Kamis, 17 Februari 2011

Wasiat Nabawi yang Penting bagi Anak anak

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku berada di belakang Nabishallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari. Beliau berkata kepadaku, “Wahai anak, sesungguhnya aku akan ajari engkau beberapa kalimat:
1.
اِحْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ،
“Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu”
Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya, Allah akan menjaga dunia dan akhiratmu.
2.
اِحْفَظِ اللَّهَ تَجِدُهُ تُجَاهَكَ
 “Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu”
Jagalah batasan-batasan dan hak-hak Allah. Engkau akan mendapati Allah memberikan taufiq kepadamu serta membantumu.
3.
إِذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta bantuan, minta bantuanlah kepada Allah.”
Maksudnya, jika engkau meminta bantuan dalam perkara dunia maupun akhirat, maka mintalah kepada Allah. Lebih-lebih dalam perkara yang tidak dimampui melainkan hanya oleh Allah saja, seperti menyembuhkan orang sakit, meminta rizki, maka ini adalah perkara yang khusus bagi Allah saja.
(Hal ini telah disebutkan oleh An-Nawawi dan Al-Haitami)
4.
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ, وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah, meskipun seluruh umat berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah. Dan jika mereka berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan.”
Maksudnya adalah beriman kepada takdir yang telah Allah tulis terhadap manusia, baik maupun jeleknya.
5.
رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Pena-pena telah diangkat dan lembar-lembar telah kering.”
(HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata hadits ini hasan shahih).
Maksudnya, tawakkal kepada Allah disertai dengan mengambil sebab, karena Rasulullah bersabda kepada pemilik unta, “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah.”(Hadits hasan, riwayat At-Tirmidzi).
Pada riwayat selain At-Tirmidzi:
6. “Kenalilah Allah di masa lapang, maka Allah akan mengenalmu di masa sulit.”
Tunaikanlah hak-hak Allah dan hak-hak manusia di kala lapang, maka Allah akan menyelamatkanmu di waktu kesempitan.
7. “Ketahuilah bahwa apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu”
Jika Allah menahan sesuatu darimu, maka tidak akan sampai padamu. Dan apabila Allah memberimu sesuatu, maka tidak akan ada yang bisa menahannya.
8. “Ketahuilah bahwa pertolongan menyertai kesabaran”
Pertolongan untuk menghadapi musuh dan terhadap diri sendiri itu sesuai dengan kesabaran.
9. “Sesungguhnya ada kelapangan bersama kesusahan”
Kesusahan yang menimpa seorang yang beriman akan disusul oleh kelapangan setelahnya.
10. “Dan sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan”
(Dihasankan oleh pentahqiq Kitab Jami’ul Ushul dengan penguat-penguat hadits tersebut).
Kesukaran yang dirasakan oleh seorang muslim, maka akan datang setelahnya satu atau dua kemudahan.
Faedah Hadits
1. Cintanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak-anak. Beliau memboncengkan Ibnu Abbas di belakang beliau. Beliau juga memanggil Ibnu Abbas dengan ucapan, “Wahai anak” agar Ibnu Abbas memperhatikan apa yang beliau ucapkan.
2. Memerintahkan anak-anak untuk taat kepada Allah dan menjauh dari maksiat kepada-Nya serta membawa kebahagiaan kepada mereka di dunia dan akhirat.
3. Allah akan memenangkan orang yang beriman di saat sempit jika mereka menunaikan hak Allah dan manusia di masa lapang, sehat dan kaya.
4. Menanamkan kepada jiwa anak-anak aqidah tauhid dengan meminta dan ber-isti’anah (meminta bantuan-pent) kepada Allah ta’ala semata. Ini merupakan kewajiban orang tua dan pendidik.
5. Menanamkan kepada anak aqidah iman kepada taqdir, yang baik maupun yang jelek dan ini merupakan rukun iman.
6. Mendidik anak agar optimis dalam menghadapi hidup mereka dengan keberanian dan penuh harapan supaya mereka menjadi sosok-sosok yang bermanfaat bagi umat.
“Ketahuilah bahwa pertolongan menyertai kesabaran, sesungguhnya ada kelapangan bersama kesusahan dan sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan”
(Dinukil dari http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku Bagaimana Mendidik Putra-Putri Kita karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerjemah: Abu Umar Al-Bankawy, muraja’ah: Al-Ustadz Ali Basuki, Lc)

Suami itu ...?

Bismillah..
Semoga bisa diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku..
(KISAH)

Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
 “mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya
“mbak kerja dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
 Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya trsenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
 Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing.  Dan parahnya saya juga lagi pusing .  Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi,umi pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat  sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”

Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuta hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar  600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya.  Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelehkan suami.” Lantutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah,,apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar.  Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana  mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Baigaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapnnya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptonya,, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.

Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatu  menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..

Subhanallah..

semoga,,pekerjaan,, harta  tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.



Membangun Istana Kelembutan

Penulis: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin
Tahun delapanpuluhan, dunia pendidikan Indonesia terhenyak kelabu. Seakan tiada habis tanya, mengapa peristiwa itu terjadi. Namun begitulah. Suratan takdir telah menorehkan peristiwa lain. Seorang bocah yang belum menginjak usia baligh terkapar.
Tubuhnya lebam-lebam, sebagai pertanda dirinya telah dianiaya. Bertubi siksaan, deraan dan pukulan mendarat di sekujur tubuhnya. Dalam ketiadaan daya, dirinya cuma bisa merintih kesakitan. Lalu, iapun meninggalkan alam fana ini. Apa salah bocah itu?
Konon, katanya ia telah mencuri. Atas tindakan bocah ini, orangtuanya pun kalap. Kemarahan membakar hatinya. Maka terjadilah apa yang terjadi. Episode kelabu ini menjadi noktah hitam dalam lembar riwayat dunia pendidikan di Tanah Air.
Kekerasan terhadap anak, telah demikian banyak terjadi. Bahkan, kekerasan yang terjadi tidak sedikit yang dilakukan secara tidak terukur. Dorongan untuk melakukan kekerasan pada anak lebih dikarenakan situasi emosional yang tidak stabil. Nafsu angkara menjadi mudah tersulut kala anak bertindak salah. Struktur kejiwaan seperti ini, ibarat petasan, ia bersumbu pendek. Sekali sulut, langsung meledak. Sekali anak melakukan perbuatan tak berkenan, langsung amarahnya menggelegar. Marah telah menghilangkan kontrol diri. Akibatnya, lisan tak terjaga, tindakan pun membabi buta. Kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, “Sungguh marah itu tidak diragukan lagi telah memberi pengaruh pada manusia, sehingga dirinya berperilaku (dengan) perilaku seperti orang gila.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/925)
Berdasar hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي. قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ
“Sesungguhnya seorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Nasihatilah aku.’ Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah.’ Kalimat itu terus diulang-ulang. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah’.”(Shahih Al-Bukhari, no. 6116)
Kalimat لَا تَغْضَبْ (janganlah kamu marah), menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, bermakna janganlah kamu menjadi orang yang cepat marah, yang akan memengaruhimu pada setiap sesuatu. Tapi, jadilah dirimu orang yang tenang, tidak cepat marah, karena sesungguhnya kemarahan itu adalah bara api yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Dengan bara api itu, mendidihlah hati seseorang. Karena ini pula, urat-urat leher dan jaringan pembuluh darah menegang, mata pun memerah. Lalu seseorang melakukan tindakan (agresivitas), setelah itu timbullah penyesalan.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/925)
Tentu sebuah sikap bijak, bila mendapati orang yang tengah geram dibakar angkara murka lalu menasihatinya. Nasihat nan bijak ini diharapkan mampu meredam tindakan-tindakan yang bakal tak terkendali. Seperti melakukan agresivitas; pemukulan atau tindakan sadistis lainnya yang tak patut dikenakan pada anak-anak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh terbaik, bagaimana upaya meredam amarah yang tengah menggelegak pada diri seseorang. Nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menembus pusat kesadaran. Sehingga, peristiwa pemukulan lantaran sikap amarah berhasil dihentikan. Bahkan tak cuma di situ. Pada diri orang itu tumbuh kesadaran untuk tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak miliknya selama-lamanya. Ini merupakan revolusi perubahan sikap dan perilaku yang mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia.
‘Uqbah bin ‘Amir bin Tsa’labah Al-Anshari atau lebih dikenal dengan nama kunyah Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, bertutur:
كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ. فَلَمْ أَفْهَمِ الصَّوْتَ مِنَ الْغَضَبِ، قَالَ: فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ. قَالَ: فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي، فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ. قَالَ: فَقُلْتُ: لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Saat aku memukuli budak milikku dengan cambuk, aku mendengar suara dari arah belakang: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Aku tak memahami suara itu karena sedang marah.”
“Maka tatkala mendekat kepadaku,” kata Abu Mas’ud, “Ternyata dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’.”
Kata Abu Mas’ud: “Aku pun melemparkan cambuk yang ada di tangan. BeliauShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sungguh AllahSubhanahu wa Ta’ala lebih kuasa atas dirimu daripada engkau terhadap budak ini’. Aku berkata: ‘Setelah peristiwa itu, aku tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak selama-lamanya’.” (Shahih Muslim, no. 1659)
Terkait hadits di atas, Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut mengandung motivasi untuk bersikap lemah lembut terhadap budak. Termuat pula nasihat serta kepedulian untuk bersikap pemaaf, menahan diri dari amarah dan menghukum sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum hamba-hamba-Nya. (Al-Minhaj, 11/132)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
Meretas pendidikan bagi anak-anak sehingga mereka menjadi generasi berakhlak mulia di masa sekarang ini tidaklah mudah. Berbagai kendala menghadang. Serbuan budaya kekerasan dan sadisme senantiasa mewarnai kehidupan sehari-hari. Aksi-aksi kekerasan dipertontonkan secara vulgar di hadapan anak-anak. Melalui kemampuan meniru yang kuat, seorang anak akan dengan mudah merekam dan menirukan apa yang dilihat dan dirasakannya. Lambat laun budaya itu terserap, mengkristal dalam jiwa anak dan terbentuklah kepribadian anak yang kasar, bengis, beringas, vandalis (suka merusak dengan ganas), dan pemarah. Anak menjadi ringan tangan untuk menyakiti teman-temannya, atau bahkan adiknya sendiri. Satu hal yang sangat ironis sekali, manakala kepribadian tanpa rahmah ini justru terbentuk pada diri anak melalui sikap-sikap yang diperlihatkan orangtua atau gurunya.
Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang bernama Al-Aqra’ bin Habis. Dia seorang ayah yang memiliki sepuluh anak. Satu hari, dia melihat RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan, cucu beliau. Lantas Al-Aqra’ bin Habis berucap, “Sungguh, aku memiliki sepuluh anak. Tak satupun dari mereka yang pernah aku cium.” Menimpali ucapan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ
Sesungguhnya siapa yang tak menyayangi, dia tak akan disayangi.
Dalam riwayat lain disebutkan:
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Siapa yang tak menyayangi orang lain, Allah tak akan menyayanginya.” (Kisah ini merujuk pada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Jarir bin Abdillahradhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih Muslim no. 2318 dan 2319)
Hadits di atas memberikan tekanan yang sangat kuat bahwa keluarga atau komunitas terdekat anak berperan dalam menumbuhkan kepribadian anak yang rahmah. Sarat kelembutan, bertabur kasih sayang. Sulit dan sangat sulit sekali, membangun rumah menjadi istana nan padat kelembutan bila masing-masing anggota keluarga tiada berkepribadian yang rahmah.
Kekerasan, pertengkaran, caci maki, dan dendam kesumat menjadi menu santapan sehari-hari. Maka, kisah di atas memberikan semangat guna melabur kasih kepada anak-anak dan selainnya. Salah satu dari sekian banyak ekspresi untuk ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak adalah dengan menciumnya. Inilah dasar pembentukan watak, karakter anak. Inilah manhaj yang sangat bersifat asasi. AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmah bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan:
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ. قَالَ: إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
“Dikatakan: ‘Ya Rasulullah, doakan kejelekan bagi orang-orang yang berbuat syirik.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sungguh, aku tidaklah diutus sebagai orang yang suka melaknat. Sesungguhnya aku diutus untuk membawa rahmah’.” (Shahih Muslim, no. 2599)
Pendidikan tanpa disertai sikap rahmah akan membawa akibat yang tidak ringan. Sama seperti halnya dalam dakwah. Tanpa sikap yang diliputi rahmah, dakwah bakal membuncah tiada arah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmah dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)
Kemudian selisiklah, bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammengembangkan sikap penuh hikmah, lembut, tidak menampakkan kekerasan terhadap orang Arab badui yang belum mengenyam pendidikan, padahal dia buang air di masjid. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengungkapkan kisah ini dalam haditsnya:
بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَهْ مَهْ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ. فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ
“Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba datang seorang A’rabi (Badui). Kemudian dia berdiri, buang air di masjid. Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Mah, mah.’1 Maka RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jangan hentikan (buang air kecilnya). Biarkan dia.’ Para sahabat pun meninggalkannya hingga orang tersebut menyelesaikan buang air kecilnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil A’rabi itu dan berbicara kepadanya: ‘Sesungguhnya masjid-masjid ini tidaklah boleh untuk buang air kecil atau buang kotoran. Masjid itu tempat untuk dzikir kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala, shalat dan membaca Al-Qur`an.’ –Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam–. Lantas beliau memerintahkan seseorang dari kaum tersebut, maka orang itu datang membawa seember air. Disiramlah bekas buang air kecil tadi.” (Shahih Muslim, no. 285)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu mengungkapkan faedah dari hadits tersebut. Kata beliau, hal itu menunjukkan kebagusan akhlak RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, pengajaran beliau dan sikap lemah lembutnya.Karenanya, hendaklah bagi kita bila berdakwah, menyeru pada perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara yang mungkar dilakukan dengan cara yang lemah lembut. Sesungguhnya cara yang lembut akan membuahkan kebaikan. Sebaliknya, cara yang kasar dan galak, bakal membuahkan kejelekan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/921)
Bagaimana bila dikaitkan dengan dunia pendidikan? Tentu pada hakikatnya sama antara dunia dakwah dengan dunia pendidikan. Karenanya, bagi para orangtua, pendidik, pengasuh, dan semua kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan hendaknya bisa mengedepankan sikap lemah lembut ini. Tidak mengedepankan aksi kekerasan, mudah mengayunkan tongkat atau alat pemukul ke tubuh anak didik. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan menyukai kelemahlembutan dalam seluruh perkara.” (Shahih Al-Bukhari no. 6927 dan Shahih Muslim no. 2165)
Juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya. Tidak terhadap istri, juga terhadap pelayan. Kecuali saat jihad di jalan Allah.” (Shahih Muslim, no. 2328)
Menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, yang dimaksud hadits itu yaitu memukul istri, pelayan, hewan; dan jika (memukul sesuatu) yang dibolehkan maka dilandasi dengan adab (aturan). Namun, meninggalkannya (yakni tidak memukul, pen.) itu lebih utama. (Al-Minhaj, 15/84)
Karenanya, penting sekali bagi seorang pendidik untuk memiliki sifat al-hilm, at-ta`anni, dan ar-rifq. Yang dimaksud al-hilm, menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, adalah seseorang yang mampu mengendalikan diri ketika marah. Sedangkan at-ta`anni yaitu bersikap tenang dalam menghadapi masalah yang ada. Tidak tergesa-gesa (dalam menyikapi perkara). Adapun ar-rifq, yaitu dalam bergaul dengan sesama manusia yang didasari kelemahlembutan dan merendah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/914)
Maka, seseorang yang tidak memiliki sifat al-hilm, dirinya akan senantiasa hanyut oleh gelombang kemarahannya. Pikiran jernihnya pupus disapu nafsu angkara murka yang telah merebak dalam dirinya. Sehingga, yang selalu dikedepankan oleh dirinya adalah ‘ilmu kekuatan’ (memukul, mencambuk, dan yang sejenisnya), bukan kekuatan ilmu (nasihat, bimbingan, arahan, dan sejenisnya). Begitu pula dengan sifat at-ta`anni dan ar-rifq. Tanpa memiliki sifat tersebut, seseorang akan tergesa-gesa dalam memutuskan suatu perkara tanpa mau secara bijak menyelami hakikat masalah yang ada pada anak. Ini sering terjadi terkait dalam penerapan sanksi atau hukuman pada anak. Karenanya, penting sekali memahami keadaan anak disertai sifat al-hilmat-ta`anni, dan ar-rifq.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: ‘Ini jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Pengertian بَصِيْرَةٍ pada ayat tersebut adalah ilmu. Yang dimaksud di sini bukan semata ilmu syar’i, namun meliputi pula keadaan mad’u (obyek dakwah) dan ilmu yang mengantarkan kepada tujuan, yaitu al-hikmahMaka harus dimiliki, bashirah(ilmu) tentang hukum syar’i, bashirah (ilmu) berkenaan dengan keadaan obyek dakwah, dan bashirah (ilmu) terhadap jalan yang mengantarkan kepada hakikat dakwah. Ini selaras dengan apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat hendak diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab.” (Shahih Al-Bukhari, no. 4347, hadits dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma Lihat Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaiminrahimahullahu, hal. 119)
Itu berarti, saat mendidik anak, selain memiliki bekal pemahaman agama, seseorang harus pula memahami kondisi anak. Juga tentunya, bagaimana harus memperlakukan anak tersebut. Sehingga dengan kepribadian nan penuh rahmah, dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan rumah, pesantren dan tempat lainnya sebagai istana kelembutan, bukanlah sesuatu yang mustahil. Dari sanalah lahir insan berilmu dan memiliki adab nan luhur.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Sebuah ungkapan pelarangan. –pen.
Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=698
thank you