Senin, 27 Desember 2010

MENGONTROL RASA TAKUT DAN HARAP




Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
“Bagaimanakah madzhab Ahlus-Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ (harap) dan khouf (takut)?”


Maka Beliau menjawab :

“Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah khouf ke dalam beberapa pendapat :

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat : “Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.”

Beliau (Imam Ahmad) rahimahullah berkata : “Karena apabila ada salah satunya yang lebih mendominasi maka akan binasalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus asa terhadap rahmat Allah.

Sebagian ulama berpendapat : “Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.”
Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.

Sebagian yang lain mengatakan :
“Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalam kondisi berbaik sangka kepada-Nya.

Adapun, pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah : hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya setiap orang adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.”
(Fatawa Arkan al-Islam, hal. 58-59)
thank you