Selasa, 09 November 2010

JIKA UMUR TELAH MENCAPAI EMPAT PULUH TAHUN

JIKA UMUR TELAH MENCAPAI EMPAT PULUH TAHUN

Oleh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim

Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?

‘Abdullah bin Dawud berkata, “Adalah salah satu dari mereka (kaum Salaf), jika umurnya telah mencapai empat puluh tahun, maka mereka menggulung tempat tidurnya, mereka sama sekali tidak tidur. Akan tetapi memenuhi malamnya dengan shalat, tasbih, dan istighfar… mereka menggantikan waktu (umur) yang telah lalu dengan kebaikan dan menyiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang akan datang.

”Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas,
mereka menolak dunia dan takut akan fitnahnya.
Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ketika mereka tahu,
bahwa tidak ada tempat bagi orang yang hidup di dalamnya.
Mereka menjadikannya sebagai gelombang,
dan menjadikan amal sebagai kapal.

‘Abdullah bin Tsa'labah berkata dalam nasihatnya, “Tertawalah engkau, barangkali kain kafan untukmu telah ada di tangan tukang potong kain!!”[1]

Wahai orang yang sedang tidur, perjalanan telah dimulai. Wahai yang membuat bangunan di atas tangga-tangga yang penuh dengan air bah, cepatlah melakukan amal sebelum umurmu punah… janganlah engkau melupakan Dzat Yang menghitung hembusan nafasmu saat perjumpaan denganmu.

Saudaraku tercinta…
Ambillah rizki secukupnya,
ambillah yang jernih dari kehidupan ini.
ini semua akan berakhir,
bagaikan lentera ketika padam.

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Dunia adalah tempat kesibukan, sedangkan akhirat adalah tempat terjadinya hal-hal yang menakutkan. Dan senantiasa seorang hamba ada di antara kesibukan dan juga kegoncangan (hal-hal yang menakutkan) sehingga datang kepadanya keputusan, ke Surgakah ia atau ke Neraka.” [2]

Saudaraku semuslim…

Siapa yang mencurahkan kemampuannya untuk berfikir dengan sempurna, dia akan memahami bahwa dunia ini adalah sebuah perjalanan, maka dia akan selalu mengumpulkan perbekalan untuknya. Dia juga tahu bahwa perjalanan tersebut dimulai dari punggung seorang ayah, menuju perut seorang ibu, lalu ke dunia, ke kuburan, setelah itu menuju alam Mahsyar, dan yang terakhir menuju tempat yang abadi.

Inilah tempat keselamatan dari segala “penyakit,” yaitu tempat yang kekal abadi. Sedangkan syaitan menawan kita untuk tetap menuju dunia, sehingga kita terus bersemangat dalam keluarga yang hancur berantakan, kemudian dia selalu mendorong kita menuju tempat kita semula. Ketahuilah bahwa batas kehidupan di dunia hanyalah hitungan nafas, perjalanan yang cepat dan tak terasa bagaikan perjalanan sebuah kapal yang tidak dirasakan oleh penumpang yang duduk di atasnya.

Sudah semestinya, dia harus memiliki bekal, dan tidak ada bekal menuju perjalanan akhirat kecuali ketakwaan. Oleh karena itu, seseorang haruslah sabar dan merasakan lelahnya kehidupan dalam melaksanakan ketakwaan, sehingga dalam perjalanannya dia tidak berkata, “Ya Rabb-ku! Kembalikanlah aku.” Dan dikatakan kepadanya, “Tidak!”

Maka hendaklah orang yang lalai mewaspadai sifat malas dalam perjalanannya, karena sesungguhnya Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang memutuskan perjalanannya sebagai ancaman baginya dengan harapan agar mereka tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Siapa yang menyimpang dari jalan-Nya yang lurus lalu melihat sesuatu yang ditakutinya, maka kembalilah kepada Allah dari jalan yang dilaluinya dengan bertaubat dari kemaksiatan.[3]

Keadaan di dunia sebagaimana disifati oleh ar-Rabi' bin Khaitsam, ketika beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu Yazid?” Beliau menjawab, “Di pagi ini aku berada dalam keadaan lemah dan penuh dengan dosa, kita memakan rizki kita sambil menunggu ajal kita.” [4]

Syumaith bin ‘Ajlan jika menyifati ahli dunia, beliau berkata, “Mereka semua bingung dan mabuk, penunggang kudanya berlari, sedangkan pejalan kaki berjalan dengan kakinya, yang fakir dan yang kaya tidak pernah merasa puas di dalamnya.” [5]

Saudaraku…

Bersikap qana’ahlah dengan duniamu dan relalah dengan yang ada padamu, karena di dalamnya tidak ada kesenangan selain kesenangan badan. Siapa saja yang mempersiapkan dirinya untuk berjumpa dengan Allah, dan menggunakan waktunya untuk melakukan amal-amal yang bemanfaat baginya, maka Allah akan memberikan kemanfaatan baginya di hari Kiamat. Oleh karena itu, dia akan berbahagia pada suatu hari di mana harta dan anak tidak berguna… hari di mana lembaran-lembaran bertebaran dan hati bergetar. Pada hari itu engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka sama sekali tidak mabuk, akan tetapi penyebabnya adalah adzab Allah sangatlah pedih.

Anas bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Aku melihat Shaf-wan bin Salim, jika dikatakan kepadanya besok hari Kiamat, maka seakan-akan dia sama sekali tidak me-miliki bekal dari ibadah.” [6]

Mereka adalah kaum yang selalu melakukan ibadah dengan giat dan memikirkan kehidupan akhirat mereka dengan mempersiapkan bekal untuknya.

Jika jiwa itu menjauh dari kebenaran,
maka kita membentaknya.
Dan jika dia menghadap dunia
dengan meninggalkan akhirat,
maka kita menahannya.
Dia menipu kita dan kita menipunya, hanya dengan kesabaran kita dapat mengalahkannya. [7]

Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang dicari bukan karena Allah, niscaya akan hancur.” [8]

Siapa yang mencari dunia untuk dunia, maka dia akan meninggalkannya di hembusan nafas terakhirnya, dia akan pergi di detik-detik yang sangat menakutkan. Dan siapa yang mencari dunia untuk Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, maka cukuplah baginya apa yang diinginkannya. Dunia baginya sebagai jalan menuju Darus Salam (Surga) dengan kasih sayang (rahmat) Allah dan ridha/karunia-Nya.

Orang yang selalu melakukan kebaikan dan ketaatan adalah manusia biasa, seperti kita yang mencintai dunia dan segala macam perhiasannya. Akan tetapi mereka lebih mengutamakan yang kekal daripada yang fana, sehingga Allah memudahkan baginya jalan untuk mendapatkannya dan mengeluarkan mereka dari berbagai kesulitan.

Aku sabar dalam menghadapi kenikmatan ketika dia pergi,
dan aku menetapkan kesabaran di dalam diriku sehingga dia terus menetap.
Berhari-hari jiwaku berada dalam kemuliaan,
lalu ketika dia melihat tekadku ada di dalam kehinaan, dia pun ikut merasakan kehinaan.
Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai jiwa, matilah dalam keadaan mulia,dahulu dunia memihak kepada kita, tetapi sekarang dia telah pergi.
”Tidak wahai kekasihku. Demi Allah, tidak ada satu musibah pun,
berlalu kepada hari-hari melainkan dia akan pergi.
Jiwa itu sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang kepadanya, jika dia diberi makan, maka dia memiliki kekuatan dan jika tidak, maka dia akan lumpuh.[9]

Seseorang berkata kepada al-Fudhail bin 'Iyadh, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu ‘Ali?
” Beliau adalah orang yang tidak senang dengan ungkapan: “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” atau “Bagaimana keadaanmu sore ini?
” Lalu beliau menjawab, “Dalam keadaan sehat.” Lalu orang tadi bertanya, “Bagaimana keadaanmu?
” Beliau berkata, “Keadaan mana yang engkau tanyakan? Keadaan dunia atau akhirat?
” Jika engkau menanyakan keadaan dunia, maka sesungguhnya dunia telah berpaling dan pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka aku sebagaimana engkau melihat orang yang banyak melakukan perbuatan dosa, amalnya lemah, umurnya sudah punah, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan hari Akhir, tidak takut akan kematian, tidak menghias diri untuk menghadapi kematian, akan tetapi hanya menghias diri untuk dunia.”[10]

Kebanyakan dari kita sebagaimana digambarkan oleh ‘Auf bin ‘Abdillah ketika beliau ditanya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menyempatkan kehidupannya untuk dunia dengan sisa hidupnya untuk akhirat, sedangkan kalian menyempatkan kehidupan kalian untuk akhirat dengan sisa hidup kalian untuk dunia.” [11]

Dan yang kita lihat sekarang ini berupa pengorbanan waktu, kemampuan, pemberian, dan penelitian hanya untuk dunia, maka kita dapatkan sungguh menakjubkan… . Bahkan sebagian dari mereka jika akan membeli sebuah kebutuhan yang sangat sederhana, akan menyibukkan dirinya untuk memikirkannya selama beberapa hari, dia telah membuang waktunya yang sangat berharga… . Akan tetapi jika engkau melihatnya di dalam masjid, maka engkau akan melihat orang tersebut melakukan shalat, seperti ayam yang sedang makan, dia sama sekali tidak memperhatikan sujud maupun ruku’nya, bahkan dia mendahului imam, tidak melakukannya dengan khusyu’, dan tidak pernah terlihat di mukanya bekas air mata.

Kebanyakan dari manusia mabuk dengan urusan dunia dan tidak sedikit pun hatinya tergerak ketika kesempatan melakukan kebaikan hilang dari dirinya, atau ketika kesempatan yang penuh dengan pengabulan do’a dari Allah tiba, maka engkau akan melihatnya dalam keadaan lalai dan bermain-main, mengumpulkan lalu membuangnya, menambahnya lalu dikurangi dari dirinya, seolah-olah hari-hari yang telah berlalu akan kembali atau bulan-bulan yang telah pergi akan ditemuinya lagi?!

Bandar berbicara tentang Yahya bin Sa’id dengan ungkapannya, “Aku ikut bersamanya selama dua puluh tahun dan aku sama sekali tidak pernah mendapatinya bermaksiat kepada Allah.”[12]

Saudaraku semuslim…

Bersabarlah dalam menghadapi pedihnya perjalanan,
ibadah di waktu malam, sore dan pagi.
Janganlah engkau merasa gelisah dan jangan pula merasakan lemah di dalam mencarinya,
karena kegalauan ada di antara gelisah dan putus asa.
Aku menyaksikan pengalaman di setiap hari, bahwa kesabaran memiliki akibat yang terpuji.
Sedikit sekali orang yang giat mencari dengan disertai,
kesabaran kecuali dia akan berbahagia dengan kemenangan. [13]

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Wahai manusia engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha orang yang tidak membutuhkannya. Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya. Dan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya, maka fahamilah keadaanmu!

”[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il,

Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim,
Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]__________

Footnotes

1]. Al-‘Aaqibah, hal. 88.
[2]. Az-Zuhd, hal. 248, karya al-Baihaqi.
[3]. ‘Iddatush Shaabiriin, hal. 330.
4]. Shifatush Shafwah (III/67).
[5]. Shifatush Shafwah (III/346).
[6]. Hilyatul Auliyaa' (III/159).
[7]. Shifatush Shafwah (IV/114).
[8]. Hilyatul Auliyaa’ (III/176).
[9]. Syadzaraatudz Dzahab (II/364).
[10]. Hilyatul Auliyaa’ (VIII/86).
[11]. Hilyatul Auliyaa’ (IV/242).
12]. Tadzkiratul Huffazh (I/299).
[13]. Mawaariduzh Zham-aan (III/276).

Sebab-sebab Lapangnya Dada

Oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Sebab-sebab yang melapangkan dada dan kesempurnaannya pada diri Rasulullah sallallahu alaihi wasallam:
1. Sebab agung yang melapangkan dada adalah tauhid. Sifat lapang dada seseorang sangat tergantung sejauh mana kesempurnaan kekuatan, dan pertambahan tauhid dalam dirinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
“Maka apakah orang-orang yang dilapangkan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya.” (QS Az-Zumar : 22)
Dan firman-Nya:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS Al-An’an : 125)
Hidayah dan tauhid merupakan sebab terbesar yang melapangkan dada. Syirik dan kesesatan adalah seab paling utama yang menyesakkan dan menyempitkan dada.




2. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah cahaya yang dicampakkan Allah dalam hati seorang hamba, yaitu cahaya keimanan. Sesungghuhnya ia melapangkan dada dan meluaskannya serta menggemberikan hati. Jika cahaya ini hilang dari hati seorang hamba maka hatinya jadi sempit dan sesak. Jadilah ia berada pada penjara sangat sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitabnya Al-Jami’, dari Nabi sallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Apabila cahaya masuk ke hati, maka hati akan terbuka dan lapang.” Mereka bertanya, “Apakah tanda-tandanya wahai Rasulullah?” Beliau sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kembali kepada tempat abadi, menyingkir dari tempat tipu daya, dan beriap untuk mati sebelum datang waktunya.”[1]
Seseorang akan mendapatkan lapang dada seseuai dengan apa yang didapatkannya dengan cahaya itu. Demikian juga cahaya indrawi dan kegelapan indrawi. Salah satunya melapangkan dada dan satunya lagi menyempitkannya.



3. Perkara lain yang melapangkan dada adalah ilmu. Sesungguhnya ilmu dapat melapangkan dada dan meluaskannya hingga lebih luas daripada dunia. Sedang kebodohannya menngakibatkan kesempitan, keterbatasan dan kungkungan. Setiap kali ilmu seseorang bertambah maka dadanya semakin lapang dan luas. Namun hal ini tidak berlaku bagi semua ilmu. Akan tetapi hanya ilmu yang diwarisi dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang memilikinya adalah manusia-manusia paling lapang dada, sangat terbuka hati, lebih bagus akhlak dan terbaik dalam kehidupan.



4. Faktor lain yang melapangkan dada adalah kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, mencintai-Nya dengan sepenuh hati, menghadap-Nya, merasa nikmat dengan beribadah kepada-Nya. Tidak ada yang lebih melapangkan dada seseorang daripada hal itu. Hingga terkadang seseorang berkara: “Jika aku berada di surga dalam kondisi seperti ini maka sungguh aku berada dalam kehidupan yang baik.” Kecintaan memiliki pengauh sangat ajaib dalam melapangkan dada, mensucikan jiwa, dan menenangkan hati. Tak akan mengetahuinya kecuali mereka yang pernah merasakannya. Setiap kali kecintaan menguat dan keras, maka dada semakin terbuka dan lapang. Dada yang demikian tidak menjadi sempit kecuali bila melihat mereka yang lalai dan jauh dari hal tersebut. Melihat mereka menyakitkan mata baginya dan berinteraksi dengan mereka adalah demam bagi ruhnya.

Di antara perkara paling besar yang menyempitkan dada adalah berpaling dari Allah Subhanahu Wata’ala, mengaitkan hati dengan selain-Nya, lalai berdzikir pada-Nya, dan mencintai selain-Nya. Sebab siapa yang mencintai sesuatu selain Allah niscaya akan disiksa dengan hal itu. Hatinya dipenjara dalam mencintai perkara tersebut. Tidak ada di permukaan bumi ini yang lebih sengsara, lebih keras perasaan, lebih menderita dalam kehidupan, dan lebih lelah hati darinya.
Inilah dua kecintaan, kecintaan yang merupakan surga dunia, kegembiraan jiwa, kelezatan hati, kenikmatan ruh, makanan dan obatnya, bahkan kehidupan dan penyejuk matanya, ia adalah kecintaan kepada Allah semata dengan sepenuh hati, tarikan kekuatan kecenderungan, kehendak, dan kecintaan semua kepada-Nya. Dan kecintaan yang merupakan azab bagi ruh, kegundahan jiwa, penjara hati, kesempitan dada, dan sebab sakit, sengsara dan kelelahan, ia adalah kecintaan kepada selain Allah Subhanahu Wata’ala.



5. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah senantiasa berdzikir dalam segala keadaan dan di setiap tempat. Dzikir memiliki pengaruh ajaib dalam melapangkan dada dan kenikmatan hati. Sementara kelalaian memiliki pula pengaruh ajaib dalam menyempitkan hati, mengungkung dan menyiksanya.
6. Di antaranya pula adalah berbuat baik kepada manusia, memberi manfaat bagi mereka dengan segala yang mungkin dilakukan, baik berupa harta, kedudukan, manfaat fisik, dan segala jenis kebaikan. Orang dermawan dan senang berbuat baik adalah manusia paling lapang dadanya, yang paling suci jiwanya, dan paling nikmat hatinya. Sedangkan orang yang kikir yang tidak ada padanya kebaikan adalah manusia paling sempit dadanya, paling sengsara kehidupannya, dan paling besar kegundahan dan kegelisahannya.



Rasulullah telah membuat perumpamaan dalam hadits shahih tentang orang bakhil dan yang dermawan sama seperti dua laki-laki yang memiliki dua pakaian terbuat dari besi. Setiap kali yang dermawan berkeinginan mengeluarkan sedekah, maka bajunya meluas dan lapang, hingga pakaiannya terseret dan menghapus jejak kakinya. Dan setiap kali si bakhil menahan sedekah, maka setiap rantai baju itu menempel pada tempatnya. Dan bajunya tidak menjadi besar baginya.[2] Inilah perumpamaan sifat lapang dada orang mukmin yang bersedekah serta keluasan hatinya, dan perumpamaan sempitnya hati orang bakhil dan kungkungan hatinya.



7. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah keberanian. Sesungguhnya pemberani memiliki dada lapang, jiwa besar, dan hati luas. Adapun pengecut adalah manusia paling sempit dadanya seta paling terbelenggu hatinya. Tidak ada kesenangan serta kegembiraan baginya dan tidak ada pula kelezatan. Tak ada kenikmakatan untuknya kecuali jenis kenikmatan yang dirasakan oleh hewan. Adapun kegembiraan ruh, kelezatan, kenikmatan, dan kecerahannya, diharamkan atas setiap pengecut , sebagaimana diharamkan juga atas semua orang bakhil, dan setiap orang yang berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalai dari dzikir pada-Nya, bodoh tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat dan agama-Nya, serta mereka yang emnambatkan hati pada selain-Nya.

Kenikmatan dan kegembiraan ini kelak di alam kubur akan menjadi taman dan surga. Sementara kesempitan dan keterkungkungan hati kelak di alam kubur akan menjadi siksaan dan penjara. Keadaan seorang hamba dalam kubur seperti keadaan hati dalam dada, nikmat atau azab dan penjara atau merdeka. Tidak ada pengaruh pada kecerahan hati si bakhil karena sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Dan tidak ada pula pengaruh pada kesempitan hati si dermawan karena factor tersebut. Sebab, hal-hal yang bersifat sementara seperti ini akan segera sirna bila penyebabnya telah hilang. Sesungguhnya yang dijadikan patokan adalah sifat yang melazimi hati dan melahirkan rasa lapang atau mengungkungnya. Inilah yang dijadikan timbangan. Wallahu a’lam.



8. Termasuk perkara yang melapangkan dada –bahkan paling menentukan- adalah mengeluarkan kotoran hati berupa sifat-sifat tercela yang mengakibatkan kesempitan hati dan siksaannya. Menghalangi antara hati dengan kesembuhannya. Sesungguhnya seseorang bila melakukan sebab-sebab yang melapangkan dadanya, dan tidak mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya, maka ia tidak mendapatkan faidah memuaskan dari dadanya yang lapang, bahkan ia hanya akan memiliki dua perkara saling kontradiksi dalam hatinya, perkara paling dominan itulah yang menguasainya.



9. Sebab-sebab lain yang juga melapangkan dada adalah meninggalkan kelebihan melihat, berbicara, mendengar, bergaul, makan, dan tidur. Sebab berlebihan dalam hal-hal ini akan melahirkan rasa sakit, risau, dan gelisah dalam hati. Ia akan membatasi hati, mengungkungnya, menyempitkannya, dan menyiksanya. Bahkan kebanyakan siksaan dunia dan akhirat berasal darinya. Demi yang tidak ada sembahan sesungguhnya selain Dia, alangkah sempitnya dada orang yang mengambil bagian dari setiap enakit ini, alangkah sengsara kehidupannya, alangkah buruk keadaaannya, dan alangkah keras belenggu hatinya. Dan demi Dzat Yang Tidak ada sembahan yang haq selain Dia, alangkah nikmat kehidupan mengambil bagian dari sfiat-sifat terpuji itu, obsesinya terarah padanya, dan mengitari di sekitarnya. Bagi orang seperti ini bagian yang sangat besar dari apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kenikmatan.” (QS Al-Infitar : 13). Sedangkan bagi yang sebaliknya bagian sangat besar dari apa yang dirifmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang fajir berada dalam neraka.” (QS Al-Infitar : 14). Antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan berbeda-beda. Tak ada yang mengetahuinya selain Allah tabaraka wata’ala.



Maksudnya bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah manusia paling sempurna dalam segala sifat yang melahrikan lapang dada, keluasan hati, kesejukan mata dan kehidupan ruh. Beliau adalah manusia oaling sempurna dalam sifat lapang dan kehidupan ini serta kesejukan mata. Ditambah lagi dengan apa yang ada padanya berupa sifat lapang yang bersifat indrawi. Lalu manusia yang sempurna yang dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam, maka dialah orang yang paling sempurna merasakan lapang dada, kelezatan dan kesejukan mata. Sejauh mana seorqang hamba mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam, maka sejauh itu pula yang akan didapatkannya dari rasa lapang, kesejukan mata, dan kelezatan ruhnya. Beliau sallallahu alaihi wasallam berada di atas puncak kesempurnaan sifat lapang dada, ketinggian nama, pelepasan beban dosa. Adapun bagian umatnya dari hal-hal itu sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’alm.



Demikian pula bagian para pengikut beliau sallallahu alaihi wasallam dari pemeliharaan Allah subhanahu wata’ala, perlindungan-Nya, pembelaan-Nya, dan penggolongannya untuk mereka, sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam. Ada yang mengambil bagian sedikit, dan ada pula yang mengambil bagian yang banyak. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaknya memuji Allah. Dan barangsiapa mendaptkan selain itu, janganlah mencela selain dirinya sendiri.[3]
_____________________



Catatan kaki
[1] At Tirmidzi tidak meriwayatkan hadits ini seperti dikatakan penulis. Namun hadits ini diriwayatkan Ath-Thabari, 8/27 dari hadits Ibnu Mas’ud. Disebutkan juga oleh As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durr Al-Mantsur, 3/44, dan beliau menambah penisbatan kepada Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abid Dunya, Abu Asy-Syaikh, Ibnu Mardawiyah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi di kitab Asy-Syu’ab melalui beberapa jalur. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, 2/174 dan 175 setelah menyebutkannya dari Abdurrazaq, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir: “Jalur-jalur periwayatan ini baik yang mursal maupun muttashil saling menguatkan satu sama lain.”

[2] HR Bukhari no. 3/241-242, dan HR Muslim no. 1021 dari hadits Abu Hurairah radiallahu anhu ia berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan orang bakhil dan berinfak sama seperti dua laki-laki yang mengenakan baju terbuat dari besi yang menutupi dada hingga ke leher mereka. Adapun yang berinfak, tidaklah ia berinfak melainkan baju itu meluas dan menutupi kulitnya hingga menutupi jari-jari tangannya dan menghapus jejak kakinya. Sedangkan si bakhil, setiap kali dia tidak mau menginfakkan sesuatu, maka menempel setiap mata rantai baju itu di tempatnya, dia berusaha meluaskannya namun tidak mau menjadi luas.”

Al-Khathabi berkata: “ini adalah perumpamaan yang disebutkan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam bagi bakhil dan yang bersedekah. Beliau sallallahu alaihi wasallam menyerupakan keduanya dengan dua laki-laki yang masing-masing ingin memakai baju besi untuk menutupi dirinya dari senjata musuh. Lalu baju besi itu dimasukkan dari kepala. Dan baju besi pertama kali dipakai berada di dada hingga leher sampai seseorang berhasil mengeluarkan tangannya dari lengannya. Maka orang yang berinfak sama seperti memakai baju besi yang luas. Baju itu mampu menutupi semua badannya. Sedangkan si bakhil seperti orang yang terbelenggu kedua tangannya ke lehernya. Setiap kali ia hendak memakai baju itu, tangannya semakin terjepit ke lehernya dan mencekik tenggorokannya. Maksudnya, orang yang dermawan jika ingin bersedekah maka hatinya menjadi luas dan jiwanya menjadi baik, sehingga mudah mengeluarkan sedekah. Sedangkan orang bakhil jika diceritakan tentang sedekah, maka ia menjadi kikir sehingga hatinya menyempuit dan tangannya terkungkung.”

[3] Kutipan dari hadits qudsi yang panjang diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2577, dari hadits Abu Dzar radiallahu anhu, dan di dalamnya disebutkan: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ia hanyalah amal-amal kamu. Aku mengumpulkannya untuk kamu , kemjudian Aku membalas kamu atasnya, barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah memuji Allah, dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah mencela selain dirinya sendiri.” Di antara keunikan hadits ini bahwa Imam An-Nawawi menyebutkan di akhir kitabnya Al-Adzkar dengan sanadnya hingga Abu Dzar. Dia berkata ini adalah hadits shahih kami temukan dalam Shahih Muslim dan selainnya. Para perawinya dari aku hingga Abu Dzar radiallahu anhu semuanya berasal dari Damaskus. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada bagi penduduk Syam hadits yang lebih mulia daripada hadits ini. Dan konon Abu Idris Al-Khaulani (perawi hadits itu dari Abu Dzar) bila menceritakan hadits tersebut maka ia berlutut dengan kedua lututnya.”



***Disalin dari terjemahan kitab Zadul Ma’ad jilid 2 karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, muhaqqiq: Abdul Qadir Al-Arna’uth dan Syubaib Al-Arna’uth, penerbit Griya Ilmu.


PEGANGAN PARA SALAF DALAM MENGHADAPI KEKHAWATIRAN DAN HARAPAN

Oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah


Siapa saja yang mengharapkan sesuatu, maka diisyaratkan adanya tiga hal:
Pertama : Menyukai apa yang diharapkan.
Kedua : Khawatir akan kehilangan apa yang diharapkan.
Ketiga : Berusaha keras untuk mendapatkannya.

Harapan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu disebut angan-angan. Harapan berbeda dengan angan-angan. Setiap orang yang berharap pasti ada rasa khawatir. Seorang yang berjalan di jalan raya bila merasa khawatir, ia akan mempercepat jalannya, takut kehilangan sesuatu.

Dalam Jami'nya, Tirmidzi mengutip hadis dari riwayat Abi Hurairah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda:

"Siapa yang merasa takut (khawatir), ia berangkat di waktu malam. Siapa yang berangkat pasti sampai ke rumah. Sungguh dagangan Allah itu mahal. Dagangan Allah itu adalah surga."

Maksudnya, orang yang mengharapkan surga Allah haruslah melalui perjuangan seperti orang yang berjalan di waktu malam untuk sampai ke rumah. Allah menjadikan harapan itu untuk orang-orang yang beramal saleh. Allah juga menjadikan rasa khawatir pada mereka, sehingga mereka mengetahui bahwa harapan dan rasa khawatir yang berguna ialah yang berhubungan dengan amal. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati hati karena takut ahan (adzab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka dan orang-rang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan ,dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu segera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”
(QS Al-Mu’minun : 57-61)

Tirmidzi meriwayatkan dalam Jami’'nya hadis yang bersumber dari Aisyah radhiallahu anha. Beliau berkata, 'Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat tersebut, 'Apakah mereka itu orang yang meminum hhamr, berzina, dan mencuri? Beliau menjawab, "Bukan, wahai puteri as-Shiddiq. Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, namun mereka khawatir kalau amal yang mereka lakukan itu tidak di terima oleh Allah. Mereka itulah sebenarnya orang yang berlomaba-lomba dalam barbuat amal kebajikan.”

Allah mensifati orang-orang yang bahagia dengan ihsan, 'kebaikam dan khauf ‘kekhawatiran'. Sebaliknya, Allah justru memberi sifat orang jahat dengan keburukan dan rasa aman. Maksudnya, orang yang beramal kebaikan itu pasti bahagia, namun mereka tetap merasa khawatir, sedangkan orang-orang yang berbuat kejahatan pasti hina tetapi ia merasa. aman.

Orang-orang yang merenungkan keadaan para sahabat tentu akan menemukan mereka dalam puncak amal dan puncak kekhawatiran, sedangkan kita semua berada pada posisi kekurangan bahkan melampaui batas, tetapi perasaan kita aman-aman saja. Duhai celaka!
Mari kita ikuti kisah-kisah mereka.
Abubakar Ash-Shiddiq radihallahu anhu

Abubakar Ash-Shiddiq radihallahu anhu berkata, “Aku menginginkan diriku seperti sehelai rambut dibelah orang Mukmin.” Riwayat ini disebutkan oleh Imam Ahmad.

Diriwayatkan pula tentang Abu Bakar ash-Shiddiq memegang lidahnya lalu berkata, “Inilah yang menyeretku ke tempat yang berbahaya." Lalu Abubakar menangis seraya melanjutkan: "Menangislah, kalau tidak menangis, pura-pura menangislah.” Lalu ia berdiri shalat. Ia seperti sebuah tiang: tak bergerak karena takut kepada Allah.

Saat membawa seekor burung, ia berkata “Tiada diburu dari seekor binatang buruan, dan tiada dipotong dari sebuah pohon kecuali hilang dengan tasbih." Ketika mendekati saat-saat kematian, la berkata kepada Aisyah, "Wahai puteriku, sesungguhnya aku terkena harta orang-orang Islam dengan pakaian ini dan susu ini serta budak ini. Maka, cepat-cepatlah pergi kepada Umar ibn Khathab."Umar manjawab, "Demi Allah, aku ingin sekiranya aku menjadi pohon ini, yang dimakan dan dipangkas daunnya." Qatadah berkata, "Telah sampai kepadaku kabar bahwa Abubakar berkata, 'Seandainya aku menjadi sayuran hijau dan aku dimakan binatang....'"
Umar ibn Khathab radihallahu anhu

Demikian juga Uniar ibn Khathab. Sahabat setia rasul ini telah membaca surat at-Thur. Ketika sampai pada ayat, “Sesungguhnya siksa Tuhanmu pasti terjadi", ia menangis tersedu-sedu hingga jatuh sakit dan banyak orang menengoknya.

Umar berkata kepada puteranya saat menghadapi kematian, “Letakkanlah pipiku di atas tanah. Barangkali Allah manaruh belas kasih kepadaku." Lalu berkata lagi, "Celakalah kalau Allah tidak mengampuni aku."

Bila berwirid di tengah malam dan melewati suatu ayat, anak Khathab ini merasa takut lalu tinggal di rumah berhari-hari. Pada wajahnya tampak ada dua garis hitam karena menangis. Demikian berdasar penuturan Ibnu Jauzi.

Ibnu Abbas berkata kepada Umar, “Allah menjadikan kota dan negeri-negeri di bawahmu, menjadikanmu menaklukkan negeri-negeri tersebut. Allah berbuat baik kepadamu.” Mendengar hiburan tersebut, Umar masih saja merasa cemas, “Aku menginginkan selamat, pahala maupun dosa.”
Utsman ibn Affan ra.

Ketika berdiri di atas kuburan, Utsman lbn Affan radihallahu anhu menangis hingga basahlah jenggotnya. "Seandainya berada di antara surga dan neraka, aku tidak tahu yang mana diantara kedua tempat itu yang dierintahkan untukku. Kalaulah bisa, aku memilih menjadi abu sebelum aku tahu ke mana aku nanti."

Ali ibn Abu Thalib radihallahu anhu

Inilah Ali ibn Abi Thalib radihallahu anhu dengan tangisan dan kekhawatirannya. Rasa takut yang ada padanya disebabkan dua hal, yaitu panjang angan dan hawa nafsu yang diperturutkan.

>Keponakan Nabi ini merenungi hakekat. la berkata, "Panjang angan akan menjadikan seseorang lupa akan akhirat, sementara hawa nafsu yang diperturutkan akan menghalangi orang dari kebenaran. Sesungguhnya dunia ini telah pergi dan akhirat telah tiba. Setiap wanita yang mempunyai banyak anak, hendaknya menjadikan mereka anak-anak akhirat, dan janganlah menjadikan sebagai anak dunia. Sesungguhnya hari ini adalah hari amal dan bukan perhitungan. sedangkan besok adalah hari perhitungan tanpa amal."
Abud Darda' radihallahu anhu

Abu Darda' mengungkapkan risau hatinya, "Sesungguhnya yang paling aku takuti terhadap diriku pada Hari Kiamat adalah kalau-kalau dikatakan kepadaku, 'Wahai Abu Darda', engkau telah banyak berilmu. Bagaimanakah engkau mengamalkan ilmumu?'"

Ia juga pernah mencetuskan kecemasannya, "Sekiranya kalian mengetahui apa yang kalian jumpai setelah mati, tentu kalian tidak akan memakan atas dasar nafsu. tidak akan meminum atas dasar nafsu pula, tidak akan memasuki sebuah rumah tempat kalian bernaung. Kalian akan keluar ke halaman, kalian memukul dada kalian, kalian menangis, menagisi diri kalian sendiri. Aku ingin menjadi sebatang pohon yang diambil daunnya lalu dimakan atau dijadikan makanan ternak."Mendengar itu Abdullah bn Abbas melihat di bawah mata Abu Darda’ bekas air mata.

Abu Dzar mengungkapkan renungannya, "Sendainya aku menjadi sebatang pohon yang dipangkas daun-daunnya untuk makanan ternak, andai aku tidak diciptakan "Saat ditawarkan sumber nafkah kepadanya ia berkata, “Aku tidak ingin mempunyai seekor kambing untuk diperah dan keledai-keledai yang dinaiki atau budak yang dibebaskan untuk membantu atau kelebihan pakaian. Aku takut akan perhitungan tentang itu semua.”

Tamimuddari membaca surat al-Jatsiyah pada suatu malam Setelah sampai pada ayat 21, ia membacanya berulang-ulang dan menangis hingga pagi.
أًمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أّن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan enjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh.”


Berkatalah Abu Ubaidah ibn Jarrah, "Lebih baik aku menjadi kambing, disembelih oleh keluargaku. Aku dimakan dan kuahnya diseruput.”

Bukhari bercerita dalam Shahth-nya tentang kekhawatiran orang-orang yang beriman akan hilangnya amalnya secara sia-sia, sementara mereka tidak merasa.

Berkatalah Ibrahim Taimi, "Aku tidak mendahulukan perkataan daripada amal, kecuali aku menjadi pendusta." 

Ibn Abi Mulkiyah berkata, "Semasa hidup, aku telah menemukan tiga puluh sahabat Nabi, Semuanya takut akan nifaq. Tidak seorang pun diantara mereka yang berkata, 'Sesungguhnya aku berada pada tingkat keimanan Jibril dan Mikail.”

Hasan berkata, “Tidak takut kepada Allah kecuali orang yang beriman, dan tidak merasa aman, kecuali orang yang munafik."

Suatu kerika Umar bin Khathab berkata kepada Hudhaifah, "Demi Allah, aku bertanya kepadamu untuk mendapatkan penjelasan. Apa yang dikatakan Rasulullah padamu mengenai aku?" Disini Umar khawatir kalau-kalau ia dikatakan sebagai golongan orang munafiq.
Hudzaifah menjawab, “Tidak. dan aku tidak mensucikan seseorang sesudahmu.

Ibnu Taimiyah menjelaskan perkataan Hudzaifah di atas. Menurutnya, perkataan di atas tidak menutup orang lain untuk menjadi insan yang bersih (suci). Maksud sebenarnya ketika bertanya kepada Rasulullah mengenai kesucian dirinya, seorang mengakui bahwa dirinnya tidak suci.

Ibn Taimiyah lebih lanjut mengilustrasikan hal tersebut dengan peristiwa yang pernah terjadi. Ketika Umar memohon agar didoakan N'abi sebagai golongan yang termasuk dalam tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab, beliau menjawab, "Engkau telah didahului oieh Ukasyah. ya Umar!" Jawaban Nabi tersebut bukan berarti Ukasyah lebih berhak daripada sahabat yang lain. Kalau Nabi mendoakan Umar, tentulah akan banyak orang yang minta didoakkan pula padahal mereka barangkali tidak berhak untuk menjadi golongan tujuh puluh ribu orang tadi. Maka menahan din adalah lebih baik. yakni tidak gampang mendoakan. Allah a'lam bish-shawab.


Sumber: Terapi Penyakit Hati (Ad-Da’u wa Ad-Dawa), oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal. 58 – 63. Penerbit Qisthi Press, cetakan ke 2, 2005.

http://www.khayla.net/2008/11/pegangan-para-salaf-dalam-menghadapi.html

thank you