yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga keilmuan mereka pun sangat menonjol di kalangan para shahabat. Ayah-ayah mereka juga para shahabat yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Mereka itu adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib, ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, dan ‘Abdullah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anhum. Tentang mereka ini, seorang penyair mengatakan:

أَبْنَاءُ عَبَاسٍ وَعَمْرٍو وَعُمَرْ وَابْنُ الزبَيْرِ هُمُ الْعَبَادِلَةُ الْغُرَرْ

Anak-anak ‘Abbas, ‘Amr, dan ‘Umar

Serta Ibnu Az-Zubair mereka itu adalah Al-’Abadilah yang terdepan.

Dirangkum oleh Muhammad Rifqi dan Abu Abdillah.

Tim Redaksi assalafy.org

Wasiat-wasiat Generasi Salaf

Allah Ta`ala berfirman dalam kitab-Nya:

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga, di bawahnya banyak sungai mengalir; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. At-taubah : 100)

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta`ala memberi pujian kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Merekalah generasi terbaik yang dipilih oleh Allah sebagai pendamping nabi-Nya dalam mengemban risalah ilahi.

Pujian Allah tersebut, sudah cukup sebagai bukti keutamaan atau kelebihan mereka. Merekalah generasi salaf yang disebut sebagai generasi Rabbani yang selalu mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam.

Dengan menapak tilasi jejak merekalah, generasi akhir umat ini akan bisa meraih kembali masa keemasannya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat generasi awalnya menjadi baik. Sungguh sebuah ucapan yang pantas ditulis dengan tinta emas. Jikalau umat ini mengambil generasi terbaik itu sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan niscaya kebahagiaan akan menyongsong mereka.

Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengupas bagaimana para salaf menyucikan jiwa mereka, yang kami nukil dari petikan kata-kata mutiara dan hikmah yang sangat berguna bagi kita.

Salaf dan Tazkiyatun Nufus

Salah satu sisi ajaran agama yang tidak boleh terlupakan adalah tazkiyatun nufus (penyucian jiwa). Allah selalu menyebutan tazkiyatun nufus bersama dengan ilmu. Allah berfirman:

"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah : 151)

Artinya, ilmu itu bisa jadi bumerang bila tidak disertai dengan tazkiyatun nufus. Oleh sebab itu dapat kita temui dalam biografi ulama salaf tentang kezuhudan, keikhlasan, ketawadhu`an dan kebersihan jiwa mereka. Begitulah, mereka selalu saling mengingatkan tentang urgensi tazkiyatun nufus ini. Dari situ kita dapati ucapan-ucapan ulama salaf sangat menghunjam ke dalam hati dan penuh dengan hikmah. Hamdun bin Ahmad pernah ditanya: "Mengapa ucapan-ucapan para salaf lebih bermanfaat daripada ucapan-ucapan kita?" beliau menjawab: "Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa dan mencari ridha Ar-Rahman, sementara kita berbicara untuk kemuliaan diri, mengejar dunia dan mencari ridha manusia!"

Salaf dan Kegigihan Dalam Menuntut Ilmu

Imam Adz-Dzahabi berkata: Ya`qub bin Ishaq Al-Harawi menceritakan dari Shalih bin Muhammad Al-Hafizh, bahwa ia mendengar Hisyam bin Ammar berkata: 
Saya datang menemui Imam Malik, lalu saya katakan kepadanya: "Sampaikanlah kepadaku beberapa hadits!" 
Beliau berkata: "Bacalah!"
"Tidak, namun tuanlah yang membacakannya kepadaku!" jawabku.
"Bacalah!" kata Imam Malik lagi. Namun aku terus menyanggah beliau. 
Akhirnya ia berkata: "Hai pelayan, kemarilah! Bawalah orang ini dan pukul dia lima belas kali!" 
Lalu pelayan itu membawaku dan memukulku lima belas cambukan. Kemudian ia membawaku kembali kepada beliau. 
Pelayan itu berkata: "Saya telah mencambuknya!" Maka aku berkata kepada beliau: "Mengapa tuan menzhalimi diriku? tuan telah mencambukku lima belas kali tanpa ada kesalahan yang kuperbuat? Akutidak sudi memaafkan tuan!" 
"Apa tebusannya?" tanya beliau. "Tebusannya adalah tuan harus membacakan untukku sebanyak lima belas hadits!" jawabku. 
Maka beliaupun membacakan lima belas hadits untukku. Lalu kukatakan kepada beliau: "Tuan boleh memukul saya lagi, asalkan tuan menambah hadits untukku!"
Imam Malik hanya tertawa dan berkata: "Pergilah!"

Salaf dan Keikhlasan

Generasi salaf adalah generasi yang sangat menjaga aktifitas hati. Seorang lelaki pernah bertanya kepada Tamim Ad-Daari tentang shalat malam beliau. Dengan marah ia berkata: "Demi Allah satu rakaat yang kukerjakan di tengah malam secara tersembunyi, lebih kusukai daripada shalat semalam suntuk kemudian pagi harinya kuceritakan kepada orang-orang!"

Ar-Rabi` bin Khaitsam berkata: "Seluruh perbuatan yang tidak diniatkan mencari ridha Allah, maka perbuatan itu akan rusak!"

Mereka tahu bahwa hanya dengan keikhlasan, manusia akan mengikuti, mendengarkan dan mencintai mereka. Imam Mujahid pernah berkata: "Apabila seorang hamba menghadapkan hatinya kepada Allah, maka Allah akan menghadapkan hati manusia kepadanya."

Memang diakui, menjaga amalan hati sangat berat karena diri seakan-akan tidak mendapat bagian apapun darinya. Sahal bin Abdullah berkata: "Tidak ada satu
perkara yang lebih berat atas jiwa daripada niat ikhlas, karena ia (seakan-akan -red.) tidak mendapat bagian apapun darinya."

Sehingga Abu Sulaiman Ad-darani berkata: "Beruntunglah bagi orang yang mengayunkan kaki selangkah, dia tidak mengharapkan kecuali mengharap ridha Allah!"

Mereka juga sangat menjauhkan diri dari sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasan, seperti gila popularitas, gila kedudukan, suka dipuji dan diangkat-angkat.

Ayyub As-Sikhtiyaani berkata: "Seorang hamba tidak dikatakan berlaku jujur jika ia masih suka popularitas. Yahya bin Muadz berkata: Tidak akan beruntung orang yang memiliki sifat gila kedudukan." Abu Utsman Sa`id bin Al-Haddad berkata: "Tidak ada perkara yang memalingkan seseorang dari Allah melebihi gila pujian dan gila sanjungan."

Oleh karena itulah ulama salaf sangat mewasiatkan keikhlasan niat kepada murid-muridnya. Ar-Rabi` bin Shabih menuturkan: "Suatu ketika, kami hadir dalam majelis Al-Hasan Al-Bashri, kala itu beliau tengah memberi wejangan. Tiba-tiba salah seorang hadirin menangis tersedu-sedu. Al-Hasan berkata kepadanya: "Demi Allah, pada Hari Kiamat Allah akan menanyakan apa tujuan anda menangis pada saat ini!"".

Salaf dan Taubat

Setiap Bani Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang segera bertaubat kepada Allah. Demikianlah yang disebutkan Rasulullah shalallahu'alaihi wassallam dalam sebuah hadits shahih. Generasi salaf adalah orang yang terdepan dalam masalah ini!

`Aisyah berkata: "Beruntunglah bagi orang yang buku catatan amalnya banyak diisi dengan istighfar." 

Al-Hasan Al-Bashri pernah berpesan: "Perbanyaklah istighfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan dalam majelis-majelis kalian dan dimana saja kalian berada! Karena kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan!"

Tangis Generasi Salaf

Generasi salaf adalah generasi yang memiliki hati yang amat lembut. Sehingga hati mereka mudah tergugah dan menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Terlebih tatkala membaca ayat-ayat suci Al-Qur`an.

Ketika membaca firman Allah: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu" (QS. Al-Ahzab : 33) `Aisyah menangis tersedu-sedu hingga basahlah pakaiannya.

Demikian pula Ibnu Umar , ketika membaca ayat yang artinya: "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)." (QS. Al-Hadid :16) Beliau menangis hingga tiada kuasa menahan tangisnya.

Ketika beliau membaca surat Al-Muthaffifin setelah sampai pada ayat yang artinya: "Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam." (QS. Al-Muthaffifiin : 5-6) Beliau menangis dan bertambah keras tangis beliau sehingga tidak mampu meneruskan bacaannya.

Salaf dan Tawadhu`

Pernah disebut-sebut tentang tawadhu` di hadapan Al-Hasan Al-Bashri, namun beliau diam saja. Ketika orang-orang mendesaknya berbicara ia berkata kepada mereka: "Saya lihat kalian banyak bercerita tentang tawadhu`!" Mereka berkata: "Apa itu tawadhu` wahai Abu Sa`id?" Beliau menjawab: "Yaitu setiap kali ia keluar rumah dan bertemu seorang muslim ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih baik daripada dirinya."

Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang sebuah masalah di hadapan Sufyan bin Uyainah, ia berkata: "Kami dilarang berbicara di hadapan orang-orang yang lebih senior dari kami."

Al-Fudhail bin Iyadh pernah ditanya: "Apa itu tawadhu`?" Ia menjawab: "Yaitu engkau tunduk kepada kebenaran!"

Mutharrif bin Abdillah berkata: "Tidak ada seorangpun yang memujiku kecuali diriku merasa semakin kecil."

Salaf dan Sifat Santun

Pada suatu malam yang gelap Umar bin Abdul Aziz memasuki masjid. Ia melewati seorang lelaki yang tengah tidur nyenyak. Lelaki itu terbangun dan berkata: "Apakah engkau gila!" Umar menjawab: "Tidak", Namun para pengawal berusaha meringkus lelaki itu. Namun Umar bin Abdul Aziz mencegah mereka seraya berkata: "Dia hanya bertanya: Apakah engkau gila! dan saya jawab: Tidak."

Seorang lelaki melapor kepada Wahab bin Munabbih: "Sesungguhnya Fulan telah mencaci engkau!" Ia menjawab: "Kelihatannya setan tidak menemukan kurir selain engkau!"

Salaf dan Sifat Zuhud

Yusuf bin Asbath pernah mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata: "Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita banyak menemui orang-orang yang zuhud dalam masalah makanan, minuman, harta dan pakaian. Namun ketika diberikan kekuasaan kepadanya maka iapun akan mempertahankan dan berani bermusuhan demi membelanya."

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seribu dinar apakah termasuk zuhud? Beliau menjawab: "Bisa saja, asalkan ia tidak terlalu gembira bila bertambah dan tidak terlalu bersedih jika berkurang."

Demikianlah beberapa petikan mutiara salaf yang insya Allah berguna bagi kita dalam menuju proses penyucian jiwa. Semoga Allah senantiasa memberi kita kekuatan dalam meniti jejak generasi salaf dalam setiap aspek kehidupan.

____
(oleh Ust. Abu Ihsan Al Atsari, ditulis ulang dari Majalah As Sunnah Edisi 04/VI/1423H)
thank you