Kamis, 10 Februari 2011

Bersabarlah Wahai Saudaraku

Oleh Ustadz Abu Rosyid Ash-Shinkuan
Senang, bahagia, suka cita, sedih, kecewa dan duka adalah sesuatu yang biasa dialami manusia. Ketika mendapatkan sesuatu yang menggembirakan dari kesenangan-kesenangan duniawi maka dia akan senang dan gembira. Sebaliknya ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka dia merasa sedih dan kecewa bahkan kadang-kadang sampai putus asa.
Akan tetapi sebenarnya bagi seorang mukmin, semua perkaranya adalah baik. Hal ini diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/kesenangan, dia bersyukur maka jadilah ini sebagai kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini juga menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Kriteria Orang yang Paling Mulia 
Sesungguhnya kesenangan duniawi seperti harta dan status sosial bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang. Karena Allah Ta’ala memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai-Nya. Akan tetapi Allah akan memberikan agama ini hanya kepada orang yang dicintai-Nya. Sehingga ukuran/patokan akan kemuliaan seseorang adalah derajat ketakwaannya. Semakin bertakwa maka dia semakin mulia di sisi Allah.
Allah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujurat: 13)
Jangan Sedih ketika Tidak Dapat Dunia 
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa seluruh manusia telah Allah tentukan rizkinya -termasuk juga jodohnya-, ajalnya, amalannya, bahagia atau pun sengsaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara: ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya.” (HR. Al-Bukhariy dan Muslim)
Tidaklah sesuatu menimpa pada kita kecuali telah Allah taqdirkan. Allah Ta’alaberfirman:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.Al-Hadiid: 22-24)
Kalau kita merasa betapa sulitnya mencari penghidupan dan dalam menjalani hidup ini, maka ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke surga kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya dan tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke neraka kecuali aku telah larang kalian darinya. Sungguh salah seorang di antara kalian tidak akan lambat rizkinya. Sesungguhnya Jibril telah menyampaikan pada hatiku bahwa salah seorang dari kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai disempurnakan rizkinya. Maka bertakwalah kepada Allah wahai manusia dan perbaguslah dalam mencari rizki. Maka apabila salah seorang di antara kalian merasa/menganggap bahwa rizkinya lambat maka janganlah mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya keutamaan/karunia Allah tidak akan didapat dengan maksiat.” (HR. Al-Hakim)
Maka berusahalah beramal/beribadah dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan jangan membuat perkara baru dalam agama (baca:bid’ah).
Dan berusahalah mencari rizki dengan cara yang halal serta hindari sejauh-jauhnya hal-hal yang diharamkan.
Hendaklah Orang yang Mampu Membantu 
Hendaklah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta ataupun yang punya kedudukan agar membantu saudaranya yang kurang mampu dan yang mengalami kesulitan. Allah berfirman:
Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS.Al-Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan hilangkan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan mudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Berdo’a ketika Sedih 
Jika kita merasa sedih karena sesuatu menimpa kita seperti kehilangan harta, sulit mencari pekerjaan, kematian salah seorang keluarga kita, tidak mendapatkan sesuatu yang kita idam-idamkan, jodoh tak kunjung datang ataupun yang lainnya, maka ucapkanlah do’a berikut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Tidaklah seseorang ditimpa suatu kegundahan maupun kesedihan lalu dia berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur`an sebagai musim semi (penyejuk) hatiku dan cahaya dadaku, pengusir kesedihanku serta penghilang kegundahanku.” kecuali akan Allah hilangkan kegundahan dan kesedihannya dan akan diganti dengan diberikan jalan keluar dan kegembiraan.” Tiba-tiba ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, tidakkah kami ajarkan do’a ini (kepada orang lain)? Maka Rasulullah menjawab: “Bahkan selayaknya bagi siapa saja yang mendengarnya agar mengajarkannya (kepada yang lain).” (HR. Ahmad)
Juga do’a berikut ini:
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana, sedih, lemah, malas, kikir, penakut, terlilit hutang dan dari tekanan/penindasan orang lain.” (HR. Bukhariy)
Ilmu adalah Pengganti Segala Kelezata
Di antara hal yang bisa menghibur seseorang ketika mengalami kesepian atau ketika sedang dilanda kesedihan adalah menuntut ilmu dan senantiasa bersama ilmu.
Berkata Al-Imam Al-Mawardiy: “Ilmu adalah pengganti dari segala kelezatan dan mencukupi dari segala kesenangan…. Barangsiapa yang menyendiri dengan ilmu maka kesendiriannya itu tidak menjadikan dia sepi. Dan barangsiapa yang menghibur diri dengan kitab-kitab maka dia akan mendapat kesenangan…. Maka tidak ada teman ngobrol sebaik ilmu dan tidak ada sifat yang akan menolong pemiliknya seperti sifat al-hilm (sabar dan tidak terburu-buru). (Adabud Dunya wad Diin)
Duhai kiranya kita dapat mengambil manfaat dari ilmu yang kita miliki sehingga kita tidak akan merasa kesepian walaupun kita sendirian di malam yang sunyi tetapi ilmu itulah yang setia menemani.
Contoh Orang-orang yang Sabar 
Cobaan yang menimpa kita kadang-kadang menjadikan kita bersedih tetapi hendaklah kesedihan itu dihadapi dengan kesabaran dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah, supaya Dia menghilangkan kesedihan tersebut dan menggantikannya dengan kegembiraan.
Allah berfirman mengisahkan tentang Nabi Ya’qub:
Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa.” Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya.” (QS.Yusuf: 84-86)
Allah juga berfirman mengisahkan tentang Maryam:
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.(QS.Maryam: 22-25)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang sabar dan istiqamah dalam menjalankan syari’at-Nya, amin. Wallaahu A’lam.
(Sumber: Buletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-4 Tahun ke-3/17 Desember 2004 M/05 Dzul Qo’dah 1425 H. Judul asli ‘Janganlah Bersedih Wahai Saudaraku’ Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung) http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=40

Rumahmu adalah Surgamu

Oleh: Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayid
Saudariku muslimah…
Istri shalihah percaya bahwa tempat terbaik untuk menjaga diri dari keterjerumusan ke dalam jurang kebinasaan adalah tinggal di rumahnya, karena itu ia tidak menjadi orang yang suka keluar dan pergi dari rumah.
Istri shalihah beriman terhadap firman Allah Ta’ala, yaitu perintah untuk tinggal di dalam rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tinggallah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian.” (Qs. Al Ahzaab: 33)
Makna ayat ini adalah perintah agar para wanita tetap tinggal di dalam rumah, meskipun asalnya ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallamnamun wanita selain mereka termasuk ke dalam ayat ini dari sisi maknanya.
Hal ini kalau tidak ada dalil khusus yang mencakup seluruh wanita, bagaimana? Sedangkan syariat telah menerangkan agar supaya wanita tinggal di rumah mereka dan menahan diri untuk keluar dari rumah kecuali untuk suatu yang darurat. AllahTa’ala memerintahkan kepada para istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka dan mereka menjadi orang yang dituju oleh ayat tadi secara langsung sebagai bentuk penghormatan bagi mereka.
Ibnu Katsir berkata di dalam Tafsirnya (3/482), “Tetaplah kalian di rumah kalian, janganlah keluar tanpa ada kebutuhan, di antara kebutuhan yang syar’i adalah shalat di masjid dengan berbagai syaratnya.
Muhammad bin Siriin berkata, “Saya diberitahu bahwa Saudah (istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam) pernah ditanya, “Kenapa kamu tidak haji dan juga tidak umrah seperti yang dilakukan oleh saudari-saudarimu?” Ia menjawab, “Saya sudah pernah haji dan juga pernah umrah, Allah Ta’ala memerintahkan untuk tetap tinggal di rumahku. Demi Allah, saya tidak akan keluar dari rumahku sampai mati.”
Muhammad berkata, “Demi Allah, ia tidak pernah keluar dari pintu kamarnya hingga ia keluar dalam keadaan sudah menjadi jenazah.”
Ibnul Arabi -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Sungguh saya telah memasuki beribu-ribu kampung, saya belum pernah melihat para wanita yang lebih menjaga keluarganya dan menjaga harga dirinya dari pada wanita negeri Nablus, suatu negeri yang Nabi Ibrahim pernah dilemparkan ke dalam api. Saya pernah tinggal di negeri tersebut dan saya tidak pernah melihat seorang perempuan pun di jalanan pada siang hari kecuali pada hari Jum’at, mereka keluar ke masjid pada hari Jum’at hingga masjid-masjid pun penuh sesak dengan mereka. Bila telah selesai shalat maka mereka segera kembali ke rumah mereka dan saya tidak melihat seorang perempuan pun sampai hari Jum’at berikutnya.
Al ‘Allamah Kamaluddin Al Adhami -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Tetap tinggal di rumah bagi seorang perempuan adalah gerbang kebaikan, yang memasukinya akan aman kehormatannya, jiwanya, hartanya, agamanya dan kemuliaannya. Rumah adalah tempat yang paling mulia untuk menjaga harga diri dan kehormatan, karena ia dapat menunaikan kewajiban rumah tangganya, dapat memenuhi hak suami dan anak-anaknya serta menjalankan ajaran agamanya tanpa disibukkan dengan berbagai kesibukan di luar rumah. Bahkan ia punya waktu luang untuk tetap beribadah, membaca buku-buku agama dan mempelajari akhlak yang sejati.
Saat itulah ia bisa menikmati lezatnya hidup, ia juga akan bisa menyadari bahwa kebahagiaan telah menyelimutinya. Bagaimana tidak demikian, Rabbnya telah ridha kepadanya, suaminya puas dengannya karena ia menjalankan semua yang menjadi kewajibannya. Kebahagiaan mana lagi yang lebih besar bagi seorang perempuan dari pada keridhaan Rabbnya dan kepuasan suaminya.
Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang suka keluar dan pergi dari rumahnya, perempuan yang tidak betah tinggal di rumahnya walau sesaat. Bahkan sukanya pergi kesana kemari baik malam maupun siang hari. Berkumpul dan berbaur dengan semua orang tanpa melihat apakah itu mahram atau bukan, halal atau haram. Bila pulang ke rumahnya maka kepalanya sudah penuh berbagai macam tuntutan dan permintaan karena pengaruh apa yang dilihat dan disaksikannya. Lalu ia meminta uang kepada suaminya dan kadang keadaan suaminya tidak mampu memenuhi permintaannya maka mulailah menyala api perselisihan di antara keduanya. Lantas ia pun tidak peduli dengan urusan rumahnya, pendidikan anak-anaknya, tidak menjalankan kewajiban terhadap Rabbnya juga terhadap suaminya. Ia pun melecehkan buku-buku agama dan adab jika ia bisa membaca dan menulis, bahkan ia konsentrasi untuk membaca buku murahan dan buku-buku vulgar, bila dinasihati oleh suaminya maka ia berbangga dengan dosa yang dilakukannya malah ia akan menyerang balik dengan mencaci dan mencelanya.
Pada setiap saat kamu mendapatinya sesak dadanya, picik pemikirannya dan inilah balasannya dengan sebab apa yang diperbuatnya. Allah Ta’ala telah berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaha: 124)
Itu semua adalah akibat keluar dari rumah dan tidak adanya keterikatan dengan hukum syar’i. Dampak negatif keluar dari rumah dan tidak menetap di dalamnya yang pertama kali nampak adalah melecehkan dan meremehkan kenikmatan yang ada padanya, menganggap suaminya dengan sebelah mata karena ia telah melihat kehidupan yang lebih enak dari pada yang dialaminya dan mulailah ia mencela suaminya, apalagi kalau suaminya lebih tua atau terlambat memberikan nafkahnya.
Lalu akan merangkaklah bibit pertengkaran dan percekcokan yang kadang bisa mengantarkan kepada perceraian dan perpisahan, dan pada saat itulah rumah tangganya menjadi berantakan dan hidupnya menjadi hancur.
Perempuan yang tetap tinggal di rumahnya, akan kamu lihat ia berada dalam puncak kenikmatan dan berdampingan dengan suaminya yang terbaik. Matanya tidak jelalatan kepada selain suaminya, ia tidak mengingkari kenikmatan yang diberikan oleh suaminya walau pun sedikit. Tidak ada celah bagi setan untuk menciptakan perselisihan di antara keduanya. Keduanya hidup bersama dengan penuh kebahagiaan dan kecerahan hidupnya diridhai, semua itu adalah berkah dari tetap tinggalnya seorang perempuan di rumahnya.
Saudariku muslimah…
Islam menghendaki seorang istri shalihah berada dalam keadaan yang sangat baik, jauh dari keragu-raguan dan syubhat-syubhat.
Karena itu bila memang ada kebutuhan yang mendesak untuk keluar maka hendaknya ia keluar dengan memakai hijab (pakaian penutup aurat), berjalan dengan sopan, menundukkan mata dan menghindari jalan bagian tengah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ لِلنِّسَاءِ وَسَطُ الطَّرِيْقِ
“Tidak boleh bagi wanita berjalan di jalan bagian tengah.” Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (7/447), Ad-Daulabi (1/45), Al Baihaqi (7821, 7823) dalam kitabSyu’abul Iman dan ada beberapa penguatnya
Wanita shalihah berjalan di bagian pinggir jalan bukan di tengahnya, karena berjalan di tengah jalan merupakan sebab dirinya menjadi sasaran pandang kaum lelaki, lalu berjalannya tersebut menghilangkan kewibawaan dirinya dan penghormatan kepadanya.
Adapun wanita yang berjalan di pinggir jalan jauh dari bagian tengahnya, maka ia telah mengurangi sorotan pandangan lelaki dan menjauhkan penilaian negatif terhadap dirinya. Ia keluar dari rumahnya dengan memakai hijabnya, berjalan dengan penuh penghormatan, jauh dari segala hal yang bisa mendatangkan syubhat.
Saudariku muslimah…
Maksud dari hadits ini bukan seperti yang banyak disangka oleh sebagian besar muslimah bahwa maksud dari hadits ini adalah membatasi ruang gerak seorang perempuan atau mengurangi peranannya, sesungguhnya maksudnya adalah untuk mengatur bagaimana seorang perempuan keluar dari rumahnya.
Hukum asalnya seorang perempuan adalah tinggal di rumahnya, memikirkan urusan rumahnya dan tidak keluar kecuali dalam keadaan darurat saja. Kalaulah seorang perempuan ingin bekerja maka harus pada hal-hal yang dibolehkan oleh syariat yang lurus ini berupa pekerjaan-pekerjaan yang memang khusus bagi kaum hawa.
Adapun seorang perempuan keluar dari rumahnya dengan berpenampilan tabarruj (berdandan dan tidak menutup aurat), berkeliaran di jalan-jalan, bercampur-baur dengan lelaki dengan anggapan bahwa ia sedang bekerja dan berusaha maka perkara ini memerlukan pemikiran yang panjang. Seorang perempuan mestinya intropeksi diri dan menimbang-nimbang pekerjaannya. Kemanakah perginya agama dia karena sebab ngobrol dengan lelaki dalam perkara yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanya??
Bahkan kemanakah perginya pekerjaannya yang semestinya seorang perempuan berlomba-lomba untuk bisa memberikan manfaat kepada anak-anak generasi kaum muslimin atau untuk kaum hawa sejenisnya?
Sesungguhnya seorang istri pada saat ini menganggap bahwa pekerjaan merupakan sarana untuk mencukupi dirinya dan dunianya, menurut kadar pemahaman agamanya yang lemah.
Lalu bagaimana keadaanmu wahai para istri dan saudariku muslimah?
Andai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat keadaan wanita saat ini dan melihat perbuatan mereka yang sia-sia di jalanan juga melihat pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh wanita saat ini, apakah yang akan dikatakan oleh BeliauShallallaahu ‘alaihi wasallam?!!
Ibu kita, Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Andai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita saat ini, tentulah beliau tidak akan mengizinkan mereka untuk keluar, yakni keluar ke masjid untuk shalat.”
Perkataan beliau ini diucapkan tak selang lama setelah wafat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lantas bagaimana keadaan para wanita pada zaman kita ini yang sangat jauh dari zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan telah lewat lima belas abad dari masa Beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam?!
Wahai para wanita yang ingin mencapai martabat Istri shalihah
Wahai para wanita yang menginginkan kebahagian rumah tangga
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabb-mu
Disadur dan diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu Muqbil Ahmad Yuswaji dari kitab Linnisaa Faqath, Az-Zaujah Ash-Shalihah
Sumber: Majalah As-Salam no IV/ Tahun II-2006M/1427H
(Sumber URL: http://www.ahlussunnah-jakarta.org/detail.php?no=171, http://ghuroba.blogsome.com)

Apakah Sah Shalat Wanita dengan Memakai Niqab dan Kaos Tangan?

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah wanita boleh melakukan shalat dalam keadaan memakai kaos tangan tanpa ada laki-laki yang bukan mahramnya hadir di sisinya?
Maka beliau menjawab: Kaos tangan adalah pakaian tangan dan wanita haram memakainya ketika ihram, karena Nabi -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لا تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلا تَلْبَسُ الْقَفَازِيْنَ
“Wanita yang ihram tidak memakai niqab (tutup muka) dan tidak memakai kaos tangan.”
Maka wanita diharamkan memakai kaos tangan ini ketika dalam ihram. Tetapi ketika ia tidak ihram atau shalat dan di sekitarnya tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya maka yang lebih utama dia melepaskannya dari tangannya supaya dia dapat menyentuhkan langsung kedua tangannya di tempat shalat.
Sepantasnya pula ketika di sekitarnya adalah laki-laki agar dia menutup wajahnya dari mereka, lalu ketika dia sujud hendaknya membuka wajahnya karena seseorang sujud di atas sesuatu yang bersambung dengan dirinya seperti pakaian dan kerudung wanita dimakruhkan kecuali karena ada hajat. Dalilnya adalah perkataan Anas bin Malik -radhiyallâhu ‘anhu-:
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ، فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمْكِنَ جَبْهَتُهُ مِنَ الأَرْضِ بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ
“Kami shalat bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi sangat panas. Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah, maka ia membentangkan pakaiannya lalu sujud di atasnya.”
Perkataan: “Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah”, menunjukkan bahwa hal ini tidak dilakukan kecuali darurat.
(Dinukil dari فتاوى المرأة المسلمة كل ما يهم المرأة المسلمة في شؤون دينها ودنياها (Wanita Bertanya Ulama Menjawab, Kumpulan Fatwa tentang Wanita I), hal. 157-158, penyusun: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin ‘Abdul Wahhab, penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin, penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1 Muharram 1427H/Februari 2006M, untuk http://akhwat.web.id)
thank you