Selasa, 15 Februari 2011

Ikutilah Keduanya dengan Benar

Saudariku yang semoga Allah Ta’ala merahmatimu, ketahuilah bahwasanya merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Yang dimaksud dengan tali Allah (hablullah) ini sebagaimana dijelaskan oleh kalangan ahli tafsir adalah perjanjian Allah, yaitu Al-Qur’an.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku. Dan keduanya tidak akan tercerai-berai hingga keduanya bertemu denganku di telaga.” (HR. Malik. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terlebih lagi jika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Demikianlah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan kepada umat Islam untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah agar selamat di dunia dan akhirat.
Syaikh Shalih bin Sa’ad As Suhaimy dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa arti berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah seorang muslim berusaha untuk mengorbankan segala kemampuan dan keahlian yang dimilikinya untuk selalu berpegang teguh dengan keduanya, berusaha memahaminya dan beramal sesuai dengan yang dijelaskan dalam keduanya, menjadikan Al Quran dan As-Sunnah sebagi pedoman dalam beraqidah, beribadah, bermuamalah, dalam pelaksanaan hukum, dalam adab dan akhlak mulia.
Kedudukan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Keduanya adalah pedoman dan sumber hukum yang pertama dalam agama ini (I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin (4/121)). Kedudukan Al-Qur’an dan As-Sunnah di dalam hujjah (berdalil) adalah setingkat, meskipun dalam segi urutan lebih didahulukan Al-Qur’an. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat dan perinci hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Melalui As-Sunnah-lah ditetapkan suatu hukum yang tidak ada lafadz dalilnya di dalam Al-Qur’an. Maka alangkah jeleknya tindakan sebagian orang yang hanya mau menerima Al-Qur’an dan menolak sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pedoman hidup mereka. Padahal di dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan bahwa Allah telah menyuruh kita untuk taat kepada Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya sedangkan kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al Anfal: 20)
“Dan apa-apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang olehnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7)
Serta firman-Nya yang artinya, “Katakanlah (Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)
Ketahuilah wahai Saudariku, bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berasal dari sumber yang sama dengan Al-Qur’an. Baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah keduanya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla. Karena tidaklah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berbicara dan berbuat sekehendak hawa nafsunya, melainkan berasal dari petunjuk Allah. Maka tidak mungkin sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur’an.
Sungguh indah perkataan Syaikh Bakr Abu Zayd, “Karena keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bagaikan dua sayap bagi burung, maka berhati-hatilah jangan sampai salah satu sayap itu patah.” Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi mengatakan, “…sebagaimana seekor burung tidak bisa terbang kecuali dengan kedua sayapnya, jika salah satu sayapnya putus maka burung itu tidak akan bisa terbang lagi. Dengan demikian, janganlah engkau memperhatikan As-Sunnah tetapi mengabaikan Al-Qur’an, atau memperhatikan Al-Qur’an tetapi mengabaikan As-Sunnah… Ini adalah suatu kesalahan. Akan tetapi haruslah Al-Qur’an dan As-Sunnah itu menjadi dua sayap bagimu, sedangkan sayap yang pokok adalah Al-Qur’an.” (Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi hal. 157)
Cukupkah dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah saja?
Sekarang ini banyak kelompok dakwah yang menyerukan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, meskipun apa yang mereka serukan adalah sama, tetap saja terjadi perselisihan. Hal itu disebabkan oleh berbeda-bedanya pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu wahai Saudariku, tidaklah cukup hanya dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, tetapi harus disertai dengan pemahaman yang benar terhadap keduanya. Lantas, pemahaman kelompok manakah yang benar dan harus kita ikuti?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Fatihah ayat 6-7, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka.” Dalam kedua ayat tersebut tercakup tiga rukun yang mana jika seseorang melaksanakan ketiganya niscaya dia telah berada di atas jalan keselamatan. Ayat ke enam mencakup dua rukun yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan ayat ke tujuh mencakup rukun ke tiga yaitu mengikuti pemahaman para salafush shalih dalam meniti jalan yang lurus ini. Salafush shalih adalah tiga generasi terbaik yaitu para sahabat, tabi’in (generasi setelah generasi para sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah generasi tabi’in) yang dipersaksikan keilmuannya dan kebaikannya, komitmen dalam sunnah, menjauhi bid’ah serta memperingatkan manusia untuk menjauhi bid’ah.
Dalam Madarijus Salikin (1/72-74), Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan bahwa para ulama salaf menafsirkan ash-shirathal mustaqim dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang lainnya. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka. Kemudian beliau menukil perkataan Abul ‘Aliyah Rufai’ dan Al-Hasan Al-Bashri, “Ash-shirathal mustaqim adalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”. Abul ‘Aliyah juga mengatakan, “Dalam firman Allah “shirathalladziina an’amta ‘alaihim” yaitu mereka adalah keluarga (para pengikut) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.” Berkata Zaid bin Aslam, “Alladziina an’amta ‘alaihim: mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.” Maka telah jelaslah bahwasanya shirathal mustaqim adalah jalannya para sahabat Rasulullah dan para pengikutnya.
Mengapa harus salafush shalih ?
Saudariku, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para khalifah sesudahnya. Bahkan beliau mensejajarkan antara sunnah beliau dengan sunnah para khulafaur rasyidin.
”Sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku. Pegang teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah terpecah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan di neraka dan satu golongan di surga, yaitu al jama’ah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan siapakah yang dimaksud dengan al jama’ah, yaitu, “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.” (HR. Tirmidzi)
Maka golongan yang selamat (al jama’ah) adalah orang-orang yang komitmen pada jalannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya, dan jalannya para sahabat (Minhaj Al Firqotun Najiyah wa Thoifatul Mansuroh hal. 8). Ketahuilah, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya kemudian beliau menjelaskannya kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits yang shahih. Para sahabat adalah orang-orang yang lebih mengetahui seluk-beluk Al-Qur’an karena mereka hidup pada zaman diturunkannya Al-Qur’an dan mendapatkannya langsung dari manusia yang paling mulia, Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, penafsiran dan pemahaman para sahabatlah yang paling benar dan selamat. Mereka juga paling mengetahui keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan, dan ucapan beliau sehingga merekalah orang yang paling paham tentang As-Sunnah.
Di samping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga generasi yang beliau persaksikan kebaikannya melalui sabdanya, yang artinya, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku , kemudian yang mengikuti mereka , kemudian yang mengikuti mereka .” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah duhai Saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirilah yang telah memberi rekomendasi kepada para salafush shalih sebagai generasi terbaik. Maka sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Abdul Hamid bin Badisrahimahullah, “Islam itu sesungguhnya hanya ada di dalam Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan oleh para salaf dari tiga generasi yang dipersaksikan kebaikannya melalui ucapan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Keutamaan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush shalih
Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan keridhaan-Nya dan menganugerahkan surga kepada orang-orang yang mau mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Orang yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahi mereka kenikmatan berupa ilmu dan amal shalih, sebagaimana terkandung dalam surat Al Fatihah ayat 7. Mereka akan beramal berdasarkan ilmu. Maka jika seseorang beramal disertai dengan ilmu yang benar (sesuai dengan yang telah dituntunkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) serta niat yang ikhlas, niscaya amalannya tersebut akan diterima oleh Allah Ta’ala dan akan mendapatkan pahala.
Kita juga tidak akan tersesat selama kita berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar. Hal ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan kepada umatnya. “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku.”
Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih juga merupakan sebab bersatunya kaum muslimin. Tidaklah mungkin umat Islam bersatu di atas landasan dan pemahaman yang berbeda-beda. Ketahuilah, sebab terpecahnya umat adalah karena penyimpangan dan jauhnya mereka dari kitabullah dan sunnah nabinya.
Oleh karena itu, sebagai muslimah yang komitmen terhadap agama ini, hendaknya kita senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman salafush shalih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik dan keistiqamahan kepada kita untuk berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Wallahul muwaffiq.
[Ummu Isma’il]
Maraji’:
- Sittu Duror [Terj.], Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramdhani, Media Hidayah.
- Jadilah Salafi Sejati [Terj. Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah], Syaikh Abdussalam bin Salim As Suhaimi, Pustaka At Tazkia.
- I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘alamin, Ibnu Qoyim Al Jauziyah, via software Maktabah Salafiyah.
- Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, via software Maktabah Salafiyah.
- Minhaj Al Firqotun Najiyah wa Thoifatul Mansuroh, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haromain.
- Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Daar Al Ghad Al Jadiid, Mesir.
- CD Untaian Nasehat dari Kitab Arba’in An Nawawiyah, Pustaka Muslim.

BERBAKTILAH SEBELUM TERLAMBAT !! SEBUAH RENUNGAN


Sangat Sedih Rasanya, Saat orangtuaku berkata kepadaku:  
"Terima kasih ya nak…, atas pemberiannya".

بسم الله الرحمن الرحيم و الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Si Fulan berkata kepada penulis: "Hati saya sangat sakit sekali, perasaan saya hancur, sedih, malu, haru, semua rasa bercampur, ketika orangtua saya berkata kepada saya: "Terima kasih ya nak…, atas pemberiannya",
Penulis bertanya: "Coba ceritakan dari awalnya, mungkin akan lebih jelas kejadiannya".
Si Fulan kemudian bercerita: "Ceritanya, orangtua saya minta dikirimi uang dalam jumlah tertentu, dan mereka berkata: "Kirimkan segera ya..",  maka hari itu saya langsung transfer permintaan tersebut kepada orangtua saya, besoknya saya telpon orangtua untuk memberitahukan bahwa uangnya sudah ditransfer, saya berkata kepada orangtua: "Semoga bermanfaat", mereka menjawab: "Uang yang kamu kirim itu sebenarnya, untuk beli celana panjang bapakmu, karena bapakmu mempunyai celana cuma satu, yang hijau itu aja, padahal beliau sering ikut kajian Islam, kalau celana kotor, maka beliau tidak bisa ikut kajian, yang jelas terima kasih ya nak…atas pemberiannya".
Si fulan pun terdiam sejenak sambil mengatur nafas, menahan tangis, kemudian dia berkata: "Semoga orangtua saya diampuni oleh Allah Ta'ala dari segala dosa dan kesalahan serta diberikan husnul khatimah di akhir hidup mereka, Allahumma amin".

Kawan pembaca…
Cerita di atas adalah cerita nyata, penulis ketika mendengar cerita tersebut hanya bisa meneteskan air mata sambil mengingat-ingat ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang berbakti kepada kedua orangtua:

1. Perintah berbakti kepada orangtua disebutkan setelah perintah beribadah kepada Allah semata, hal ini menunjukkan akan sangat tingginya kedudukan berbakti kepada orangtua di dalam Islam.
{وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا} [الإسراء: 23]
Artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.  Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia". QS. Al Isra: 23

2. Perintah berbakti kepada orangtua lebih ditekankan lagi ketika mereka sudah dalam keadaan lanjut usia, karena kalau sudah lanjut usia, mereka dalam keadaan:

a. kadang tidak mempunyai tempat tinggal akhirnya tinggal di tempat anaknya.
b. kadang tidak mempunyai penghasilan akhirnya mereka sering minta kepada anaknya.
c. kadang menginginkan sesuatu yang kurang bermanfaat, akhirnya membuat bingung anaknya.
d. Tua renta yang kesusahan mengerjakan kegiatan pribadi secara sewajarnya, seperti buang air besar, buang air kecil dan semisalnya yang menjijikkan, akhirnya anaknya yang mengurusnya.

Maka dari sinilah rahasianya, Allah Ta'ala memerintahkan kepada anak:
a. untuk berbakti kepada orangtua,
b. untuk jangan mengucapkan perkataan "ah" kepada mereka,
c. untuk jangan membentak dan mengucapkan perkataan yang baik kepada mereka,
terutama dalam keadaan mereka tua. Lihat Tafsir An Nasafi, 2/283.

Coba perhatikan hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ ».
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Kehinaan baginya, kehinaan baginya, dan kehinaan baginya!!", lalu ada yang bertanya kepada beliau: “Bagi siapakah kehinaan itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang mendapati kedua orangtuanya dalam keadaan tua (jompo), salah satunya atau keduanya kemudian ia tidak masuk surga". HR. Muslim

3. Sungguh tidak pantas seorang anak mendapatkan ucapan terima kasih dari orangtua, karena berbakti adalah kewajiban anak, mari perhatikan riwayat berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى مَالاً وَوَلَدًا وَإِنَّ أَبِى يُرِيدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِى فَقَالَ « أَنْتَ وَمَالُكَ لأَبِيكَ ».
Artinya: "Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma bercerita: "Sesungguhnya ada seseorang berkata kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta dan anak dan sesungguhnya bapakku ingin mengambil/memusnahkan hartaku"?, Rasulullah shallallahu 'alaih wasallam menjawab: "Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu". HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani.

Sungguh Indah perkataan Imam Qurthubi rahimahullah: “Orang yang bahagia adalah orang yang menggunakan kesempatan emas ini untuk berbakti kepada kedua orangtuanya agar ia tidak luput dari (kesempatan emas ini yaitu masuk surga) dengan meninggalnya kedua orangtuanya. Dan orang yang celaka adalah orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, terlebih lagi orang yang telah diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtuanya”. Lihat Tafsir Al Qurthubi, 10/242.

Kawan pembaca…Baktilah…sebelum telat!

Ditulis oleh seorang anak yang menginginkan kedua orangtuanya dan seluruh orangtua kaum muslim masuk surga. Allahumma amin.

Ahmad Zainuddin
Dammam KSA, Selasa 14 Shafar 1432H.

Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik

Oleh: Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr Hafidhahullah
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.
“ Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi.
“Artinya : Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim [Tetapi lafaz yang tersebut terdapat dalam riwayat Bukhari] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda.
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)?”
Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.
Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
“ Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”
Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.
“ Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”
Beliau berkata, “Orang yang membukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdasarkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits.
“ Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.
“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”
[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 22-41, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

Selamatkan Jiwa dari Berburuk Sangka

Ustadz Abu Bakr al-Atsari
Sesungguhhnya Allah Ta’ala menciptakan hati dalam tubuh manusia bukan tampa maksud dan hikmah yang kosong. Dia menyuruhnya untuk beribadah dan berbakti kepada-Nya
Namun, sedikit sekali yang punya hati menyadarinya karena menyangka bahwa yang di pertanggung jawabkan kelak hanya anggota badannya. Bahkan, ada yang membiarkan hatinya terjangkit penyakit tampa ada usaha untuk mendiaknosa dan mengobatinya
Diantara penyakit hati yang banyak menggorogoti manusia adalah su’uzhzhon atau buruk sangka. RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memperingatkan akan bahaya penyakit ini:
“Hati-hatilah kalian dari berburuk sangka, karena buruk sangka adalah pembicaraan yang paling dusta”[1]
PENGERTIAN SU’UZHZHON
Zhon bias berarti keraguan[2], tuduhan[3], perkiraan[4], dan keyakinan[5]. Sedangkan su’u bermakna jelek atau lawan dari baik[6] atau segala sesuatu yang menyusahkan[7]. Jadi, su’uzhzhon adalah membuat-buat kebohongan atau perkiraan terhadap orang lain sehingga membuatnya sedih tampa ada alas an yang dibenarkan[8]
Sebab-sebab su’uzhzhon adalah:
1.  Tidak Adanya Pijakan yang Benar Dalam Menghukumi Seseorang Atau Suatu Permasalahan
Pijakan yang dimaksud adalah:
  1. Memperhatikan fakta di lapangan dan menyerahkan rahasia batinnya kepada Allah Ta’ala. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami dalam sebuah pasukan perang, kemudian pada pagi harinya kami meyerang Bani Huroqat dari Juhainah. Lalu saya menjumpai seseorang mengatakan: Laa ilaaha illallah, kemudian aku menikamnya sehingga jiwaku menjadi tidak tenang. Aku menceritakannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apakah setelah ia mengatakan Laa ilaaha illallah kemudian kamu membunuhnya…?!”Aku berkata: Ia mengatakannya hanya karena takut senjata. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga mengetahui apakah hatinya mengucapkan atau tidak…?!”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulangi pertanyaanya kepadaku, sampai aku berangan-angan seandainya aku baru masuk islam pada hari itu’[9]
  1. Berpatokan pada dalil (bukti) atau argument yang kuat[10]
  2. Meneliti kebenaran dalil atau argument tersebut[11]. Demikian pula sebelum memutuskan suatu hokum harus didasari prinsip Tabayyun (mencari kejelasan) sehingga tidak menyesal dikemudian hari
  3. Tidak adanya pertentangan antara dalil atau argument yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, alasan orang-orang melakukan kesyirikan atau kemaksiatan dengan mengatakan: “Jika Allah Ta’ala menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak meyekutukan-Nya dan tidak (pula)kami mengharamkan barang sesuatu apapun” maka Allah Ta’ala membantahnya:
“Katakanlah: Apakah kamu mempunyai suatu pengetahuan sehingga kamu bias mengemukakannya kepada kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta” (QS. al-An’am [6]: 148)
2.  Mengikuti Hawa Nafsu
Terkadang seseorang karena hawa nafsunya cenderung memihak kepada seseorang sekalipun orang tersebut nyata-nyata bersalah. Sedangkan takkala ia memang dari awalnya tidak suka atau membenci seseorang, apakah karena iri, dengki, atau sebab yang lain, maka secara psikologis ia akan selalu menyalahkan dan berprasangka negatif kepadanya sekalipun orang itu diatas kebenaran. Allah Ta’ala mencela perilaku tersebut dengan firman-Nya:
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun” (QS. al-Qashas [28]: 50)
3.  Terpengaruh oleh Syubhat
Syubhat atau pemikiran-pemikiran menyimpang sangat besar peranannya menumbuhkan sikap berburuk sangka, baik dengan sengaja maupun tidak. Dengan syubhat, sahabat bisa menjadi musuh dan panutan bisa menjadi ejekan
Dari Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhu bahwa Shofiyyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di mesjid bersama para istri beliau, kemudian mereka pulang petang hari. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Shofiyyah binti Huyai radhiyallahu ‘anha“Jangan terburu-buru, aku mau pulang bersamamu” ketika itu Shofiyyah radhiyallahu ‘anha tinggal dirumah Usama. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersamanya kemudian bertemu dengan dua orang laki-laki Anshor. Mereka berdua melihat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berlalu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memanggil keduanya: “Kesinilah, wanita ini adalah Shofiyyah” Mereka berdua berkata: ‘Subhanallah, wahai Rasulullah!’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya setan mengalir dalam peredaran darah manusia. Dan aku khawatir aka nada sesuatu (prasangka negatif) dalam diri kalian” [12]
4.  Tidak Menjaga Adab yang Benar Dalam Berbisik-bisik
Berbisik-bisik antara dua orang atau lebih dengan membiarkan orang ketiga, atau berbisik-bisik bukan dengan bahasa nasional dapat menyebabkan prasangka buruk bagi orang yang tidak memahaminya. Demikian pula berbisik-bisik dalam hal maksiat atau dalam perkara-perkara yang tidak penting.[13]
BAHAYA SU’ UZHZHON
  1. Su’uzhzhon akan melahirkan rangkaian dosa dan maksiat seperti ghibah, Namimah, Hasad, permusuhan, perselisihan bahkan dapat memutuskan silahturahmi
  2. Orang yang senang berburuk sangka, kehidupannya akan sempit dan hatinya selalu merana.[14]
  3. Pelakunya akan dijauhi oleh manusia dan itulah sejelek-jelek manusia. Sebagaimana sabda Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang meninggalkannya atau memisahkan diri darinya karena takut kejelekannya”[15]
  4. Akan berujung kepada penyesalan[16]
  5. Menyia-nyiakan waktu, tenaga dan pikiran tampa ada manfaatnya
Namun terkadang Su’uzhzhon diperbolehkan, bahkan wajib hukumnya. Diperbolehkan su’uzhzhon kepada orang yang terang-terangan melakukan maksiat dan menampakkan kejahatanya karena adanya dalil yang kuat, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas. Sedangkan kepada orang-orang kafir dan munafik yang memamerkan kekafirannya dan memusuhi kaum muslimin maka kita wajib su’uzhzhon kepada mereka. Wallahu a’lam
Disarikan dari Kitab: Afatut Thoriq Karya Syaikh Dr. as-Sayyid Muhammad Nuh hafidhahullah
Sumber: Majalah almawaddah, vol. 36 Edisi Khusus Dzulhijjah 1431 H-Muharram 1432 H, November 2010 –Januari 2011
Catatan Kaki:

[1] HR. Bukhari 4849
[2] QS. al-Hajj [22]: 15
[3] QS. al-Ahzab [33]: 10
[4] QS. al-Anbiya’ [21]: 78
[5] QS. al-Baqarah [2]: 45-46
[6] QS. al-Araf [7]: 95
[7] Bashoir Dzawi at-Tamyiz fi Lathoifil Kitabil ‘Aziz, Fairus Abadi 3/545-547, 288-289
[8] Afatut Thoriiq, DR. as-Sayyid Muhammad Nuh, juz 3
[9] HR. Bukhari 5/183, Muslim 96, 97
[10] Baca QS. al-Baqarah [2]: 111
[11] Baca QS. an-Nisaa’ [4]: 94
[12] HR. Bukhari 1933, Abu Dawud 2470
[13] Baca QS. al-Mujadilah [58]: 10
[14] Baca QS. Thaha: [20]: 124
[15] HR. Bukhari 5730
[16] Baca QS. al-Maidah [5]: 52
thank you