Jumat, 04 Februari 2011

Menjaga Aqidah Ketika Sakit




Menjaga Aqidah Ketika Sakit

Setiap orang yang beriman pasti akan diberikan ujian oleh Allah subhanahu wata’ala. Ujian tersebut beragam bentuknya, sesuai kondisi dan kadar keimanan seseorang. Ujian bisa berupa kesenangan dan bisa pula berupa kesusahan. Dan salah satu dari bentuk ujian tersebut adalah tertimpanya seseorang dengan suatu penyakit yang menggerogoti dirinya.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam surat Al-‘Ankabut ayat 1sampai 3, bahwa hikmah diberikannya ujian kepada kaum mukminin adalah untuk mengetahui[1] siapa yang jujur dan siapa yang dusta dalam pengakuan iman mereka tersebut.

Demikian juga ketika sakit, seseorang akan teruji tingkat kejujuran iman dan aqidah dia. Sangat disayangkan, ternyata di sana masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh orang yang sedang tertimpa penyakit. Di antara mereka ada yang tidak menerima bahkan menolak takdir Allah yang sedang dia rasakan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan dan mengklaim bahwa Allah tidak adil kepada dirinya, Allah telah berbuat zhalim kepadanya, dan sebagainya, na’udzubillah min dzalik. Ada pula yang tidak sabar dan putus asa dengan keadaannya tersebut sehingga dia sangat berharap ajal segera menjemputnya. Dan bahkan ada pula yang nekad melakukan upaya bunuh diri dengan harapan penderitaannya segera berakhir. Ini semua menunjukkan lemahnya iman dan kurang jujurnya dia dalam ikrar keimanannya tersebut.

Lalu bagaimana bimbingan syari’at yang mulia dan sempurna ini dalam menyikapi permasalahan-permasalahan seperti itu? Solusi apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap hamba yang mengaku beriman kepada Allah ‘azza wajalla, Rasul-Nya dan hari akhir jika tertimpa suatu penyakit agar iman dan aqidah ini senantiasa terjaga? Maka kali ini insya Allah akan kami tengahkan kepada anda, bagaimana syari’at membimbing anda tentang sikap yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang sedang mengalami sakit agar dia dikatakan sebagai seorang yang jujur dalam keimanan dan aqidahnya. Di antara sikap tersebut adalah[2]:

1. Hendaknya dia merasa ridha dengan takdir dan ketentuan Allah subhanahu wata’ala tersebut, bersabar dengannya dan berbaik sangka kepada Allah subhanahu wata’ala dengan apa yang sedang dia rasakan. Karena segala yang dia terima adalah merupakan sesuatu terbaik yang Allah subhanahu wata’ala berikan padanya. Ini merupakan sikap seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin, karena segala urusannya adalah berupa kebaikan. Dan tidaklah didapatkan keadaan yang seperti ini kecuali pada diri seorang mukmin saja. Ketika dia mendapatkan kebahagiaan, dia segera bersyukur. Maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan ketika dia mendapatkan kesusahan dia bersabar. Maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim dari shahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu)

Beliau juga bersabda:

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)

2. Hendaknya dia memiliki sikap raja’ (berharap atas rahmat Allah subhanahu wata’ala) dan rasa khauf (takut dan cemas dari adzab Allah subhanahu wata’ala)

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi seorang pemuda yang sedang sakit. kemudian beliau bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya sangat mengharapkan rahmat Allah dan saya takut akan siksa Allah dikarenakan dosa-dosa saya.” Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua sifat tersebut ada pada seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan akan memberi rasa aman dengan apa yang dia takutkan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

3. Tidak diperbolehkan baginya untuk mengharapkan kematian segera menjemputnya ketika penyakitnya ternyata semakin menjadi parah dan memburuk.

أأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى الْعَبَّاسِ وَهُوَ يَشْتَكِي فَتَمَنَّى الْمَوْتَ فَقَالَ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّ رَسُولِ اللَّهِ لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا تَزْدَادُ إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ قَالَ يُونُسُ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ مِنْ إِسَاءَتِكَ خَيْرٌ لَكَ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi pamannya ‘Abbas yang sedang sakit. Dia mengeluh dan berharap kematian segera datang menjemputnya. Maka beliau bersabda kepadanya: “Wahai pamanku, janganlah engkau berharap kematian itu datang. Jika engkau adalah orang baik, maka engkau bisa menambah kebaikanmu, dan itu baik untukmu. Namun jika engkau adalah orang yang banyak melakukan kesalahan, maka engkau dapat mengingkari dan membenahi kesalahanmu itu, dan itu baik bagimu. maka janganlah berharap akan kematian.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari shahabiyyah Ummul Fadhl radhiyallahu ‘anha)

Namun ketika ternyata dia tidak bisa bersabar dan harus melakukannya, maka hendaknya dia mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Ya Allah hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

4. Hendaknya dia berwasiat ketika merasa ajalnya telah dekat untuk dipersiapkan dan dilakukan pengurusan jenazahnya nanti sesuai dengan bimbingan syari’at dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah. Hal ini sebagai bentuk pengamalan firman Allah subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Dan di sana banyak kisah- kisah para sahabat yang mereka berwasiat dengan hal ini ketika merasa ajal segera menjemputnya. Salah satunya adalah kisah shahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang pernah berwasiat ketika dia merasa ajal telah dekat. Dia berkata:

إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ

“Jika aku mati, janganlah kalian mengumumkannya. aku takut kalau perbuatan tersebut termasuk na’i (mengumumkan kematian yang dilarang sebagaimana dilakukan orang-orang jahiliyyah), karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah melarang perbuatan na’i tersebut.” (HR. At-Tirmidzi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkar: “Sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk berwasiat kepada keluarganya agar meninggalkan kebiasaan atau adat yang ada dari berbagai bentuk kebid’ahan dalam penyelenggaraan jenazah. Dan hendaknya dia menekankan permasalahan itu.”

Wallahu A’lam.

Diringkas dari Kitab Ahkamul Jana-iz karya Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah oleh Al-Ustadz Abdullah Imam.
[1] Dan Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui kadar dan tingkat kejujuran iman seseorang walaupun tidak memberikan ujian kepada hamba-Nya itu.

[2] Diringkas dari kitab Ahkamul Jana-iz karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu ta’ala.

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=419#more-419)

SEBAB-SEBAB YANG MENGUATKAN CINTA KARENA ALLAH

1. Memberitahu orang yang engkau cintai bahwa engkau mencintainya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila salah seorang dari kamu mencintai saudaranya hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya."[1]

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa pemberitahuan tersebut akan membuat kasih sayang semakin langgeng dan membuat cinta semakin kuat. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila salah seorang dari kamu mencintai saudaranya karena Allah hendaklah ia memberitahu kepadanya, karena hal itu dapat melanggengkan kasih sayang dan memperkuat rasa cinta."[2]

Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (XIII/67): "Makna pemberitahuan ini ialah anjuran untuk saling berkasih sayang dan mencintai. Karena apabila ia memberi tahu kepadanya maka ia akan memikat hatinya dan mendatangkan kecintaannya."

2. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa ucapan salam akan menghilangkan rasa asing dan gejolak hati sehingga hati dapat bertemu karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan, kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam di antara kalian."[3]

3. Hadiah

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi."[4]

4. Membatasi frekuensi kunjungan

Ketahuilah wahai saudaraku yang ku cintai, terlalu sering berkunjung bisa membuat bosan. Kunjungan yang terlalu sering dapat menumbuhkan futur (jemu atau muak). Mengatur kadar kedekatan dapat membuatnya lapang. Demikian pula sebaliknya, terlalu jarang mengunjungi juga akan membuat renggang dan dapat mengeraskan hati. Oleh karna itu, kunjungilah saudaramu sesekali waktu.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kunjungilah (saudaramu) secara jarang-jarang niscaya rasa kasih sayang akan bertambah."[5]

Sungguh indah perkataan seorang penya'ir berikut ini:
hindari olehmu sering melakukan kunjungan

karena sungguh jika terlalu banyak, akan
menimbulkan kebencian

sungguh aku lihat hujan bila turun tiap
hari akan membuat bosan

dan apabila tertahan justru tangan-
tangan akan menengadah memohon
kedatangannya

Seorang penya'ir lain mengatakan:
batasilah kunjungan kepada sahabatmu

maka engkau seperti pakaian yang senantiasa
baru

sungguh sesuatu yang paling membosankan
bagi seseorang

bila ia selalu melihatmu di sisinya

5. Bersikap wajar dalam cinta dan benci.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam
"Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan, bencilah orang yang kamu benci sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai."[6]

Demikianlah sikap yang pertengahan ini bertambah nyata, meliputi seluruh tampilan Islam hingga dalam hal perasaan, simpati dan kasih sayang.

Oleh karena itu Umar bin al-Khaththab radialllahu 'anhu berkata: "Hai Aslam, jangan jadikan cintamu sebagai beban dan jangan sampai bencimu membuat binasa."

Aku bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Beliau mengatakan: "Jika engkau mencintai, janganlah berlebihan seperti seorang anak kecil mencintai sesuatu. Dan, jika engkau membenci, janganlah berlebihan hingga engkau suka mencelakai sahabatmu dan membinasakannya."[7]

Hadbah bin Kasyram berkata:
jika engkau membenci, bencilah dengan kebencian
sewajarnya

karena sesungguhnya engkau tidak tahu,
suatu ketika engkau akan kembali

jadilah engkau barang tambang bagi kebaikan dan
berilah maaf atas kesalahan

karena sesungguhnya engkau melihat dan
mendengar apa yang engkau lakukan

jika engkau mencintai, cintailag dengan cinta
sewajarnya

sebab engkau tidak tahu, suatu ketika engkau
memutus cinta itu

An-Namar bin Taulab berkata:
cintailah kekasihmu dengan cinta sewajarnya

niscaya tidak akan membebanimi
bila kamu memutus cinta itu

dan bencilah musuhmu dengan benci sewajarnya

karena bila engkau berusaha untuk mencintainya
maka engkau akan bersikap bijak padanya

6. Istiqomah di atas ketaatan dan meninggalkan maksiat.

Ketahuilah saudaraku seiman, bahwa iman dan amal shalih merupakan penyebab Allah mencintai hamba-Nya. Jika Allah telah mencintainya, niscaya ditulis baginya penerimaan yang baik di tengah hamba-hamba-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang." (QS. Maryam: 96)

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai seorang hamba niscaya Jibril akan berseru: 'Sesungguhnya Allah Subahanhu wa Ta'ala mencintai fulan, maka cintailah dia.' Maka Jibril pun mencintainya. Lalu Jibril menyerukan kepada penghuni langit: 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mencinta fulan, maka cintailah dia,' Maka penghuni langit pun mencintainya, kemudian diberikan kepadanya penerimaan yang baik di kalangan penduduk bumi."[8]


Disalin dari buku dengan judul "CINTA & BENCI Karena Allah" hal: 37-48, karangan Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali dengan penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, penerbit: Pustaka Imam Asy-Syafi'i


_Foot note:
[1] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad (542), Abu Dawud (5214), at-Tirmidzi (2502-Tuhfah), dan selain mereka dari jalur Yahya bin Sa'id ia berkata: "Tsaur bin Yazid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Habib bib 'Ubaid telah menceritakan kepada kami dari al-Miqdam bin Ma'di di Karib secara marfu'." Aku katakan: "Hadits ini telah dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan benar katanya." 

[2] Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Waki' dalam kitab az-Zuhd (337) dengan sanad yang shahih dari 'Ali bin Al-Husain secara marfu'.
Aku katakan: "Riwayat tersebut mursal shahih sanadnya." Ada syahid (hadits penguat) lain yang juga mursal diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (191). Dan, ada juga syahid lainnya dari Yazid bin Nu'amah adh-Dhabbi.
Hadits ini telah dihasankan oleh guru kami Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1199) dengan keseluruhan jalur-jalurnya.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim (II/35, an-Nawawi) dan selainnya dari hadits Abu Hurairah radiallahu 'anhu.

[4] Hasan, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (594), ad-Dulabi dalam al-Kuna (I/150 dan II/7) dan al-Baihaqi (VI/169), serta selain mereka dari jalur Dhamam bin Isma'il ia berkata: 'Aku mendengar Musa bin Wardan meriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu 'andu secara marfu'."
Aku katakan: "Sanad ini hasan."

[5] Shahiihul Jaami' ash-Shaghiir wa Ziyaadatuhu (3562).

[6] Shahiihul Jaami' ash-Shaghiir wa Ziyaadatuhu (176).
Guru kami, Syaikh al-Albani telah menjelaskan panjang lebar tentang keshahihannya dalam Ghaayatul Maraam (472), silahkan merujuk ke sana karena sangat bermanfaat.

[7] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (1322), Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (20269), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah(XIII/65), dari jalur Ma'mar bin Zaid bin Aslam dari ayahnya.
Aku katakan: "Sanadnya shahih."

[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (VI/303, X/461, al-Fath), Muslim (XVI/183-184 an-Nawawi), dari hadits Abu Hurairah radiallahu 'anhu.
thank you