Selasa, 26 Oktober 2010

Memboikot Al Qur'an


Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang maha pengasih kepada seluruh makhluq-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salam, keluarga, seluruh sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Dengan memohon taufiq dan inayah Allah ta’ala, tulisan ini sengaja kami tulis dalam rangka berbagi sedikit ilmu yang kami telah dapatkan kepada kaum muslimin. Adapun bab ilmu yang akan kami sampaikan pada kesempatan ini adalah hal-hal yang termasuk kedalam tindakan pemboikotan terhadap Al Qur’an.

Allah ta’ala berfirman,
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang tidak diacuhkan (sesuatu yang diboikot)". (QS. Al-Furqon: 30)
Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah Rahimahullah ta’ala menyebutkan sedikitnya ada 5 hal yang termasuk dalam kategori pemboikotan terhadap Al-Qur’an[1]:
1. Memboikot Al-Qur’an dengan tidak mau mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan tidak mengimani kandungan Al-Qur’an
2. Memboikot Al-Qur’an dengan tidak mau mengamalkan kandungan yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an serta tidak mengharamkan apa yang diharamkan Al-Qur’an meskipun membaca Al-Qur’an dan mengimaninya
3. Memboikot Al-Qur’an dengan  tidak mau menjadikan Al-Qur’an sebagai hakim, dan tidak mau berhukum dengan Al-Qur’an pada seluruh perkara agama baik itu pokok-pokok agama ataupun cabang-cabangnya.
4. Memboikot Al-Qur’an dengan tidak mau mentadabburi, memahami dan mengenal keinginan Allah ta’ala yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur’an
5. Memboikot Al-Qur’an dengan  enggan untuk mencari kesembuhan dan berobat dengan Al-Qur’an pada seluruh jenis penyakit hati, dan  justru mencari kesembuhan dan obat pada selain yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga yang ringkas ini bermanfaat bagi kami dan seluruh kaum muslimin. Kita mohon kepada Allah agar senantiasa mencurahkan hidayah taufiq-Nya kepada kita semua sehingga mampu mengamalkan apa yang telah diketahui. Alhamdulillah Aladzi bi ni’matihi tatimus shalihaat

26 Juli 2010, Wisma Rabbani 20:35 malam
Yang lemah dan selalu butuh taufiq Rabbnya

10 Kiat Meningkatkan Kemampuan Membaca


Tulisan ini bersumber dari situs yang dibina oleh Asy Syaikh Alawy Abdul Qodir As Saqof hafidzahullah.
Inilah sepuluh langkah untuk meningkatkan kemampuan anda dalam membaca, sehingga anda menjadi orang yang kuat dalam membaca dan agar anda berubah menjadi pembaca yang besar. Saya memilihnya untuk anda –pembaca yang mulia- di antara sepuluh makalah dalam bahasa Inggris yang tersebar dalam tema ini. Dan saya menerjemahkannya dengan beberapa perubahan. Yaitu dari seorang pelatih, spesialis dalam perkembangan dan peningkatan kemampuan, Jim M. Allen. Berikut ini sepuluh langkah tersebut:
1. Bukan suatu hal yang penting anda menjadi pembaca yang cepat untuk mendapatkan manfaat.
Beberapa orang membaca dengan kecepatan yang tinggi, lainnya dengan kecepatan sedang, dan yang lain dengan kecepatan lambat untuk memperoleh setiap keterangan. Kecepatan sebenarnya tidak terlalu penting. Akan tetapi yang penting adalah memperoleh manfaat yang anda inginkan dan kehendaki dari membaca buku, makalah atau majalah.
Biarkanlah saya memberikan sebuah rahasia, yang tidak dikatakan pada pembahasan-pembahasan tentang membaca pada umumnya dan tentang membaca cepat pada khususnya. Yaitu bahwasanya tabiat dan judul buku (bisa saja) mengharuskan anda membaca cepat sehingga anda memperoleh manfaat yang banyak. Buku-buku yang yang berisi kumpulan makalah misalnya, seperti buku “Maqolat li Kibari  Kuttabil  Arabiyah fil ‘Ashril Hadits”oleh Syeikh Muhammad Ibrahim al Hamd. Dan saya sarankan untuk membacanya, karena buku ini mengandung manfaat-manfaat yang bagus dan makalah-makalah luar biasa.
Buku yang berbentuk e-book dibeberapa situs internet memungkinkan untuk dibaca cepat. Adapun ketika kita mengambil salah satu buku fiqih tertentu atau buku yang memerlukan pemikiran yang mendalam, maka tabiat buku memaksa kita untuk membaca dengan lambat, atau kecepatan sedang sehingga anda memahami apa yang terkandung di dalamnya. Untuk itu kecepatan membaca bertingkat-tingkat sesuai dengan tabiat buku dan judulnya. Dan ingatlah selalu bahwa yang penting adalah memperoleh manfaat, bukan selesainya membaca dengan cepat atau kecepatan tinggi.
2. Ketahuilah: Mengapa anda membaca?
Anda wajib mengetahui tujuan sebelum membaca. Dan yang menjadi landasannya adalah dengan memilih buku-buku yang anda baca dengan pemahaman dan pengetahuan.Apakah anda membaca untuk   hiburan dan kesenangan? Ataukah anda membaca untuk belajar yang berkelanjutan yang meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan kemampuan anda, pandangan hidup, hikmah atas sesuatu, pembangunan dan pembentukan kepribadian anda yang terdidik , kepemimpinan dan pemikiran sehingga anda bisa menjadi orang yang berpengaruh di lingkungan dan masyarakat sekitar anda?
3. Anda tidak perlu membaca segala hal.
Setiap buku, majalah, atau email tidaklah perlu dibaca secara lengkap. Umumnya majalah, email sebenarnya tidak mengandung sesuatu yang dapat memberi manfaat. Untuk itu hal yang penting adalah anda putuskan apa yang dibaca, dan waktu yang akan dihabiskan dalam membaca. Pilihlah buku yang sesuai dengan keahlian, kepentingan, dan bidang anda yang ingin anda tonjolkan.
4. Bukan hal yang penting anda membaca buku atau segala sesuatu yang ada di tangan anda.
Apakah anda membaca setiap tulisan di majalah yang ada di hadapan anda? Dan apakah anda membaca setiap bagian dan bab dalam buku?
Yang penting dalam masalah ini, jika anda mengikuti metode “membaca segala sesuatu”, kadang anda membaca bab-bab atau tulisan yang banyak dimana sebenarnya tidak diperlukan untuk dibaca. Pilihlah bagian yang penting saja dari buku, yang menarik perhatian anda, dan yang sesuai dengan keterangan dan manfaat yang anda cari. Dan jadilah orang yang bisa memilih dalam membaca.
Dan salah seorang pemikir senior menyebutkan bahwasanya akal anda itu menghasilkan sesuai dengan apa yang anda isi di dalamnya. Yaitu seperti penggilingan, jika anda taruh gandum yang baik di dalamnya, maka akan mengeluarkan tepung yang baik pula, dan apabila anda taruh di dalamnya selain itu maka akan mengeluarkan sesuai dengan apa yang anda taruh tadi. Maka perhatikanlah apa yang anda taruh pada akal anda yang merupakan komponen utama yang anda miliki untuk berhukum dan bermuamalah dengan alam, problematika, imajinasi dan pikiran. Akal merupakan sumber pembentuk kepribadian anda. Masalah ini kembali pada anda, tidak ada campur tangan orang lain di dalamnya.
5. Ujilah kondisi jiwa dan pembawaan anda sebelum memulai membaca.
Kondisi jiwa dan pembawaan sangat penting sebelum memulai membaca di waktu-waktu tertentu. Ketika kondisi jiwa sedang jernih, tidak jenuh,  maka anda dapat membaca buku-buku berbobot yang memerlukan konsentrasi yang tinggi. Jika anda merasa jenuh dan lelah maka pilihlah buku-buku yang mudah dan ringan yang sesuai dimana tidak membutuhkan keseriusan dalam membaca.
6. Buat skala prioritas dalam membaca.
Jadikan kegiatan membaca anda sesuai dengan skala prioritas. Jika anda berniat mengarang sebuah buku, karya ilmiah, makalah, maka bacaan anda harus sesuai dengan judul yang anda niatkan. Ini adalah nasehat yang sangat penting bagi siapa saja yang ingin meneruskan membaca. Yaitu dengan menjadikan tujuan membaca bisa menghasilkan pemikiran, argumentasi dan imajinasi baru. Kadang anda menenukan sesuatu yang baru dari apa yang dibaca. Hal itu bisa didapat dari penulisan buku, karya ilmiyah dan makalah. Yang demikian ini –dari fakta penelitian dan pengalaman kebanyakan orang- dapat mendorong kita untuk meneruskan membaca dan itu merupakan faktor pendorong yang paling penting dalam membaca.
7. Perbaiki, atur dan siapkan tempat anda membaca.
Anda akan membaca dan memahami dengan sebaik-baik keadaan, apabila tempat anda membaca teratur dan siap dengan keadaan yang dapat membantuanda membaca. Kenyamanan anda ketika duduk merupakan faktor penting untuk meneruskan membaca. Dahulu Syeikh ‘Ali Thonthowiy –seorang Syeikh, da’i, sastrawan, pendidik dan salah seorang quro’ Arab senior pada zaman ini- mengatur bantal-bantal yang berukuran berbeda-beda, dia letakkan dibelakang punggungnya atau menyadarkan punggungnya sesuai dengan posisi yang membantunya agar dapat senyaman mungkin ketika membaca.
8. Jika anda telah memulai membaca jangan berhenti.
Bacalah langsung, jangan berhenti kecuali ada sebab darurat dan terpaksa harus berhenti. Jika anda telah selesai membaca dan anda memiliki beberapa pertanyaan, ulangi sekali lagi secara detail untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benakanda atau mencari jawaban di buku-buku lain. Jika anda tidak memiliki pertanyaan, maka sebenarnya anda telah mendapatkan apa yang anda perlukan. Pertanyaan merupakan pintu kebaikan yang besar bagi siapa saja yang menginginkan perkembangan yang terus-menerus pada kepribadian, pembentukan pola pikir dan jiwa kepepimpinannya.
Saya teringat bahwa saya pernah menghadiri pelatihan manajemen keunggulan dan inovasi yang diadakan oleh Arab Saudi Administrasi Umum di kota Riyadh pada tanggal 8-10 Shafar 1428 H, diantara yang narasumber pada acara itu Prof. Michaell Marchurt dari Universitas George Washington di USA. Dia menyampaikan ceramah dengan judul “Kepemimpinan Pada Abad 21: Pertanyaan lebih utama dari jawaban”. Meskipun durasi ceramahnya hanya sekitar seperempat jam, itu merupakan  ceramah yang paling bagus dan menakjubkan pada pertemuan itu dan mendatangkan manfaat yang bagus bagiku. Sebabnya sangat mudah, bahwa ceramah itu memberikan metode bukan informasi.
Barangsiapa yang memiliki informasi maka dia seakan-akan memiliki sepotong emas dan barangsiapa yang memiliki manhaj (metode) seakan-akan dia memiliki tambang emas.
Apa yang saya inginkan untuk dipetik dari kisah tadi yaitu siapa yang menginginkan kesuksesan maka dia harus membayar beban-beban pertanyaan yaitu mulai dengan : mengapa?, apa?, bagaimana?, kapan?, dimana?, apakah? dan lain-lain, dan dia harus mengerahkan tenaga, penat dan keringat di dahinya serta sesuatu dari ketenangan jiwanya untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
9. Konsentrasilah
Ingatlah baik-baik bahwa anda sedang membaca dan anda memiliki tujuan dari membaca. Untuk itu anda harus konsentrasi dalam materi yang dibaca. Jika anda kehilangan konsentrasi dan perhatian setelah membaca maka istirahatlah sejenak atau anda bisa membaca buku lain. Yang penting dapat dijaga jalannya bacaan sesuai dengan materi yang dibaca dan yang diharapkan manfaatnya pada pikiran dan benak anda yang berkembang secara terus-menerus pada saat membaca dan belajar dengan metode yang bermacam-macam. Jangan lupa sesungguhnya membaca itu metode belajar yang paling penting sebagaimana diajarkan dalam pelajaran-pelajaran.
10. Bertahaplah dan biasakan.
Sesungguhnya seorang pembaca besar tidak dilahirkan di antara siang dan malam dan mereka melihat diri mereka sebagai seorang pembaca yang besar. Tetapi mereka kerja keras dan mencari sebab belajar dari kesalahan mereka baik dalam memilih buku atau metode membaca. Memahami dan mengerti pelajaran dari sela-sela penelitian, pengalaman dan kebiasaan.
Metode-metode yang telah saya sebutkan ini member anda bagian penting dan besar untuk meningkatkan kebiasaan anda membaca. Oleh karenanya tinggal memusatkan pikiran, yang penting hal itu kembali kepada anda wahai pembaca yamg mulia.
Membaca bukanlah hobi sebagaimana anggapan orang. Diantara lemahnya perkataan yaitu seseorang ketika ditanya apa hobinya, dia menjawab bahwa hobinya adalah membaca. Sesungguhnya membaca itu cara hidup, pelengkap, kebutuhan primer dan yang paling penting bagi siapa yang ingin menjadi penerang sinar dan cahaya, serta pemimpin yang berpengaruh di dalam kehidupan. Sebelum berpisah saya ajak untuk membaca kitab “ ’Asyiq”oleh Aidh Al Qorni yang didalamnya membahas kisahnya tentang membaca, manfaat-manfaatnya dan memaparkan beberapa contoh membaca dari salafush sholeh, kitab itu mengumpulkan antara hiburan dan faedah. Syeikh menulisnya dengan uslub yang mengandung nilai sastra yang tinggi.

Laksana Setetes Air Di Tengah Samudera




Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi. Kesempurnaan  seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini [ilmu dan cinta], Allahul musta’aan.” (al-Fawa’id, hal. 52)
Dari ucapan beliau ini, kita dapat mengetahui betapa besar peran ilmu tentang Allah dalam membentuk jati diri seorang muslim. Karena seorang muslim yang ideal adalah yang senantiasa mendahulukan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya di atas segalanya. Sosok muslim seperti itulah yang dikabarkan akan bisa mengecap manisnya iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman…” Di antaranya, “Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud lezatnya iman ini antara lain adalah berupa kenikmatan yang dirasakan ketika menjalani ketaatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggambarkan bahwa sosok manusia yang mampu mencapat derajat manisnya iman ini adalah orang yang di dalam hatinya tidak menyimpan perasaan tidak suka dan benci kepada agama yang suci ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan lezatnya iman orang-orang yang ridha kepada Rabbnya, ridha Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim).
Ketiga hal inilah -sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah- merupakan pokok-pokok ajaran agama. Ini artinya, bangunan agama yang ada pada diri seseorang akan menjadi kuat atau lemah tergantung kepada ilmu tentang ketiganya; mengenal Allah, mengenal agama Islam dan mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajarlah, apabila Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kemudian menulis sebuah risalah kecil ‘Tsalatsatul Ushul’ untuk mengenalkan pokok-pokok yang agung ini kepada segenap kaum muslimin.
Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana para ulama salaf sedemikian mengenal karakter jiwa dan perangai manusia. Mereka itu -sebagaimana digambarkan oleh Imam Ahmad di dalam mukadimah kitabnya ar-Radd ‘alal Jahmiyah dan dinukil oleh Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Kitab Tauhidnya- merupakan sosok ‘pahlawan’ yang telah menghidupkan hati-hati manusia yang telah binasa dan terjajah oleh Iblis melalui ayat-ayat Kitabullah yang mereka baca dan mereka terangkan isinya kepada umat manusia. Sehingga hati manusia yang sebelumnya gersang, tandus dan kering kerontang pun tersirami dengan tetes demi tetes bimbingan wahyu ilahi sehingga memunculkan tanda-tanda kehidupan kembali …

Berbakti Kepada Orang Tua (bag. 2)


Tafsir firman Allah { وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيماً } ((dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia))

Berkata Syaikh As-Sa’di, “Yaitu ia mengucapkan kepada kedua orangtuanya dengan perkataan yang mereka berdua senangi dan ia berlemah lembut kepada mereka berdua dengan perkataan yang baik yang terasa enak dalam hati mereka berdua dan menenangkan jiwa mereka, yang hal ini bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi dan sesuai dengan waktu dan adat”[1]

Perkataan yang lemah lembut kepada orangtua merupakan amalan yang besar karena ia merupakan bentuk berbakti kepada orangtua, oleh karena itu janganlah sampai amalan –yang kelihatannya ringan ini - disepelekan.

Dari Thoisalah bahwasanya Ibnu Umar kepadanya,
أتخاف النار أن تدخلها قلت نعم قال وتحب أن تدخل الجنة قلت نعم قال أحي والداك قلت عندي أمي قال فوالله لئن أنت ألنت لها الكلام وأطعمتها الطعام لتدخلن الجنة ما اجتنبت الموجبات

“Apakah engkau takut masuk dalam neraka?”, aku berkata, “Iya”, ia berkata, “Dan apakah engkau ingin masuk dalam surga?” , aku berkata, “Iya”, ia berkata, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?”, aku berkata, “Ibuku bersamaku”, ia berkata, “Demi Allah jika engkau lembut tatkala berbicara dengannya dan engkau memberi makan kepadanya maka engkau sungguh akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar”[2]

Berkata Ibnul Haddaj At-Tujibi, “Aku berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyib semua yang ada di Al-Qur’an tentang berbakti kepada kedua orangtua telah aku pahami kecuali firman Allah { وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيماً } ((dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.)). Apakah yang dimaksud dengan perkataan yang mulia?”, Said bin Al-Musayyib berkata, قول العبد المذنب للسيد الفظ الغليظ “Perkataan seorang budak yang bersalah kepada tuannya yang keras dan kasar”[3]

Maksudnya adalah hendaknya sang anak berbicara kepada orangtuanya dengan perkataan yang mengandung tanda pengagungan dan penghormatan kepada orangtuanya.[4]

عن عمارة أبي سعيد قال قلت للحسن إلى ما ينتهي العقوق قال أن تحرمهما وتهجرهما وتحد النظر إلى وجه والديك يا عمارة كيف البر لهما

‘Ammaroh Abu Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Al-Hasan, hingga mana batasan durhaka (kepada kedua orang tua)?”, ia berkata, “Yaitu engkau melarang mereka berdua dan menghajr mereka berdua, dan engkau menajamkan pandanganmu ke wajah kedua orangtuamu, wahai ‘Ammaroh (tanyakanlah) bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tua”[5]
Urwah bin Az-Zubair berkata,  ما بر والده من شد الطرف إليه “Tidaklah berbakti kepada orangtuanya orang yang menajamkan pandangannya kepada orangtuanya”[6]

Urwah juga berkata, “Jika kedua orangtua membuat sang anak marah maka janganlah ia menajamkan pandangannya kepada mereka berdua karena tanda yang pertama kali diketahui bahwa seseorang marah kepada orang lain yaitu dengan pandangannya yang tajam kepada orang yang ia marahi”[7]

Al-Fudhail bin ‘Iyadh ditanya tentang berbakti kepada kedua orangtua maka ia berkata, أن لا تقوم إلى خدمتهما عن كسل “Ia tidak melayani keduanya dengan malas”[8]

Al-Hasan bin Ali berkata, يا أبت يا أمه ولا يسميهما بأسمائهما “Yaitu ia berkata “Wahai ayahanda, wahai ibunda, dan ia tidak memanggil dengan menyebut nama kedua orangtuanya”[9]

Abus Sa’ud berkata, “Seperti ia berkata  يا أباه  wahai ayahanda, يا أماه wahai ibunda sebagaimana kebiasaannya nabi Ibrahim 'alaihissalam tatkala berbicara dengan ayahnya ia berkata  يا أبت  ((Wahai ayahku)) padahal ayahnya kafir”[10]

Zuhair bin Muhammad berkata, إذا دعواك فقل لهما لبيكما وسعديكما  “Jika mereka berdua memanggilmu maka katakanlah kepada mereka berdua, “Aku penuhi panggilan kalian”[11]



Tafsir firman Allah { وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ } ((Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan))

Sang anak diperintahkan untuk merendahkan sayapnya (sebagaimana sayap burung) karena dua hal

Pertama, karena burung jika ingin memeluk anaknya untuk mendidiknya maka ia merendahkan sayapnya, oleh karena itu jadilah merendahkan sayap merupakan kinayah dari cara mendidik yang baik. Seakan-akan Allah berkata kepada sang anak “Peliharalah kedua orangtuamu dengan menempatkan mereka berdua bersama engkau sebagaimana mereka berdua telah melakukan hal tersebut kepadamu tatkala engkau kecil.

Kedua, karena burung tatkala ingin terbang  dan meninggi maka iapun membuka sayapnya, dan jika ia ingin mendarat dan turun maka iapun merendahkan sayapnya, oleh karena itu jadilah merendahkan sayap adalah kinayah dari sikap tawadhu’ (merendahkan diri)[12]

Kemudian lafal جَنَاح (sayap) tersebut disandarkan (diidhofahkan) kepada lafal الذل, dan makna dari lafal Adz-Dzul adalah kelembutan, dan diriwayatkan dari ‘Ashim bahwasanya lafal Adz-Dzul diambil dari perkataan mereka (orang Arab) دابة ذلول بينة الذل (hewan tungangan yang sangat tunduk), dan Adz-Dzul adanya pada hewan tunggangan yang nurut dan jinak bukan hewan tunggangan yang liar dan sulit. Oleh karena itu hendaknya seorang anak menjadikan dirinya dihadapan kedua orangtuanya dalam keadaan sangat nurut dan lembut baik dalam perkataannya, gerak-geriknya, dan juga pandangan matanya. Janganlah ia menajamkan pandangannya kepada mereka berdua karena itu adalah pandangan orang yang sedang marah.[13] Allah tidak menyandarkan (mengidhofahkan) lafal جَنَاح kepada lafal الذل dalam firmanNya

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. Asy Syuaraa 26:215)

dan Allah menyandarkannya disini (QS. Al Israa' 24 ,pent) karena keagungan hak kedua orang tua dan untuk lebih menekankan hal itu[14]



Tafsir firman Allah {وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً} ((dan ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"))

Allah ta'ala dalam ayat ini tidak hanya mencukupkan untuk mengajarkan cara berbakti kepada kedua orangtua dengan perkataan-perkataan (yang baik), bahkan Allah ta'ala juga mengajarkan cara berbakti dengan amal perbuatan yaitu dengan mendoakan kedua orangtua agar mendapatkan rahmat, maka Allah ta'ala pun memerintahkan sang anak untuk berdoa (("Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya)), Dan lafal “Rahmat” mencakup seluruh kebaikan baik dalam perkara agama maupun dalam perkara dunia. Kemudian sang anak berkata ((sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil")), yaitu “Wahai Robku perlakukanlah mereka berdua dengan kebaikan jenis ini sebagaimana mereka berdua telah mendidikku dengan baik.”[15] .

Dan Allah menyebutkan tarbiah/didikan kedua orang tua dalam firmanNya {كَمَا رَبَّيَانِي} ((sebagaimana mereka berdua mendidikku)) agar sang anak selalu mengingat jasa kedua orangtuanya yang telah mendidiknya tatkala ia kecil dengan penuh kasih sayang dan kelelahan maka hal ini akan manjadikan sang anak lebih bersikap kasih sayang dan tunduk kepada kedua orangtuanya”[16]

Berkata Imam Al-Qurthubhi, “…Yaitu engkau merahmati (menyayangi) mereka berdua sebagaimana mereka merahmatimu, engkau bersikap lembut kepada mereka berdua sebagaimana mereka berdua bersifat lembut kepadamu, dimana mereka berdua telah memeliharamu tatkala engkau kecil dalam keadaan tidak mengerti apa-apa, dalam keadaan butuh, maka mereka berdua mendahulukanmu di atas diri mereka berdua, mereka bergadang semalam suntuk dalam keadaan lapar, mereka berdua menjadikan engkau kenyang, mereka (rela) untuk tidak memakai baju untuk mamakaikan engkau pakaian, maka tidaklah engkau bisa membalas jasa mereka berdua kecuali jika mereka berdua telah mencapai masa tua (jompo) yaitu suatu kondisi seperti kondisimu tatkala engkau kecil lalu engkau merawat mereka berdua sebagaiamana mereka berdua telah merawatmu, dan mereka tetap memiliki keutamaan karena lebih dahulu merawatmu”[17]

Berkata Adz-Dzhabi, “Keutamaan tetap lebih diutamakan kepada yang terlebih dahulu, bagaimana bisa sama (antara keutamaan kedua orang tua yang merawat engkau dengan perawatan engkau kepada kedua orangtuamu yang jompo), mereka berdua telah membersihkan kotoranmu dengan berharap agar engkau bisa terus hidup sedangkan engkau membersihkan kotoran mereka berdua dengan harapan agar mereka berdua meninggal”[18]

Perintah Allah {وَقُلْ} ((Dan katakanlah (berdoalah)!)), ini adalah lafal perintah, dan yang dzahir dari perintah adalah tidak mengharuskan untuk diulang-ulang pelaksanaannya[19], maka cukup bagi sang anak dalam untuk berdoa kepada kedua orangtuanya sekali saja dalam melaksanakan perintah Allah ta'ala dalam ayat ini. Namun Sufyan (bin ‘Uyainah[20]) pernah ditanya, “Berapa kalikah seharusnya seorang anak mendoakan kedua orangtuanya?, apakah dalam sehari sekali saja, ataukah sekali dalam sebulan, ataukah sekali dalam setahun?”, maka ia berkata,

نرجو أن نجزئه إذا دعا لهما في أواخر التشهدات كما أن الله تعالى قال }ياأيها الذين ءامنوا صلوا عليه{  فكانوا يرون أن التشهد يجزي عن الصلاة على النبي r وكما أن الله تعالى قال }واذكروا الله فى أيام معدودات{  فهم يكررون في أدبار الصلوات

((Aku berharap cukup baginya jika ia berdoa bagi kedua orangtuanya pada akhir setiap tasyahhud sebagaimana Allah berfirman

} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ { (الأحزاب:56)

Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi (QS. 33:56)

Dan mereka (para ulama) memandang bahwa tasyahhud cukup untuk melaksanakan perintah untuk sholawat kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam. Demikian juga sebagaimana firman Allah

}وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ{ (البقرة:203)

Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. (QS. 2:203)

Maka mereka mengulang-ngulang dzikir kepada Allah setiap akhir sholat))[21]
Bersambung...

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com

Catatan Kaki:
[1] Tafsir As-Sa’adi (Taisir karimir rohman)  1/456

[2] Atsar riwayat Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya 5/39 dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/483

[3] Ad-Dur Al-Mantsur 5/259, diriwayatkan oleh Tafsir Al-Qurthubhi 10/243

[4] At-Tafsir Al-Kabir 20/152

[5] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 5/218 no 25404

[6] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 5/219 no 25409

[7] Ad-Dur Al-Mantsur 5/260

[8] Tafsir Abis Sa’ud 5/166

[9] Ad-Dur Al-Mantsur 5/259.

[10] Tafsir Abis Sa’ud 5/166

Jika dikatakan bahwasanya Nabi Ibrohim 'alaihissalam adalah orang yang paling bijak, mulia, dan beradab, namun bagaimana ia berkata kepada ayahnya “Wahai Azar” (sesuai dengan qiroah mendommakan huruf ro’ pada kata  آزرُ) dalam firman Allah

}وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَاماً آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ{ (الأنعام:74)

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar :"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". (QS. 6:74)

Ibrohim dalam ayat ini memanggil ayahnya dengan menyebut namanya, dan ini menimbulkan rasa sakit bagi ayahnya, selain itu ia u juga menisbahkan ayahnya dan kaumnya kepada kesesatan dan hal ini merupakan penjengkelan kepada ayahnya.

Jawabannya, Allah telah berfirman

}وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً{

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”

Firman Allah ini menunjukan bahwa hak Allah lebih didahulukan di atas hak kedua orangtua. Dan sikap Ibrohim yang menyakiti ayahnya adalah karena ia mengedepankan hak Allah di atas hak kedua orangtua. (At-Tafsir Al-Kabir 20/152)

Namun musykilah (permasalahan) ini hanyalah jika dibaca dengan mendhommah huruf ro’ {آزَرُ} sehingga arti ayat adalah ((Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya “(Wahai) Aazar…”)), namun apabila dibaca dengan memfathah huruf ro’ {آزَرَ} maka i’robnya adalah badal sehingga arti ayat adalah ((Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya (yaitu yang bernama) Aazar…)).

Dan kita juga mendapati dalam ayat yang lain tatkala Ibrahim menegur dan menasehati ayahnya ia berkata dengan perkataan yang lembut dan tidak memanggil ayahnya dengan menyebut namanya, sebagaimana dalam firman Allah

}إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئاً يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطاً سَوِيّاً يَا أَبَتِ لا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيّاً يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيّاً{ (مريم:45-42)

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya:"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak medengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang keadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang keadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu meyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab oleh Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (QS. 19:42-45)

[11] Atsar Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya 15/65, Lihat juga Ad-Dur Al-Mantsur 5/259

[12] At-Tafsir Al-Kabir 20/153, Fathul Qodir 3/218-219, Ruhul Ma’ani 15/56

[13] Tafsir Al-Qurthubhi 10/244

[14] Tafsir Al-Qurthubhi 10/244

[15] At-Tafsir Al-Kabir 20/153

[16] Al-Muharror Al-Wajiz fi tafsiril kitab Al-‘Aziz 3/449, Tafsir Al-Quthubhi 10/244

[17] Tafsir Al-Qurthubhi 10/244

[18] Al-Kabair 1/39

[19] Para ahli ushul fiqh berselisih pendapat dalam masalah ini

[20] Lihat Tafsir Al-Qurthubhi 14/56

[21] At-Tafsir Al-Kabir 20/153

Berbakti Kepada Orang Tua (bag. 1)

Tidak diragukan lagi bahwasanya seorang muslim harus benar-benar memperhatikan hak-hak orang tua, karena Allah begitu memperhatikan hak-hak orang tua. Allah dalam banyak ayat telah mewasiatkan agar kita berbakti kepada kedua orang tua.

Asy-Syaukani berkata, “Allah telah menyebut perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua setelah menyebutkan perintah untuk beribadah kepada-Nya karena mereka berdua adalah sebab yang dzohir akan adanya sang anak (di muka bumi ini), dan Allah menggandengkan perintah untuk berbuat baik kepada mereka berdua dengan perintah untuk bertauhid kepada-Nya sebagai peringatan akan besarnya hak mereka berdua yang telah diketahui bersama, demikian juga Allah dalam ayat yang lain telah menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada-Nya dengan syukur kepada kedua orangtua sebagaimana dalam firmanNya
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ }
((Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu))”[1]

Allah telah menggambarkan bagaimana beratnya seorang ibu dalam firmannya :


}وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ{ (لقمان:14)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Lukman 31:14)

}وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً{ (الاحقاف:15)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS. Al Ahqoof 46:15)

Syaikh Abdulmuhsin Al-Qosim berkata , ((Ibumu (yang selama sembilan bulan) mengandungmu dalam keadaan lemah, dan semakin bertambah kelemahannya, dengan kesakitan yang selalu dialaminya, semakin engkau tumbuh maka semakin terasa berat yang dirasakannya dan semakin lemah tubuhnya. Kemudian tatkala akan melahirkanmu ia mempertaruhkan nyawanya dengan sakit yang luar biasa, ia melihat kematian dihadapannya namun ia tetap tegar demi engkau. Tatkala engkau lahir dan berada di sisinya maka hilanglah semua rasa sakit itu, ia memandangmu dengan penuh kasih sayang, ia meletakkan segala harapannya kepadamu.  Kemudian ia bersegera sibuk mengurusmu siang dan malam dengan sebaik-baiknya dipangkuannya, makananmu adalah susunya, rumahmu adalah pangkuannya, kendaraanmu adalah kedua tangannya. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkanmu, ia rela untuk tidak tidur demi menidurkanmu, ia mendahulukan kesenanganmu di atas kesenangannya. Ia sangat sayang kepadamu, sangat mengasihimu.

Ingatlah bagaimana masa kecilmu…

Engkau menganggapnya adalah segalanya jika ia berada di sisimu, jika ia tidak berada di sisimu maka hanya ialah yang engkau panggil-panggil namanya, engkau tidak akan tenang dan berhenti dari tangismu hingga engkau melihatnya, jika mendapati hal yang engkau tidak sukai maka engkau segera melaporkan kepadanya dan meminta pertolongannya, engkau menganggap seluruh kebaikan berada padanya, dan engkau menyangka jika ia telah memelukmu di dadanya atau jika engkau tahu bahwa ia sedang mengawasimu maka tidak akan ada kejelekan yang bisa menimpamu.

Hatinya selalu sibuk memikirkanmu, ia menjadikan Robb-mu sebagai penjagamu dan pemeliharamu, ia merasakan bahwasanya engkau adalah belahan jiwanya, oleh karena itu seluruh harapannya ia letakkan kepadamu dan kehidupannya adalah demi keberhasilanmu.

Adapun ayahmu…ia bekerja dan berusaha dengan susah payah karenamu, ia mencegahmu dari kesulitan hidup sebisa mungkin, berulang-ulang ia pergi jauh demi menafkahimu, ia keluar di pagi hari dan kembali di petang hari demi engkau..

Demikianlah kedua orangtuamu menghadapi keletihan dan susah payah demi engkau, namun kecintaan mereka kepadamu telah tertanam di dalam hati mereka, mereka berusaha semampu mereka sekuat mereka untuk membahagiakanmu, engkaulah penyejuk mata mereka, engkaulah buah hati mereka, engkaulah harapan masa depan mereka. Mereka tidak tanggung-tanggung mengeluarkan uang yang telah susah payah mereka dapatkan untuk mengobatimu jika engkau sakit, dan mereka rela mengeluarkan harta mereka jika engkau yang meminta demi untuk menyenangkanmu, engkau hidup dan tumbuh di bawah naungan mereka dan bimbingan mereka..))[2]



Perintah Allah untuk berbakti kepada orangtua

Allah berfirman:
}وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيماً وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً{ (الاسراء:23-24)

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "uf" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[3]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. 17:23-24)

Tafsir firman Allah { وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا }
((Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu..))

Al-Munawi berkata, “Dan pengagungan (penghormatan) kepada kedua orangtua merupakan kelaziman dari pengagungan kepada Allah, oleh karena itu Allah menggandengkan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dengan pengesaan Allah dan ibadah kepadaNya, maka barangsiapa yang tidak memanfaatkan (kesempatan ini) untuk berbuat baik kepada mereka berdua, terlebih lagi jika mereka berdua telah jompo, maka dia sangat layak dan pantas untuk dihinakan dan direndahkan”[4]

Firman Allah { وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً } ((berbuat baiklah pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya)), Berkata Syaikh Utsaimin, “Berbuat ihsan (kebaikan) kepada kedua orangtua bisa dengan perkataan, bisa dengan perbuatan, dan bisa dengan harta. Dengan perkataan misalnya ia berkata kepada mereka dengan perkataan mulia yang penuh lemah lembut…dengan perbuatan misalnya dengan membantu mereka dan mengerjakan perkara-perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan mereka. Membantu dengan fisik seperti jika mereka berdua lemah maka ia membantu (membopong) mereka bahkan tatkala mereka hendak tidur atau hendak berdiri dan tatkala hendak duduk…dan dengan harta yaitu wajib bagi sang anak untuk berbuat baik kepada orangtua dengan mengorbankan hartanya yaitu dengan memberi mereka nafkah untuk seluruh yang mereka butuhkan, seperti pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal jika ia mampu untuk melakukannya”[5]

Berkata Abul Barokat An-Nasafi, “Faedah dari firman Allah { عِنْدَكَ } adalah, jika mereka berdua akhirnya berada di sisi anak mereka berdua dan tidak ada yang memelihara atau menanggung mereka berdua selain anak mereka, yaitu mereka berdua tinggal di rumah sang anak atau di kamarnya, dan hal ini lebih berat bagi sang anak, maka ia diperintahkan untuk bersikap lembut kepada mereka berdua bahkan jangan sampai ia berkata kepada mereka berdua “Ah” jika ia tidak suka melihat sesuatu yang menjijikan dari mereka berdua apalagi hingga lebih daripada itu. Allah telah benar-benar dalam mewasiatkan kepada sang anak untuk memperhatikan mereka berdua, dimana Allah membuka wasiatnya dengan menggabungkan perintah untuk berbuat baik kepada keduanya dengan perintah untuk mentauhidkan-Nya kemudian Allah benar-benar menekankan perintah untuk memperhatikan dan memelihara mereka berdua sampai-sampai Allah tidak memberikan keringanan bagi sang anak untuk mengucapkan lafal/kalimat yang menunjukan kejengkelan padahal banyak perkara-perkara yang memotivasi kejengkelan, padahal dalam kondisi yang hampir seorang manusia tidak bisa menghadapinya” [6]

عن أبي هريرة قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة

Dari Abu Hurairoh dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((Kehinaan baginya, kehinaan baginya, dan kehinaan baginya!!)), dikatakan (kepada beliau rshallallahu 'alihi wa sallam), “Bagi siapakah kehinaan itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, ((Orang yang mendapati kedua orangtuanya dalam keadaan tua (jompo), salah satunya atau keduanya kemudian ia tidak masuk surga))[7]

Berkata Al-Munawi, “((Kehinaan baginya))”, yaitu ia didoakan kecelakaan baginya...dan disebutkan sifat jompo disini padahal melayani kedua orangtua hendaknya selalu dipelihara disetiap saat dikarenakan kebutuhan mereka berdua akan bakti dan pelayanan di saat jompo”[8]

عن كعب بن عجرة قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  احضروا المنبر فحضرنا فلما ارتقى درجة قال آمين فلما ارتقى الدرجة الثانية قال آمين فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال آمين فلما نزل قلنا يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه قال إن جبريل عليه الصلاة والسلام عرض لي فقال بعدا لمن أدرك رمضان فلم يغفر له قلت آمين فلما رقيت الثانية قال بعدا لمن ذكرت عنده فلم يصل عليك قلت آمين فلما رقيت الثالثة قال بعدا لمن أدرك أبواه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة قلت آمين

Dari Ka’ab bi Ujroh ia berkata, “Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((Pergilah ke mimbar)), maka kamipun menuju ke mimbar. Tatkala Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam naik ke tingkat pertama mimbar ia berkata “Amin (kabulkanlah ya Allah)”, tatkala ia naik ke tingkat yang kedua ia berkata “Amin”, dan tatkala ia naik ke tingkat yang ketiga ia berkata “Amin”. Tatkala Nabi shallallahu 'alihi wa sallam turun dari mimbar kami bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah kami mendengar darimu pada hari ini sesuatu yang kami tidak pernah mendengarnya sebelumnya”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, ((Jibril u telah mendatangiku dan berkata , “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang menemui bulan Ramadhan kemudian ia tidak diampuni”, maka aku berkata, “Amin”. Tatkala aku menaiki tingkatan mimbar yang kedua ia berkata, “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang engkau disebut dihadapannya kemudian ia tidak bersholawat kepadamu”, maka aku katakan “Amin”. Tatkala aku menaiki tingkatan mimbar yang ketiga ia berkata, “Semoga dijauhkan (dari rahmat Allah) orang yang mendapati kedua orangtuanya dalam keadaan jompo atau salah satu dari keduanya kemudian kedua orangtuanya tidak memasukannya ke dalam surga”, maka aku katakaa, “Amin”))[9]

Imam Al-Qurtubhi berkata, “Orang yang bahagia adalah orang yang menggunakan kesempatan emas ini untuk berbakti kepada kedua orangtuanya agar ia tidak luput dari (kesempatan emas ini yaitu masuk surga) dengan meninggalnya kedua orangtuanya. Dan orang yang celaka adalah orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, terlebih lagi orang yang telah diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtuanya”[10]

Dari Humaid ia berkata, “Tatkala ibu Iyas bin Mu’awiyah meninggal maka Iyaspun menangis, maka dikatakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”, ia berkata, “Dulu aku punya dua pintu untuk masuk surga dan (sekarang) salah satunya telah ditutup””[11]



Tafsiran firman Allah { فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ } ((maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "uf"))


Yaitu janganlah kalian berkata kedua orangtua dengan perkataan kasar yang paling rendahpun. Dari Abu Roja’ Al-‘Athoridi ia berkata, الأف الكلام القذع الرديء الخفي “Al-Uff[12] yaitu perkataan yang rendah, jelek, dan samar (pelan)”. Berkata Mujahid (إذا رأيت منهما في حال الشيخ الغائط والبول الذي رأياه منك في الصغر فلا تقذرهما وتقول أف), “Jika engkau melihat dari kedua orangtua yang dalam keadaan jompo tai atau kencing yang mereka berduapun telah melihatnya dari engkau tatkala masih kecil, maka janganlah engkau merasa jijik dan berkata “Uf””[13]. Ia juga berkata, “Janganlah engkau mengatakan Uf tatkala engkau membersihkan (mencebok) kencing dan kotoran mereka berdua sebagaimana mereka berdua mencebokimu tatkala engkau masih kecil”[14]

Ad-Dailami meriwayatkan dari Al-Husain bin ‘Ali bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda,
لو علم الله عز وجل شيئا من العقوق أدنى من أف لحرمه فليعمل العاق ما شاء فلن يدخل الجنة وليعمل البار ما شاء أن يعمل فلن يدخل النار

((Kalau seandainya Allah mengetahui ada bentuk durhaka yang lebih rendah daripada perkataan “Uf” maka Allah akan mengharamkannya. Maka silahkan anak yang durhaka berbuat semaunya maka ia tidak bakalan masuk surga dan silahkan anak yang berbakti berubuat  semaunya ia tidak bakalan masuk neraka)) [15]

Jika kalimat yang sangat ringan untuk diucapkan (yaitu Uf) diharamkan bagi kita untuk mengucapkannya kepada orangtua bagaimana lagi yang lebih berat dari pada itu, bagaimana lagi jika sampai menyakiti orangtua secara fisik??, penyebutan pengharaman perkataan “Uf” sebagai peringatan bahwa yang lebih berat dari pada perkataan “Uf” tentunya lebih diharamkan lagi.[16]

Berkata Al-Quthubhi, “Ulama kami berkata bahwasanya perkataan “Uf” kepada kedua orangtua menjadi sesuatu yang paling jelek karena itu adalah sikap penolakan terhadap kedua orangtua yaitu seperti pengingkaran terhadap kenikmatan (yang telah diberikan oleh mereka berdua) dan mengingkari dan menolak wasiat yang telah diwasiatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an”[17]

Urwah bin Az-Zubair menafsirkan firman Allah { فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ } ((dan janganlah engkau mengatakan kepada keduanya Uf)) dengan perkataannya لا تمنعهما شيئا أراداه أو أحباه “Engkau tidak melarang mereka berdua untuk melakukan sesuatu yang mereka berdua kehendaki” atau “yang mereka berdua sukai”[18] 

bersambung...

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com

Catatan Kaki:
[1] Fathul Qodir 3/218

[2] Sebagaimana disadur dari ceramah beliau dari khutbah jum’at di masjid Nabawi (dengan sedikit tasorruf)

[3] Diantara ayat-ayat yang sangat jelas menunjukan bahwasanya ayat-ayat tersebut ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun maksudnya adalah syari’at bagi umatnya adalah ayat ini. Karena Allah berfirman ((Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu)), padahal kedua orangtua Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah lama meninggal dunia sebelum turun ayat ini. Maka jelas bahwa ayat ini meskipun khitobnya (pembicaraannya) ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun maksudnya adalah untuk umatnya. (Adhwa’ul bayan 3/83, 6/34, Tafsir Al-Qurthubhi 10/244). Dan khitob kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dalam Al-Qur’an ada tiga macam (Lihat Adhwaul bayan 8/209)

1.        Khitob yang ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun maksudnya adalah untuk umatnya, dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sama sekali tidak masuk dalam hukum yang disebutkan dalam khitob tersebut sebagaimana dalam ayat ini.

2.        Khitob yang hukumnya hanyalah khusus untuk Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam

}وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ { (الأحزاب:50)

dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min. (QS. 33:50).

3.        Khitob yang hukumnya mencakup Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan umatnya, sebagaimana firman Allah

}يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ (التحريم:1)

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 66:1)

Kemudian Allah berfirman

}قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ{ (التحريم:2)

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian membebaskan diri dari sumpah kalian; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 66:2)

Allah menggunakan dhomir untuk jamak.

Demikian juga firman Allah

}يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ {(الطلاق: من الآية1)

Hai Nabi, apabila kalian menceraikan isteri-isterimu. (QS. 65:1), khitob ditujukan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam namun Allah mengatakan ((apabila kalian menceraikan isteri-isterimu)) dengan dhomir jamak.

[4] Faidhul Qodiir 4/34

[5] Fatwa Ibnu Utsaimin jilid 7, Al-Washoya Al-‘Asyr, wasiat yang kedua

[6] Tafsir An-Nasafi 2/283

[7] HR Muslim 4/1978 no 2551  (باب رغم أنف من أدرك أبويه أو أحدهما عند الكبر فلم يدخل الجنة ), berkata Ibnu Mandzur (أرغم الله أنفه), yaitu semoga Allah menempelkan hidungnya dengan Ar-Rigom yaitu tanah. Ini adalah makna asalnya kemudian digunakan untuk mengungkapkan kehinaan…” (Lisanul ‘Arob 12/246). Dikatakan juga bahwa Ar-Rogm adalah semua yang menimpa hidung yang mengganggu hidung (Al-Minhaj 16/109)

[8] Faidhul Qodiir 4/34

[9] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 4/170 no 7256, Ibnu Khuzaimah 3/192 no 1888, Dishaihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih at-Targhib wa At-Tarhib no 995, 1677 dan Adabul Mufrod no 644

[10] Tafsir Al-Qurtubhi 10/242

[11] Kitabul bir was silah hal 68 karya Ibnul jauzi sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 34

[12] Berkata Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’, “Al-Uf adalah kotoran kuku, adapun At-Tuf adalah kuku-kuku yang telah terpotong”. Az-Zajjaj berkata, “Al-Uf adalah kotoran yang bau”. Berkata Al-Ashma’i. “Al-Uf adalah kotoran telinga, adapu At-Tuf adalah kotoran kuku, lalu banyak digunakan (dalam ungkapan-ungkapan) hingga digunakan untuk mengungkapkan semua perkara yang tidak disukai” (At-Tafsir Al-Kabir 20/151). Uf adalah sebuah perkataan yang digunakan untuk semua perkara yang ditolak, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alihi wa sallam Ibrahim berkata kepada kaumnya

}أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ{ (الانبياء:67)

Uf bagi kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami (QS. 21:67)

Yaitu, “Penolakan” bagi kalian dan juga patung-patung kalian. (Tafsir Al-Qurthubhi 10/243).

[13] Tafsir Al-Qurtubhi 10/242

[14] Tafsir Al-Bagowi 3/10

[15] Al-Firdaus bi ma’tsuril khitob 3/353 no 5063

[16] Penafian sesuatu yang lebih rendah dalam rangka untuk menafikan sesuatu yang di atasnya adalah lebih mengena daripada langsung menafikan sesuatu yang di atas tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah

}قَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلالةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ{ (لأعراف: 61-61)

Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata:"Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata". Nuh menjawab:"Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan dari Rabb semesta alam"" (QS. 7: 60-61).

Nabi Nuh alaihissalam tidaklah berkata {لَيْسَ بِي ضَلال} setelah perkataan kaumnya { إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ } namun ia berkata { لَيْسَ بِي ضَلالةٌ } karena lafal ضَلالةٌ lebih rendah dan lebih sedikit disbanding lafal ضَلال , lafal ضَلالةٌ hanyalah digunakan untuk satu kesesatan adapun lafal ضَلال digunakan untuk kesesatan yang sedikit maupun banyak.

Demikian juga pada firman Allah

}مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ{ (البقرة:17)

Perumpamaan mereka (orang-orang munafik) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS. 2:17)

Allah tidaklah mengatakan ((ذَهَبَ اللهُ بِضَوْئِهِم)) setelah firmanNya {أَضَاءَتْ}, tetapi Allah berfirman {ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ } karena Ad-Dhou’ hanyalah digunakan untuk cahaya yang banyak (sinar) adapun nur bisa digunakan untuk cahaya yang banyak maupun yang sedikit. Oleh karena itu Allah berfirman

}هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوراً { (يونس:5)

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya (QS. 10:5)

Padahal maksud Allah adalah menghilangkan seluruh sinar semuanya (menghilangkan dhou’ yang tadinya telah meliputi mereka), oleh karena itu Allah berfirman di akhir ayat { وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُونَ } ((dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.)) (Al-Burhan fi ‘ulumil Qur’an 3/402-404)

Jika ada yang berkata, “Bukankah tatkala Allah melarang seseorang mengatakan Uf kepada kedua orangtua berarti secara otomatis melarang juga untuk membentak mereka berdua, namun mengapa Allah setelah melarang mengatakan Uf Allah berfirman { وَلا تَنْهَرْهُمَا} ((Dan janganlah membentak mereka berdua))??

Jawabannya memang ada kaidah:

((Jika penetapan sesuatu menununjukan atas penetapan sesuatu yang lain maka lebih, maka dengan penetapan atas sesuatu tersebut mencukupkan tanpa harus menyebutkan penetapan sesuatu yang lain (karena telah terwakilkan) sebagaimana firman Allah

}وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ{ (آل عمران:133)

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (QS. 3:133)

}سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ{ (الحديد:21)

Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang leeebarnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. 57:21)

Allah tidak menyebutkan tentang panjang surga namun Allah hanya menyebutkan tentang lebar surga karena penjelasan akan tentang lebarnya yang seperti langit dan bumi maka tentunya menunjukan bahwa panjang surga terlebih lagi.

Demikian juga penafian jika penafian sesuatu telah mewakili penafian sesuatu yang lain maka mencukupkan dengan penafian sesuatu tersebut tanpa menyebutkan penafian sesuatu yang lain adalah lebih baik))

Namun kaidah ini terkadang tidak dilaksanakan dikarenakan ada tujuan yang lain, contohnya seperti firman Allah

}اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ{ (البقرة:255)

Allah tidak ada ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. (QS. 2:255)

Allah tidak mencukupkan dengan firmanNya { لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ } ((tidak mengantuk)) namun Allah juga mengatakan { وَلا نَوْمٌ} ((dan tidak tidur)) meskipun telah dipahami bahwasanya ngantuk adalah pembuka tidur, jika ngantuk dinafikan maka otomatis tidur juga ternafikan. Namun dalam ayat ini Allah menafikan tidur dari DiriNya karena dalam rangka membantah persangkaan yang mungkin timbul bahwa sifat ngantuk tidak bisa menimpa Allah adalah karena lemahnya sifat tersebut adapun tidur ia merupakan sifat yang kuat yang mungkin saja bisa menimpa Allah.

Demikian juga firman Allah

}فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا { (الاسراء:23)

maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka (QS 17:23).

Allah tidak mencukupkan menyebut larangan untuk mengucapkan Uf saja namun Allah juga menyebutkan larangan untuk membentak kedua orangtua, hal ini dikarenakan pentingnya larangan untuk mengucapkan Uf dan agar diperhatikan larangan tersebut hingga seakan-akan Allah telah melarang untuk mengucapkan perkataan yang kasar (bentakan) dua kali, yang pertama dengan mafhum dan yang kedua dengan mantuq. (Al-Burhan ri Ulumil Qur’an 3/403-404)

[17] Tafsir Al-Qurtubhi 10/243

[18] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 5/219 no 25412

thank you