Rabu, 12 Januari 2011

AKU MENCINTAINYA

KUAKUI BAHWA AKU MENCINTAINYA …

Ya, aku memang mencintainya. Aku mencintainya mengalahkan cinta seseorang kepada kekasihnya. Bahkan manakah cinta orang-orang yang jatuh cinta dibanding cintaku ini?!

Ya, aku mencintainya. Bahkan demi Allah, aku merindukannya. Aku merasakan sentuhannya yang lembut, menyentuh relung hatiku. Aku tidak mendengarnya melainkan rinduku seakan terbang ke langit, lalu hatiku menari-nari dan jiwaku menjadi tentram.

Aku mecintaimu duhai perkataan yang baik

Aku mencintaimu duhai perkataan yang lembut

Aku mencintaimu duhai perkataan yang santun.

Alangkah indahnya ketika seorang anak mencium tangan ibunya seraya berkata, “Semoga Allah menjagamu ibu”.

Alangkah eloknya ketika seorang ayah senantiasa mendo’akan anaknya, “Ya Allah ridhoilah mereka, dan bahagiakan mereka di dunia dan akhirat”.

Alangkah bagusnya ketika seorang istri menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman seraya berkata, “Semoga Allah tidak menjauhkan kami darimu, rumah ini serasa gelap tanpa dirimu”.

Alangkah baiknya ketika istri melepaskan kepergian suami bekerja di pagi hari, ia berkata, “Jangan beri kami makan dari yang haram, kami tidak sanggup memakannya”.

Kalimat dan ungkapan yang indah, bukankah begitu? Bukankah kita berharap kalimat dan ungkapan seperti ini dikatakan kepada kita? Bukankah setiap kita berangan-angan mengatakan kalimat-kalimat seperti ini kepada orang-orang yang dicintainya? Akan tetapi kenapa kita tidak atau jarang mendengarnya?

Penyebabnyanya adalah kebiasaan. Barangsiapa yang membiasakan lisannya mengucapkan kata-kata yang lembut berat baginya untuk meninggalkannya, begitu pula sebaliknya.

Orang yang terbiasa memanggil istrinya dengan kata “kekasihku” sulit baginya memanggil istrinya seperti sebagian orang memanggil istrinya, ‘Hei ..hai ..”. atau “Kau ..” dan lain sebagainya.

Barangsiapa yang terbiasa memulai ucapannya kepada anaknya, “Ananda, Anakku, Putriku” tidak seperti sebagian lain yang mengatakan, “Bongak .. jahat .. setan!” maka ia berat mengucapkan selain itu.

Kenapa kita tidak bisa mengucapkan satu ungkapan cinta saja kepada anak-anak kita, ibu kita, dan keluarga kita? Jika adapun kalimat tersebut keluar dengan malu-malu.

Kenapa lisanmu terkunci di dekat istrimu atau dihadapan ayah dan ibumu, sedangkan dihadapan temanmu, kata-katamu begitu mesra?!

Biasakanlah – misalnya- mengucapkan kepada ibumu, “Ibu, do’akan kami. Apakah ibu ingin titip sesuatu agar ananda beli sebelum ananda berangkat?”

Biasakanlah mengucapkan kepada anakmu kata-kata (sayangku, anakku) dan apabila ia mengambilkan sesuatu untukmu seperti segelas air katakan kepadanya Jazakallah atau ungkapan terima kasih.

Jika putra atau putrimu meminta sesuatu darimu dan engkau sanggup memberikannya serta itu baik untuknya katakanlah kepada mereka dengan tulus, “Dengan sepenuh hati, ayah akan bawakan untukmu”.

Cobalah kata-kata dan kalimat yang lembut dan senyuman yang manis, lalu lihatlah hasilnya!

Lihatlah bagaimana Nabi kita shollallahu ‘alaihi wa sallama berbicara kepada anak istrinya.

Perhatikanlah kelembutan hatinya, serta keindahan tutur katanya.

Beliaulah sebaik-baik suri teladan.


IBU .. TAHUKAH ENGKAU SIAPA ITU IBU?

IBU .. TAHUKAH ENGKAU SIAPA ITU IBU?

Dia adalah contoh kasih sayang yang hidup di tengah kita, tidak ada yang memandangnya dengan penghormatan dan penghargaan melainkan orang-orang yang dikasihi Allah. Ibu adalah laksana batu karang kesabaran. Gambaran hidup bagi sifat pema’af dan lapang dada.

Seseorang bercerita, “Sekarang aku baru mengetahui arti ungkapan sebagian orang ‘mendengar bukan seperti menyaksikan’. Aku banyak mendengar ragam ungkapan tentang besarnya keutamaan seorang ibu. Sama seperti yang lainnya, aku mendengar semua itu tapi hanya sebatas lewat ditelinga. Terkadang ungkapan yang indah menggetarkan perasaanku. Kadangkala aku mengangguk-angguk kagum mendengar bait-bait syair yang indah kemudian tidak tampak wujudnya dalam kehidupan nyata.

Akan tetapi Allah mengingikan kebaikan untukku, ketika aku dapatkan diriku mengikuti fase-fase perkembangan kehamilan istriku selangkah demi selangkah.

Dan ketika ia memasuki bulan yang kesembilan lebih sedikit. Aku bayangkan diriku adalah bayi meringkuk di dalam rahim itu. Aku terus mengikuti dan mengawasi .. aku mulai merasakan sebagian makna-makna tersebut yang sering aku dengar ..tentang keutamaan seorang ibu.

Aku telah melihat dan melihat sesuatu hal yang luar biasa, membuat kepala menggeleng-geleng, hati tersentuh dan mata menangis. Sejak itu aku benar-benar yakin bahwasanya ibu wanita yang agung ini, manusia tidak akan pernah bisa membalas jasa dan budi baiknya sepanjang masa.

Betapapun indahnya untai kata sebuah puisi dan rangkai kalimat nan lembut sebuah sya’ir

Demi Allah tidak akan ada yang bisa membalas kebaikannya kecuali Allah semata. Diakhir bulan yang kesembilan itu ..apa yang aku saksikan!! Aku memohon rahmatMu ya Allah ..apakah sanggup seorang manusia menanggung semua kepedihan dan rasa sakit itu??!! Aku melihatnya menanggung semua itu dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Aku melihatnya dan mendengarnya dan ia tidak sadar ketika ia mengerang kesakitan aku merasakan panasnya pedih yang dirasanya berpindah langsung ke dalam hatiku. Aku berusaha berjuang melawan diriku agar mataku tidak mempermalukanku. Kemudian tidak beberapa lama, aku dikejutkan lagi oleh dirinya yang tersenyum melupakan kepedihan dan rasa sakit itu, seraya menunjuk ke perutnya ia berkata, “Aku sangat mencintaimu bayiku, aku rindu untuk melihatmu”. Maha suci Allah yang melimpahkan kesabaran kepadanya untuk menanggung kepedihan yang bersambung dengan ruhnya.

Engkau melihatnya apabila bergerak merasa pedih, apabila duduk merintih, apabila berbaring meringis, apabila berjalan letih, apabila berusaha tidur untuk rehat sejenak tidak sanggup. Dia tidak bisa berbolak-balik di tempat tidurnya seenaknya seperti sebelum ia mengandung bayi itu. Namun begitu ia masih saja sibuk dengan mengatur, membersihkan, merapikan dan mengurus urusan rumah. Serta mengasuh anak-anaknya yang masih kecil; memberi makan, memandikan dan menidurkan mereka. Itu semua dilakukannya sendiri bagaikan mengangkat sebuah gunung.

Dan setelah itu ia masih berujar kepada kesabaran dengan tersenyum, “hai sabar, ambillah pelajaran dariku. Hai sabar, ambillah pelarajan dariku”.

Cobalah dirimu menjadi seorang ibu. Apakah sanggup seorang laki-laki untuk tinggal bersama seorang bayi usia dua atau tiga tahun sepanjang hari kalau tidak dia akan menyumpah serapah atau memaki dirinya sendiri karena kesal atau menyesal.

Demi Allah, hanya seorang ibu saja yang sanggup menanggung itu dengan ridho, rela dan senyuman.

Alangkah indahnya pemandangan ketika seorang ibu duduk dan di sekelilingnya duduk pula anak-anaknya yang masih kecil, tak obahnya anak-anak burung yang membuka paruhnya supaya ibunya menyuapkan makanan …

Sang ibu membujuk ini untuk makan, bercanda dengan yang lainnya sambil menyuapkannya, dan memberi minum anaknya yang lain setelah berulangkali merayunya. Serta tertawa dengan yang paling kecil agar mau menyantap makanannya.

Semua itu ia lakukan sambil duduk ditengah-tengah mereka dengan posisi yang tidak mengenakkan, hampir-hampir saja seluruh persendiannya menjerit, mengaduh menahan sakit. Namun begitu ia tetap tersenyum dan memberi semangat anak-anaknya agar mau makan.

Kemudian tiba-tiba ia menjerit pelan, ia baru saja menerima tendangan bayi di dalam perutnya maka ia segera memperbaiki posisi duduknya, setelah itu ia kembal itersenyyum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Lantas, janinnya kembali memberikan pukulan dan tendangan lagi seolah-olah ia berkata kepada ibunya, “Aku disini ibu”.

Sang ibu gembira dengan pukulan dan tendangan janinnya, sedangkan janinnya tidak membiarkannya beristirahat barang sejenak. Apabila tidak terasa gerakan janinnya ia takut dan cemas, apabila bergerak ia gembira dan senang.

Subhanallah, beragam rasa sakit dan derita yang saya kira kalau ditimpakan kepada seorang laki-laki berotot barangkali ia akan menjerit sampai terdengar oleh tetangga-tetanggannya.

Adapun dia, tetap sabar mengharapkan ridho Allah, bahkan tersenyum dan tertawa.

Semoga rahmat Allah untuknya, ramat Allah atasnya dan rahmat Allah bersamanya.

Apakah engkau mengira sakit dan pedih itu berakhir sampai disitu saja?!

Alangkah mulianya engkau ibu …

Apabila telah lewat usia kandungan Sembilan bulan, dan telah dekat saat keluarnya janin ke dunia, datanglah musibah itu. Si janin tidak ingin tinggal lagi dirahim ibunya, tapi dia tidak juga keluar dengan sukarela ke dunia fana ini. Ketika itulah rasa sakit yang tidak tertahankan, derita yang tidak ringan. Kemudian sering pula janin tidak keluar kecuali dengan paksaan, sehingga kadang daging harus disayat, perut dibelah atau divakum .. kemudian rasa sakit kian bertambah ketika janin mulai keluar ..darah berpacu dengan janin dan kematian serasa di ambang mata, terkadang kematian yang lebih dahulu dan si ibupun mati sementara janinnya yang hidup. Apabila sang ibu dikaruniahi usia yang panjang ia sadar setelah menghadapi kondisi yang berat ini, lalu apabila ia melihat bayinya terbaring disisinya, ia pun tersenyum .. hilang rasa sakit, lupa derita yang baru saja dilaluinya.

Ya Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, alangkah menakjubkannya kasih sayang seorang ibu dan kerinduan kepada bayinya. Ia berjuang menghadapi rasa sakit dan kematian kemudian ia berangan-angan rela mati untuk kehidupan bayinya.

Ibu …

Kalaulah bintang gemintang memancarkan sinarnya menerangimu

Kalaulah semua burung-burung bernyanyi menyenandungkan namamu

Kalaulah angin lembut bertiup menaburkan butiran embun nan bening dan wangi dipangkuanmu

Semua itu tidak cukup untuk membalas jasamu ibu.

عن أنس قال : ارتقى النبي على المنبر درجة فقال آمين ..ثم ارتقى الثانية فقال آمين ..ثم ارتقى الثالثة فقال آمين ..
ثم استوى فجلس فقال أصحابه : علامَ أمنت يا رسول الله ؟!..فقال : (( أتاني جبريل فقال : رغم أنف امرئ ذُكرت عنده فلم يصلِ عليك ، فقلت : آمين ثم قال : ورغم أنف امرئ أدرك أبويه ولم يدخل الجنة…” 

Dari Anas rodhiyallahu ‘anhu ia menuturkan, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama naik ke tangga pertama mimbar maka belia mengucapkan amin, kemudian naik ke anak tangga ke dua seraya lalu mengucapkan amin, kemudian naik ke anak tangga yang ketiga lalu mengucapkan amin. Kemudian duduk di atas mimbar. Maka sahabat-sahabatnya berkata, “Apa yang engkau aminkan hai Rasulullah? Beliau berkata, “Jibril mendatangiku, lalu ia berkata, ‘Celaka orang yang disebutkan namamu dihadapnnya lalu ia tidak bersholawat atasmu, maka aku mengucapkan amin. Kemudian ia berkata, ‘Celaka orang yang mendapatkan kedua orangtuanya dan ia tidak masuk surga …”. (Shohih dengan syawahidnya, Fadhlush Sholah ‘alan Nabi tahqiq Syaikh Al Albany, hal; 30).

Ibu …

karena kemuliaanmu kening tertunduk hina di depanmu

namamu semerbak mewangi, haribaanmu menghangati jiwaku

Allah yang Maha Tinggi lagi Mulia menjagamu.

Kepadamu ibuku, aku rindu

Ridhomu atasku bagai hembusan angin nan sejuk menghapus dukaku

Kasihmu duhai ibu, penawar luka-lukaku

Peliru lara sepanjang umurku dan tempat bernaungku

Dan setelah kepada Allah, kepadamulah aku mengadu

Kala problema merundungku

Dengan do’amu duhai ibu sirna segala kesusahanku

Do’amu laksana jalan bagi hatiku

Wahai ibuku, engkaulah yang membuat indah hidupku

Bunga-bunga nan indah mekar dan mata air yang tak pernah berhenti mengaliriku

Tak dapat kuhitung malam-malam yang kau lalui tanpa memejamkan matamu

Dan hatimu bersedih ketika aku pergi meninggalkanmu

Teruslah ibu menjadi pelita yang bagiku.

Agar aku bisa berbakti kepadamu.


http://abuzubair.net/syarah-kitab-al-adabul-mufrod-imam-al-bukhori-2/#more-445

10 FAEDAH TENTANG THAHARAH



KENAPA THAHARAH DULU?
Kalau anda membuka kitab-kitab fiqih, niscaya akan anda dapati bahwa para ulama memulainya dengan kitab thaharah. Apa rahasia dan sebabnya?! Minimal ada tiga alasan di balik itu semua:
Pertama: Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat yang merupakan ibadah yang paling utama.
Kedua: Pembersihan itu sebelum perhiasan. Seperti kalau ada anak putri yang masih kotor penuh debu dan kita ingin memakaikan padanya baju baru dan perhiasan, apakah akan langsung kita pakaikan ataukah kita memandikannya terlebih dahulu?! Demikian pula thaharah, dia adalah pembersihan dan shalat adalah perhiasannya.
Ketiga: Sebagaimana seorang membersihkan badannya maka hendaknya dia juga membersihkan hatinya. Hal ini merupakan peringatan kepada pembaca atau penuntut ilmu agar meluruskan niatnya terlebih dahulu dari kotoran-kotoran hati. [1]
RENUNGAN AYAT
Seorang wanita yang sedang haidh tidak boleh digauli suaminya  sehingga dia suci terlebih dahulu kemudian mandi darinya atau bertayammum. Hal ini merupakan madzhab mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi’i. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah mandi, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[2]
Mujahid berkata: (يَطْهُرْنَ) yakni suci dari darah haidh, adapun  (تَطَهَّرْنَ) yakni mandi dengan air. Sebagian Zhohiriyyah[3] mengatakan: Maksud (تَطَهَّرْنَ) adalah membersihkan farji mereka, tetapi pendapat ini tidak benar karena Allah berfirman:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Dan jika kamu junub maka mandilah, [4]
Jadi kata (تَطَهَّرَ ) dalam al-Qur’an maksudnya adalah mandi[5]
SUCINYA AIR
Suatu saat Abu Bakar al-Abhari ahli fiqih pernah duduk bersama Yahya bin Sha’id ahli hadits, lalu ada seorang wanita datang melontarkan pertanyaan kepada Yahya bin Sha’id: “Wahai syeikh! Bagaimana menurut anda tentang sumur yang kejatuhan bangkai ayam, apakah airnya tetap suci ataukah menjadi najis?!” Yahya menjawab: “
Lho, gimana ayam kok bisa jatuh di sumur?!
Wanita itu menjawab: “Karena memang sumurnya tidak tertutup”. Yahya berkata lagi: “Kenapa kamu tidak menutupinya agar tidak kejatuhan sesuatu yang tidak diinginkan”. Mendengar Yahya yang mengelak dari memberikan jawaban memuaskan, maka al-Abhari langsung berkata:
Wahai saudariku, apabila air di sumur tersebut berubah maka najis tetapi kalau tidak maka dia tetap suci“.
Kisah ini memberikan faedah kepada kita akan pentingnya mempelajari fiqih. Sungguh ilmu fiqih merupakan ilmu yang paling utama[6]. Apabila anda ingin mengetahui betapa agungnya kedudukan fiqih, maka lihatlah kedudukan al-Ashma’I dalam bahasa, Sibawaih dalam Nahwu, Ibnu Ma’in dalam rawi hadits, lalu bandingkah dengan kedudukan Imam Ahmad dan Syafi’I dalam fiqih!!. [7]
MANDI BESAR DAN JUMAT
Apabila berkumpul jinabat dengan mandi jumat, jinabat dan haidh, jum’at dan mandi hari raya. Bolehkah digabung jadi satu ataukah harus mandi dua kali untuk masing-masing?!  Masalah ini diperselisihkan ulama[8]Pendapat yang kuat adalah boleh apabila dia meniatkan keduanya, berdasarkan zhahir keumuman dua hadits berikut:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya.[9]
مَنْ غَسَّل وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَدَنَا مِنَ الإِمَامِ فَأَنْصَتَ, كَانَ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا صِيَامُ سَنَةٍ وَقِيَامُهَا, وَذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
Barangsiapa yang menggauli isterinya[10] kemudian mandi, berpagi-pagi, dekat dengan imam dan mendengarkan khutbah, maka setiap langkah yang dia langkahkan seperti puasa dan shalat malam selama satu tahun. Hal itu sangat mudah bagi Allah.[11]
Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulamaIbnu Mundzir berkata:
Mayotitas ahli ilmu yang kami ketahui berpendapat bahwa seorang yang mandi untuk jinabat dan jum’at dalam sekali mandi, hal itu sudah cukup“.[12]
AWAS! ITU TIPU DAYA IBLIS!
Diceritakan bahwa ada seorang pernah berkata kepada Imam Ibnu Aqil:
Saya menyelam dalam air berkali-kali, namun saya ragu apakah sah mandiku ataukah tidak, bagaimana pendapat anda?!
Ibnu Aqil menjawab:
Pergilah, karena engkau telah gugur dari kewajiban shalat. Orang itu bertanya: Bagaimana bisa seperti itu?! Beliau menjawab: Karena Nabi telah bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena dari tiga golongan, orang gila sehingga sadar, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh”.
Nah, kalau ada orang yang menyelam di air berkali-kali tapi kok masih ragu apakah sah mandinya ataukah tidak, dia termasuk kategori orang gila.[13]
DOA KELUAR-MASUK WC
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
Dari Anas bin Malik berkata: Nabi apabila hendak[14] masuk wc beliau berdoa: “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan/gangguan Syaithon laki-laki dan Syaithon perempuan”.[15]
Dalam lafadz ( اْلخُبُثِ ) ada dua bacaan; dengan dhommah dan sukun. Kalau dengan sukun (اْلخُبْثِ) maksudnya adalah segala kejelekan, sedangkan dengan dhommah (اْلخُبُثِ ) adalah syetan lelaki. Riwayat dengan sukun lebih umum, oleh karenanya riwayat mayoritas ahli hadits adalah dengan sukun[16].
Adapun hikmah doa ini sangat jelas, sebab wc adalah tempat kotor dan makhluk jahat seperti syetan, maka dianjurkan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan dan kejelekan, diantaranya adalah kejelekan syetan.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَكَ
Dari Aisyah bahwasanya Nabi apabila keluar dari wc, beliau berdoa : “Ya Allah,  aku mohon ampunan-Mu”.[17]
Ada sebuah rahasia di balik doa ini, yaitu sebagaimana kotoran itu menyakitkan perut dan badan, demikian pula dosa, dia menyakitkan hati, maka dia berdoa kepada Allah untuk meringankan beban dosa sebagaimana Allah telah meringankan dirinya dari beban kotoran. Dan rahasia ucapan dan doa Nabi di atas lintasan hati seorang. [18]
TIDUR, PEMBATAL WUDHU
Apakah tidur membatalkan wudhu seorang?! Masalah ini diperselisihkan para ulama. Pendapat yang benar adalah bahwa tidur[19] membatalkan wudhu. Hal ini dikuatkan olehImam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam kisah menarik sebagai berikut:
“Dahulu aku berfatwa kepada manusia bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak perlu berwudhu lagi, sehingga suatu saat ada seorang yang duduk di sampingku pada hari jum’at, diapun tidur dan mengeluarkan angin kentut!. Akupun berkata padanya: Bangun dan berwudhulah. Dia menjawab: Saya enggak tidur kok. Aku berkata lagi padanya: Tadi kamu keluar kentut, jadi wudhumu batal! Orang itupun malah bersumpah bahkan dia mengatakan kepadaku: Malah kamu yang kentut! Sejak itulah, saya merubah pendapatku yang lama bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak batal wudhunya. [20]
AIR PENGGANTI TANAH
Soal: Kita semua tahu bahwa tanah adalah pengganti air, yaitu ketika seorang tidak mendapati air untuk wudhu maka dia bertayammum dengan tanah.  Nah, tahukah anda kapan air bisa menjadi pegganti tanah?!
Jawab: Apabila ada seorang yang meninggal di kapal laut dan masih jauh dari daratan serta dikhawatirkan akan berubah baunya, maka pada kondisi seperti ini disyari’atkan untuk memandikannya, mengkafaninya, dan menyalatinya, kemudian mengikatnya dengan benda yang berat kemudian membuangnya ke laut karena tidak adanya tanah untuk menguburnya.
وَمَنْ مَاتَ فِيْ بَحْرٍ قَدْ عَزَّ دَفْنُهُ
فَفِي الْبَحْرِ يُلْقَى وَهُوَ بِالتُّرْبِ بُدِّلاَ
Barangsiapa mati di lautan dan berat untuk menguburnya
Maka dilempar ke laut sebagai ganti dari tanah[21].
MENYIBAK HIKMAH
Sebagai seorang muslim sejati, kita beriman dengan tatanan Syari’at Islam, baik kita ketahui hikmahnya ataukah tidak, namun bila penelitian menyibak hikmahnya, tentu saja hal itu akan lebih menambah kemantapan kita akan indahnya syari’at yang mulia ini. Berikut dua contoh yang telah dibuktikan oleh penelitian modern:
Dalam Majalah “American Family Physician” edisi bulan Maret 1990 M, dikutip komentarprofesor Dizweel, seorang ketua rumah sakit di Wasingthon tentang khitan:
“Dahulu sekitar tahun 1975 M, saya termasuk musuh bebuyutan khitan, saya mengerahkan segala upaya untuk memerangi khitan. Hanya saja pada tahun delapan puluhan, banyak penelitian membuktikan banyaknya anak-anak yang tidak dikhitan mengalami kebengkakan pada alat saluran air seni. Sekalipun demikian saya pun belum berfikir untuk menjadikan khitan sebagai solusinya. Tetapi…setelah penelitian lama dan mempelajari masalah ini dalam majalah-majalah kedokteran tentang khitan, sayapun akhirnya menemukan hasilnya sehingga saya menjadi pembela khitan untuk para anak-anak”.[22]
Sebagian para dokter di universitas Mesir mengadakan penelitian tentang hubungan wudhu dengan kesehatan, lalu mereka menghasilkan sebuah hasil yang mengejutkan! Terbukti hidung orang yang tidak biasa berwudhu terlihat pucat, berminyak dan menyimpan debu. Demikian juga lubang hidung; lengket, kotor, berdebu dan rambut hidung mudah rontok. Hal ini sangat berbeda dengan hidung orang yang biasa berwudhu; bersih mengkilat, tanpa mengandung debu, rambut hidungnya juga nampak jelas dan bersih dari debu”..[23]
TIGA MASALAH DARAH NIFAS
1. Apabila seorang wanita keguguran maka ada dua kemungkinan:
PertamaJaninnya belum membentuk, yakni masih berupa darah atau sekerat daging maka ini adalah darah kotor, bukan darah nifas sehingga dia tetap shalat.
KeduaJaninnya telah membentuk seperti telah terlihat tangan, kaki atau kuku maka darahnya adalah darah nifas.[24]
2. Apabila ada seorang wanita melahirkan tetapi tidak mengeluarkan darah maka dia telah suci, baik melahirkannya secara tabiat yaitu lewat farji ataukah lewat perut karena operasi.[25]
3. Apabila ada seorang wanita melahirkan dua anak kembar, anak pertama pada tanggal satu dan anak kedua tanggal sepuluh misalnya dan dia mengeluarkan darah maka hal ini tetap dianggap nifas dan memulai hitungan hari baru kembali[26]

[1] Tanbihul Afham hal. 7 dan Syarh Mumti’ 1/27, Ibnu Utsaimin.
[2] QS. Al-Baqarah: 222.
[3] Sebagaimana dalam kitab al-Muhalla 10/81 oleh Ibnu Hazm. Dan ini merupakan pendapat Atho’ sebagaimana dalam al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/96.
Faedah: Syaikh al-Albani menguatkan pendapat ini dalam kitabnya Adab Zifaf hal. 129, namun pendapat beliau yang terakhir  adalah menguatkan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana diceritakan oleh murid beliau Syaikh Husain al-Awayisyah dalam Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah 1/281. Perhatikanlah!!
[4] QS.Al-Maidah: 6.
[5] Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah 21/624-626.
[6] Menakjubkanku juga ucapan Ibnul Jauzi dalam Shaidhul Khathir hal. 289: “Bukti terbesar yang menunjukkan pentingnya sesuatu adalah melihat kepada buahnya. Maka barangsiapa memperhatikan buah fiqih, niscaya dia akan mengetahui bahwa dia merupakan ilmu yang paling utama, karena para ulama empat madzhab lebih unggul daripada manusia lainnya padahal di zaman mereka ada yang lebih alim dari mereka dalam al-Qur’an, hadits dan bahasa”.
[7] Al-Hatstsu ala Hifzhi Ilmi, Ibnul Jauzi hal. 24.
[8] Mengetahui perselisihan ulama sangat penting sekali. Alangkah indahnya ucapan Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan para fuqoha’, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”. (Jami’ Bayanil IlmI, Ibnu Abdil Barr  2/814-815).
[9] HR. Bukhari: 1 Muslim: 1907.
[10] Demikian penafsiran Waki’ dan Imam Ahmad bin Hanbal. (Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 1/373)
[11] Shahih. Riwayat Abdur Razzaq 5570, Ahmad 4/9, Abu Dawud 345, Tirmidzi 496, Nasai 3/95, Ibnu Majah 1087 dengan sanad.
[12] al-Ausath 4/43.
[13] Talbis Iblis, Ibnul Jauzi hal. 166-167, Iqhotsatul Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 2/258.
[14] Arti ini secara jelas ditegaskan oleh riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad: 692  dengan sanad shahih.
[15] HR. Bukhori: 142, Muslim: 37.
[16] Sekalipun hal ini dianggap keliru oleh al-Khothtobi dalam Ishlah Aghlath Muhaditstsinhal. 28, namun pendapat beliau ini dibantah oleh para ulama semisal Imam Nawawi dalamSyarh Muslim 4/71 dan Ibnu Daqiq al-I’ed dalam Ihkamul Ahkam 1/96.
[17] HR.Tirmidzi: 7, Abu Dawud: 30, Ibnu Majah: 300 dll. Dishohihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 52.
[18] Iqhotsatul Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 1/124.
[19] Maksudnya di sini adalah tidur lelap yang menjadikan seorang seperti hilang ingatan dan tidak mengetahui kejadian di depannya, bukan hanya sekedar ngantuk atau tidur setengah sadar. (Lihat Gharibul Hadits al-Khathabi 2/32, Subulus Salam ash-Shan’ani1/252-253, Tamamul Minnah al-Albani hal. 101)
[20] al-Istidzkar 1/150, Ibnu Abdil Barr.
[21] Ad-Durar al-Bahiyyah fil Alghoz al-Fiqhiyyah, Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Arifi hal. 8
[22] Asrar Khitan Tatajalla fi Thibbi Hadits, Hassan Syamsi Basya, hal. 29-31.
[23] (Al-Istisyfa’ bis Sholat, Zuhair Rabih Qoromi Dinukil dari Nawadir Syawarid, Muhammad Khair Ramadhan, hal. 275, 282)
[24] 60 Sualan ‘an Ahkamil Haidh, Ibnu Utsaimin hal. 15-16.
[25] Hasyiyah Raddil Muhtar, Ibnu Abidin 1/199.
[26] al-Ahkam Syar’iyyah lid Dima’ ath-Thabi’iyyah, Dr. Abdullah ath-Thayyar hal. 121.

10 FAEDAH TENTANG KITAB


I. MENULIS KITAB, AMALAN UTAMA
Al-Hafizh Ibnu Jama’ah al-Kinani asy-Syafi’i mengatakan: “Termasuk adab seorang alim adalah menyibukkan diri dengan menulis bila telah memiliki keahlian, karena menulis dapat memperluas wacana ilmiyahnya tentang berbagai bidang ilmu dan menelaah kitab-kitab ulama.
Dan hendaknya bagi seorang yang ingin mengarang karya tulis untuk memilih suatu pembahasan yang manfaatnya besar dan sangat di butuhkan oleh manusia, lebih baik lagi bila pembahasan tersebut belum pernah dibahas sebelumnya, dengan memilih kata-kata yang jelas, tidak terlalu panjang sehingga membosankan dan tidak juga terlalu ringkas sehingga”.[1]
Alangkah bagusnya ucapan seorang penyair:

كَتَبْتُ وَقَدْ أَيْقَنْتُ يَوْمَ كِتَابَتِيْ     بِأَنَّ يَدِيْ تَفْنَى وَيَبْقَى كِتَابُهُ

وَ أَعْلَمُ أَنَّ اللهَ لاَبُدَّ سَائِلِيْ         فَيَا لَيْتَ شِعْرِيْ مَا يَكُوْنُ جَوَابُهُ

Ketika saya menulis saya yakin
Bahwa tanganku akan binasa dan tulisanku kekal
Dan saya tahu bahwa Allah pasti menanyakanku
Aduhai, apa nanti jawabannya?[2]
II. SEMANGAT MEMBACA DAN MENULIS KITAB
  • Al-Imam Al-Muzani membaca kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebanyak lima puluh kali. [3]
  • Abdullah bin Muhammad membaca kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah sebanyak dua puluh tiga kali.[4]
  • Ibnul Jahm apabila dia mengantuk pada selain waktu tidur, maka dia mengusir ngantuknya dengan membaca kitab-kitab hikmah sehingga ngantuknya hilang.[5]
  • Ibnu Tabban membaca kitab sepanjang malam. Ibunya pernah melarang dan menyuruhnya tidur, maka dia menyembunyikan sebuah lampu, apabila ibunya tidur dia menyalakan lampu dan meneruskan untuk membaca.[6]
  • Muhammad bin Ahmad bin Qudamah menulis dengan tangannya beberapa kitab yang banyak sekali, di antaranya Tafsir Al-BaghowiAl-MughniHilyah Abu Nu’aim, Al-Ibanah Ibnu Baththoh, dan Al-Khiroqi serta mushaf dengan jumlah yang banyak.[7]
  • Imam Ismail al-Jurjani menulis setiap malam sembilan puluh lembar kertas dengan tulisan yang bagus dan hati-hati.[8]
.
III. TAFSIR JALALAIN
  • Sebagian ulama Yaman berkata: “Saya mnghitung huruf-huruf Al-Qur’an dan Tafsir al-Jalalain, ternyata saya mendapatinya sama hingga sampai surat Al-Muzammil. Dan mulai surat al-Mudatsir tafsir lebih banyak daripada Al-Qur’an. Dari sini, maka boleh membawa Tafsir Al-Jalalain tanpa wudhu”. [9]
IV. KITAB BUKAN BANTAL
  • Nuaim bin Naim pernah berkata: Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya: Apakah seorang boleh meletakkan kitab di bawah kepalanya? Beliau bertanya: Kitap apa? Penanya menjwab: Kitab hadits. Imam Ahmad berkata: Kalau memang dia khawatir untuk dicuri maka boleh, adapun menjadikannya sebagai bantal maka tidak boleh”.[10]
.
V. MEWASPADAI KITAB-KITAB BID’AH
  • Imam Abu Zur’ah pernah ditanya tentang Harits al-Muhasibi dan kitab-kitabnya, maka beliau berkata kepada penanya: “Waspadalah dirimu dari kitab-kitab ini! Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat, peganglah hadits”. Dikatakan padanya: “Dalam kitab-kitab ini terdapat pelajaran”. Dia menjawab: Barangsiapa yang baginya Al-Qur’an tidak ada pelajaran, maka tidak ada pelajaran baginya juga dalam kitab-kitab ini“. Kemudian dia berkata: “Alangkah cepatnya manusia menuju kepada bid’ah”.[11]
Aduhai, alngkah miripnya hari ini dengan kemarin! Lantas, bagaimanakah kiranya, bila Imam Abu Zur’ah mendapati kitab-kitab pada zaman sekarang yang berisi penyimpangan dan kesesatan seperti kitab-kitab Sayyid QuthubAn-NabhaniAl-GhozaliAl-Qorodhawial-KautsariAs-Saqqofal-ButhiMuhammad Surur dan kitab-kitab pergerakan lainnya.[12]
.
VI. WALIMAH KITAB FATHUL BARI
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani mengarang kitab Fathul Bari Syarh Shohih Bukhori selama seperempat abad lebih, beliau memulai pada awal tahun 817 H dan selesai pada awal Rojab tahun 842 H, belum lagi tambahan-tambahan yang beliau cantumpkan setelah itu sehingga selesai sebelum wafatnya pada tahun 852 H.
Beliau menempuh metode menakjubkan dalam mengarang kitabnya. Awalnya melalui imla’ selama lima tahun, kemudian beberapa muridnya yang cerdas berkumpul dan mengusulkan agar dibukukan syarahnya tersebut. Akhirnya, beliapun menulis dengan tangannya sendiri sedikit demi sedikit, sehingga kitabnya telah dikoreksi dan diteliti secara jeli.
Tatkala selesai karya syarah Bukhori tersebut, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengadakan sebuah walimah besar-besaran pada hari Sabtu 8 Sya’ban tahun 842 H. Dalam acara tersebut, dibacakan majlis akhir dari Fathul Bari dan walimah itu dihadiri oleh pembesar ulama, tokoh, penuntut ilmu dan kaum muslimin.
Al-Biqo’i menyebutkan bahwa orang-orang pasar baik kaum laki-laki maupun wanita keluar untuk rekreasi. Lanjutnya: “Sampai-sampai saya mengira bahwa tidak ada seorang tokohpun di Mesir kecuali hadir dalam walimah tersebut. Hari itu adalah hari yang  istimewa, belum ada sepertinya di zaman itu. Pada kesempatan tersebut, dilantunkan syair-syair indah berisi pujian kepada penulis dan kitabnya, Fathul Bari dijual dengan harga tiga ratus dinar.[13]
.
VII. MAHAR  KITAB
Abu Bakar Al-Kasyani adalah seorang tokoh ulama yang beruntung, dia berguru kepadaImam Abu Bakar As-Samaragandi sekaligus menikah dengan putrinya yang terkenal  pintar dan ahli ibadah. Tahukah anda sebab pernikahannya?! Al-kisah, Fathimah adalah seorang wanita yang cantik jelita dan pandai sekali, dia hafal kitab karya ayahandanya At-Tuhfah fi Al-Fiqih, banyak para raja yang hendak meminangnya, tetapi sang ayah tidak merestuinya.
Tatkala Al-Kasyani datang belajar kepadanya dan nampak kepandaiannya dalam bidang fiqih sehingga dia mengarang kitab Al-Bada’i sebagai penjelasan dari kitab At-Tuhfah fil Fiqih. Tatkala dia menyodorkan kepada sang guru, karuan aja sang guru sangat bergembira lali menikahkannya dengan putrinya serta menjadikan maharnya adalah kitab tersebut. Oleh karena itu, para fuqoha’ pada masanya mengatakan: “Dia mensyarah (menulis penjelasan) kitab Tuhfah-nya dan mendapatkan putrinya”.[14]
Dikisahkan juga bahwa apabila Al-Kasyani salah, maka istrinya yang menegur dan meluruskannya. Fatwa yang keluar ditanda tangani olehnya dan ayahnya. Tatkala sudah menikah dengan Al-Kasyani, maka ditanda tangani olehnya, ayahnya dan suaminya.[15]
.
VIII. BAGAIMANA MENELAAH KITAB?
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Menelaah kitab terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Menalaah dengan tadabbur (memahami dan menghayati). Hal ini perlu hati-hati dan tidak tergesa-gesa.
Kedua: Hanya sekedar menelaah saja dengan membaca isi kitab dan pembahasan yang terdapat di dalamnya. Hal ini cukup dengan tela’ah sekilas. Dan cara yang paling utama dalam membaca kitab adalah memahami dan menghayati makna-makna yang terkandung serta meminta bantuan kepada yang mengerti agar dapat memahaminya”.[16]
.
IX. PERPUSTAKAAN KITAB BUKAN DEKOR
Hendaknya bagi kita untuk memiliki sebuah perpustakaan yang berisi kitab-kitab penting yang sangat kita butuhkan. Namun, jangan jadikan perpustakaan kita hanya sekedar sebagai pajangan belaka, tetapi jadikan tujuan kita untuk mengambil faedah dari kitab-kitab tersebut dengan membaca dan menelaahnya.
Sungguh, betapa banyak orang yang memiliki sebuah perpustakaan yang berisi ratusan dan ribuan kitab tetapi dia tidak mengerti tentang isi kitabnya sendiri!!! Ada seorang ulama pernah mengunjungi perpustakan model seperti ini, tetapi setelah dia mengetes pemiliknya ternyata dia tidak pernah membaca dan menelaah kitab-kitabnya sendiri, maka sang alim-pun menyindirnya: “Kitab-kitabmu banyak sekali tetapi airmu sedikit sekali”!!!
Al-Hafizh As-Sakhowi menceritakan bahwa ada seseorang pernah datang kepada Al-Hafizh Al-’Iraqi, memprotesnya tatkala beliau menghukumi suatu hadits dengan palsu padahal hadits tersebut tercantumkan dalam kitab-kitab hadits!! Al-Hafizh Al-’Iraqi akhirnya meminta kepadanya untuk menghadirkan kitab tersebut untuk dikoreksi. Lelaki itupun pergi untuk mengambil kitabnya, ternyata kitab yang dibawanya adalah kitab yang khusus mencantumkan hadits-hadits palsu yaitu Al-Mau’dhu’at oleh Ibnul Jauzi.[17]
.
X. BEROBAT DENGAN MEMBAKAR KITAB
Dalam biografi Imam Ash-Shon’ani diceritakan bahwa suatu saat beliau pernah terkena mencret, keluarganya telah berusaha mencarikan obat untuknya tetapi belum membuahkan hasil. Tiba-tiba beliau diberi dua kitab yaitu Al-Insan Al-Kamil oleh Abdul Qodir al-Jili dan Al-Madhmun Bihi Ala Ahlihi karya Al-Ghozali.
Ash-Shon’ani berkata: “Saya yakin kitab ini bukan karyanya tetapi dusta”. Lanjutnya: “Kemudian saya menelaah dua kitab tersebut, ternyata saya mendapati kekufuran yang amat nyata, maka saya perintahkan agar dua kitab tersebut dibakar lalu apinya digunakan untuk memebuat roti untukku. Beliaupun kemudian memakan roti tersebut dengan niat kesembuhan. Setelah itu, beliau tidak pernah sakit sedikitpun.[18]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

[1] Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim hlm. 54.
[2] Al-Ghurar ‘Ala Thurar 2/246,  Muhammad Khair Ramadhan Yusuf.
[3] Lihat Muqoddimah Ar-Risalah hlm. 4.
[4] Dzail Thobaqot Hanabilah 2/411.
[5] Al-Hayawan al-Jahizh 1/53.
[6] Tartibul Madarik Al-Qodhi Iyadh 1/78.
[7] Dzail Thobaqot Hanabilah 2/53.
[8] Siyar A’lam Nubala’ 13/54.
[9] Kasyfu Zhunun ‘an Asamil Kutub wal Funun 1/308.
[10] Thobaqotul Hanabilah 1/391.
[11] Tarikh Baghdad 8/218.
[12] Bayanu Manhaj Salaf fii Mua’malati Ahlil Bida’ wal Ahwa’ hlm. 144 karya Salim bin Ied al-Hilali.
[13] Manhaj Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani fil Aqidah hlm. 102-103 oleh Muhammad Ishaq Kandu.
[14] Thobaqotul Fuqoha’ hlm. 102,
[15] Al-Fawaid Al-Bahiyyah hlm. 158, dinukil dari Huququl Mar’ah hlm. 280 oleh DR. Nawwal binti Abdul Aziz.
[16] Kitabul Ilmi hlm. 89.
[17] Fathul Mughits 1/294. Lihat pula Min Buthunil Kutub 1/17 oleh Yusuf al-’Atiq dan Ma’alim fi Thoriq Tholabil Ilmi hlm. 179 oleh Abdul Aziz As-Sadhan.
[18] Kutub Hadzaro Minha Ulama 1/45 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman.
thank you