JIKA UMUR TELAH MENCAPAI EMPAT PULUH TAHUN
Oleh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim
Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?
‘Abdullah bin Dawud berkata, “Adalah salah satu dari mereka (kaum Salaf), jika umurnya telah mencapai empat puluh tahun, maka mereka menggulung tempat tidurnya, mereka sama sekali tidak tidur. Akan tetapi memenuhi malamnya dengan shalat, tasbih, dan istighfar… mereka menggantikan waktu (umur) yang telah lalu dengan kebaikan dan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.
”Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas,
mereka menolak dunia dan takut akan fitnahnya.
Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ketika mereka tahu,
bahwa tidak ada tempat bagi orang yang hidup di dalamnya.
Mereka menjadikannya sebagai gelombang,
dan menjadikan amal sebagai kapal.
‘Abdullah bin Tsa'labah berkata dalam nasihatnya, “Tertawalah engkau, barangkali kain kafan untukmu telah ada di tangan tukang potong kain!!”[1]
Wahai orang yang sedang tidur, perjalanan telah dimulai. Wahai yang membuat bangunan di atas tangga-tangga yang penuh dengan air bah, cepatlah melakukan amal sebelum umurmu punah… janganlah engkau melupakan Dzat Yang menghitung hembusan nafasmu saat perjumpaan denganmu.
Saudaraku tercinta…
Ambillah rizki secukupnya,
ambillah yang jernih dari kehidupan ini.
ini semua akan berakhir,
bagaikan lentera ketika padam.
Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Dunia adalah tempat kesibukan, sedangkan akhirat adalah tempat terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dan senantiasa seorang hamba ada di antara kesibukan dan juga kegoncangan (hal-hal yang menakutkan) sehingga datang kepadanya keputusan, ke Surgakah ia atau ke Neraka.” [2]
Saudaraku semuslim…
Siapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berfikir dengan sempurna, dia akan memahami bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan, maka dia akan selalu mengumpulkan perbekalan untuknya. Dia juga tahu bahwa perjalanan tersebut dimulai dari punggung seorang ayah, menuju perut seorang ibu, lalu ke dunia, ke kuburan, setelah itu menuju alam Mahsyar, dan yang terakhir menuju tempat yang abadi.
Inilah tempat keselamatan dari segala “penyakit,” yaitu tempat yang kekal abadi. Sedangkan syaitan menawan kita untuk tetap menuju dunia, sehingga kita terus bersemangat dalam keluarga yang hancur berantakan, kemudian dia selalu mendorong kita menuju tempat kita semula. Ketahuilah bahwa batas kehidupan di dunia hanyalah hitungan nafas, perjalanan yang cepat dan tak terasa bagaikan perjalanan sebuah kapal yang tidak dirasakan oleh penumpang yang duduk di atasnya.
Sudah semestinya, dia harus memiliki bekal, dan tidak ada bekal menuju perjalanan akhirat kecuali ketakwaan. Oleh karena itu, seseorang haruslah sabar dan merasakan lelahnya kehidupan dalam melaksanakan ketakwaan, sehingga dalam perjalanannya dia tidak berkata, “Ya Rabb-ku! Kembalikanlah aku.” Dan dikatakan kepadanya, “Tidak!”
Maka hendaklah orang yang lalai mewaspadai sifat malas dalam perjalanannya, karena sesungguhnya Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang memutuskan perjalanannya sebagai ancaman baginya dengan harapan agar mereka tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Siapa yang menyimpang dari jalan-Nya yang lurus lalu melihat sesuatu yang ditakutinya, maka kembalilah kepada Allah dari jalan yang dilaluinya dengan bertaubat dari kemaksiatan.[3]
Keadaan di dunia sebagaimana disifati oleh ar-Rabi' bin Khaitsam, ketika beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu Yazid?” Beliau menjawab, “Di pagi ini aku berada dalam keadaan lemah dan penuh dengan dosa, kita memakan rizki kita sambil menunggu ajal kita.” [4]
Syumaith bin ‘Ajlan jika menyifati ahli dunia, beliau berkata, “Mereka semua bingung dan mabuk, penunggang kudanya berlari, sedangkan pejalan kaki berjalan dengan kakinya, yang fakir dan yang kaya tidak pernah merasa puas di dalamnya.” [5]
Saudaraku…
Bersikap qana’ahlah dengan duniamu dan relalah dengan yang ada padamu, karena di dalamnya tidak ada kesenangan selain kesenangan badan. Siapa saja yang mempersiapkan dirinya untuk berjumpa dengan Allah, dan menggunakan waktunya untuk melakukan amal-amal yang bemanfaat baginya, maka Allah akan memberikan kemanfaatan baginya di hari Kiamat. Oleh karena itu, dia akan berbahagia pada suatu hari di mana harta dan anak tidak berguna… hari di mana lembaran-lembaran bertebaran dan hati bergetar. Pada hari itu engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sama sekali tidak mabuk, akan tetapi penyebabnya adalah adzab Allah sangatlah pedih.
Anas bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Aku melihat Shaf-wan bin Salim, jika dikatakan kepadanya besok hari Kiamat, maka seakan-akan dia sama sekali tidak me-miliki bekal dari ibadah.” [6]
Mereka adalah kaum yang selalu melakukan ibadah dengan giat dan memikirkan kehidupan akhirat mereka dengan mempersiapkan bekal untuknya.
Jika jiwa itu menjauh dari kebenaran,
maka kita membentaknya.
Dan jika dia menghadap dunia
dengan meninggalkan akhirat,
maka kita menahannya.
Dia menipu kita dan kita menipunya, hanya dengan kesabaran kita dapat mengalahkannya. [7]
Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang dicari bukan karena Allah, niscaya akan hancur.” [8]
Siapa yang mencari dunia untuk dunia, maka dia akan meninggalkannya di hembusan nafas terakhirnya, dia akan pergi di detik-detik yang sangat menakutkan. Dan siapa yang mencari dunia untuk Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, maka cukuplah baginya apa yang diinginkannya. Dunia baginya sebagai jalan menuju Darus Salam (Surga) dengan kasih sayang (rahmat) Allah dan ridha/karunia-Nya.
Orang yang selalu melakukan kebaikan dan ketaatan adalah manusia biasa, seperti kita yang mencintai dunia dan segala macam perhiasannya. Akan tetapi mereka lebih mengutamakan yang kekal daripada yang fana, sehingga Allah memudahkan baginya jalan untuk mendapatkannya dan mengeluarkan mereka dari berbagai kesulitan.
Aku sabar dalam menghadapi kenikmatan ketika dia pergi,
dan aku menetapkan kesabaran di dalam diriku sehingga dia terus menetap.
Berhari-hari jiwaku berada dalam kemuliaan,
lalu ketika dia melihat tekadku ada di dalam kehinaan, dia pun ikut merasakan kehinaan.
Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai jiwa, matilah dalam keadaan mulia,dahulu dunia memihak kepada kita, tetapi sekarang dia telah pergi.
”Tidak wahai kekasihku. Demi Allah, tidak ada satu musibah pun,
berlalu kepada hari-hari melainkan dia akan pergi.
Jiwa itu sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang kepadanya, jika dia diberi makan, maka dia memiliki kekuatan dan jika tidak, maka dia akan lumpuh.[9]
Seseorang berkata kepada al-Fudhail bin 'Iyadh, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu ‘Ali?
” Beliau adalah orang yang tidak senang dengan ungkapan: “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” atau “Bagaimana keadaanmu sore ini?
” Lalu beliau menjawab, “Dalam keadaan sehat.” Lalu orang tadi bertanya, “Bagaimana keadaanmu?
” Beliau berkata, “Keadaan mana yang engkau tanyakan? Keadaan dunia atau akhirat?
” Jika engkau menanyakan keadaan dunia, maka sesungguhnya dunia telah berpaling dan pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka aku sebagaimana engkau melihat orang yang banyak melakukan perbuatan dosa, amalnya lemah, umurnya sudah punah, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan hari Akhir, tidak takut akan kematian, tidak menghias diri untuk menghadapi kematian, akan tetapi hanya menghias diri untuk dunia.”[10]
Kebanyakan dari kita sebagaimana digambarkan oleh ‘Auf bin ‘Abdillah ketika beliau ditanya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyempatkan kehidupannya untuk dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan kehidupan kalian untuk akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia.” [11]
Dan yang kita lihat sekarang ini berupa pengorbanan waktu, kemampuan, pemberian, dan penelitian hanya untuk dunia, maka kita dapatkan sungguh menakjubkan… . Bahkan sebagian dari mereka jika akan membeli sebuah kebutuhan yang sangat sederhana, akan menyibukkan dirinya untuk memikirkannya selama beberapa hari, dia telah membuang waktunya yang sangat berharga… . Akan tetapi jika engkau melihatnya di dalam masjid, maka engkau akan melihat orang tersebut melakukan shalat, seperti ayam yang sedang makan, dia sama sekali tidak memperhatikan sujud maupun ruku’nya, bahkan dia mendahului imam, tidak melakukannya dengan khusyu’, dan tidak pernah terlihat di mukanya bekas air mata.
Kebanyakan dari manusia mabuk dengan urusan dunia dan tidak sedikit pun hatinya tergerak ketika kesempatan melakukan kebaikan hilang dari dirinya, atau ketika kesempatan yang penuh dengan pengabulan do’a dari Allah tiba, maka engkau akan melihatnya dalam keadaan lalai dan bermain-main, mengumpulkan lalu membuangnya, menambahnya lalu dikurangi dari dirinya, seolah-olah hari-hari yang telah berlalu akan kembali atau bulan-bulan yang telah pergi akan ditemuinya lagi?!
Bandar berbicara tentang Yahya bin Sa’id dengan ungkapannya, “Aku ikut bersamanya selama dua puluh tahun dan aku sama sekali tidak pernah mendapatinya bermaksiat kepada Allah.”[12]
Saudaraku semuslim…
Bersabarlah dalam menghadapi pedihnya perjalanan,
ibadah di waktu malam, sore dan pagi.
Janganlah engkau merasa gelisah dan jangan pula merasakan lemah di dalam mencarinya,
karena kegalauan ada di antara gelisah dan putus asa.
Aku menyaksikan pengalaman di setiap hari, bahwa kesabaran memiliki akibat yang terpuji.
Sedikit sekali orang yang giat mencari dengan disertai,
kesabaran kecuali dia akan berbahagia dengan kemenangan. [13]
Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Wahai manusia engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha orang yang tidak membutuhkannya. Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya. Dan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya, maka fahamilah keadaanmu!
”[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il,
Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim,
Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]__________
Footnotes
1]. Al-‘Aaqibah, hal. 88.
[2]. Az-Zuhd, hal. 248, karya al-Baihaqi.
[3]. ‘Iddatush Shaabiriin, hal. 330.
4]. Shifatush Shafwah (III/67).
[5]. Shifatush Shafwah (III/346).
[6]. Hilyatul Auliyaa' (III/159).
[7]. Shifatush Shafwah (IV/114).
[8]. Hilyatul Auliyaa’ (III/176).
[9]. Syadzaraatudz Dzahab (II/364).
[10]. Hilyatul Auliyaa’ (VIII/86).
[11]. Hilyatul Auliyaa’ (IV/242).
12]. Tadzkiratul Huffazh (I/299).
[13]. Mawaariduzh Zham-aan (III/276).