Rabu, 19 Januari 2011

Lenyapnya Keberkahan Ilmu

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.

Seorang penuntut ilmu, tentu tidak menginginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Terlebih lagi, jika yang hilang itu adalah keberkahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menambah dekat dengan Allah ta’ala, namun justru sebaliknya, wal ‘iyadzu billah

Tidak sedikit, kita jumpai para penuntut ilmu syar’i yang berusaha untuk mengkaji kitab para ulama, bahkan bermajelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, perkara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokohnya ilmu dalam diri setiap pribadi muslim, niscaya agamanya akan tertopang landasan yang kuat.

Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Mukminin dalam bidang hadits, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”

Begitu pula, perkataan Imam Ahlus Sunnah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullahyang sangat terkenal, “Umat manusia sangat membutuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).

Akan tetapi, tatkala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sampai meresap serta tertancap kuat ke dalam lubuk hati, maka justru musibah dan bencana yang ditemui. Tidakkah kita ingat ungkapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Nasrani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah al-Fatihaholeh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jumpai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.

Saudaraku, semoga Allah menjaga diriku dan dirimu… Masih tersimpan dalam ingatan kita, doa yang sepanjang hari kita panjatkan kepada Allah, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka, dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nasrani).” Inilah doa yang sangat ringkas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah pun menyebutnya sebagai doa yang paling bermanfaat, mengingat kandungannya yang sangat dalam dan berguna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimurkai karena mereka berilmu namun tidak beramal. Adapun kaum Nasrani tersesat karena mereka beramal tanpa landasan ilmu. Maka, orang yang berada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.

Dari sinilah, kita mengetahui, bahwa hakekat keilmuan seseorang tidak diukur dengan banyaknya hafalan yang dia miliki, banyaknya buku yang telah dia beli, banyaknya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyaknya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibanggakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu“Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khas-yah/rasa takut -kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyimrahimahullah).

Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam berjuang menggapai keikhlasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaidrahimahullahu rahmatan wasi’ah).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya setiap amal itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ikhlas, bukanlah ucapan yang terlontar di lidah, huruf yang tertulis dalam catatan, banyaknya harta yang telah kita sumbangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita berdakwah, atau penampilan fisik yang tampak oleh mata. Ikhlas adalah ‘permata’ yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan menjadi sebab terbukanya gerbang ketentraman dan hidayah dari Allah ta’ala. Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82). Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa keikhlasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta’an.

Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kontemporer yang sangat terkenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak menjadi orang yang memburu popularitas. Beliau mengutip ungkapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh zhuhurMenyukai ‘ketinggian’ akan mematahkan punggung.”Maknanya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah berfirman (yang artinya), “Berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Ikhlas -wahai saudaraku- … adalah rahasia kesuksesan dakwah nabi dan rasul serta para pendahulu kita yang salih. Berapapun jumlah orang yang tunduk mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun ayahnya  sendiri produsen berhala, meskipun anaknya sendiri menolak perintah Rabbnya, meskipun pamannya sendiri tidak mau masuk Islam yang diserukannya, meskipun tidak ada pengikutnya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan kaum yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)

Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita mendapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain… Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah memberikan karunia keikhlasan kepada kita...


Kandas Karena Malas

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

"Tiada pemandangan yang lebih aku benci melebihi tatkala aku melihat orang yang tidak sedang beramal untuk akhiratnya, tidak pula sedang bekerja untuk dunianya."
Demikianlah sahabat agung, Abdullah bin Mas'ud radiyallahu 'anhu mengungkapkan kebenciannya terhadap sifat malas.

Tiada seorang pun yang memelihara penyakit malas, melainkan masa depannya akan suram. Malas adalah musuh dari amal dan bertentangan dengan sifat-sifat kehidupan.

Imam ar-Raghib berkata, " Barangsiapa yang malas dan berleha-leha, berarti dia telah menanggalkan sifat-sifat insaniyah, bahkan menanggalkan ciri khas makhluk hidup, sehingga dia lebih dekat disebut benda mati."

Karenanya Allah Subhanahu wata'ala jadikan makhluk hidup dengan perangkat - perangkat yang memungkinkan baginya untuk bergerak dan beraktifitas, bukan untuk diam bermalas. Allah Subhanahu wata'ala karuniakan manusia dengan akal, agar dia mau berpikir, menciptakan pendengaran, penglihatan dan anngota badan yang dipergunakan sebagai sarana yang mendatangkan maslahat manusia, baik untuk jangka pendek (dunia), mau pun jangka panjang (akhirat). Memandulkan fungsi-fungsi itu berarti menyia-nyiakan pemberian Allah Subhanahu wata'ala. Sebagai catatan, manusia diciptakan BUKAN UNTUK MAIN-MAIN, atau sekedar makhluk pelengkap yang mewarnai populasi benda di muka bumi.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman "Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?" (QS. al-Mukminun : 115)

MALAS : DI BENCI NABI, DI CINTA SETAN.

Malas adalah meninggalkan aktivitas yang bermanfaat padahal mampu menjalankannya. Orang yang malas tidak memiliki cita-cita, yang di miliki hanyalah angan-angan. Mereka punya harapan, tetapi tidak mau bersusah payah untuk menggapainya. Maka harapan orang pemalas akhirnya kandas. Efek bermalas-malasan semuanya buruk. Begitu besar efek buruk yang diakibatkan kemalasan, sehingga Rasulullah sallallahu 'alaihi wasalam mengajarkan kita setiap pagi dan petang memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wata'ala dari kemalasan, di antaranya doa yang diajarkan oleh Nabi :

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada Mu dari kemalasan dan keburukan di masa tua, dan aku memohon perlindungan Mu dari adzab neraka dan adzab kubur." (HR. Muslim)

Di pihak lain, ketika setan mengetahui efektifnya kemalasan, maka setan berusaha membisikan kemalasan setiap kali manusia hendak memulai harinya, agar manusia menderita kerugian setiap hari. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasalam bersabda : " Setan mengikat pada tengkuk salah seorang di antara kalian dengan tiga ikatan saat manusia tidur. Setiap ikatan dia (setan) bisikan "malammu masih panjang", Jika ia bangun, lalu berdzikir kepada Allah, maka lepaslah satu ikatan. Jika ia berwudhu, lepaslah dua ikatan, dan jika ia shalat maka lepaslah semua ikatan, sehingga di pagi harinya ia energik, jiwanya tentram. Namun jika tidak, maka di pagi harinya jiwanya labil dan malas." ( HR. Muslim)

JENIS MALAS dan DAMPAKNYA

1. MALAS BELAJAR DAN BERPIKIR

Menyebabkan kebodohan yang akan dirasakan pahitnya sepanjang hayat. Bodoh dalam hal kemaslahatan duniawi itu musibah, bodoh dalam urusan agama lebih fatal lagi musibahnya.
Kebodohan adalah gerbang utama setan untuk menggoda manusia. Dengan mudahnya dia akan digelincirkan setan karena dia tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang utama dan mana yang hina, mana yang sunnah dan mana yang bid'ah / sesat. Bisa jadi dia merasa telah berbuat sebaik-baiknya, padahal yang dilakukan hanyalah kesesatan.

2. MALAS BEKERJA

Untuk mencari ma'isyah (penghidupan) adalah pangkal dari kemiskinan. Karena rizki harus diupayakan secara hissiyah, yakni ikhtiar jasmani, di samping cara ruhani seperti tawakal, taqwa, silahturrahim dan lain-lain. Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
" Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. ' (QS al-Jumu'ah : 10).
Maka orang yang malas bekerja, dia akan menyalahi sunnah kauniyah dan sunnah syar'iyyah dalam hal mencari rizki. Sebagai akibatnya, ia akan terhalang untuk mendapatkan rizki yang baik bahkan menjadi beban hidup bagi orang lain yang tersusahkan oleh keberadaanya.

3. MALAS DALAM MENJALANI KETAATAN

Malas dalam beramal dan taat menyebabkan kerugian di akhirat. Orang yang tidak memanfaatkan waktu di dunia untuk ketaatan, akan menyesal saat kematian mendatanginya. Allah Subhanahu wata'ala berfirman : " Ya Rabb ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh ?" (QS al-Munafiqun : 10).

Orang yang bermalasan dalam menjalankan ketaatan kelak di dalam kubur akan ditemani oleh amal buruknya yang berujud makhluk yang buruk rupa, busuk baunya, dan kumal bajunya. Lalu berkata : " Bergembiralah dengan kemurkaan Allah dan adzab yang pedih!". Orang itu menjawab, "Semoga Allah menimpakan keburukan atasmu, siapa kamu ?"  "Aku adalah amalan burukmu. Demi Allah, sesungguhnya kamu dulu orang yang bersegera dalam kemaksiatan, dan berlambat-lambat dalam mentaati Allah, maka Allah membalasmu dengan keburukan..." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim). Masih dalam hadits tersebut, disebutkan bahwa orang tersebut di pukul dengan tongkat besi hingga dia menjadi debu, kemudian Allah ta'ala mengembalikannya seperti semula, kemudian dipukul lagi sehinnga ia berteriak dengan satu teriakan yang dapat di dengar oleh semua makhluk di muka bumi kecuali oleh jin dan manusia.


AYO LAWAN RASA MALAS !!!

Dalam meraih sukses dunia, kerja keras adalah jalan hidup yang dipilih.  Kata-kata dan angan-angan tidak akan mampu mewujudkan perbaikan hidup tanpa di iringi aksi. Manusia harus mampu mengaplikasikannya sebagai ikhtiar dari niatnya. Jangan pernah seumur hidup menggantungkan diri dari jerih payah orang lain, apalagi jika anda adalah seorang laki-laki dan pemimpin dalam rumah tangga. Anda yang diamanahkan Allah ta'ala untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan  istri serta anak-anak anda. Ingat baik-baik, bahwa Allah ta'ala tidak akan merubah nasib seseorang sebelum dia sendiri yang merubahnya. Kegigihan yang di pupuk akan membuat seseorang selalu merasa lebih kuat dari apapun yang merintanginnya dan selalu bisa bangkit dari kegagalannya serta tidak lupa tetap istiqamah di jalanNYA, InsyaAllah. 

Dalam meraih kesuksesan akhirat, kita dapat mencontoh para sahabiyah dan ulama dalam kegigihan mereka belajar dan mengajarkan islam. Beberapa saat sebelum wafat, Abu Yusuf masih sempat mendiskusikan masalah fikih. Dalam kondisi sakit parah dan beberapa saat sebelum meninggal, Ibnu Jarir masih sempat menulis ilmu. 


AGAR BEBAS dari MALAS

1. KATAKAN TIDAK UNTUK MAKSIAT

Kebiasaan malas dapat timbul akibat berbuat maksiat. Karena dosa selalu berakibat buruk bagi pelakunya. Paling minimal, durhaka kepada Allah ta'ala menghilangkan kenikmatan beribadah, sehingga amalan terasa hampa dan biasa saja. Maksiat juga mengubah badan menjadi malas, terutama untuk beribadah. Tiada obat untuk menyembuhkannya selain takwa.

2. MENGHARAP PAHALA ALLAH

Jika rasa malas muncul, bayangkanlah keutamaan dan pahala ibadah tersebut. Pahala dan balasan dari Allah ta'ala sungguh lebih mahal dari usaha manusia untuk menebusnya.

3. ISTIQAMAH

Kebiasaan dapat diatasi dengan berdisplin mengatur waktu dan merencanakan aktifitas. Yang tidak boleh dilupakan adalah menjaga konsistensi amal. Tidak ghuluw (berlebihan) saat beramal agar tidak futur kala sedang menurun. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam bersabda : "Amal perbuatan yang Allah paling cintai adalah yang paling konsisten, meskipun hanya sedikit." (HR. Bukhari)

Wallahu a'lam bis shawab.

Source : ar-risalah edisi 103 vol. IX no. 07. page 9-1
thank you