Minggu, 29 Agustus 2010

Ramadhan Doa Berbuka Puasa yang Shahih

Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.
Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.
Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat
Lafazh pertama:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalamShahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.
Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]
Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang 
mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.
Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]
Lafazh kedua:

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”
Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.
Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini
Do’a pertama:
Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]
Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”
Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebutshahih)
Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.
Do’a kedua:
Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ashradhiyallahu ‘anhuma adalah,

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ
“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai 
hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]

[1] Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shaum, Bab al-Qaul ‘inda al-Ifthar, hadits no. 2358.
[2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, hlm. 74-75.
[3] Lihat Irwaul Gholil, 4/38-
ed.
[4] Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38-
ed.
[5] Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45-
ed.
[6] Mirqotul Mafatih, 6/304-
ed.
[7] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.
[8] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 177.
Referensi:
Irwaul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, cetakan kedua, 1405 HMirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Mala ‘Ali Al Qori, Asy Syamilah.Syarah Hisnul Muslim, Majdi bin ‘Abdul Wahhab al-Ahmad, Disempurnakan dan Dita’liq oleh Penulis Hisnul Muslim (Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani).Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Syekh Muhammad Nashirudin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://s203841464.onlinehome.us/waqfeya/books/22/32/sdsunnd.rar)Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, Syekh Abdullah Muhammad al-Hamidi, Dar Ibnu Hazm, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/0/items/waq57114/57114.pdf)Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Tahqiq: Syaikh ‘Abdul Qodir ‘Arfan, Darul Fikr, cetakan pertama, 1424 H (jilid kedua).
Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel 
Muslimah.or.id

Kumpulan Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Qodho Puasa

1. Qodho  (Mengganti) Puasa yang Tertunda
Soal:
Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang.  Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?

Jawab:
Wajib bagimu melakukan tiga perkara:
Pertama: Taubat kepada Allah Ta’ala dari kesalahan ini (menunda-nunda qodho’ puasa) serta menyesali perbuatan ini dan bertekad untuk tidak mengulanginya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“…Dan bertaubatlah kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” 
(QS. an-Nur [24]:31)
Sedangkan menunda kewajiban ini adalah maksiat dan bertaubat kepada Allah Ta’ala adalah wajib.
Kedua: Segera berpuasa sesuai dengan yang diyakini, karena Allah tidak membebani hamba melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Karenanya, yang engkau yakini bahwasannya engkau meninggalkan hari-hari yang menjadi tanggunganmu, itulah yang engkau bayar. Apabila kamu meyakini sepuluh hari, maka hendaklah puasa sepuluh hari, dan jika engkau meyakini bahwasannya itu lebih atau kurang, maka hendaklah engkau berpuasa sesuai dengan keyakinanmu itu. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Allah tidak membebani hamba kecuali dengan kesanggupannya…” (Qs. al-Baqarah [2]:286)
dan firman Allah Ta’ala:
“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian…”
 (Qs. at-Taghabun [64]:6)
Ketiga: Memberi makan seorang fakir miskin setiap harinya jikalau engkau mampu melakukannya dengan memberikan semuanya walaupun kepada satu orang miskin. Adapun jika engkau tidak mampu, maka tidak mada kewajiban apapun bagimu selain puasa dan taubat. Dan memberi makan yang wajib kepada setiap harinya ½ sha’ dari makanan pokok suatu daerah dan ukurannya 1½ kg bagi orang yang mampu.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz)
2. Tidak Membayar Puasa  Karena Melahirkan
Soal:
35 tahun yang lalu, saya melahirkan pada bulan Ramadhan. Kemudian dua tahun berikutnya, saya melahirkan pada bulan Ramadhan juga, dan saya tidak berpuasa melainkan hanya 10 hari. Dan sekarang saya seorang wanita yang berusia lanjut dan sakit-sakitan. Apakah yang harus saya lakukan?
Jawab:
Apabila engkau telah sembuh, wajib bagimu berpuaswa pada hari yang engkau tinggalkan, baik pada Ramadhan pertama atau yang kedua disertai memberi makan kepada fakir miskin pada setiap harinya (jika engkau memang meremehkan permasalahan membayar puasa ini, padahal engkau mampu).
Adapun kewajiban memberi makan fakir miskin untuk setiap harinya ½ sha’ berupa kurma atau beras dari makanan pokok suatu daerah atau 1½ kg dengan timbangan, dengan memberikannya kepada fakir miskin baik satu ataupun dua orang ataupun keluarga fakir miskin. Itu semua cukup bagimu, disertai dengan berpuasa dan bertaubat.
Adapun jika engkau menunda qodho’ Ramadhan karena sakit tanpa disertai unsur peremehan, maka wajib bagimu membayar puasa yang engkau tinggalkan itu dan tidak ada kewajiban memberi makan fakir miskin dikarenakan engkau mendapatkan udzur syar’i, berdasarkan firman Allah:
“…Barangsiapa yang sakit atau melakukan perjalanan jauh, hendaklah mengganti pada hari-hari yang lain…” (Qs. al-Baqarah [2]:85)
3. Berpuasa Setelah Suci dari Nifas
Soal:
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari. Kemudian (ternyata) darah itu keluar lagi. Apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa hari tersebut dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan?
Jawab:
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum 40 hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum 40 hari, maka puasanya sah. Dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari ketika darah itu keluar lagi karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna 40 hari.
Dan jika telah mencapai 40 hari, maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena 40 hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama. Dan setelah itu, hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada wanita yang mustahadhah (mengluarkan darah istihadhah) dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah 40 hari walaupun ia masih mengeluarkan darah, karena darah dan kondisi yang demikian adalah darah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa serta tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya pada saat itu. Akan tetapi jika keluarnya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap darah haidh.
(Kitab ad Da’wah, Syaikh ibn Baz)
4. Tidak Mampu Meng-qadha Puasa
Soal:
Saya seorang wanita yang sakit. Saya tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan  yang lalu dan karena sakit yang saya alami, saya tidak dapat mengqadha puasa. Apa yang harus saya laukan sebagai kaffarah-nya? Dan saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang harus saya lakukan?
Jawab:
Orang sakit yang menyebabkan sulit baginya untuk berpuasa disyariatkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kesembuhan, maka ia harus mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah [2]: 185)
Dan anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang sakit serta bagi orang sedang dalam perjalanan (musafir). Dan Allah Subhananhu wa Ta’ala suka jika rukhshah-Nya dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.”
(Fatawa ash-Shiyam)
Maraji’:
  1. Majalah Al Furqon Edisi 4 Dzul Qo’dah 1427 H
  2. Majalah Al Furqon Edisi 2 tahun V 1426 H
  3. Majalah Nikah edisi khusus, Volume 3 tahun 2004
  4. Majalah Nikah edisi kusus, Volume 4 no. 7 tahun 2005
***
Dipublikasikan oleh www.muslimah.or.id

Bila Mendapati Haidh Di Tengah Puasa


Kita sudah ketahui bersama bahwa apabila wanita mendapati haidh maka ia tidak boleh puasa atau puasanya batal dan ia pun harus mengqodho’ di hari lainnya selepas Ramadhan. Lantas apa yang mesti dilakukan, jika wanita muslimah mendapati haidh di tengah-tengah ia berpuasa? Puasanya jelas batal, apakah ia tetap menahan diri dari makan dan minum hingga terbenam matahari?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa yang mesti dilakukan oleh wanita haidh dan nifas jika ia telah suci di pertengahan Ramadhan, begitu pula bagi musafir jika ia tidak lagi bersafar di siang hari?”
Beliau rahimahullah menjawab,
Dalam permasalahan ini ada dua pendapat:
Pertama: Wanita haidh dan nifas wajib menahan diri (dari pembatal puasa seperti makan dan minum, pen) dan juga mereka wajib mengqodho’ puasanya. Adapun alasan kenapa harus tetap menahan diri (dari pembatal puasa hingga sore hari, pen) karena sudah tidak adanya lagi halangan untuk tidak berpuasa. Adapun qodho’ tetap ada karena mereka tidak ada niat berpuasa sejak pagi hari.
Kedua: Wanita haidh dan nifas tetap wajib qodho’ puasa namun tidak ada keharusan menahan diri (dari pembatal puasa seperti makan dan minum, pen). Alasannya karena waktu siang bukanlah waktu terlarang bagi wanita haidh dan nifas. Jadi mereka boleh tidak puasa di awal siang secara lahir dan batin. Begitu pula karena menahan diri dari pembatal puasa (semisal menahan diri dari makan dan minum, pen) tidak bermanfaat sama sekali untuk mereka.
Hal ini berlaku pula untuk musafir, yaitu boleh baginya tidak berpuasa di awal siang secara lahir dan batin (artinya ketika ia tidak bersafar lagi di awal siang, ia boleh untuk makan dan minum, tidak mesti berpuasa hingga sore hari, pen). Pendapat kedua inilah yang rojih (terkuat).
Yang terkait dengan permasalahan di atas adalah orang sakit yang sembuh di pertengahan siang. Ia pun berlaku hal yang sama.1
***
Penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di atas menunjukkan bahwa wanita haidh dan nifas jika mereka suci di pertengahan siang bisa langsung untuk makan dan minum ketika itu, tanpa mesti menahan diri dari makan dan minum (artinya berpuasa) hingga sore hari. Karena berpuasa pun tidak ada manfaatnya. Begitu pula hal ini berlaku untuk musafir yang tiba dari safar di siang hari dan orang yang sakit lalu sembuh di siang hari.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
***
Muhammad Abduh Tuasikal

Buah Kejujuran





Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan bahwa suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemboncengkan Mu’adz di atas seekor binatang tunggangan (keledai bernama ‘Ufair). Nabi berkata, “Hai Mu’adz.”Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi berkata, “Hai Mu’adz.”Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Sampai tiga kali. Nabi pun bersabda, “Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah secara jujur dari dalam hatinya kecuali Allah pasti akan mengharamkan dia dari tersentuh api neraka.” Mu’adz berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya menyampaikan kabar ini kepada orang-orang agar mereka bergembira?”. Beliau menjawab, “Kalau hal itu disampaikan, nantinya mereka justru bersandar kepadanya (malas beramal)?”. Menjelang kematiannya, Mu’adz pun menyampaikan hadits ini karena khawatir terjerumus dalam dosa (menyembunyikan ilmu) (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Fath al-Bari [1/273] dan Syarh Muslim [2/73-76], ini adalah lafaz Bukhari)
Hadits yang agung ini menyimpan pelajaran penting, di antaranya:
  1. Diperbolehkan mengkhususkan suatu bagian dari ilmu kepada sekelompok orang tanpa memberitahukannya kepada kepada kelompok lainnya karena dikhawatirkan mereka tidak bisa memahaminya yang mengakibatkan mereka terjatuh dalam kekeliruan (lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-’Ilm, hal. 43)
  2. Dianjurkan untuk memberi nama pada binatang tunggangan atau kendaraan yang dimiliki (lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jihad wa as-Siyar, hal. 601)
  3. Diperbolehkan seseorang untuk membonceng kepada orang lain -berdua- di atas seekor keledai atau kendaraannya, dengan syarat tidak menyulitkan bagi hewan atau kendaraan tersebut (lihat Shahih al-Bukhari,Kitab al-Libas, hal. 1233, Fath al-Bari [11/384], al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/33])
  4. Yang dimaksud dengan bersaksi ‘secara jujur dari dalam hatinya’ adalah dia mengucapkan syahadat tersebut dengan tulus, tidak sebagaimana syahadatnya kaum munafikin yang dilandasi dengan kedustaan dan kepura-puraan. Artinya orang tersebut mengucapkan syahadat itu dengan lisannya dan hatinya pun membenarkan isinya (lihat Fath al-Bari [1/274])
  5. Hadits ini menunjukkan bahwa salah satu syarat diterimanya syahadat adalah harus diucapkan dengan jujur, bukan pura-pura atau dilandasi dengan keudustaan (lihat at-Tanbihat al-Mukhtasharah Syarh al-Wajibat, hal. 51-52)
  6. Hadits ini menunjukkan ketawadhu’an Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Fath al-Bari [11/384])
  7. Hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’adz bin Jabal dan kelembutan adabnya dalam bertutur kata (lihat Fath al-Bari [11/384])
  8. Hadits ini juga menunjukkan kedekatan hubungan antara Mu’adz dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihatFath al-Bari [11/384])
  9. Hadits ini juga menunjukkan kedalaman ilmu Mu’adz bin Jabal yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengkhususkan ilmu -yang membawa resiko berat- ini kepada dirinya (lihat Fath al-Bari [1/275])
  10. Dianjurkan untuk mengulangi ucapan -ketika mengajar- dalam rangka memberikan penegasan dan menanamkan pemahaman dengan sebaik-baiknya (lihat Fath al-Bari [11/384])
  11. Sebagian ulama menjelaskan bahwa dari hadits ini juga bisa dipetik pelajaran tidak bolehnya mempopulerkan hadits-hadits tentang rukhshah/keringanan kepada masyarakat umum karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman dalam diri mereka (lihat Fath al-Bari [11/384])
  12. Hadits ini menunjukkan bahwa intisari dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah tabaraka wa ta’ala (lihat Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tauhid, hal. 1467)
  13. Hadits ini menunjukkan dianjurkan untuk menyampaikan sesuatu yang bisa menggembirakan hati sesama muslim (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/31])
  14. Larangan bersandar kepada keluasan rahmat Allah yang menyebabkan tumbuhnya perasaan aman dari makar Allah (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/31])
  15. Hadits ini menunjukkan wajibnya menyampaikan ilmu dan menyembunyikannya merupakan perbuatan dosa (lihatFath al-Bari [1/275])
  16. Hadits ini menunjukkan bahwa seorang murid boleh meminta penjelasan tambahan kepada gurunya akan sesuatu yang terasa meragukan atau belum mapan di dalam pikirannya (lihat Fath al-Bari [1/275])
  17. Hadits ini juga menunjukkan semestinya seorang murid meminta ijin kepada gurunya yang telah mengajarkan kepadanya suatu ilmu khusus yang tidak diberikan kepada selainnya apabila akan menyebarkan ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/275])
  18. Tindakan Mu’adz menyampaikan hadits ini menjelang kematiannya setelah adanya larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa Mu’adz memahami larangan tersebut bukan mengandung hukum haram, akan tetapi dalam rangka menyelamatkan sebagian orang dari kesalahpahaman (lihat Fath al-Bari [1/275])
  19. Hadits ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Beliau berusaha keras untuk menutup segala celah yang mungkin mengantarkan mereka menuju kehancuran. Di antaranya adalah upaya beliau agar umatnya tidak salah paham dalam menyikapi hadits-hadits yang menceritakan keutamaan tauhid.
  20. Hadits ini juga -secara tidak langsung- menunjukkan keutamaan ilmu agama dan kepahaman di dalamnya. Karena dengan pemahaman yang benar akan membentengi seseorang dari kekeliruan bersikap dan mengambil tindakan.
  21. Hadits ini menunjukkan bahwa pemahaman tauhid yang benar tidak akan membawa pemiliknya untuk bersandar kepada rahmat Allah semata dan merasa aman dari makar-Nya. Justru sebaliknya, kita temukan bahwa orang-orang yang telah diakui ketauhidannya dan menjadi teladan di dalamnya adalah sosok manusia yang sangat khawatir terjerumus ke dalam kemusyrikan dan kemunafikan. Lihatlah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim‘alaihis salam“Ya Allah jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung.” (QS. Ibrahim: 35). Dan lihatlah para sahabat yang merasa khawatir dirinya terjangkit kemunafikan… Lalu bagaimanakah lagi dengan keadaan kita yang baru belajar tauhid kemarin sore?! Nas’alullahas salamah.
  22. Hadits ini juga menunjukkan betapa besar semangat generasi salaf dalam menyebarkan ilmu, bahkan meskipun di saat-saat menjelang kematian mereka!
  23. Hendaknya seorang da’i memperhitungkan maslahat dan madharat dari metode dakwah yang dia jalankan. Tidak semua kebenaran harus disampaikan dalam satu waktu dan kesempatan. Bisa jadi yang terbaik adalah menunda penyampaiannya di waktu yang lain demi mengantisipasi madharat yang lebih besar
  24. Pemahaman tauhid yang benar akan mengantarkan seseorang untuk bersemangat dalam beramal demi menggapai kedekatan diri dengan-Nya dan agar dirinya bisa menjadi seorang hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Tidakkah kita ingat keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -manusia terhebat dalam mewujudkan tauhid-? Ternyata, beliau tidak bermalas-malasan, bahkan beliau sholat malam sampai telapak kakinya pecah-pecah!! Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita di hari ini ayyuhal ikhwahAllahumma arinal haqqa haqqa warzuqnat tiba’ah, wa arinal bathila bathila warzuqna jtinabah … Aduhai, betapa sering muncul anggapan bahwa kita telah paham tauhid, namun kenyataannya kita adalah orang yang paling bodoh tentangnya.Wallahul muwaffiq.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
thank you