Rabu, 13 Oktober 2010

SURAT TERBUKA UNTUK ISTRIKU

Buat istriku yang kucinta, semoga engkau berbahagia.
Aku tidak tahu dari mana harus memulai menuliskan beberapa rumpun kalimat buatmu, wahai istriku. Aku juga tidak tahu apakah kepolosanku dan ketulusanku ini akan mendapat sambutanmu. Tapi aku tiada pedulikan itu. Yang pasti, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku adalah suamimu.

Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu apakah engkau juga sangat membutuhkan aku, suamimu, wahai istriku? Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka. Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia, bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.

Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu, meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.

Istriku, jujur aku katakan bahwa keberadaanmu sebagai istri bagiku kurasakan sangat penting bagi diriku, akalku, hati serta jiwaku. Bahkan sangat penting bagi kehidupanku juga setelah kematianku. Maka kutuliskan suratku ini untukmu, semoga engkau benar-benar mengerti betapa tingginya kedudukanmu sebagai seorang istri, betapa beratnya wasiat agama kita yang telah dibebankan kepadaku setelah aku menikahimu, dan betapa berartinya dirimu bagiku, suamimu. Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau laksana permata yang sangat berharga yang tadinya aku tak tahu dimana engkau berada dan ke mana aku harus mencari.
Sungguh dunia ini penuh dengan perhiasan, sampai aku tidak kuasa memilih perhiasan mana yang harus kuambil untuk kumiliki, sampai akhirnya Alloh memberikan petunjuk kepadaku, suamimu ini, yang telah payah dan lelah mencarimu sampai akhirnya aku menemukanmu dan menjadikanmu sebagai istri. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya . Aku tidak mengada-ada untuk sekedar membesarkan hatimu, namun begitulah Rosululloh telah menyatakannya :
إِنَّمَا الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَلَيْسَ مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا شَيْءٌ أَفْضَلَ مِنْ الْمَرْأَةِ الصَّالِحَةِ
“Dunia ini tiada lain hanyalah perhiasan, dan tak ada satu pun dari perhiasan dunia ini yang lebih utama daripada seorang istri yang sholihah.”(1)
Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau adalah sumber kebahagiaan dan penderitaanku. Engkau adalah penghias rumah tempat tinggalku dan kendaraan mewahku, dan engkau adalah sebaik-baik tetanggaku. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya . Aku tidak mengada-ada untuk mendapat tempat di hatimu, namun begitulah Rosululloh telah mengabarkannya. أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ ، وَ الْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ ، وَ الْجَارُ الصَّالِحُ ، وَ الْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ . وَ أَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاءِ : الجْاَرُ السُّوْءُ ، وَ الْمَرْأَةُ السُّوْءُ ، وَ الْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ”
“Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan; istri sholihah, rumah yang lapang nan luas, tetangga yang sholih dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang termasuk kesengsaraan; tetangga yang jelek (akhlaknya), istri yang jelek (akhlaknya), rumah yang sempit dan kendaraan yang tak nyaman.” (2)

Istriku, tahukah kau bahwa aku bisa berbahagia bersamamu dan bisa sengsara lagi menderita olehmu? Bukan aku tidak percaya kepadamu bahwa engkau akan membahagiakanku, tentunya engkau bisa memilih. Sebab, aku sudah tahu engkau adalah seorang wanita yang memiliki kecerdasan, apakah engkau akan menjadi sumber kebahagiaanku atau menjadi sumber penderitaanku? Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya , aku berbahagia bersamamu di atas keberkahan hidup bersamamu yang telah dianugerahkan kepadaku, tentunya juga kepadamu. Aku merasa bahagia meski menurut orang lain aku sengsara, aku tidak menyesali banyaknya penderitaan, namun aku sangat berharap keberkahannya. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan bahwa tiada sebuah rumah pun yang akan kupandang indah dan kurasa nyaman meski seluas apapun rumah itu bila aku tinggal di dalamnya tanpamu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya , sungguh aku bangga padamu, istriku, karena kini aku rasakan rumahku begitu teduh, tentram dan nyaman bagiku setelah engkau yang menjadi pendampingku sejak pernikahan dulu. Semoga engkau mengerti ini. Istriku, jujur kukatakan, tiada kendaraan mewah yang nyaman aku kendarai meski apapun jenisnya dan berapa rupiah pun harganya jika engkau tidak bersamaku di atas kendaraan itu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya , sebab aku merasa tiada tetangga yang berdampingan denganku saat ini, baik di rumahku maupun di kendaraanku yang kurasakan kesholihannya selain dirimu. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, sejujurnya kukatakan, bagiku engkau adalah ukuran kebaikanku di duniaku. Semoga engkau tahu dan memahami ini. Betapa berat amanah yang telah dipikulkan di atas pundakku setelah aku menikahimu. Aku diwasiati untuk menjagamu, bahkan aku diingatkan sekali lagi dan berikutnya dan berikutnya demi kebaikanmu. Aku mengetahui hal ini bukan sekedar mengikuti perasaanku, juga bukan berdasarkan buaian mimpiku, bukan pula dari lamunan dan khayalanku. Namun aku mengerti dan paham lalu seyakin-yakinnya aku yakini dari sabda seorang manusia yang tidak didustakan kabarnya dan tidak dimaksiati perintahnya. Tahukah dirimu bahwa beliau telah menjadikan bagaimana caraku mempergaulimu dalam kebersamaan ini sebagai tanda baik buruknya akhlakku? Beliau pernah bersabda: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya”(3)

Oleh karenanya, istriku, aku tidak ingin menjadi seorang yang berakhlak buruk sebab tidak bisa berbuat baik kepadamu, dan aku berharap engkau membantuku agar aku bisa memperbaiki akhlakku, (yaitu) dengan memudahkan caraku agar bisa berbuat baik kepadamu. Semoga engkau mengerti ini. Istriku, bila engkau mendapati kebaikanku, sesungguhnya aku tidak berharap perhatianmu, aku juga tidak berharap pujianmu. Namun, aku hanya ingin semoga Alloh menjadikanmu istri yang sholihah yang berbuat baik kepadaku. Dan, bila engkau mendapatiku tidak berbuat baik kepadamu, semoga kesholihanmu bisa membuka pintu maafmu bagiku, dan semoga Alloh Yang di atas sana memaafkan kekhilafanku.
Istriku, sebenarnya masih banyak yang ingin aku goreskan dalam lembaran ini. Namun, aku cukupkan dengan mengatakan di ujung suratku ini, bahwa pada akhirnya engkau adalah pelabuhan bahteraku yang aku akan merasa tenang setelah tadinya jiwaku diliputi kecemasan dan ketakutan akan dalam dan dahsyatnya gelombang samudra kehidupan saat masih sendiri sebelum kehadiran seorang istri, dan bagiku ialah dirimu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian kepada-Nya, dan semoga Dia memberkahi hari-hari kita berdua, dalam suka maupun duka.
Dari yang mencintaimu karena Alloh dan untuk Alloh , aku, suamimu.

(1)    HR. An-nasa'i dan Ahmad
(2)    HR. Ibnu Hiban no: 1232 dishohihkan oleh al-Albani dalam ash-shohihah 1/509
(3)    HR. Tirmidzi no. 1082, dishohihkan oleh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 284.

Oleh : Al-Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami
{ al-Mawaddah Edisi 05  Tahun 2 }

SURAT TERBUKA DARI ISRTI YANG DICINTA

Kuuntai kalimatku dengan goresan pena ini, untukmu, Suamiku yang kucinta, semoga engkau lebih berbahagia. Membaca suratmu, wahai suamiku, menjadikan aku ingat masa lalu. Aku merasakan makna kalimat-kalimatmu sebagaimana aku rasakan tatkala engkau sampaikan kalimat-kalimat itu saat kita baru memulai hidup bersama dahulu. Kini, setelah semua berlalu, dan setelah aku hampir terlupa akan kalimat-kalimat itu, engkau goreskan kalimat itu untuk kedua kalinya. Kusampaikan Jazakallahu Khoiron, Suamiku, atas kebaikanmu, dan atas perhatianmu kepadaku, istrimu.

Suamiku yang kucinta….Mungkin engkau telah begitu sering mendengar kata-kata permintaanku. Namun, aku berharap engkau takkan jemu menanggapinya. Saat ini pun, aku katakan kepadamu, wahai suamiku, bantulah aku menjadi sebaik-baik perhiasan duniamu. Bantulah aku menjadi salah satu dari keempat kebahagiaan hidupmu. Bila engkau memintaku agar aku membantumu untuk memperbaiki akhlak dan pergaulanmu kepadaku, maka lebih dari itu, aku begitu berharap engkaulah orang yang akan mengantarkanku ke taman akhlak yang mulia bersamamu.

Suamiku, jika engkau bersungguh-sungguh mengatakan kepadaku apa yang engkau goreskan itu, maka lebih dari itu, aku pun berharap engkau lebih bersunguh-sungguh membimbing, mengayomi, dan menyertakanku dalam seluruh kebaikanmu. Aku ingat nasihat emas rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, meski itu lebih tepat disebut peringatan. Peringatan bagiku sebagai seorang istri, yang tentunya perlu engkau tahu, meski aku kira engkau pun telah mengetahuinya. Aku ingat saat beliau shalallahu ‘alaihi wassalam memperingatkan seorang wanita sebagai istri sepertiku dengan sabdanya :

“Maka perhatikanlah, wahai si istri, bagaimana kalian mempergauli suamimu. Sesungguhnya ia adalah surga atau nerakamu.”[1]

Begitu jelasnya makna nasihat beliau itu, dan begitu tegasnya pernyataan beliau shalallahu ‘alaihi wassalam. Dengan goresan pena kita ini, semoga engkau tahu, wahai suamiku, bahwa aku begitu sangat berharap surga dan tidak ingin terjebak ke neraka sementara aku punya engkau, suamiku. Aku tahu engkau berarti surga, juga berarti neraka bagiku. Namun, aku berharap engkau mau mengerti bahwa aku tidak menginginkan neraka. Engaku pun pasti juga begitu. Maka bantulah aku, suamiku.

Suamiku, tentunya engkau tahu, bahwa jalan menuju surga tidaklah mudah. Namun, aku berharap jalan itu akan dipermudah bagiku. Aku berharap jalan surgaku akan dengan mudah kutelusuri bersamaan dengan tetap adanya aku di sisimu. Apakah engkau paham maksudku, suamiku? Aku hanya ingin mengatakan satu pintaku; buatlah aku mampu melakukan apapun yang membuatmu ridho kepadaku, sebab dengan begitu Allah pun akan meridhoiku.

Sebaliknya, belokkanlah langkahku bila aku melakukan sesuatu yang membuat Allah memurkaiku sehingga engkau pun murka kepadaku. Karena kau tahu aku begitu lemah untuk bisa menunaikan seluruh hak-hakmu. Bahkan tiada mungkin aku menunaikan seluruhnya sebab begitu agung dan tak terhingga hak-hakmu. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah menegaskan :

“Hak seorang suami yang harus ditunaikan oleh istri itu (nilainya begitu besar), sehingga seandainya suami terluka bernanah di badannya, lalu istrinya menjilatinya pun belum dinilai ia telah menunaikan haknya.” [2]

Rasanya, sangatlah berat bagiku meraih surga itu mengingat betapa untuk menunaikan hak-hakmu saja begitu berat bebannya kurasa, Maka, aku hanya ingin engkau menunaikan sebagian saja dari hak-hakku agar aku bisa menunaikan hak-hakmu dengan seimbang. Semoga engkau mengerti ini, dan semoga engkau sudi menerimanya, istrimu yang lemah ini. Karena aku tahu, seperti engkau juga telah tahu, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan kepadamu selain sebagian hak-hakku semata. Bukan seluruh hak-hakku harus engkau tunaikan, sehingga betapa akan semakin berat kiranya aku menunaikan hak-hakmu.

Suamiku, sejujurnya aku katakan, bahwa kebahagiaan rumahku adalah tanggung jawabku. Menyambutmu dengan senyuman adalah rutinitas keseharianku. Ketenanganmu begitu membahagiakanku. Aku sangat suka kesuksesanmu meski hanya dengan sedikit bantuanku. Saat kutahu apa maumu, begitu ringan hidupku. Semuanya kulakukan karena aku merasa seandainya aku tidak melakukannya, hak-hakmu yang mana lagi kiranya yang kuasa kutunaikan. Maka pintaku, bantulah aku, suamiku.

Suamiku, aku tahu, sebagaimana engkau pun tahu, sholat adalah sebuah kunci surga bagiku. Maka bantulah aku, suamiku, sebagaimana aku biasa membantumu untuk bisa bersama-sama menunaikannya dengan baik dan diterima oleh-Nya subhanahu wa ta’ala.

Aku pun tahu, sebagaimana engkau juga tahu, puasa romadhan adalah satu kunci surga yang lain bagiku. Maka bantulah aku, suamiku, sebagaimana aku biasa membantumu untuk bisa bersama-sama menunaikannya dengan baik, dan semoga ibadah kita diterima oleh-Nya Subhanahu wa ta’ala.

Aku tahu sebagaimana engkau juga tahu, bahwa ragaku ini, diriku ini, hanya halal buatmu seorang. Maka pintaku ini, berilah aku sesuatu yang halal yang bisa kunikamtai sebagai nafkah lahir dan batinku. Bantulah aku berlaku pintar menunaikan hakmu, sebagaimana aku akan berusaha menjadikanmu pandai berbaik-baik kepadaku. Dengan begitu, aku berharap agar kita berkesempatan bersama menggapai ridho-Nya subhanahu wa ta’ala.

Aku juga tahu, sebagaimana engkau juga telah tahu, bahwa menaati perintah dan ajakanmu melakukan apa pun yang Allah ridhoi adalah salah satu kunci surga yang lain bagiku. Maka pintaku, bila aku tidak kuasa melakukannya, janganlah engkau murkai kekuranganku, tapi perintahlah aku dengan sesuatu yang lain aku kuasa melakukannya. Dan bila aku telah kuasa melakukan apa yang engkau perintahkan, dan aku telah memenuhi ajakanmu, jangan lupakan Dzat Yang Maha Kuasa subhanahu wa ta’ala di atas sana.

Bersyukurlah kepada-Nya sebelum kau ucapkan kata terima kasihmu padaku. Dengan begitu, aku berharap ridho-Nya dan juga ridhomu. Karena aku berharap surga-Nya. Semoga engkau memahami ini, suamiku.

Seandainya ada tinta emas dalam pena kita ini, tentu aku akan tuliskan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ini sebagai syi’ar yang lebih berarti bagiku, dan semoga akan selalu kita baca dan kita tunaikan bersama.  Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda :

“Jika seorang istri telah baik sholat lima waktunya, telah baik puasa (romadhonnya), telah baik dalam menjaga farjinya, telah baik ketaatan kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: “Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kau suka.” [3]

Suamiku, jujur aku katakan, bukan aku belum pernah mendapati bantuanmu. Bukan, bukan aku belum pernah mendapati engkau penuhi pintaku. Bukan, namun aku bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, selanjutnya kepadamu, atas semua yang telah engkau berikan sebagai kemudahan bagiku menuju ridho-Nya dan ridhomu. Aku hanya berharap menjadi istrimu yang akan menyenangkanmu di dunia juga di akhiratmu. Bantulah aku, semoga Allah memberkahi kehidupan rumah tangga kita.
Dari yang mencintaimu, Istrimu.

Catatan kaki :
[1] HR. Ahmad 4/341 dan 6/419, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohihul Jami’1509 dan ash-Shohihah 6/220.
[2] HR. Hakim dalam al-Mustadrok 2717, dan beliau mengatakan hadits ini sasadnya shohih, dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam   Shohihul Jami’ 3148.
[3] HR. Ahmad 1573, dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shohihul Jami’ 660.

Oleh : Al-Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami
Majalah al-Mawaddah edisi ke-7 tahun ke-2

thank you