(Oleh: Ustadz Riyal Yuliar, Lc)
Pendahuluan
‘Abdullâh bin ‘Abbâs radhiyallâhu'anhu bercerita,
“Suatu ketika, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masuk ke kamar kecil (untuk membuang hajat). Maka aku menyediakan air bersih untuk Beliau pakai berwudhu. Ketika Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam selesai dari hajatnya, Beliau bertanya, “Siapakah yang telah meletakkan (air wudhu) ini?” Kemudian Beliau diberitahu, bahwa akulah yang telah melakukannya. Maka Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (membalas kebaikanku dengan) berdoa: “Ya Allâh… berikanlah dia (Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu'anhu) pemahaman dalam agama”.[1]
Dalam kisah yang lain, suatu saat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengunjungi sebagian Sahabat dan menyantap hidangan makanan yang disajikan kepadanya di rumah mereka. Ketika Beliau telah selesai dan hendak berpamitan, bergegas tuan rumah berkata, “Rasûlullâh, tolong doakanlah bagi kami kebaikan...”. Maka Rasûlullâh membaca, “Ya Allâh… berkahilah bagi mereka semua rizki yang telah Engkau limpahkan kepada mereka. Ampuni dan sayangilah mereka”.[2]
Melalui dua kisah di atas, dapat dipetik sebuah pelajaran berharga, bahwa di antara tuntunan mulia Islam dalam bermu'amalah dengan sesama adalah berbudi luhur dan tidak lupa membalas budi baik orang lain dengan kebaikan pula.
Silahkan simak pembahasan tersebut dalam tulisan yang sederhana ini. Semoga bermanfaat.
Mari Berbudi Luhur
Allâh Ta'ala telah menjadikan Islam sebagai risalah yang sempurna dalam setiap tuntunannya. Syariat Islam mudah dan semua ajarannya indah. Islam mengajak setiap pemeluknya untuk berakhlak mulia terhadap sesama. Berbudi pekerti yang luhur adalah cerminan seorang Muslim di setiap ucapan dan sikap perbuatannya. Demikian itu, agar segenap hamba Allâh Ta'ala yang beriman dapat menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan baik dan penuh kedamaian.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian, dan yang paling dekat majelisnya denganku di hari Kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya di antara kalian.[3]
Dalam kesempatan lain, Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Aku menjamin sebuah rumah di bagian tepi surga bagi seorang
yang meninggalkan debat kusir sekalipun dirinya adalah pihak yang benar.
Aku menjamin sebuah rumah di bagian tengah surga bagi
yang meninggalkan dusta sekalipun dia tengah bercanda.
Dan aku menjamin sebuah rumah di bagian paling atas surga
bagi seorang yang mulia akhlaknya." [4]
Membalas Kebaikan adalah Kewajiban
Allâh Ta'ala berfirman:
…dan janganlah kalian melupakan keutamaan (siapapun) di antara kalian …
(Qs. al-Baqarah/ 2:237)
Mengenai penafsiran ayat di atas, adh-Dhahhâk rahimahullâh berkata, “Keutamaan yang dimaksud adalah budi baik”. Sa`id rahimahullâh berkata, “Jangan kalian melupakan kebaikan”. Demikian pula, Qatâdah, Abu Wâ’il, as-Suddi dan lainnya menjelaskan bahwa pengertiannya adalah janganlah kalian meremehkan (melupakan) kebaikan di antara kalian…[5]
Setiap manusia adalah makhluk sosial. Dia tidak bisa lepas dari berinteraksi dengan sesama. Tidak jarang, dia harus membutuhkan orang lain dan demikian pula sebaliknya. Atas dasar ini, kaum Muslimin diperintahkan untuk saling menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap yang memerlukan.
Rambu-rambu dalam pergaulan telah dipaparkan oleh Rasûlullâh dalam hadits berikut:
Barang siapa mendambakan untuk
dijauhkan dari (adzab) api neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
hendaklah (ketika) kematiannya datang menjemput,
ia (dalam keadaan) beriman kepada Allâh dan hari Akhir.
Dan hendaklah memperlakukan manusia dengan cara
yang ia sukai untuk diperlakukan dengannya. [6]Subhânallâh… Ini adalah bagian dari tuntunan indah agama Islam dalam bermu'amalah dengan manusia.
Secara garis besar, Islam mengajarkan kita untuk dapat berlaku baik terhadap manusia. Allâh Ta'ala mencintai bahkan memerintahkan kebaikan dalam setiap perkara. Allâh Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya Allâh memerintahkan perbuatan adil dan kebaikan
(Qs an-Nahl/14:90)
Maka janganlah seseorang di antara kita mudah melupakan budi baik orang lain. Sungguh, seseorang yang melupakan budi baik orang lain adalah seseorang yang tidak pandai berterima kasih. Padahal berterima kasih kepada manusia atas kebaikan mereka adalah bagian dari makna bersyukur kepada Allâh Ta'ala. Sebagaimana yang disabdakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
Tidaklah seseorang bersyukur kepada Allâh
seseorang yang
tidak berterima kasih kepada manusia (atas kebaikan mereka, pen) [7]Dalam lafazh yang lain,
Barang siapa tidak berterimakasih kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allâh [8]
Ibnu al-Atsîr rahimahullâh berkata,
"Maknanya adalah:
- Allâh Ta'ala tidak menerima syukur seorang hamba kepada-Nya atas nikmat yang telah dilimpahkan, tatkala dia tidak pandai berterima kasih atas kebaikan manusia kepadanya. Yang demikian karena (kuatnya) hubungan kedua hal tersebut satu dengan yang lain.
- Makna lain dari hadits di atas adalah barangsiapa memiliki kebiasaan tabiat mengingkari budi baik manusia dan tidak bersyukur (berterima kasih) atas kebaikan mereka, maka niscaya dia memiliki tabiat kebiasaan mengkufuri nikmat Allâh Ta'ala dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.
- Ada pula makna lain yang terkandung dalam hadits di atas, bahwa barang siapa tidak mensyukuri (kebaikan) manusia, maka dia layaknya orang yang tidak mensyukuri Allâh Ta'ala. Semua makna ini terpetik melalui penyebutan nama Allâh Ta'ala Yang mulia (dalam hadits di atas. pen)”.[9]
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagai suri tauladan yang mulia telah mencontohkan bagaimana menyikapi orang yang telah menyodorkan satu kebaikan kepada beliau. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallâhu'anha pernah berkata “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah. Dan Beliau membalas hadiah itu dengan kebaikan”. [10]
...
Bagaimanakah Cara Membalas Budi? Apakah Kita Bisa Membalas Budi dan Jasa Baik Orang Tua? Silahkan simak pada rubrik Baituna, Majalah As-Sunnah Edisi 02/Thn. XIV/Jumadil Awwal 1431H/Mei 2010M
[1] HR. al-Bukhâri no.134 dan Muslim no. 6318
[2] HR. Muslim no.5296
[3] HR. al-Bukhâri no.3759
[4] Shahîh Sunan Abu Dâwud no. 4800 dengan sanad hasan
[5] Lihat Tafsir at-Thabari atsar no. 5379 dan 5380, Tafsir Ibnu Katsîr 1/648-649
[6] HR. Muslim no. 4753
[7] Shahîh Sunan Abi Dâwud no. 4811
[8] Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 1954
[9] An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts hlm . 488
[10] HR. al-Bukhâri no: 2585