Kamis, 03 Februari 2011

Pilar-pilar Utama Keluarga Sakinah

Keluarga sakinah, ialah keluarga yang tenang, tenteram dan damai. Selain Keluarga sakinah adalah dambaan dan cita-cita setiap pasutri muslim dan muslimah.  Bahkan hampir seluruh pasangan calon pasutri mendambanya. Namun tidak semua pasutri dengan mudah menggapai dan meraihnya. Sebab “sakinah” merupakan sepatah kata yang makna serta perwujudannya tidak sesingkat dan semudah penyebutannya. Namun begitu Alloh yang berkehendak berkumpulnya pasangan-pasangan hambaNya menuntun mereka agar sampai padanya.
Islam sebagai agama yang syamil lagi kamil, datang dengan syari’at yang membuka solusi terbaik dari kesulitan diatas. Islam memberikan sarana yang paripurna untuk meraih ke-sakinahan. Maknanya menggapai ke-sakinahan hanya akan dengan mudah dilakukan dengan Islam. Yaitu tatkala Islam dijadikan sebagai dasar dan pokok segala urusan seseorang maka kesulitan pun akan berubah menjadi kemudahan. Bukankah Alloh telah berfirman:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.QS.al-Baqoroh [2]:185
Dan bukankah memang Islam itulah pokok segala urusan?! Rosululloh telah nyatakan hal ini dalam sabda beliau:
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
Pokok segala urusan adalah Islam, pilar-pilarnya adalah sholat, sedangkan puncak bangunannya adalah jihad.[1]
Berangkat dari pemahaman ini, maka setiap insan yang hendak menyatukan asa, cita dan cintanya kepada calon pasangannya, mustahil akan bersatu asa mereka, mustahil pula akan padu cita dan cinta mereka meskipun kenyataan jasad-jasad mereka telah benar-benar bersatu, bila tanpa Islam dengan kesempurnaan syari’atnya sebagai pijakan pokoknya.
Saudara-saudariku pasutri semoga Alloh memberkahi kita semua, sebagaimana Islam memiliki pilar-pilar penegak bangunannya yang tinggi menjulang, maka keluarga sakinah pun tidak akan tegak selain dengan ditegakkannya pilar-pilar penopangnya. Tatkala setiap pasutri telah menjadikan Islam dengan seluruh syari’atnya sebagai asas dan pokok bangunan rumah tangganya, berarti mereka telah memiliki modal yang sangat besar lagi berharga untuk mengembangkan usaha berdua menggapai keluarga sakinah. Tinggal bagaimana setiap pasutri muslim ini menata dan merapihkan pilar-pilar kesakinahan yang harus mereka ambil dari antara mutiara-mutiara indah syari’at Islam yang telah disiapkan dan disediakan oleh Alloh dengan begitu melimpah. Sehingga butiran-butiran mutiara syariat Islam yang indah itu tertata dan tersusun rapih sebagi pilar-pilar bangunan rumah tangganya dan menghiasi seluruh sisi serta sudut-sudutnya.
Yang harus dipahami bersama, bahwa ternyata usaha menggapai keluarga sakinah tidak bisa dilakukan dan cukup diawali dari sejak terjalinnya ikatan akad pernikahan setiap pasutri. Namun jauh sebelum itu setiap diri muslim maupun muslimah harus telah mempersiapkannya. Telah siap dengan kesholihannya sebelum menikah. Telah siap dengan kesholihan pula menjelang, disaat dan setelah menikah, sebagaimana telah siap dengan kesholihan dan ketlatenan pula dalam bersama-sama menguntai dan menata pernik-pernik mutiara indah syari’at Islam sebagai perhiasan diri pasutri serta sebagai pilar-pilar tegaknya rumah tangganya. Dengan inilah keluarga sakinah akan digapai, dengan ini pula Alloh menjanjikan sakinah, ketenangan, ketentraman serta kedamaian hidup.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. QS. An-Nahl[16]: 97
Bila masing-masing diri dalam pasutri sudah siap dengan kesholihan masing-masing, maka dalam ayat berikut ini Alloh menjajikan kehidupan yang baik berupa kesakinahan. Alloh berfirman:
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa tenang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”QS. Al-A’rof[7]: 189
Wallohu A’lam

[1] (HR. Tirmidzi dalam sunannya, dan beliau mengatakan hadits ini hasan shohih, juga diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Antara Perhiasan dan Aurat Wanita

Dari judul tulisan ini terasa ada yang aneh. Apa hubungan antara perhiasan dengan aurat? Bukankah perhiasan itu sesuatu yang lepas dari aurat? Lalu apa kaitannya antara keduanya? Penjabaran dari masalah tersebut mengacu pada firman Alloh Subhanahu wa Ta’aladalam surat an-Nur ayat 31 serta hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam yang akan kita sebutkan di bawah ini.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung. (QS. an-Nur [24]: 31)
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat. Apabila ia keluar (dari rumahnya), setan senantiasa mengintainya.”[1]
Hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam tersebut memberikan pengertian bahwa seorang wanita mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya adalah aurat, yang apabila nampak akan menjadikan dirinya malu. Lalu apakah seorang wanita itu harus selalu berkemul dan tidak boleh terlihat sedikit pun? Kalaupun ada yang boleh terlihat, lalu apakah yang boleh itu berarti boleh bagi seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan?
Masalah seperti ini adalah masalah syari’at yang mulia. Sebagaimana yang menetapkan bahwa wanita seluruhnya aurat adalah syari’at, sehingga tidaklah dikecualikan dari bagian-bagian tubuh seorang wanita yang boleh terlihat kecuali harus menurut dalil-dalil syari’at yang benar. Dan dalil syar’i tentang pengecualian tersebut ada di dalam ayat di atas.
Perhiasan yang biasa Tampak
Dalam ayat di atas Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.
Ibnu Jarir ath-Thobari Rohimallohu Ta’ala dalam tafsirnya (18/92) membawakan riwayat yang shohih mauquf dari Abdulloh bin Mas’ud Rodhiallohu’anhu yang berkata: AllohSubhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.” dia (Abdulloh bin Mas’ud) berkata: (yaitu) tsiyab (pakaian luar).[2]
Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad asy-Syinqithi Rohimallohu Ta’ala (Adhwa’ul Bayan 6/197) dan juga oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-AlbaniRohimallohu Ta’ala (Hijabul Mar’ah al-Muslimah hlm. 17).[3] Sebab makna perhiasan ialah apa yang seorang wanita berhias dengannya dan bukan termasuk asal penciptaan dirinya, dan yang melihatnya tidak mengharuskan melihat sebagian dari anggota badannya, seperti yang nampak dari pakaian luarnya yang tidak mungkin ditutup.[4]
Penjelasan ini semakna dengan hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam di atas, bahwa seluruh tubuh serta perhiasan seorang wanita adalah aurat yang tidak boleh terlihat oleh orang lain yang bukan mahromnya sedikitpun.[5] Berarti, seorang wanita tidak boleh terlihat sedikit pun, bagian tubuh maupun perhiasannya, oleh laki-laki lain yang bukan mahromnya selain pakaian luar yang menutup dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Dan inilah yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak dalam ayat di atas. Wallohu a’lam.
Perhiasan yang Tersembunyi
Selanjutnya ayat, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,….
Ibnu Jarir ath-Thobari Rohimallohu Ta’ala dalam tafsirnya (18/94) menyebutkan riwayat yang shohih dari Qotadah Rohimallohu Ta’ala tentang firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala(yang artinya): “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka …dst”, dia Rohimallohu Ta’ala berkata: “Seorang wanita boleh menampakkan kepalanya kepada mereka (yang tersebut dalam ayat).”
Diriwayatkan dari Abu Salamah Rodhiallohu’anhu ia berkata: “Aku datang bersama saudara laki-laki ‘Aisyah Rodhiallohu’anha kepada ‘Aisyah. Lalu bertanyalah saudaranya kepadanya tentang mandinya Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Maka ia (‘Aisyah) meminta diambilkan wadah seukuran satu sho’ kemudian ia mandi dengan mengguyurkan air ke atas kepalanya. Sedangkan antara kami dan dia ada hijab (penghalang)nya.” (HR. al-Bukhori dalam Fathul Bari 1/364)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani Rohimallohu Ta’ala dalam Fathul Bari (1/465) berkata: “Al-Qodhi Iyadh berkata: “Yang nampak bahwa kedua laki-laki tersebut melihat yang dilakukan ‘Aisyah pada kepalanya dan juga bagian atas tubuhnya dari yang boleh dilihat oleh mahromnya, sebab ‘Aisyah adalah bibi susuan dari Abu Salamah di mana dia telah disusui oleh Ummu Kultsum, saudari ‘Aisyah. Dan ia menutup bagian tubuhnya yang bawah dari yang tidak halal dilihat meski oleh mahromnya.”[6]
Berdasarkan ayat di atas dengan keterangan riwayat-riwayat yang ada, bisa diambil beberapa pelajaran sebagai berikut:
  1. Yang dimaksud dengan perhiasan di sini ialah yang ditutupi dengan pakaian luar seorang wanita, yang tidak boleh terlihat oleh laki-laki lain yang bukan mahromnya. Karena itulah perhiasan ini disebut juga dengan perhiasan yang tersembunyi, yaitu yang disembunyikan dari selain mahrom dan dari selain orang-orang yang disebutkan oleh Alloh Azza wa Jalla dalam ayat di atas.
  2. Berdasarkan beberapa riwayat di atas, yang dimaksud perhiasan di sini ialah termasuk anggota tubuh yang perhiasan biasa dikenakan padanya, bukan hanya pada perhiasannya itu sendiri. Perhatikan beberapa riwayat di atas yang jelas menyebutkan bahwa yang boleh terlihat dari seorang wanita muslimah di antaranya ialah kepala dan anggota wudhunya, bukan sekadar perhiasan yang dikenakannya. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan dalam ayat tersebut termasuk mawadhiuz zinah, artinya tempat-tempat di mana perhiasan itu dikenakan padanya. Seperti di kepala ada anting-anting di telinga, di leher ada kalung, di tangan ada gelang, di kaki ada gelang kaki. Maka maksudnya ialah bukan sekadar tidak boleh menampakkan berbagai perhiasan tersebut, namun juga tidak boleh menampakkan anggota tubuh yang perhiasan biasa dikenakan padanya meski ketika perhiasan tidak sedang dikenakan.
  3. Dan berdasarkan keumuman hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bahwa seluruh tubuh seorang wanita muslimah dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah aurat yang tidak boleh terlihat, maka ayat tersebut telah mengecualikan anggota tubuh yang mana yang boleh terlihat dan oleh siapa boleh terlihat. Sehingga seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan memperlihatkan anggota tubuhnya kepada orang-orang yang disebutkan dalam ayat melebihi yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu selain tempat-tempat yang perhiasan biasa dikenakan padanya dan anggota wudhunya saja.
  4. Berdasarkan ayat di atas, yang diperbolehkan melihat kepala seorang wanita muslimah dengan perhiasannya serta anggota wudhunya juga dengan perhiasan yang biasa ada padanya hanyalah mereka yang disebutkan di dalam ayat tersebut saja. Hal ini sebagaimana tegasnya Alloh Azza wa Jalla mengecualikan orang-orang yang disebutkan dalam ayat tentang bolehnya mereka melihat perhiasan dan anggota tubuh yang biasanya sebagai tempat perhiasan juga anggota wudhu seorang wanita muslimah.
Perhiasan yang Paling Tersembunyi
Adapun anggota tubuh yang lain, selain dari anggota wudhu dan tempat-tempat perhiasan seorang wanita muslimah, maka yang boleh melihatnya ialah suaminya. Sehingga seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan memperlihatkan dadanya ke bawah, dan dari betisnya ke atas selain kepada suaminya. Sebagaimana pengecualian yang Alloh Azza wa Jallasebutkan dalam ayat di atas.
Sedangkan antara suami istri maka tidak ada batasan aurat antara keduanya, di mana mereka boleh melihat bagian tubuh pasangannya yang mana saja yang ia inginkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah Rodhiallohu’anha, yang mengatakan: “Dahulu aku pernah mandi bersama Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam satu bejana yang disebut al-Faroq.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al–Asqolani Rohimallohu Ta’ala dalam Fathul Bari (1/364) mengatakan: “Dan ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini atas bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Dan hal ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwa ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat farji istrinya lalu dia mengatakan: “Aku bertanya kepada Atho’, maka beliau berkata: ‘Aku bertanya kepada Aisyah Rodhiallohu’anha lalu dia Rodhiallohu’anha menyebutkan makna hadits tersebut.’”
Maka ini sebagai dalil dalam masalah ini (dibolehkannya seorang suami melihat farji istrinya dan sebaliknya). Wallohu a’lam.
_______________________________________________
Referensi:
  • Jami’ Ahkamin Nisa’, Musthofa al-Adawi
  • Irwa’ul Gholil, Muhammad Nashiruddin al-Albani
  • Shohihul Jami’Muhammad Nashiruddin al-Albani
  • Tafsirul Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir
  • Kaset kajian Aurotul Mar’ah Muslimah Amama Ukhtihal Muslimah oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

[1] HR at-Tirmidzi, dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’ no: 273 dan dalam Shohihul Jami’ no: 6690
[2] Jami’ Ahkamin Nisa’, Musthofa al-Adawi, 4/486
[3] Jami’ Ahkamin Nisa’, Musthofa al-Adawi, 4/489-491
[4] Ibid
[5] Tafsirul Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir, 6/45
[6] Juga diriwayatkan oleh Muslim 1/618 dan an-Nasa’i 1/127

Para Salaf dan Nasihat

Alloh Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):
Maka Sholih meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanah Robb-ku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat.” (QS. al-A’rof [7]: 79)
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Sesungguhnya agama adalah nasihat, agama adalah nasihat, agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya: “Untuk siapa, wahai Rosululloh?” Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Alloh, demi al-Qur’an, demi Rosul-Nya, demi para pemimpin kaum muslimin, dan demi kaum muslimin seluruhnya.” (HSR. Abu Dawud: 4944, an-Nasa’i: 4199, dishohihkan oleh al-Albani)
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (artinya):
“Hak seorang muslim atas sesama muslim di antaranya ada enam hal; ……dan apabila ia meminta nasihat maka nasihatilah ia…” (HR Muslim: 2162)
Dari Isma’il berkata: “Telah bercerita kepadaku Qois bin Abi Hazim dari Jarir bin Abdillahrodhiyallohu’anhu berkata; ‘Aku berbai’at kepada Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallamuntuk tetap setia di atas menegakkan sholat, menunaikan zakat, serta menasihati setiap muslim.” (HR. Bukhori: 57 dan Muslim: 56)
Di antara hikmah para salaf ialah sikap mereka terhadap nasihat. Mereka saling menasihati. Mereka lapang menerima nasihat.
Dari Muhammad bin Manshur dari Ali bin Madini dari Sufyan berkata: “Tholhah mendatangi Abdul Jabbar bin Wail. Tatkala itu dia berada bersama manusia. Lalu Tholhah pun merahasiakan (sesuatu) kepadanya lalu pergi. (Setelah Tholhah pergi) Sufyan berkata: “Apakah kalian tahu apa yang telah dia katakan kepadaku? (Tholhah) telah mengatakan (kepadaku): ‘Kemarin aku melihatmu sedang menoleh sedangkan kamu dalam keadaan sholat.’” (Roudhotul Uqola’, Ibnu Hibban, hlm. 197)
Dari Ibnul Mubarok berkata: “Dahulu seseorang (para sahabat) apabila melihat pada saudaranya terdapat hal yang tidak ia sukai ia pun memerintahkannya atau melarangnya dengan sembunyi, sehingga dia diberi pahala atas rahasia dan larangannya (dari sesuatu yang tidak disenangi). Adapun hari ini, apabila seseorang melihat apa yang ia tidak sukai, ia membuat marah saudaranya dan ia sebarkan aibnya.” (Roudhotul Uqola’ hlm. 197)
Fudhoil bin Iyadh berkata: “Seorang yang beriman akan merahasiakan dan menasihati, sedangkan pelaku maksiat ia akan beberkan (aib) dan akan menjelek-jelekkan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 77)
Dengan demikian, para salaf sangat beruntung dengan nasihat. Yang lebih tua tidak merasa risih dengan nasihat yang lebih muda. Demikian juga sebaliknya. Dan mereka menerima nasihat dan berterima kasih kepada pemberi nasihat. Tidak sebagaimana hari ini, apabila ada seseorang yang menasihati saudaranya tentulah saudaranya justru akan memperhatikan aib-aibnya untuk dilecehkan dengannya.
Lalu di mana hikmah kita posisinya saat dihadapkan pada hikmah salaf kita?

Engkaukah mawar indah di taman itu?

Bunga mawar itu melalui malam hari dengan kekhusyu’an. Tidak menguncup setelah mekarnya meski diterpa angin dinginnya malam. Mawar itu telah mekar bukan hanya sejak hari kemarin. Dan akan senantiasa indah di kala malam, pagi dan di sepanjang hari. Siapa yang tidak tertegun melihat keelokan sekuntum mawar yang tumbuh subur, mekar dan basah oleh embun pagi, bahkan tak ‘kan layu oleh tatapan sinar mentari? Serasa segar dan meneduhkan pandangan mata. Semua hati ingin memilikinya, lalu menanamnya di taman sendiri. Namun ke manakah ia harus dicari?
Seorang wanita di sisi seorang suami laksana mawar di taman. Suamilah yang akan menikmati keelokannya, dan hanya untuk suami mawar itu tampil menggoda. Sebab suami adalah pemilik yang merawat dan yang memeliharanya. Namun wanita mana yang elok seelok mawar di taman yang hanya mekar untuk suami?
Pertanyaan tersebut tidak akan didapatkan jawabannya selain sifat-sifat keelokannya yang disebutkan oleh Alloh subhanahu wata’ala. Ialah sifat isteri sholihah. Ialah isteri idaman dan isteri pujaan. Ialah isteri yang elok bahkan lebih elok dari sekuntum mawar yang mekar dan menawan. Ia lebih anggun dan jauh lebih anggun dari warna-warninya mawar di taman pasutri. Ialah yang Alloh subhanahu wata’ala firmankan dalam ayat al-Qur’an:
… maka wanita yang sholih ialah yang taat kepada Alloh lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Alloh telah memelihara (mereka)…. (QS. an-Nisa’ [4]: 34)
Alloh subhanahu wata’ala menyebut kesholihan seorang wanita itu ada pada dua sifat saja.Ialah seorang qonitah yang berarti taat dan hafizhoh yang berarti pemelihara.
Aduhai betapa sejuk dan menawannya sebuah taman pasutri yang makmur oleh kesholihan isteri yang senantiasa taat pada perintah dan anjuran kebaikan Alloh subhanahu wata’alaRobbnya juga taat pada perintah dan anjuran kebaikan suaminya. Betapa tenteram hati suami sebagai pemilik dan penguasa taman yang dihiasi oleh seorang qonitah. Dan betapa sempurna ketenangan dan ketenteraman suami yang isterinya juga seorang hafizhoh.
Ya, isteri yang hafizhoh. Suami mana yang tidak menaruh kepercayaan penuh pada isterinya, bila isterinya seorang hafizhoh? Suami mana yang masih was-was akan isterinya di rumah tatkala ia harus beranjak berjalan di muka bumi mencari karunia Ilahi bila isterinya seorang yang rapih dalam memelihara diri dan kehormatannya, dan rapih dalam memelihara harta yang dipercayakan kepadanya oleh suaminya? Suami mana yang masih tidak merasa aman akan isterinya bila isterinya seorang yang hafizhoh, memelihara hak-hak Alloh subhanahu wata’ala dan hak-hak suaminya di kala suaminya tidak hadir di sisinya dan dengan sangat setia dan senantiasa sabar dalam penantian sebagaimana yang diperintahkan Dzat Yang Maha Rohman?
Sungguh benar, seorang yang sholihah itu ialah mawar yang mekar semerbak harum mewangi hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala, Robbnya, dan untuk suaminya tercinta. Adalah seorang wanita sholihah itu, yang istiqomah agamanya, yang senantiasa taat pada suaminya dan memelihara hak-hak suaminya yang ada pada dirinya dan pada harta suaminya. Dan adalah wanita terbaik itu seperti yang dituturkan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ a قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فيِ نَفْسِهَا وَلاَ فيِ مَالِهِ.
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang wanita seperti apa yang paling baik, beliau bersabda: ‘Yaitu wanita yang menyenangkan suami bila ia memandangnya, menaatinya bila ia perintah, dan tidak menyelisihi sesuatu yang ia tidak suka pada dirinya dan pada hartanya.’”([1])
Engkaukah wahai saudariku wanita sholihah itu? Engkaukah wahai saudariku mawar yang elok di taman itu? Wahai saudariku para isteri, jadilah engkau mawar-mawar dambaan dan pujaan, yang didamba oleh suamimu yang kau cintai dan dipuji oleh Dzat Yang Maha Tinggi. Dan bila bukan engkau mawar-mawar indah di taman itu wahai saudariku, maka seraya memohon ma’unah dari Alloh subhanahu wata’ala, perbaikilah mereka wahai saudaraku para suami, perbaikilah isteri-isterimu, dan Alloh subhanahu wata’ala jualah Dzat Yang akan melimpahkan taufiq-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Wallohua’lam
__________________________________________________________
([1]) Hadits hasan li ghoirihi, diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/251 dan Nasai 6/68.

Memadukan Langkah Menggapai Cita dan Cinta Hakiki

Sesuatu yang sudah dimaklumi adalah bahwa setiap perbuatan refleksi dari sebuah niat. Demikian pula pernikahan dua orang manusia, laki-laki dan perempuan pun berangkat dari sebuah niat, yaitu niat yang melahirkan gambaran tujuan kedua insan yang sedang mulai mengarungi samudera rumah tangga. Dari banyak dan beragamnya pasutri, tentu beraneka ragam pula niat serta tujuan pernikahan mereka. Namun mewujudkan tujuan dan cita-cita pernikahan, tidaklah semudah membalik telapak tangan, serta tidak begitu saja niat serta tujuan pernikahan membuahkan kebahagiaan di kemudian hari.
Tidak dipungkiri bahwa pernikahan adalah sumber keberkahan bagi pasutri. Pernikahan juga lahan memadu cinta kasih dan sayang yang telah dikaruniakan oleh Alloh Ta’ala kepada mereka berdua, Alloh subhanahu wata’ala menegaskan:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum [30]: 21)
Namun, bercinta dan berkasih sayang bukanlah satu-satunya tujuan, sehingga pasutri hanya terpaku dan sibuk memadu cinta dan kasih sayangnya, sementara mereka tidak tahu hendak dibawa ke mana dan dijadikan apa cinta dan kasih sayang yang dipadunya. Ketahuilah ia sekedar sarana yang Alloh anugerahkan sebagai pengantar pasutri menuju ke tujuan pernikahannya yang sangat luhur lagi mulia. Ia adalah sarana terwujudnya keharmonisan, yang dengannya pasutri harus bersama menjalani segala upaya dengan usaha nyata menuju cita-cita yang mulia lagi tinggi martabat serta derajatnya.
Alloh subhanahu wata’ala yang mensyari’atkan pernikahan, sehingga sudah semestinya setiap pasutri meniatkan pernikahannya hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala semata. Dan Alloh subhanahu wata’ala menetapkan tegaknya rumah tangga Islami sebagai muara akhir pernikahan. Yaitu tegaknya sebuah keluarga terdiri dari pasutri yang sholih dan sholihah, yang dengan kehendak Alloh subhanahu wata’ala akan menurunkan keturunan yang sholih serta sholihah juga. Dengan bekal kesholihan tersebut mereka bersama-sama merealisasikan ketulus-ikhlasan pengabdian kepada Robbnya subhanahu wata’ala. Itulah hakikat dan tujuan pernikahan yang sesungguhnya. Bila demikian, pernikahan adalah hal yang sangat besar urusannya, bukan hal yang sepele dan sederhana. Ia merupakan hal yang agung seagung tujuan yang ditetapkan oleh Alloh subhanahu wata’ala yang mensyari’atkannya.
Dan ketahuilah, keagungan tersebut hanya bisa diraih dengan bekal iman, yaitu keimanan yang membuahkan amal-amal sholih. Keagungan itu akan didapat oleh setiap pasutri yang mampu memadukan langkahnya, bersama -sama membina tumbuh dan berkembangnya keharmonisan sejati, bahu membahu menuju keridhoan Robb semesta alam. Allohsubhanahu wata’ala menegaskan:

… وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ …

… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…. (QS. al-Maidah [5]: 2)
Harmonis menuju keridhoan Alloh subhanahu wata’ala, memadu langkah bersama mengayunkan kaki menuju kecintaan Ilahi subhanahu wata’ala itulah cinta yang sejati, cinta hamba kepada sesamanya yang membuahkan cinta kepada dan dari Dzat Yang Maha Pencipta. Semuanya itu, tidak akan dapat digapai, melainkan dengan keharmonisan sejati.Wallohu A’lam.

thank you