Senin, 01 November 2010

Antara Penuntut Ilmu dan Pecandu Internet


بسم الله الرحمن الرحيم

Antara Penuntut Ilmu dan Pecandu Internet[1]

Seorang penuntut ilmu, pertama sekali dia memperhatikan perbaikan dirinya sendiri dan senantiasa bersikap lurus, karena dia adalah teladan, baik dalam akhlaqnya maupun sikapnya.

Seorang penuntut ilmu, sangat bersemangat untuk meraih suatu kemanfaatan, bermajelis dengan para pemilik ilmu, pemilik keutamaan dan sifat wara’.

Seorang penuntut ilmu, senantiasa membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat, menjaga waktunya (dari hal-hal yang tidak berguna), hingga engkau tidak melihatnya kecuali selalu mengambil manfaat, berpaling dari perkara yang sia-sia dan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat saja.

Seorang penuntut ilmu, apabila dia berbicara maka dia memberi manfaat dengan perkataannya, jika dia menulis maka dia memberi manfaat dengan tulisannya, hingga orang yang bermajelis dengannya tidak akan pernah kosong dari suatu manfaat.

Seorang penuntut ilmu, menghargai kemulian ilmu dan kedudukan ulama, dia mengambil ilmu dari para ulama, menhormati dan mendoakan mereka serta memohon rahmat untuk (ulama) yang sudah meninggal.

Seorang penuntut ilmu, membenci ghibah dan membenci orang yang suka berghibah, dia juga tidak ridho apabila aib seseorang dibicarakan di depannya. Engkau lihat seorang penuntut ilmu itu bersikap tawadhu’, tidak mengangkat dirinya melebihi kedudukannya yang sebenarnya, tidak berbangga dengan sesuatu yang tidak dia miliki, tidak tertipu dengan pujian dan sanjungan, tidak meninginkan ketenaran, tidak pula kedudukan di tengah-tengah manusia, karena dia tahu bahwa yang mampu mengangkat dan merendahkan seseorang hanyalah Allah Ta’ala, bukan seorang manusia.

Seorang penuntut ilmu, senantiasa berdakwah dan mensihati kaum muslimin, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar sesuai dengan kaidah-kaidah syari’ah dan tatanan masyarakat. Engkau lihat seorang penuntut ilmu itu sangat bersemangat dalam menyatukan ummat, merekatkan hati-hati mereka dan membenci perpecahan antara Ahlus Sunnah, karena dia mengetahui bahwa perpecahan itu selalu bersama kebid’ahan dan persatuan selalu menyertai sunnah. Oleh karenanya dikatakan, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah(persatuan)” dan “Ahlus Bid’ah wal Furqoh (perpecahan)”.

Demikian pula engkau lihat seorang penuntut ilmu selalu menjaga lisannya, dia tidak mengomentari semua gosip dan isu yang tersebar di masyarakat, karena dia tahu bahwa semua perkataan dan perbuatannya akan dihisab.
Seorang penuntut ilmu, memperhatikan maslahat pada setiap perkataan dan perbuatannya, dia tidak membuka pintu (mencontohkan) keburukan bagi manusia, tidak membicarakan perkara yang batil, tidak sibuk dengan permasalahan yang tidak dipahaminya, dia tidak masuk dalam suatu pembicaraan kecuali berdasar ilmu, sehingga dia tahu penyebab masalah yang ada dan apa solusinya. Benar-benar dia telah menyiapkan jawaban di hadapan Allah Ta’ala kelak (atas semua perkataan dan perbuatannya).

Inilah sebagian sifat penuntut ilmu, semoga Allah Ta’ala menganugarahkan sifat-sifat tersebut kepada kita.

Adapun pecandu internet, keadaannya terbalik, sebagaimana telah dimaklumi dan disaksikan.

Pecandu internet akhlaqnya rendah, suka melanggar kehormatan, menyia-nyiakan waktu tanpa manfaat, menyerang siapa saja tanpa memperdulikan kemuliaan ilmu, umur, kehormatan dan keutamaan. Dia juga berlagak ‘alim, mencari-cari kekurangan dan kesalahan orang lain, semua itu adalah buah dari mencandu internet secara berlebihan. Hari dan tahun yang dia lalui kosong tak berarti, hingga akhirnya dia tidak bisa tenang dan tidak membiarkan orang lain tenang.

Maka, jika engkau ingin menjadi penuntut ilmu, jalannya ada di depanmu dan telah jelas bagimu tanda-tandanya. Namun jika kamu memilih jadi pecandu internet, jalannya juga ada di depanmu, yang dipenuhi dengan kotoran dan najis, maka kotorilah dirimu sesuai kehendakmu, akan tetapi janganlah engkau membohongi manusia, sehingga engkau disangka seorang penuntut ilmu!

Diterjemahkan dari website resmi Asy-Syaikh Abu Malik Abdul Hamid Al-Juhani hafizhahullah, Imam dan Khotib Masjid Umar bin Khattabradhiyallahu’anhu di Yanbu’ Al-Bahr, juga Da’i di Kementrian Wakaf, Dakwah dan Bimbingan KSA, dari artikel yang berjudul:

الفرق بين طالب العلم , وطالب الأنترنت
[1] Nasihat ini beliau tulis sebagai nasihat kepada para penuntut ilmu yang berdakwah via internet, sekaligus sebagai celaan terhadap orang-orang yang suka menyebar kerusakan di internet, mengoyak persatuan Ahlus Sunnah dan membuat lari kaum muslimin dari dakwah yang penuh berkah ini



ADA APA DI BALIK GEMPA TSUNAMI ? (Oleh : Syaikh. Prof. Dr. Abdurrazzak bin Abdul Muhsin Al Badr)

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan, ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan kejelekan amalan kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan Allah, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, pilihan dan kekasih-Nya, yang Dia percayai untuk menyampaikan wahyu dan syariat-Nya kepada umat manusia. Semoga shalawat Allah dan salam-Nya senantiasa tercurah kepada beliau, serta semua keluarga dan sahabatnya.


Kaum mukminin dan para hamba Allah… Bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya orang yang bertakwa kepadaNya akan dijaga dan dibimbing oleh-Nya kepada kebaikan urusan dunia dan akhirat.

Belakangan ini dunia seisinya membicarakan sebuah peristiwa besar, yaitu gempa dahsyat yang karenanya bumi tergoncang hebat, dia berasal dari satu pulau (Sumatera-Aceh.-admin) di Indonesia.

Akibatnya bumipun bergoncang dahsyat kemudian timbul setelahnya badai besar Tsunami dan angin topan yang melumat berbagai kota dan banyak desa. Bahkan sebagian tenggelam tertutup air sama sekali, seketika itulah meninggal ratusan bahkan ribuan jiwa. Data terakhir menyebutkan bahwa korban mencapai 120 ribu jiwa. Mereka meninggal dalam satu waktu akibat tenggelam oleh air yang menerjang rumah, sawah, dan berbagai sarana hidup mereka!. Data ini bukanlah data final. Sebab diprediksi bahwa jumlah korban jauh lebih besar dari jumlah ini. Di samping itu, puluhan ribu orang luka-luka, serta jutaan yang lain kehilangan harta benda dan tempat tinggal.

Ini adalah sebuah peristiwa besar yang semestinya menggerakkan hati kita. Karenanya, dunia seisinya membicarakannya dan mengikuti berita serta perkembangannya. Seorang mukmin yang dikaruniai taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam kejadian dan musibah besar seperti ini, harus melakukan berbagai renungan keimanan, sehingga akan menambah keshalihan dan kedekatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga menambah rasa takutnya untuk bertemu dan berhadapan dengan-Nya. Selain itu ia juga akan mengambil hikmah dan pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab itu, setelah peristiwa besar ini kita harus merenungi beberapa hal yang harus senantiasa diingat dan disadari sepenuhnya oleh setiap muslim:

1. Peristiwa ini dan semisalnya akan membimbing seorang muslim pada suatu perkara –yang telah dia yakini- yaitu bertambahnya keimanan dia akan kesempurnaan kuasa dan kekuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta meyakini bahwa Allah-lah yang mengatur alam ini sesuai dengan kehendak-Nya, dan memutuskan apa yang Ia inginkan. Tidak ada seorangpun yang bisa menolak keputusan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُم بَأْسَ بَعْضٍ ۗ انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ .٦:٦٥

"Katakanlah : Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu kepada keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)".[Al An'am : 65]

Maksud dari "azab dari atas" dalam ayat tersebut adalah seperti petir, halilintar yang menghancurkan, dan angin topan. Adapun makna “azab dari bawah" adalah seperti gempa dan tanah longsor.

Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membaca ayat: “Yang Berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu.” Beliau bersabda: "Aku berlindung dengan wajah Allah yang mulia". Dan ketika membaca: “atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu kepada keganasan sebahagian yang lain.” Beliau bersabda : "Ini lebih ringan". [HR Bukhari].

Kemudian renungkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)”

Sesungguhnya beraneka-ragamnya tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntun kita kepada pemahaman, keimanan dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

انظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

“Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)” Yakni: agar mereka memahami tujuan yang harus diwujudkan dari penciptaan mereka.

2. Peristiwa ini betul-betul salah satu tanda-tanda agung kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dengannya Dia menumbuhkan rasa takut dalam jiwa hamba-hamba-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا ١٧:٥٩

"Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti". [Al Isra : 59]

Maksudnya : Allah Subhanahu wa Ta’ala menumbuhkankan rasa takut dalam jiwa hamba-hamba-Nya dengan tanda-tanda yang agung itu.

Berkata Qatadah rahimahullah: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menakut-nakuti manusia dengan tanda-tanda kekuasaan yang Dia kehendaki, agar mereka mengambil pelajaran, ingat dan kembali (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)". Adapun penisbatan peristiwa ini kepada alam, itu termasuk dalam kejahiliyahan.

Maka hendaknya seorang mu'min takut, merenung dan mengambil pelajaran ; bahwasanya Yang telah menimpakan musibah kepada saudara-saudaranya, Maha Kuasa untuk menimpakan hal yang serupa atau lebih kepada selain mereka. Jatuh korban 120.000 jiwa atau lebih dalam satu waktu!. Adakah di antara kita yang mengambil hikmah dan pelajaran?.

3. Setelah kejadian ini mari kita renungi bersama nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa menetapnya bumi, sebagaimana firman-Nya:

اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا ٤٠:٦٤

"Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap". [Ghafir : 64]

Maksudnya : Tidak bergoncang-goncang atau bergetar.

Mari kita renungi dari sini, betapa besar Dzat yang memegang bumi ini, sehingga dia menetap dan tidak bergoncang atau bergoyang. Bayangkan bagaimana jika bumi yang kita berjalan di atas permukaannya selalu bergoncang dan bergetar, bisakah kita hidup di atasnya?, bisakah kita tidur?, bisakah kita bekerja? (tentu jawabnya adalah : tidak -pent). Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita berupa ketenangan dan menetapnya bumi ini. Maka hendaknya kita mengambil pelajaran dari nikmat ini, lantas kita bandingkan dengan gempa yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari waktu ke waktu ; hingga kita bisa mengambil kesimpulan : Betapa besar karunia ketenangan bumi dan alangkah sempurnanya nikmat ini. Jika bumi ini bergoncang dalam sekejap saja, telah memakan korban 120 ribu jiwa, bagaimana jika bergoncang sehari penuh, atau berhari-hari, apa yang akan terjadi dengan manusia di permukaannya???.

Karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala lainnya adalah tidak meluapnya lautan hingga menenggelamkan semua daratan. Padahal kita tahu bahwa luas lautan di muka bumi ini dua pertiga luas daratan. Allah-lah yang Maha Kuasa untuk menahan air laut hingga tidak meluap ke daratan, padahal Dia mampu untuk menenggelamkan seluruh daratan!.

Kita bisa ambil pelajaran dari sejarah:

إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ ٦٩:١١

"Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera" [Al Haqqah : 11]

Tidak perlu jauh-jauh, bencana yang baru saja terjadi bisa menggambarkan bagi kita hal itu ; air telah menenggelamkan berbagai daerah secara total, hingga semua yang berada di atasnya mati, tidak tersisa seorangpun jua. Dua karunia ini ; menetapnya bumi dan tidak meluapnya lautan ke daratan haruslah kita syukuri, sembari kita panjatkan puji kepada-Nya atas segala curahan nikmat-Nya.

4. Bumi adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah yang telah menciptakannya dan menjadikannya ada. Dia pula yang telah menciptakan manusia dia atasnya. Maka Dia pula-lah yang berhak untuk bertindak sekehendak-Nya. Perhatikanlah sebagian perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap bumi-Nya dalam ayat:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا ۚ وَاللَّهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ ۚ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ ١٣:٤١

"Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesunguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya ; Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya". [Ar-Ra'd: 41]

Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud dari "Kami kurangi bumi itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya" adalah dengan tenggelamnya (sebagian bumi -pent), gempa dan berbagai macam bencana. Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurangi bumi dari tepi-tepinya sesuai dengan kehendak-Nya, tidak ada yang bisa menolak keputusan-Nya.

Jika kita telah sadar bahwa bumi ini adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan yang berhak untuk bertindak di dalam-Nya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala juga; maka mari kita sama-sama merenungi apa hikmah di balik penciptaan kita di muka bumi ini?. Tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka menegakkan kalimat tauhid Allah Subhanahu wa Ta’ala, mentaati perintah-Nya, mengikuti syari'at-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, patuh terhadap perintah-Nya dan perintah rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam;. Kita wajib beriman terhadap ayat-ayat yang jelas, hujjah-hujjah yang tinggi serta dalil-dalil agung yang menjelaskan kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kewajiban untuk taat kepada-Nya lantas mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya. Hingga kita dapat menjalankan tujuan penciptaan kita dengan sempurna ; yaitu menjalankan perintah-Nya dan mengikuti rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

5. Seharusnya seorang muslim bersikap tenang dalam menghadapi musibah yang menimpanya atau menimpa saudaranya ; yakni dengan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakin dan bertawakkal kepada-Nya. Sesungguhnya musibah itu akan membuahkan bertambahnya iman seorang mu'min, bertambah baiknya hubungan dia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta semakin sempurna kedekatan dia dengan-Nya. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

"Artinya : Alangkah mengagumkan kondisi seorang mu'min; seluruh perkaranya adalah kebaikan. Jika dia mendapatkan nikmat, bersyukur, dan itu adalah merupakan kebaikan baginya. Dan jika dia tertimpa musibah, bersabar, itupun merupakan kebaikan baginya". [HR Muslim]

Dan hal ini tidak akan ada kecuali dalam diri seorang mu'min.

6. Sesungguhnya seorang yang beriman akan sadar bahwa musibah-musibah ini tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dosa-dosa. Tidaklah terjadi suatu malapetaka melainkan gara-gara perbuatan dosa, dan malapetaka itu tidak akan dicabut (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) kecuali dengan taubat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan:

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنبهِ٢٩:٤٠

"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya". [Al-'Ankabut : 40]

Saat inilah seharusnya seorang mu'min mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa taubat dan berserah diri kepada-Nya, sehingga dia dapat memetik pelajaran dari musibah yang menimpa orang lain. "Sesungguhnya orang yang bahagia adalah yang dapat memetik pelajaran dari (apa yang menimpa) saudaranya, kebalikannya orang yang merugi adalah jika saudaranyalah yang mengambil pelajaran dari apa yang menimpa dirinya".

7. Terakhir, kita memiliki beberapa kewajiban terhadap saudara-saudara kita yang tertimpa musibah besar ini, di antaranya;

a. Berdo'a agar Allah Subhanahu wa Ta’ala meringankan penderitaan mereka, serta menjadikan musibah ini sebagai titik tolak bagi mereka untuk kembali kepada kebaikan dan bertaubat kepada-Nya. Kita juga memohon agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menenangkan ketakutan mereka, menutupi aurat mereka dan memberi rizki orang-orang yang ditimpa kelaparan.

b. Juga kita berkewajiban untuk mengulurkan tangan membantu mereka semampu kita. Saat ini ribuan orang sama sekali tidak memiliki tempat tinggal, rumah, makanan dan minuman. Sedangkan kita hidup dalam kenikmatan. Bersyukurlah kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala atas nikmat dan karunia-Nya, kemudian bantulah saudara-saudara kita semampunya!.

Kami tutup khutbah ini dengan sebuah doa agung dan berbarakah, yang selalu dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam; setiap malam sebelum merebahkan tubuhnya di peraduan:

Artinya: "Segala puji bagi Allah Yang telah memberi kita makan, minum dan mencukupi kita, serta memberi kita tempat tinggal. Betapa banyak orang yang tidak mendapatkan yang mencukupi dia serta memberi dia tempat tinggal". [HR Muslim dari Anas bin Malik]

Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin (3X), hinakanlah kesyirikan dan kaum musyrikin, serta hancurkanlah musuh-musuh agama kami.

Ya Allah, ringankanlah musibah yang menimpa saudara-saudara kami di manapun mereka berada, kuatkanlah mereka wahai Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah. Ya Allah, tenangkanlah rasa takut mereka, obatilah kelaparan dan dahaga mereka, tutupilah aurat mereka, karuniakanlah kepada mereka tempat tinggal yang baik, wahai Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah.

Ya Allah, kembalikanlah kami dan mereka kepada-Mu dengan baik, berilah kami taufik untuk bertaubat kepada-Mu, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang beriman dan mengikuti rasul-Mu Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, juga karuniailah kami -wahai Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah- taufik untuk mengerjakan hal-hal yang Engkau cintai dan ridhai, bantulah kami untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan, janganlah Engkau jadikan kami bergantung kepada diri sendiri, meskipun hanya sekejap mata.

Ya Allah, ampunilah segala dosa kami, baik yang kecil maupun yang besar, yang terdahulu maupun yang akan datang, serta yang tersembunyi maupun yang terlihat. Ya Allah, sesungguhnya kami telah mendzalimi diri kami, jika Engkau tidak mengampuni dan mengasihi, niscaya kami akan menjadi orang-orang yang merugi.

Hanya ini yang dapat kami sampaikan, kami mohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kita dan seluruh kaum muslimin dari segala dosa, mintalah ampun kepada-Nya, niscaya Dia akan ampuni. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[Ditranskrip dan diterjemahkan dari khutbah Jum'at Syeikh. Prof. Dr. Abdur Razzak bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr –Hafizhahullahu- oleh : Anas Burhanuddin dan Abdullah Zaen (Mahasiswa S-2 Univ. Islam Madinah. Disebarkan oleh FSMS (Forum Silaturrahim Mahasiswa as-Sunnah) Surabaya 2004/1425]

Dipublikasikan kembali oleh Muslim Facebook Peduli Umat

Bakti Seorang Ulama Buta pada Ibundanya

Bakti Seorang Ulama Buta pada Ibundanya
 
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak [1] adalah salah seorang ulama negeri saudi saat ini. Saya ingin menyebutkan kisah betapa berbaktinya Syaikh kami terhadap ibundanya dan Syaikh hafidzahullah telah mencontohkan teladan yang sungguh ajaib dalam berbakti, terkhusus di zaman sekarang ini. Ibunda Syaikh telah wafat sekitar 5 tahun silam. Saya akan menyebutkan beberapa kisah dalam beberapa point berikut tanpa perincian yang luas:


1. Syaikh Abdurrahman Al Barrak hafidzahullah dikenal hanya sedikit pergi haji. Sebabnya adalah tidak adanya persetujuan ibundanya rahimahallah. Beliau mulai berhaji lagi sejak Ibunya lemah ingatannnya dan bercampurnya sebagian hal sehingga menjadi memberikan izin baginya untuk pergi haji


2. Syaikh Al Barrak tidak pergi safar kecuali setelah diberi izin ibundanya. Suatu waktu,terjadi suatu permasalah di kampung halaman beliau di Albakiriyah daerah Al Qosim. Penduduk daerah tersebut meminta Syaikh untuk datang agar membantu menyelesaikan masalah tersebut karena kedudukan Syaikh yang berpengaruh dikalangan mereka. Maka Syaikh menyetujuinya untuk pergi asalkan dengan syarat jika diizinkan Ibunya.

Maka sebagian sebagian saudara ibunya berbicara kepada Ibu Syaikh, dan karena segan maka kemudian diizinkanlah Syaikh Al Barrak.Setelah saudara-saudara Ibunya pergi,maka sang Ibu berkata pada Syaikh Abdurahman bin Nashir Al Barrak : “Saya menyetujuinya karena mereka terus menerus meminta padaku”.


3. Syaikh Abdurrahman dalam safarnya ke Mekah dalam liburan musim panas tidaklah terputus dari menelepon ibunya. Tidak kurang dari dua kali menelepon ibunya dalam sehari. Bahkan beliau sempat memutuskan pelajaran yang sedang disampaikan dimana saat itu kami sedang membacakan kitab pada beliau di Masjidil Haram, Syaikh menelepon ibunya dan kemudian disambung lagi pelajaran saat itu


4. Ibunda Syaikh tidaklah terus menerus tinggal bersama Syaikh. Berpindah-pindah, terkadang tinggal di rumah Syaikh namun terkadang di rumah anaknya yang lain (saudara kandung Syaikh). Tatkala tinggal dirumah Syaikh, maka Syaikh Al Barrak tidak tidur dengan istrinya, tapi tidur bersama Ibunya dikamar Ibunya dengan maksud siap sedia memenuhi segala permintaan Ibunya 

5. Diantara bentuk memenuhi hajat Ibunya, adalah Syaikh Al Barrak senantiasa berdiri menuntun memegangi tangan ibunya, karena Ibunya sudah lambat dalam berjalan. Syaikh mengantar untuk pergi ke kamar mandi sampai ibunya duduk dikursi khusus baginya. Kemudian Syaikh menunggu hingga ibunya menyelesaikan keperluannya di kamar mandi, setelah itu Ibunya diantar lagi ketempat semula. Ini semua dilakukan Syaikh, walaupun ada anak-anak perempuan Syaikh dan istrinya


6. Diantara bentuk bakti yang lain, Syaikh Abdurrahman Al Barrak hafidzahullah tidak pernah memutus kebiasaan Ibunya. Saya pernah membaca kitab dihadapan beliau disuatu hari dipelataran rumah beliau dipintu masuk khusus laki-laki. Pelajaran yang disampaikan Syaikh di sore hari biasanya tidak terputus kecuali apabila terdengar adzan maghrib. Tatkala menjelang adzan maghrib beliau meminta saya keluar dari rumah. Ini bukanlah kebiasaan Syaikh sebelumnya. Setelah Isya tiba-tiba Syaikh meneleponku di rumah, beliau meminta maaf dari kejadian dihari itu dan memberitahu bahwa dilakukannya hal tersebut karena Ibunya punya kebiasaan berwudhu untuk shalat maghrib di keran air disebelah pintu dimana kami tadi berada.


7. Syaikh Al Barrak sangat memperhatikan keinginan Ibunya. Adalah kebiasaan Syaikh bermajlis dengan tamu-tamunya hingga adzan tiba

kemudian mereka keluar untuk sholat. Namun jika sedang ada ibunya, maka Syaikh akan berdiri sebelum adzan tiba karena hal ini kesukaan Ibunya yang sholehah


8. Tatkala semakin parah sakit yang dialami ibunya, maka Syaikh berusaha mengobatinya, beliau tidur bersamanya serta memberinya makanan dan minuman. Bahkan Syaikh kami ini apabila selesai sholat shubuh dari masjid, beliau menyiapkan minuman, kemudian memberikannya kepada Ibunya, atau terkadang mendinginkan minuman tersebut untuk ibunya. Semua ini dilakukan beliau dengan keadaan beliau yang buta matanya. Setelah itu beliau kembali ke masjid untuk menyampaikan kajian shubuh.

Disarikan dari tulisan Abu Muhammad Al Qohthoni di forumhttp://www.ahlalhdeeth.com/ dengan sedikit penambahan


[1] Usia Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafidzahullah saat ini 78 tahun. Beliau sudah menjadi yatim sejak balita, yakni saat umur setahun. Diusia 10 tahun beliau terkena penyakit dimatanya sehingga tidak bisa melihat sampai saat ini.


Diantara guru beliau yang sangat berpengaruh adalah Al Allamah Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dimana lebih dari 50 tahun belajar dengan beliau rahimahullah. Syaikh Ibn Baz seringkali meminta beliau untuk masuk lembaga fatwa namun ditolaknya. Syaikh bin Baz pun ridho pada Syaikh Al Barrak untuk menggantikannya berfatwa di Darul Ifta di Riyadh di saat musim panas tatkala para mufti pindah tempat ke kota Thaif, Syaikh Nashir Al Barrak ini dengan malu memenuhinya, namun itu dilakukan hanya dua kali, setelah itu ditinggalkannya.

Setelah wafat Syaikh Bin Baz, seringkali Syaikh Alu Syaikh mufti sekarang meminta dengan sangat agar beliau menjadi anggota lajnah ifta namun beliau keberatan untuk memutus pelajaran yang biasa beliau sampaikan di masjid.


sumber: ***direktori_islam.com

Membekali Diri Dengan Tauhid

Q Ummu Daffa Farras'
Pengertian Tauhid
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- memaparkan bahwa kata tauhid secara bahasa adalah kata benda yang berasal dari perubahan kata kerja wahhada – yuwahhidu yang bermakna menunggalkan sesuatu. Sedangkan dalam kacamata syari’at, tauhid bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat (Al Qaul Al Mufid, 1/5)

Syaikh Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama tauhid disebabkan agama ini dibangun di atas pondasi pengakuan bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal Dzat dan sifat-sifat-Nya, tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya. Allah Maha Esa dalam urusan peribadatan, tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya. Tauhid yang diserukan oleh para Nabi dan Rasul telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat). Setiap jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mewujudkan salah satu jenis tauhid saja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya maka hal itu tidak mungkin terjadi kecuali disebabkan dia tidak melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama (Ibthal At Tandid, hal. 5-6)
Syaikh Muhammad bin Abdullah Al Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). ‘La ilaha’ adalah penafian/penolakan, maksudnya kita menolak segala sesembahan selain Allah. Sedangkan ‘illallah’ adalah itsbat/penetapan, maksudnya kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah (At Taudhihat Al-Kasyifat, hal. 49)
Tauhid dan Iman Kepada Allah
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan –hafizhahullah- menjelaskan bahwa hakekat iman kepada Allah adalah tauhid itu sendiri. Sehingga iman kepada Allah itu mencakup ketiga macam tauhi yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal. 29). Di samping itu, keimanan seseorang kepada Allah tidak akan dianggap benar kalau hanya terkait dengan tauhid rububiyah saja dan tidak menyertakan tauhid uluhiyah. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kaum musyrikin dahulu yang juga mengakui tauhid rububiyah. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtetap memerangi dan mengajak mereka untuk bertauhid. Hal itu dikarenakan mereka tidak mau melaksanakan tauhid uluhiyah.
Urgensi Tauhid Bagi Setiap Insan
Kepentingan manusia untuk bertauhid sungguh jauh berada di atas kepentingan mereka terhadap makanan, minuman atau tempat tinggal. Kalau seseorang tidak makan atau minum, akibat terburuk yang dialami hanyalah sekedar kematian. Namun, kalau seseorang tidak bertauhid barang sekejap saja dan pada saat itu dia meninggal dalam keadaan musyrik, maka siksaan yang kekal di neraka sudah siap menantinya.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّه ُمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah (dalam beribadah) maka sungguh Allah telah mengharamkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka…” (QS. al-Ma’idah [5]: 72)
Bahkan amalnya yang bertumpuk-tumpuk selama hidup pun akan menjadi sia-sia apabila di akhir hidupnya dia telah berbuat syirik kepada Rabb-nya dan belum bertaubat darinya. Allah ta’ala berfirman,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh, jika kamu berbuat syirik, akan lenyaplah semua amalmu, dan kamu pasti akan tergolong orang yang merugi.” (QS. az-Zumar [39]: 65)
Dan, kalaulah kita mau merenungkan untuk apa kita diciptakan di alam dunia ini niscaya kita akan memahami betapa agung kedudukan tauhid dalam hidup ini. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56). Makna beribadah kepada Allah di sini adalah mentauhidkan Allah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- mengatakan, “Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu untuk beribadah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah tidak akan disebut sebagai ibadah (yang hakiki) apabila tanpa disertai tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat jika tidak disertai dengan thaharah (bersuci). Maka apabila syirik merasuk ke dalam suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi batal. Sebagaimana hadats jika terjadi pada (orang yang sudah melakukan) thaharah…” (Majmu’ah Tauhid, hal. 7)
Terkait dengan pentingnya tauhid ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya kebutuhan hamba untuk senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya merupakan kebutuhan yang tak tertandingi oleh apapun yang bisa dianalogikan dengannya. Akan tetapi, dari sebagian sisi ia bisa diserupakan dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Di antara keduanya sebenarnya terdapat banyak sekali perbedaan. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba adalah pada hati dan ruhnya. Padahal, tidak ada kebaikan hati dan ruh kecuali dengan (pertolongan) Rabbnya, yang tiada ilah (sesembahan) yang benar untuk disembah selain Dia. Sehingga ia tidak akan bisa merasakan ketenangan kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya seorang hamba bisa memperoleh kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan terus menerus terasa. Akan tetapi, ia akan berpindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dari satu individu ke individu yang lain. Adapun Rabbnya, maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam setiap keadaan dan di setiap waktu. Di mana pun dia berada maka Dia (Allah) senantiasa menyertainya.” (Majmu’ Fatawa, I/24. Dikutip dengan perantaraKitab Tauhid Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 43)
Siapa yang merasa tauhidnya sudah hebat?!
Allah ta’ala mengisahkan do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam di dalam ayat-Nya
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS. Ibrahim [14]: 35)
Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah yang lebih merasa aman dari bencana kesyirikan selain Ibrahim[?]”
Syaikh Abdurrahman bin Hasan –rahimahullah- mengatakan, “Tidak ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan selain orang yang bodoh terhadap syirik dan juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik terhadapnya.” (Fathul Majid, hal. 72)
Demikianlah sekilas mengenai pentingnya tauhid dalam kehidupan kita. Semoga kita tergolong hamba-hamba yang mentauhidkan Allah dengan sebenar-benarnya. Kalau orang semulia Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja masih takut terjerumus syirik, lalu bagaimana lagi dengan orang seperti kita. Wallahul musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Selesai disusun ulang di Yogyakarta,
Senin 8 Jumadil Ula 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya,
kedua orang tuanya dan kaum muslimin semua
***
Penulis: Abu Mushlih Ari wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Catatan Akhir Pekan (Part 3): “Suratku untuk Nadia

Penulis             : Fachrian Almer Akiera

Akurator         : Izhar S.Pd.I dan Fachrian Almer Akiera

Langit mendung tengah menyelimuti kota kami dan beberapa menit kemudian gerimis mulai menyapa atap rumah penduduk. Semakin lama semakin terdengar deras suara hujan itu. Tentu saja dingin mulai meraba setiap penjuru kota mataram yang bermotokan kota ibadah ini.


Di lantai 2 rumah kontrakan ini, aku berdiri di samping jendela berkusen cokelat sambil memandang hujan yang mungkin akan lama mereda. Aku melihat langit mewarnakan gelap. Aku melihat langit menangis dan menderaikan air mata.
Tahukah engkau, Nadia, apakah air mata yang menghantam bumi itu adalah air mata kecewa atau air mata bahagia? Aku tak tahu apakah air mata itu adalah air mata untuk menyuburkan bumi pertiwi ataukah air mata yang mengundang bencana di alam ini.


Berbicara tentang bencana, Nadia, beberapa koran lokal maupun nasional menurunkan berita yang mungkin sudah engkau ketahui. Aku sendiri telah membaca sebuah surat kabar harian yang mengabarkan bencana di negeri kita. Seperti yang mereka beritakan itu, dalam bulan Oktober ini, ada tiga bencana alam besar yang melanda tanah air.


Adalah banjir bandang telah melanda Wasior (Papua Barat) pada tanggal 4 Oktober 2010. Peristiwa ini sungguh memilukan hati, Nadia. Bayangkanlah 150 warga tewas dan 150 orang hilang. Warga yang mengungsi mencapai 6000 orang. Itulah laporan sementara yang kutemui dalam surat kabar yang tertanggal 30 Oktober 2010 itu.


Tak hanya air yang meluap, bumi pun menggempakan dirinya dengan kekuatan 7,2 skala richter atas kehendak Allah. Gempa yang terjadi di Mentawai (Sumatera Barat ) tersebut dilanjutkan tsunami yang dahsyat. Seperti yang dikatakan pepatah: “sudah jatuh, terkena tangga pula.” Sungguh menyedihkan apa yang mereka alami. Aku tahu, engkau pun bersedih.


Kudapati bahwa tsunami dengan ketinggian mencapai 7 meter itu benar-benar menghantam dua buah pulau di kabupaten Kepulauan Mentawai. Lihatlah olehmu, Nadia, tsunami yang diakibatkan oleh gempa tektonik itu meluluhlantakkan permukiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir.


Nadia, kejadian tersebut menewaskan 413 orang. Ini adalah angka kematian yang besar pada populasi yang kecil. Disana ada 270 orang luka berat dan 142 orang luka ringan. Sebanyak 163 orang dinyatakan hilang dan para pengungsi mencapai 12.579 orang. Begitu dahysat kejadian yang menimpa saudara kita di pulau Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, bagian barat Indonesia itu.


Di tempat lain, bencana lain pun menyapa tanah air kita, tepatnya di perbatasan Yogyakarta-Jawa Tengah. Gunung merapi meletus sehingga menewaskan lebih dari 30 orang dan belasan ribu orang harus mengungsi. Benar-benar tak terbilang lagi harta benda yang musnah akibat bencana alam tersebut.


Dalam beberapa artikel yang kubaca, awan panas Merapi itu bak badai yang terdiri dari gumpalan batu-batuan tercampur kerikil, pasir, debu, asap dan gas pijar serta sangat panas dengan temperatur 300 hingga 500 derajat celcius, meluncur dan menyebar dengan kecepatan 60 kilometer per detik. Jangkauannya dapat mencapai 5 hingga 10 kilometer dari kawah.


Ada hal yang lebih dahsyat lagi yang menyebabkan mereka menjadi korban yaitu apa yang disebut oleh ahli geologi sebagai Lahar, sebuah aliran lumpur pasir tercampur batu yang berasal dari timbunan vulkanik di lereng. Ketika digelontor hujan, timbunan itu melongsor lalu mengalir menuju saluran-saluran sungai. Lahar ini mampu bergerak dengan kecepatan 60 kilometer per jam. Karena sifat  arusnya begitu pekat dan berat jenisnya besar, di dalam lahar itu dapat terangkut batu-batu sebesar gajah dengan daya erosi yang sangat besar pula.


Itulah yang menghantam rumah-rumah penduduk di desa. Sungguh Nadia, Indonesia benar-benar berduka. Begitu menyedihkan. Begitu menyayat hati. Begitu membulirkan air mata. Dalam surat kabar harian itu, kulihat mayat anak adam terbangkaikan tak dikenali.


Aku melihat dua orang kakak-beradik berpelukan sambil menangis sedih nan pilu kesyahduan. Mungkin keduanya baru saja berjumpa setelah berpisah tapi begitu jelas kuketahui bahwa keduanya baru saja piatu karena sang ibu telah terkubur bersama korban lain. Sungguh, tak ada lagi canda tawa dengan sang bunda. Tak ada lagi senyum bahagia.


Lihatlah Nadia, seorang anak sedang membawa ibunya ke Puskesmas dengan gerobak besi  yang biasanya dipakai untuk mengangkut semen. Secara tertatih-tatih, anak itu mendorong gerobak. sang ibu yang menjadi korban bencana ada di dalam gerobak itu.


Aku melihat anak kecil menenteng ember hitam di bahunya. Tahukah engkau apa yang dia bawa, Nadia? Ada makanan kecil dan mie instan untuk menghilangkan lapar yang mereka alami berjam-jam bahkan berhari-hari. Iya Nadia, mereka benar-benar lapar.


Nadia, kulihat seorang anak kecil dalam keadaan sakit dan kritis sedang ditolong oleh seorang relawan. Badannya melemas dan mata terlihat meredup. Bisa jadi si kecil itu sedang berhadapan dengan malaikat maut. Mungkinkah itu adik kesayanganmu, Nadia?


Kasihan. Kasihan. Begitu kasihan. Kulihat empat anak kecil duduk termangu di tempat pengungsian dengan luka-luka di wajah mereka. Senyum mereka telah terenggut dan entahlah kapan kembali terbit. Mereka melamun seolah-olah tak percaya dengan musibah yang mereka alami. wajah-wajah lugu nan ayu kini menerbitkan sejuta kesedihan.


Dan aku melihatmu duduk di bagian paling kanan diantara ke empat anak itu, Nadia. Wajah polosmu kulihat penuh dengan luka. Bagian bawah matamu memar dan pojok bibirmu bagian kanan robek. Aku pula melihat darah yang menggumpal di pipi kirimu. Matamu membengkak akibat tangisanmu yang pecah saat itu.


Tak terdengarkah oleh mereka deraian air matamu, Nadia? Telah membatu kah jiwa-jiwa mereka atas dosa dan maksiat yang mereka peragakan, Nadia?


Nadia, Nadia, aku benar-benar tak tega melihat hitam bola matamu yang berkaca terbalut sedih penuh cemas.


Dimanakah kini ayah dan ibumu, Nadia? Atau kakakmu? Atau adikmu?

Nadia, bisakah kau sedikit saja tersenyum untuk kak Fahri?

Nadia, tersenyumlah, tersenyumlah.


Do’akanlah para pezina yang telah mengetuk pintu bencana itu agar tak lagi bermaksiat kepada Allah. Do’akanlah para pemakan riba agar tak lagi mengundang petaka. Do’akanlah, do’akanlah mereka, Nadia ?


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Jika zina dan riba merajalela di suatu negeri maka mereka telah menghalalkan adzab Allah terhadap diri mereka.”[1]


Nadia tersayang, kabarkanlah kepada mereka sebuah perkataan yang dituturkan Ka’ab radhiyallahu ‘anhu:


“Bumi hanyalah berguncang ketika kemaksiatan dilakukan didalamnya, lalu bumi menjadi gemetar karena takut kepada Allah bila Dia melihatnya.”[2]


Nadia, bisikkanlah kepada para penyanyi, para pecinta musik dan para peneguk khamrbahwa mereka telah menyebabkan rumahmu dan tempatmu bermain terbenam bencana.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:

“Akan terjadi pada akhir zaman pembenaman (tempat tinggal), fitnah (ujian) dan pengubahan rupa jika ma’azif (alat-alat musik) dan para biduan (penyanyi) merajalela serta khamr dianggap halal.”[3]


Nadia terkasih, dahulu sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu pernah menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau menuturkan bahwa seseorang yang bersama Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu:


“Wahai ummul mukminin (ibunda orang-orang beriman), ceritakanlah kepada kami tentang az-zalzalah(goncangan/gempa).”


Mendengar pertanyaan itu, Nadia, Aisyah radhiayallahu ‘anha memalingkan wajahnya. Anas radhiyallahu ‘anhu kembali bertanya dengan penuh penasaran:


“Ceritakanlah kepada kami wahai ummul mukminin tentang az-zalzalah.”


Barulah Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab:


“Wahai Anas, sekiranya kuceritakan padamu tentangnya maka engkau (akan) hidup dalam keadaan bersedih dan engkau dibangkitkan dalam keadaan sedih itu masih ada di hatimu.”


Sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu bertambah penasaran, Nadia, sehingga beliau kembali bertanya:


“Wahai ibu, ceritakanlah kepada kami.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab:


“…jika mereka menghalalkan zina  dan minum khamr (minuman memabukkan) setelah ini serta memukul (memainkan) alat-alat musik maka Allah cemburu di langit-Nya lalu berfirman kepada bumi: ‘bergoncanglah kepada mereka’.”


Aisyah radhiyallahu ‘anha kembali melanjutkan:


“Jika (mereka) tidak (bertaubat dan menyesal) maka goncangan bumi (itu) akan menghancurkan mereka.”[4]


Nadia, kabarkanlah kepada mereka tentang adzab yang Allah turunkan kepada kaum nabi Nuh ‘alaihissalam. Karat-karat dosa telah mengundang air bah yang menenggelamkan mereka bahkan puncak gunung yang tinggi pun ikut tenggelam. Setelah itu bersihlah bumi Allah dari kotoran syirik, bid’ah dan kedzaliman.


“Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh tatkala mereka mendustakan rasul-rasul. Kami tenggelamkan mereka dan Kami jadikan (cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang lalim azab yang pedih”[5]


Kabarkanlah olehmu Nadia kepada mereka tentang kaum ‘Aad. Karena pembangkangan terhadap nabi Hud ‘alaihissalam, Allah kirimkan mereka angin yang amat dahsyat sehingga meluluhlantakkan rumah, tanaman, sawah ladang beserta keturunan mereka.


“Adapun kaum ‘Aad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus, maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tanggul-tanggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).”[6]

“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari naas yang terus menerus.”[7]


Kabarkanlah olehmu Nadia kepada mereka tentang adzab yang Allah timpakan kepada penduduk Madyan, kaum nabi Syu’aib ‘alaihissalam. Mereka menipu harta manusia, kurangi takaran dan timbangan, membuat kerusakan, maka Allah mendatangkan gempa dan suara yang mengguntur di negeri mereka sehingga jadilah mereka bangkai-bangkai dan rumah mereka pun rata dengan tanah.


“…dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa.”[8]

Nadia, dengan darah yang mengalir dari lukamu, kabarkanlah mereka bahwa segala dosa dan maksiat, apalagi syirik, benar-benar mengundang bencana di bumi pertiwi. Semua jenis dosa dan maksiat telah terperagakan dengan sempurna maka pantas saja tanah air kita terhadiahkan segala jenis bala dan bencana pula.


Sungguh benarlah apa yang dituturkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:


“Akan terjadi pada akhir umat ini pembenaman tempat tinggal, pengubahan rupa, fitnah.”

Kemudian ditanyakan kepada beliau:


“Wahai Rasulullah, apakah kami akan (ikut) dibinasakan padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?.”


Beliau menjawab:

“Ya (benar), sekiranya kenistaan telah merajalela.”[9]


***

____________
Catatan Penulis:

Tidak ada unsur fiktif dalam tulisan diatas. Nadia adalah seorang gadis kecil berumur 4 tahun yang menjadi salah satu dari ribuan korban bencana di tanah air. Semua hal yang berhubungan bencana dan para korban termasuk beberapa data statistik dalam tulisan bersumber dari koran KOMPAS Edisi Sabtu 30 Oktober 2010. Sedangkan hadits-hadits yang tertera kami kutip dari kitabTadzkiir Dzawil Quluub bi Khataril Ma’aashii wadz Dzunuub karya syaikh Shabri Salamah Syahin.

Semoga Allah menjaga Nadia dan teman-temannya yang masih hidup. Semoga karat-karat dosa pun terkikis. Aamiin.
Wallahu a’lam. Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ila ha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.

Mataram, Kota Ibadah,  selesai ditulis saat sejuknya waktu pagi ketika burung-burung bersimponi menyambut mentari di ufuk timur.

_______
Endnotes:

[1] Hadits riwayat ath-Thabrani dalam Al-Kabiir dan al-Hakim. Dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jami’ (no. 679).

[2] Ucapan ini dikutip dari kitab Tadzkiir Dzawil Quluub yang ditulis oleh syaikh Shabri Salamah Syahin.

[3] Hadits riwayat ath-Thabrani dalam Al-Kabiir. Dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jami’ (no. 3665).

[4] Hadits riwayat al-Hakim dan ia berkata: “Hadits ini shahih berdasarkan kriteria Muslim dan keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.

[5] QS al-Furqan: 37.

[6] QS al-Haqqah: 6-8.

[7] QS al-Qamar: 19.

[8] QS Hud: 94-95.

[9] Hadits shahih yang diriwayatkan at-Tirmidzi (no. 2185). Dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam ash-shahihah (no. 987) dan dalam Shahiihul Jaami’ (no. 8156).


 Fachrian Almer Akiera As-samawiy
thank you