Kalau anda membuka kitab-kitab fiqih, niscaya akan anda dapati bahwa para ulama memulainya dengan kitab thaharah. Apa rahasia dan sebabnya?! Minimal ada tiga alasan di balik itu semua:
Pertama: Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat yang merupakan ibadah yang paling utama.
Kedua: Pembersihan itu sebelum perhiasan. Seperti kalau ada anak putri yang masih kotor penuh debu dan kita ingin memakaikan padanya baju baru dan perhiasan, apakah akan langsung kita pakaikan ataukah kita memandikannya terlebih dahulu?! Demikian pula thaharah, dia adalah pembersihan dan shalat adalah perhiasannya.
Ketiga: Sebagaimana seorang membersihkan badannya maka hendaknya dia juga membersihkan hatinya. Hal ini merupakan peringatan kepada pembaca atau penuntut ilmu agar meluruskan niatnya terlebih dahulu dari kotoran-kotoran hati. [1]
Seorang wanita yang sedang haidh tidak boleh digauli suaminya sehingga dia suci terlebih dahulu kemudian mandi darinya atau bertayammum. Hal ini merupakan madzhab mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi’i. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah mandi, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.[2] Mujahid berkata: (يَطْهُرْنَ) yakni suci dari darah haidh, adapun (تَطَهَّرْنَ) yakni mandi dengan air. Sebagian Zhohiriyyah[3] mengatakan: Maksud (تَطَهَّرْنَ) adalah membersihkan farji mereka, tetapi pendapat ini tidak benar karena Allah berfirman: وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Dan jika kamu junub maka mandilah, [4] Jadi kata (تَطَهَّرَ ) dalam al-Qur’an maksudnya adalah mandi. [5] Suatu saat Abu Bakar al-Abhari ahli fiqih pernah duduk bersama Yahya bin Sha’id ahli hadits, lalu ada seorang wanita datang melontarkan pertanyaan kepada Yahya bin Sha’id: “Wahai syeikh! Bagaimana menurut anda tentang sumur yang kejatuhan bangkai ayam, apakah airnya tetap suci ataukah menjadi najis?!” Yahya menjawab: “
Lho, gimana ayam kok bisa jatuh di sumur?!
Wanita itu menjawab: “Karena memang sumurnya tidak tertutup”. Yahya berkata lagi: “Kenapa kamu tidak menutupinya agar tidak kejatuhan sesuatu yang tidak diinginkan”. Mendengar Yahya yang mengelak dari memberikan jawaban memuaskan, maka al-Abhari langsung berkata:
“Wahai saudariku, apabila air di sumur tersebut berubah maka najis tetapi kalau tidak maka dia tetap suci“.
Kisah ini memberikan faedah kepada kita akan pentingnya mempelajari fiqih. Sungguh ilmu fiqih merupakan ilmu yang paling utama[6]. Apabila anda ingin mengetahui betapa agungnya kedudukan fiqih, maka lihatlah kedudukan al-Ashma’I dalam bahasa, Sibawaih dalam Nahwu, Ibnu Ma’in dalam rawi hadits, lalu bandingkah dengan kedudukan Imam Ahmad dan Syafi’I dalam fiqih!!. [7] Apabila berkumpul jinabat dengan mandi jumat, jinabat dan haidh, jum’at dan mandi hari raya. Bolehkah digabung jadi satu ataukah harus mandi dua kali untuk masing-masing?! Masalah ini diperselisihkan ulama[8]. Pendapat yang kuat adalah boleh apabila dia meniatkan keduanya, berdasarkan zhahir keumuman dua hadits berikut: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya.[9] مَنْ غَسَّل وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَدَنَا مِنَ الإِمَامِ فَأَنْصَتَ, كَانَ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا صِيَامُ سَنَةٍ وَقِيَامُهَا, وَذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ
Barangsiapa yang menggauli isterinya[10] kemudian mandi, berpagi-pagi, dekat dengan imam dan mendengarkan khutbah, maka setiap langkah yang dia langkahkan seperti puasa dan shalat malam selama satu tahun. Hal itu sangat mudah bagi Allah.[11] Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama. Ibnu Mundzir berkata:
“Mayotitas ahli ilmu yang kami ketahui berpendapat bahwa seorang yang mandi untuk jinabat dan jum’at dalam sekali mandi, hal itu sudah cukup“.[12]
AWAS! ITU TIPU DAYA IBLIS!
Diceritakan bahwa ada seorang pernah berkata kepada Imam Ibnu Aqil:
Saya menyelam dalam air berkali-kali, namun saya ragu apakah sah mandiku ataukah tidak, bagaimana pendapat anda?!
Ibnu Aqil menjawab:
Pergilah, karena engkau telah gugur dari kewajiban shalat. Orang itu bertanya: Bagaimana bisa seperti itu?! Beliau menjawab: Karena Nabi telah bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena dari tiga golongan, orang gila sehingga sadar, orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga baligh”.
Nah, kalau ada orang yang menyelam di air berkali-kali tapi kok masih ragu apakah sah mandinya ataukah tidak, dia termasuk kategori orang gila.[13]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
Dari Anas bin Malik berkata: Nabi apabila hendak[14] masuk wc beliau berdoa: “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan/gangguan Syaithon laki-laki dan Syaithon perempuan”.[15] Dalam lafadz ( اْلخُبُثِ ) ada dua bacaan; dengan dhommah dan sukun. Kalau dengan sukun (اْلخُبْثِ) maksudnya adalah segala kejelekan, sedangkan dengan dhommah (اْلخُبُثِ ) adalah syetan lelaki. Riwayat dengan sukun lebih umum, oleh karenanya riwayat mayoritas ahli hadits adalah dengan sukun[16]. Adapun hikmah doa ini sangat jelas, sebab wc adalah tempat kotor dan makhluk jahat seperti syetan, maka dianjurkan untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan dan kejelekan, diantaranya adalah kejelekan syetan.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَكَ
Dari Aisyah bahwasanya Nabi apabila keluar dari wc, beliau berdoa : “Ya Allah, aku mohon ampunan-Mu”.[17] Ada sebuah rahasia di balik doa ini, yaitu sebagaimana kotoran itu menyakitkan perut dan badan, demikian pula dosa, dia menyakitkan hati, maka dia berdoa kepada Allah untuk meringankan beban dosa sebagaimana Allah telah meringankan dirinya dari beban kotoran. Dan rahasia ucapan dan doa Nabi di atas lintasan hati seorang. [18] Apakah tidur membatalkan wudhu seorang?! Masalah ini diperselisihkan para ulama. Pendapat yang benar adalah bahwa tidur[19] membatalkan wudhu. Hal ini dikuatkan olehImam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam kisah menarik sebagai berikut: “Dahulu aku berfatwa kepada manusia bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak perlu berwudhu lagi, sehingga suatu saat ada seorang yang duduk di sampingku pada hari jum’at, diapun tidur dan mengeluarkan angin kentut!. Akupun berkata padanya: Bangun dan berwudhulah. Dia menjawab: Saya enggak tidur kok. Aku berkata lagi padanya: Tadi kamu keluar kentut, jadi wudhumu batal! Orang itupun malah bersumpah bahkan dia mengatakan kepadaku: Malah kamu yang kentut! Sejak itulah, saya merubah pendapatku yang lama bahwa orang yang tidur sambil duduk tidak batal wudhunya. [20]
Soal: Kita semua tahu bahwa tanah adalah pengganti air, yaitu ketika seorang tidak mendapati air untuk wudhu maka dia bertayammum dengan tanah. Nah, tahukah anda kapan air bisa menjadi pegganti tanah?!
Jawab: Apabila ada seorang yang meninggal di kapal laut dan masih jauh dari daratan serta dikhawatirkan akan berubah baunya, maka pada kondisi seperti ini disyari’atkan untuk memandikannya, mengkafaninya, dan menyalatinya, kemudian mengikatnya dengan benda yang berat kemudian membuangnya ke laut karena tidak adanya tanah untuk menguburnya.
وَمَنْ مَاتَ فِيْ بَحْرٍ قَدْ عَزَّ دَفْنُهُ
فَفِي الْبَحْرِ يُلْقَى وَهُوَ بِالتُّرْبِ بُدِّلاَ
Barangsiapa mati di lautan dan berat untuk menguburnya
Maka dilempar ke laut sebagai ganti dari tanah[21].
Sebagai seorang muslim sejati, kita beriman dengan tatanan Syari’at Islam, baik kita ketahui hikmahnya ataukah tidak, namun bila penelitian menyibak hikmahnya, tentu saja hal itu akan lebih menambah kemantapan kita akan indahnya syari’at yang mulia ini. Berikut dua contoh yang telah dibuktikan oleh penelitian modern:
Dalam Majalah “American Family Physician” edisi bulan Maret 1990 M, dikutip komentarprofesor Dizweel, seorang ketua rumah sakit di Wasingthon tentang khitan:
“Dahulu sekitar tahun 1975 M, saya termasuk musuh bebuyutan khitan, saya mengerahkan segala upaya untuk memerangi khitan. Hanya saja pada tahun delapan puluhan, banyak penelitian membuktikan banyaknya anak-anak yang tidak dikhitan mengalami kebengkakan pada alat saluran air seni. Sekalipun demikian saya pun belum berfikir untuk menjadikan khitan sebagai solusinya. Tetapi…setelah penelitian lama dan mempelajari masalah ini dalam majalah-majalah kedokteran tentang khitan, sayapun akhirnya menemukan hasilnya sehingga saya menjadi pembela khitan untuk para anak-anak”.[22]
Sebagian para dokter di universitas Mesir mengadakan penelitian tentang hubungan wudhu dengan kesehatan, lalu mereka menghasilkan sebuah hasil yang mengejutkan! Terbukti hidung orang yang tidak biasa berwudhu terlihat pucat, berminyak dan menyimpan debu. Demikian juga lubang hidung; lengket, kotor, berdebu dan rambut hidung mudah rontok. Hal ini sangat berbeda dengan hidung orang yang biasa berwudhu; bersih mengkilat, tanpa mengandung debu, rambut hidungnya juga nampak jelas dan bersih dari debu”..[23]
1. Apabila seorang wanita keguguran maka ada dua kemungkinan:
Pertama: Janinnya belum membentuk, yakni masih berupa darah atau sekerat daging maka ini adalah darah kotor, bukan darah nifas sehingga dia tetap shalat.
Kedua: Janinnya telah membentuk seperti telah terlihat tangan, kaki atau kuku maka darahnya adalah darah nifas.[24] 2. Apabila ada seorang wanita melahirkan tetapi tidak mengeluarkan darah maka dia telah suci, baik melahirkannya secara tabiat yaitu lewat farji ataukah lewat perut karena operasi.[25] 3. Apabila ada seorang wanita melahirkan dua anak kembar, anak pertama pada tanggal satu dan anak kedua tanggal sepuluh misalnya dan dia mengeluarkan darah maka hal ini tetap dianggap nifas dan memulai hitungan hari baru kembali. [26]
[1] Tanbihul Afham hal. 7 dan Syarh Mumti’ 1/27, Ibnu Utsaimin. [3] Sebagaimana dalam kitab al-Muhalla 10/81 oleh Ibnu Hazm. Dan ini merupakan pendapat Atho’ sebagaimana dalam al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/96. Faedah: Syaikh al-Albani menguatkan pendapat ini dalam kitabnya Adab Zifaf hal. 129, namun pendapat beliau yang terakhir adalah menguatkan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana diceritakan oleh murid beliau Syaikh Husain al-Awayisyah dalam Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah 1/281. Perhatikanlah!!
[5] Majmu Fatawa, Ibnu Taimiyyah 21/624-626. [6] Menakjubkanku juga ucapan Ibnul Jauzi dalam Shaidhul Khathir hal. 289: “Bukti terbesar yang menunjukkan pentingnya sesuatu adalah melihat kepada buahnya. Maka barangsiapa memperhatikan buah fiqih, niscaya dia akan mengetahui bahwa dia merupakan ilmu yang paling utama, karena para ulama empat madzhab lebih unggul daripada manusia lainnya padahal di zaman mereka ada yang lebih alim dari mereka dalam al-Qur’an, hadits dan bahasa”. [7] Al-Hatstsu ala Hifzhi Ilmi, Ibnul Jauzi hal. 24. [8] Mengetahui perselisihan ulama sangat penting sekali. Alangkah indahnya ucapan Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan para fuqoha’, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”. (Jami’ Bayanil IlmI, Ibnu Abdil Barr 2/814-815). [9] HR. Bukhari: 1 Muslim: 1907. [10] Demikian penafsiran Waki’ dan Imam Ahmad bin Hanbal. (Zadul Ma’ad Ibnu Qayyim 1/373) [11] Shahih. Riwayat Abdur Razzaq 5570, Ahmad 4/9, Abu Dawud 345, Tirmidzi 496, Nasai 3/95, Ibnu Majah 1087 dengan sanad. [13] Talbis Iblis, Ibnul Jauzi hal. 166-167, Iqhotsatul Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 2/258. [14] Arti ini secara jelas ditegaskan oleh riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad: 692 dengan sanad shahih. [15] HR. Bukhori: 142, Muslim: 37. [16] Sekalipun hal ini dianggap keliru oleh al-Khothtobi dalam Ishlah Aghlath Muhaditstsinhal. 28, namun pendapat beliau ini dibantah oleh para ulama semisal Imam Nawawi dalamSyarh Muslim 4/71 dan Ibnu Daqiq al-I’ed dalam Ihkamul Ahkam 1/96. [17] HR.Tirmidzi: 7, Abu Dawud: 30, Ibnu Majah: 300 dll. Dishohihkan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 52. [18] Iqhotsatul Lahfan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah 1/124. [19] Maksudnya di sini adalah tidur lelap yang menjadikan seorang seperti hilang ingatan dan tidak mengetahui kejadian di depannya, bukan hanya sekedar ngantuk atau tidur setengah sadar. (Lihat Gharibul Hadits al-Khathabi 2/32, Subulus Salam ash-Shan’ani1/252-253, Tamamul Minnah al-Albani hal. 101) [20] al-Istidzkar 1/150, Ibnu Abdil Barr. [21] Ad-Durar al-Bahiyyah fil Alghoz al-Fiqhiyyah, Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Arifi hal. 8 [22] Asrar Khitan Tatajalla fi Thibbi Hadits, Hassan Syamsi Basya, hal. 29-31. [23] (Al-Istisyfa’ bis Sholat, Zuhair Rabih Qoromi Dinukil dari Nawadir Syawarid, Muhammad Khair Ramadhan, hal. 275, 282) [24] 60 Sualan ‘an Ahkamil Haidh, Ibnu Utsaimin hal. 15-16. [25] Hasyiyah Raddil Muhtar, Ibnu Abidin 1/199. [26] al-Ahkam Syar’iyyah lid Dima’ ath-Thabi’iyyah, Dr. Abdullah ath-Thayyar hal. 121.