Selasa, 19 April 2011

AT TAUHID TAHUN V Akal dan Agama Mana Yang Mengatakan “Ngebom” Itu Jihad?

At Tauhid edisi V/31
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Beberapa tahun yang silam pernah terjadi pengeboman dan perusakan di kota Riyadh, saat itulah Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr angkat suara, “Alangkah miripnya kata tadi malam dengan semalam. Sesungguhnya peristiwa pemboman dan perusakan di kota Riyadh dan senjata-senjata lain yang digunakan di kota Makkah maupun Madinah pada awal tahun ini (1424 H, sekitar tahun 2003) merupakan hasil rayuan setan yang berupa bentuk meremehkan atau berlebih-lebihan dalam beragama. Sejelek-jeleknya perbuatan yang dihiasi oleh setan adalah yang mengatakan bahwa pengeboman dan perusakan adalah bentuk jihad. Akal dan agama mana yang menyatakan membunuh jiwa, memerangi kaum muslimin, memerangi orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, membuat kekacauan, membuat wanita-wanita menjanda, menyebabkan anak-anak menjadi yatim, dan meluluhlantakkan bermacam bangunan sebagai jihad[?]”
Hal yang sama terjadi di tengah-tengah kita beberapa waktu yang lalu. Akibat bom yang diduga bom bunuh diri, akhirnya meluluhlantakkan dua buah hotel yang dihuni oleh non muslim, namun tidak sedikit pula orang muslim yang jadi korban. Pada tulisan yang singkat ini, kami akan membuktikan apakah betul ngebom atau bom bunuh diri semacam itu bisa termasuk jihad. Padahal di dalamnya terdapat beberapa pelanggaran dilihat dari dalil syar’i yaitu membunuh sesama muslim, melakukan bunuh diri dan juga membunuh orang kafir yang melakukan perjanjian dengan kaum muslimin. Silakan simak tulisan selanjutnya.
Beratnya Hukuman Pembunuhan Menurut Syariat Sebelum Islam
Allah Ta’ala berfirman mengenai kedua anak Adam yang saling membunuh (yang artinya), “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah. Maka jadilah ia seorang di antaraorang-orang yang merugi.” (QS. Al Maidah: 30)
Begitu pula hukuman keras bagi Bani Israel yang membunuh seorang manusia, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32)
Membunuh Seorang Muslim Tanpa Melalui Jalan yang Benar
Membunuh seorang muslim adakalanya dengan cara yang dibenarkan dan adakalanya tidak demikian. Membunuh dengan cara yang dibenarkan adalah jika pembunuhan tersebut melalui qishash atau hukuman had. Sedangkan membunuh tidak dengan cara yang benar bisa saja secara sengaja atau pun tidak.
Mengenai pembunuhan dengan cara sengaja, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa’: 93)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2439, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya penduduk langit dan bumi bersekongkol untuk membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka.” (HR. At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2442, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi)
Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang mukmin lalu dia bergembira dengan pembunuhan tersebut, maka Allah tidak akan menerima amalan sunnah juga amalan wajibnya.” (HR. Abu Daud. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2450, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih. Lihat Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, 6/252)
Adapun untuk pembunuhan terhadap seorang mukmin secara tidak sengaja, maka Allah telah memerintahkan untuk membayar diat dan kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisaa’: 92)
Mengenai Seorang Muslim yang Bunuh Diri
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisa’: 29-30)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contohnya adalah orang yang mati bunuh diri karena mencekik lehernya sendiri atau mati karena menusuk dirinya dengan benda tajam. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.” (HR. Bukhari no. 1365)
Hukum Membunuh Orang Kafir
Orang-orang kafir yang haram untuk dibunuh adalah tiga golongan:
  1. Kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah/upeti yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin).
  2. Kafir mu’ahad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati).
  3. Kafir musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin).
Sedangkan orang kafir selain tiga di atas yaitu kafir harbi, itulah yang boleh diperangi. Berikut kami tunjukkan beberapa dalil yang menunjukkan haramnya membunuh tiga golongan kafir di atas secara sengaja.
[Larangan Membunuh Kafir Dzimmi yang Telah Menunaikan Jizyah]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”(HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Larangan Membunuh Kafir Mu’ahad yang Telah Membuat Kesepakatan untuk Tidak Berperang]
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad tanpa melalui jalan yang benar”. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)
[Larangan Membunuh Kafir Musta’man yang telah mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)
Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzimmah kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun) ”. (HR. Bukhari dan Muslim)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dzimmah dalam hadits di atas adalah jaminan keamanan. Maknanya bahwa jaminan kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui). Oleh karena itu, siapa saja yang diberikan jaminan keamanan dari seorang muslim maka haram atas muslim lainnya untuk mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam jaminan keamanan.” (Syarh Muslim, 5/34)
Adapun membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian dengan kaum muslimin secara tidak sengaja, Allah Ta’alatelah mewajibkan adanya diat dan kafaroh sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisaa’: 92)
Setelah kita melihat pembahasan di atas, pantaskah kita mengatakan bahwa perbuatan ngebom atau bom bunuh diri, lalu yang menjadi korban adalah saudara sesama muslim atau orang non muslim yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, apakah ini semua dapat disebut JIHAD[?] Semoga Allah selalu member taufik dan hidayah kepada kita semua untuk memahami agama ini dengan benar dan semoga Allah menunjuki kita kepada jalan yang lurus. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Penampilan Seperti Ini Bukanlah Teroris

Setelah peristiwa pengeboman Mega Kuningan 17 Juli 2009, polisi mulai melancarkan operasi penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris. Seperti kemarin baru saja kita saksikan  penyergapan di Jatiasih dan Temanggung yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Dalam penyergapan tersebut diduga bahwa kepolisian telah berhasil menewaskan pelaku teroris nomor satu di negeri ini yaitu Noordin M Top, yang berkewanegaraan Malaysia. Di samping itu, kita lihat di beberapa tempat polisi juga melakukan raziah dengan tujuan untuk mencari orang-orang yang diduga teroris.
Namun bukanlah peristiwa ini yang kami sayangkan. Yang kami risaukan adalah tanggapan masyarakat saat ini mengenai orang-orang yang berpenampilan sama dengan pelaku-pelaku pengeboman. Sejak masa Amrozi dan Ali Imron dulu, sebagian orang memiliki anggapan bahwa orang-orang yang berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki adalah orang-orang yang sekelompok dengan Noordin cs. Atau istri-istri mereka yang mengenakan cadar dituduh sebagai istri para teroris. Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami ingin sekali memberikan penjelasan kepada kaum muslimin bahwa tidak setiap orang yang berpenampilan sama itu memiliki kesamaan dalam tingkah laku. Jadi, belum tentu orang yang berpenampilan dengan celana di atas mata kaki atau berjenggot adalah teroris atau temannya teroris atau sekomplotan dengan teroris. Tidak otomatis dari penampilan semata seseorang bisa dituduh teroris. 
Semoga setiap muslim yang membaca artikel ini mendapatkan pencerahan dan mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala.

Mengenai Penutup Wajah (Cadar)
Perlu diketahui bahwasanya menutup wajah itu memiliki dasar dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah mustahab (dianjurkan). Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para wanita, “Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, Al Baihaqi, Ahmad dari Ibnu Umar secara marfu’ –yaitu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan surat An Nur ayat 59 berkata, ”Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukkan bahwamereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”
Sebagai bukti lainnya juga, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ummahatul Mukminin (Ibunda orang mukmin yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah : Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, ”Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.” (HR. Ibnu Sa’ad)
Jadi, lihatlah bahwa para istri Nabi juga para sahabat sudah terbiasa menggunakan penutup wajah. Mungkin kaum muslimin saat ini saja yang merasa asing dan aneh dengan penampilan semacam itu.

Mengenai Jenggot
Dari Anas bin Malik –pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur 40 tahun, lalu tinggal di Makkah selama 10 tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama 10 tahun pula, lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya hanya terdapat 20 helai rambut yang sudah putih.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, Muhammad Nashirudin Al Albani, hal. 13, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)
Lihatlah saudaraku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat di atas dengan sangat jelas terlihat memiliki jenggot. Lalu pantaskah beliau dikatakan sebagai biang kerok berbagai bom terror sebagaimana yang dikatakan pada Noordin M Top dan Amrozi?! Semoga lidah dan lisan kita tidak mengeluarkan perkataaan semacam ini.

Mengenai Celana Di Atas Mata Kaki
Celana di atas mata kaki juga termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya.
Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata: Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkataSesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai  teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Dari penjelasan yang dipaparkan di atas, kami rasa sudah cukup jelas bahwa penampilan berjenggot, bercadar bagi muslimah dan berpenampilan dengan celana di atas mata kaki adalah termasuk ajaran Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pantaskah orang yang mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan teroris atau biang kerok pengeboman atau dikatakan komplotannya Noordin M Top? Atau pantaskah pula dikatakan kepada orang yang memakai cadar dengan panggilan ‘ninja’ atau istri teroris; atau kepada orang yang celananyacingkrang (di atas mata kaki) dengan sebutan ‘celana kebanjiran’; atau orang yang berjenggot disebut ‘kambing’?  Padahal di sana, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpenampilan berjenggot dan celananya di atas mata kaki. Begitu pula istri-istri beliau adalah istri-istri yang menutup wajah mereka dengan cadar.

Perhatikanlah suadaraku, sesungguhnya karena lisan seseorang bisa terjerumus dalam jurang kebinasaan. Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no.7673)

Janganlah Mengolok-olok Orang yang Mengikuti Ajaran Nabi
Tidak diragukan lagi bahwa mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syari’at-Nya termasuk dalam kekafiran sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah [9] : 65-66).
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar dan faqih di Saudi Arabia pernah ditanyakan, ”Apakah termasuk dalam dua ayat yang disebutkan sebelumnya (yaitu surat At Taubah ayat 65-66, pen) bagi orang-orang yang mengejek dan mengolok-olok orang yang memelihara jenggot dan yang komitmen dengan agama ini?”
Beliau rahimahullah menjawab, ”Mereka yang mengejek orang yang komitmen dengan agama Allah dan yang menunaikan perintah-Nya, jika mereka mengejek ajaran agama yang mereka laksanakan, maka ini termasuk mengolok-olok mereka dan mengolok-olok syari’at (ajaran) Islam. Dan mengolok-olok syari’at ini termasuk kekafiran.
Adapun jika mereka mengolok-olok orangnya secara langsung (tanpa melihat pada ajaran agama yang dilakukannya baik itu pakaian atau jenggot), maka semacam ini tidaklah kafir. Karena seseorang bisa saja mengolok-olok orang tersebut atau perbuatannya. Namun setiap orang seharusnya berhati-hati, jangan sampai dia mengolok-olok para ulama atau orang-orang yang komitmen dengan Kitabullah dan Sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul ‘Aqidah, hal. 120)

Kisah-Kisah Orang Yang Meremehkan Ajaran Nabi
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur [24] : 63)
Berikut kami akan membawakan dua kisah tentang orang yang meremehkan atau tidak mau mengindahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akibat yang mereka peroleh di dunia. Kisah pertama kami bawakan dari Sunan Ad Darimi pada Bab ‘Disegerakannya hukuman di dunia bagi orang yang meremehkan perkataan Nabi dan tidak mengagungkannya’.
Abdurrahman bin Harmalah mengatakan, ”Seorang laki-laki datang menemui Sa’id bin Al Musayyib untuk menitipkan sesuatu karena mau berangkat haji dan umroh. Lalu Sa’id mengatakan kepadanya, ”Janganlah pergi, hendaklah kamu shalat terlebih dahulu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan kecuali orang munafik atau orang yang ada keperluan dan ingin kembali lagi ke masjid.
Lalu orang ini mengatakan,”(Tetapi) teman-temanku sedang menunggu di Al Harroh.” Lalu dia keluar (dari masjid). Belum lagi Sa’id menyayangkan kepergiannya, tiba-tiba dikabarkan orang ini telah jatuh dari kendaraanya sehingga pahanya patah.” [Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan]
Kisah kedua diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shohihnya. Dari Ikrimah bin ‘Ammar, (beliau berkata) Iyas bin Salamah bin Al Akwa’ telah berkata bahwa ayahnya mengatakan kepadanya (yaitu) ada seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, ”Makanlah dengan tangan kananmu.” Lalu dia mengatakan, ”Aku tidak mampu.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Engkau memang tidak akan mampu”. Tidak ada yang menghalanginya untuk mentaati Nabi kecuali rasa sombong. Akhirnya, dia tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke mulut. (HR. Muslim no. 5387)

Perlu kami tegaskan sekali lagi, tulisan ini bukanlah dimaksudkan untuk mendukung aksi-aksi terror dan pengeboman. Bahkan perlu diketahui bahwa kami termasuk yang menentang aksi-aksi semacam itu sebagaimana yang pernah kami ungkapkan dalam beberapa tulisan kami yang lalu.

Juga bagi kaum muslimin yang memang belum bisa menunaikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna seperti berpenampilan berjenggot dan celana di atas mata kaki, kami naseharkan agar jangan sampai mencela orang-orang yang ingin mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau memang belum sanggup atau merasa berat, cukuplah lisan-lisan kalian diam dan tidak turut mencela. Karena penampilan seperti ini jelas-jelas adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak pantas dicemooh dan dicela. Adapun mengenai hukum jenggot dan celana di atas mata kaki, bukanlah di sini tempatnya. Kami memiliki pembahasan tersendiri mengenai hal ini.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah bagi setiap muslim yang membaca tulisan ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu mengagungkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***
Disusun pada pagi hari, 18 Sya’ban 1430 H, di Panggang Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

ETIKA BERGAUL

Ustadz Fariq bin Gasim Anuz


Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa yang dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.” [Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.

Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.
Allah berfirman.

“Artinya : Pergauilah mereka (isteri) dengan baik”. [An-Nisaa : ’1]
“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda.
“Artinya : Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]
“Artinya : Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.[HR.Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]


URGENSI PEMBAHASAN ETIKA BERGAUL
Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam. Walaupun prioritas pertama yang diajarkan olah para Nabi adalah tauhid, namun bersamaan dengan itu, mereka juga mengajarkan akhlak yang baik. Bahkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang manusia yang berakhlak mulia. Allah berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung”.[Al-Qalam 4]
Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya :
“Artinya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik” [Al-Ahzab 21]

Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah berfirman.

“Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai, Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat petunjuk” [Al-Imran : 103]
.
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang istri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang da’i atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan da’i atau lainnya dan dengan mad’u (yang didakwahi) atau terhadap muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.
Kurang mempraktekkan etika bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran, disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.

Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya, dengan tidak memperdulikan cara penyampaiannya yang benar atau salah, etikanya baik atau buruk, akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada etika orang itu. Oleh karena itu, mengetahui etika ini penting bagi kita, sebagai muslim yang punya kewajiban saling menasehati sesama manusia, agar bisa mempraktekkan cara bergaul yang benar.


MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim dalam bergaul dengan orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, tidak berkata-kata yang menyakitkan kepada orang lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah, Demikianlah seharusnya. jangan sebaliknya, yaitu, bertujuan bukan dalam rangka mencari ridha Allah. Misalnya : bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua itu dilakukan karena kepentingan dunia. atau ketika berurusan dalam perdagangan, sikapnya ditunjukkan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dunia. tingkah laku seperti ini yang membedakan antara muslim dengan non muslim.

Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan dunia semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal dan akrab lagi. Atau seseorang senang ketika oramg lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang muslim. Sikap seperti itu merupakan perbuatan salah.
Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 : “Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya”. hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.


Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.
Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja.yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya.namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.

Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata: “Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.

Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.

Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf 67,artinya: “teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.

Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.


SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA

[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.

[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.
Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.

[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.
Allah berfirman. “Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik,” Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat : “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah”. Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehinnga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.

[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.
Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.
Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin-orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.


Allah berfirman.
“Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]

[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.
Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.

[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.

[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.
Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.

Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.


SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIA
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar terhindar dari sikap seperti itu. Maksud dari sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat. berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridho, maka harus kita utamakan. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci oleh Allah, maka harus kita jauhi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut.


Pertama.

Memberi Nasehat Kepadanya Di Hadapan Orang Lain.
Al Imam Asy Syafii berkata dalam syairnya yang berbunyi.


Sengajalah engkau memberi nasehat kepadaku ketika aku sendirian
Jauhkanlah memberi nasehat kepadaku dihadapan orang banyak
Karena sesungguhnya nasehat yang dilakukan dihadapan manusia
Adalah salah satu bentuk menjelek – jelekkan
Aku tidak ridho mendengarnya
Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku
Maka janganlah jengkel apabila nasehatmu tidak ditaati

Kata nasehat itu sendiri berasal dari kata nashala, yang memiliki arti khalasa, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah jika ingin memberikan nasehat itu memurnikan niatnya semata –mata karena Allah. Selain itu, kata nasehat juga bermakna khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. maka secara istilah, nasehat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasehat agar orang yang diberi nasehat itu menjadi baik.


Kedua.
Manusia Tidak Suka Diberi Nasehat Secara Langsung.
Hal ini dijelaskan Al Imam Ibn Hazm dalam kitab Al Akhlaq Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, hendaklah nasehat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasehat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung.
Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Misalnya sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Humaid, imam masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (bimbingan secara tidak langsung).

Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebid’ahan-kebid’ahan yang dilakukannya.


Ketiga.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Selalu Memojokkannya Dengan Kesalahan – Kesalahannya.
Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.

[1]. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
[2]. Isti’jal atau terburu-buru.
[3]. Ta’ashub atau fanatik.
[4]. Thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan.

Syaikh Shalih menjelaskan, selama seseorang berada di atas aqidah yang benar, maka kita
seharusnya saling nasehat-menasehati, saling mengingati antara satu dengan yang lain. bukan saling memusuhi. Rasulullah bersabda yang artinya, “janganlah seorang mukmin membenci istrinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya yang buruk, dia akan suka dengan akhlaqnya yang baik.

Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitabMukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.

[1]. Aqidahnya benar.
[2]. Akhlaqnya baik.
[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.


Keempat.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Tidak Pernah Melupakan Kesalahan Orang Lain.
Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang lain. terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadush Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf lalu membalas kejahatannya.


Kelima.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Sombong.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walau sedikit saja…….. ” sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.

[1]. Harta atau uang .
[2]. Ilmu.
[3]. Nasab atau keturunan.


Keenam
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Terburu-Buru Memvonis Orang Lain.
Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang melakukan kesalahan, mereka menganggap, bahwa cara yang benar untuk memperbaikinya, ialah dengan mencela atau menegur dengan keras. Padahal para ulama memilik kaedah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu, merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut.


Ketujuh.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Mempertahankan Kesalahannya, Atau Orang Yang Berat Untuk Rujuk Kepada Kebenaran Setelah Dia Meyakini Kebenaran Tersebut.
Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah berkata, “pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya”. oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada hawa nafsu kita sendiri.


Kedelapan.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Menisbatkan Kebaikan Kepada Dirinya Dan Menisbatkan Kejelekan Kepada Orang Lain.
Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kasetnya yang menjelaskan syarh Hilyatul ‘ilm, tentang adab ilmu. Beliau menjelaskan, bahwa jika kita mendapati atsar dari salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi untuk memberikan nasehat kepada kita.

Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinya yang berada di pihak yang benar, tidak punya kesalahan sama sekali. sedangkan lawannya, berada di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam, kenyataannya tidaklah demikian.

Oleh karena itu, kita harus terus introspeksi diri dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai apakah langkah kita sudah benar. Wallahu a’lam.
[Sumber : Majalah As-Sunnah edisi 03 – 04/ V11/ 1424/ 2003 M. Diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]


http://kustoro.wordpress.com/2007/11/20/etika-bergaul/
thank you