Selasa, 19 Oktober 2010

Jangan Mendurhakainya!


Mendurhakai orang tua adalah dosa besar. Dan berbuat durhaka terhadap ibu adalah dosa yang jauh lebih besar lagi. Melalui pelbagai penjelasan Islam tentang ‘kewajiban kita’ terhadap sang ibunda, kita dapat menyadari bahwa berbuat durhaka terhadapnya adalah sebuah tindakan paling memalukan yang dilakukan seorang anak berakal.
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan keharusan berbuat baik kepada ibu sebanyak tiga kali, baru pada kali yang keempat untuk sang ayah, karena kebanyakan sikap durhaka dilakukan seorang anak, justru terhadap ibunya[9].”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka terhadap ibu danmelarang mengabaikan orang yang hendak berhutang. Allah juga melarang menyebar kabar burung, terlalu banyak bertanya dan membuang-buang harta[10].”
Ibnu Hajar memberi penjelasan sebagai berikut, “Dalam hadits ini disebutkan ’sikap durhaka’ terhadap ibu, karena perbuatan itu lebih mudah dilakukan terhadap seorang ibu. Sebab, ibu adalah wanita yang lemah. Selain itu, hadits ini juga memberi penekanan, bahwa berbuat baik kepada itu harus lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada seorang ayah, baik itu melalui tutur kata yang lembut, atau limpahan cinta kasih yang mendalam[11].”
Sementara, Imam Nawawi menjelaskan, “Di sini, disebutkan kata ‘durhaka’ terhadap ibu, karena kemuliaannya yang melebihi kemuliaan seorang ayah[12].”
Kapan seseorang disebut durhaka? Imam Ash-Shan’aani menjelaskan, “Imam Al-Bulqaini menerangkan bahwa arti kata durhaka yaitu: apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak remeh menurut kebiasaan, yang menyakiti orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Dengan demikian, berdasarkan definisi itu, bila seorang anak tidak mematuhi perintah atau larangan dalam urusan yang sangat sepele yang menurut hukum kebiasaan itu tidak dianggap ‘durhaka’, maka itu bukan termasuk kategori perbuatan durhaka yang diharamkan. Namun bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap larangan orang tua dengan melakukan perbuatan dosa kecil, maka yang dilakukannya menjadi dosa besar, karena kehormatan larangan orang tua. Demikian juga, disebut durhaka, bila seorang anak melanggar larangan orang tua yang bertujuan menyelamatkan si anak dari kesulitan[13].”
Ibnu Hajar Al-Haitsami menjelaskan, “Kalau seseorang melakukan perbuatan yang kurang adab dalam pandangan umum, yang menyinggung orang tuanya, maka ia telah melakukan dosa besar, meskipun bila dilakukan terhadap selain orang tua, tidaklah dosa. Seperti memberikan sesuatu dengan dilempar, atau saat orang tuanya menemuinya di tengah orang ramai, ia tidak segera menyambutnya, dan berbagai tindakan lain yang di kalangan orang berakal dianggap ‘kurang ajar’, dapat sangat menyinggung perasaan orang tua[14].”
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, “Arti durhaka kepada orang tua yaitu melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua terganggu atau terusik, baik dalam bentuk ucapan ataupun amalan..[15]
Imam Al-Ghazali menjelaskan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa taat kepada orang tua wajib, termasuk dalam hal-hal yang masih syubhat, namun tidak boleh dilakukan dalam hal-hal haram. Bahkan, seandainya keduanya merasa tidak nyaman bila makan sendirian, kita harus makan bersamamereka. Kenapa demikian? Karena menghindari syubhat termasuk perbuatanwara’ yang bersifat keutamaan, sementara mentaati kedua orang tua adalah wajib. Seorang anak juga haram bepergian untuk tujuan mubah ataupun sunnah, kecuali dengan ijin kedua orang tua. Melakukan haji secepat-cepatnya bahkan menjadi sunnah, bila orang tua tidak menghendaki. Karena melaksanakan haji bisa ditunda, dan perintah orang tua tidak bisa ditunda. Pergi untuk menuntut ilmu juga hanya menjadi anjuran, bila orang tua membutuhkan kita, kecuali, untuk mempelajari hal-hal yang wajib, seperti shalat dan puasa, sementara di daerah kita tidak ada orang yang mampu mengajarkannya..[16]
Seringkali seorang anak membela diri saat dikecam sebagai anak yang durhaka terhadap ibunya, dengan pelbagai alasan yang dibuat-buat, atau sekadar mengalihkan perhatian kepada soal lain. ‘Seharusnya kan orang tua itu lebih tahu,’ ‘Seharusnya seorang ibu mengerti perasaan anak,’ ‘Seharusnya seorang ibu itu lebih bijaksana daripada anaknya,’ ‘Seharusnya seorang ibu tidak boleh memaksakan kehendak,’ dan berbagai alasan kosong lainnya. Yah, taruhlah, dalam suatu kasus, si ibu memang melakukan kesalahan, dengan memaksakan kehendaknya, atau bersikap kurang bijaksana. Namun saat si anak membantah perintah atau larangan ibunya, apalagi dia mengerti bahwa yang dikehendaki oleh ibunya itu adalah baik, meski kurang tepat, tidak pelak lagi, si anak telah berbuat durhaka. Di sinilah seharusnya ‘kunci kesabaran’ dan tingkat ‘kesadaran’ terhadap syariat Allah, juga penghormatan terhadap orang tua, dapat menggeret seseorang mengambil jalan mengalah, meskipun ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk harta, dan juga cita-citanya. Selama hal itu dapat membahagiakan sang ibu, seharusnya ia berusaha untuk memenuhi kehendaknya.
Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsan menegaskan, “Apabila kita sudah menyadari betapa besar hak seorang ibu terhadap anaknya, dan betapa besar dosa perbuatan durhaka terhadapnya, atau dosa sekadar lalai memperhatikannya,cobalah, segera berbakti kepadanya, maafkan segala kekeliruannya di masa lampau, berusaha dan berusahalah untuk selalu menjalin hubungan baik dengannya. Berusahalah untuk menyenangkannya, dan dahulukan upaya memperhatikannya daripada segala hal yang kita sukai. Berupayalah untuk memenuhi kebutuhannya selekas mungkin, jangan sampai menyusahkannya. Ingatlah firman Allah:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Israa : 24)
[9] Lihat Syarah Muslim oleh Imam An-Nawaawi I : 194.
[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari VI : 331, Muslim III : 1341, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya XII : 36.
[11] Lihat Fathul Baari V : 68.
[12] Syarah Muslim XII : 11.
[13] Lihat Subulus Salaam IV : 162.
[14] Az-Zawaajir II : 73.
[15] Lihat Fathul Baari I : 420.
[16] Lihat Ihyaa ‘Ulumuddien oleh Imam Al-Ghazali. Buku ini mengandung berbagai pelajaran akhlak yang baik. Sayang, terlalu banyak mengandung hadits-hadits lemah dan palsu, selain mengandung pengajaran tasawuf yang menyimpang dari pemahaman yang benar. Para ulama banyak memperingatkan terhadap bahaya kitab ini. Namun mereka juga masih sering menukil beberapa persoalan akhlak, dari buku ini. Untuk itu, kami juga memperingatkan agar menghindari membaca buku ini, kecuali bagi penuntu ilmu yang mapan atau ulama yang sudah bisa memilah-milah yang baik dengan yang tidak.
dinukil dari buletin ustadzkholid

Saat Ibunda Telah Wafat


Ada beberapa wujud manefestasi cinta kasih kepada sang bunda, yang masih dapat kita lakukan saat sang bunda sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Semua bentuk implementasi cinta kasih itu pada dasarnya lebih bersifat tugas dan kewajiban kita. Dengan atau tanpa muatan cinta kasih, semua tugas itu harus kita pikul. Namun adalah kenistaan, bila kita melaksanakan semuanya tanpa landasan cinta kepadanya. Berikut ini, penulis paparkan beberapa di antaranya:
Pertama: Melaksanakan perjanjian dan pesan sang bunda.
Diriwayatkan dari Syaried bin Suwaid Ats-Tsaqafi, bahwa ia menuturkan, “Wahai Rasulullah! Ibuku pernah berpesan kepadaku untuk memerdekakan seorang budak wanita yang beriman. Aku memiliki seorang budah wanita berkulit hitam. Apakah aku harus memerdekakannya?” “Panggil dia.” Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Saat wanita itu datang, beliau bertanya, “Siapa Rabbmu?” Budak wanita itu menjawab, “Allah.” “Lalu, siapa aku?” Tanya RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam lagi. Wanita itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliaupun bersabda, “Merdekakan dia. Karena dia adalah wanita mukminah[1].”
Kedua: Mendoakan sang ibu, membacakah shalawat dan memohonkan ampunan baginya.
Ibnu Rabi’ah meriwayatkan: Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam! Apakah masih tersisa bakti kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallammenjawab, “Ya. Bacakanlah shalawat untuk mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, tunaikan perjanjian mereka, peliharalah silaturahim yang biasa dipelihara kala mereka masih hidup, juga, hormati teman-teman mereka[2].”
Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di Surga kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana aku bisa mendapatkan derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampun dari anakmu[3].”
Salah satu dari tanda cinta kasih kita kepada ibu adalah munculnya pengharapan agar si ibu selalu hidup berbahagia. Bila ia sudah meninggal dunia, kita juga senantiasa mendoakannya, membacakan shalat untuknya serta memohonkan ampunan untuknya. Semua perbuatan tersebut bukanlah hal-hal yang remeh. Dan juga, amat jarang anak yang mampu secara telaten melakukan semua kebajikan tersebut. Padahal, ditinjau dari segi kelayakan, dan segi kesempatan serta kemampuan, sudah seyogyanya setiap anak berusaha melakukannya. Dari kwantitas, semua amalan tersebut tidak membutuhkan banyak waktu. Sekadar perhatian dan kesadaran, yang memang sangat dituntut. Bila seorang anak merasa sangat kurang berbakti kepada kedua orang tuanya, inilah kesempatan yang masih terbuka lebar, untuk menutupi kekurangan tersebut, selama hayat masih dikandung badan.
Ketiga: Memelihara hubungan baik, dengan teman dan kerabat ibu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan silaturahim dengan ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik dengan teman-teman ayahnya yang masih hidup[4].”
Keempat: Melaksanakan beberapa ibadah untuk kebaikan sang ibu.
Sa’ad bin Ubadah pernah bertanya, “Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Air. Gali saja sumur. Lalu katakan: ‘pahala penggunaan sumur ini, untuk ibu Saad[5].”
Demikianlah sekilas tentang hubungan dengan ibu yang menjadi salah satu dari kedua orang tua, sengaja dibatasi pembahasan ini hanya seputar ibu, agar lebih singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaai.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak IV : 155, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan system periwayatan Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkan hadits tersebut. Adz-Dzahabi berkata, “Shahih.”
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Awsath. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id X : 210.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Lihat penjelasannya dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 1342.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaa-ie.
dinukil dari buletin ustadzkholid

Tujuh Tipu Daya Musuh yang Harus Anda Ketahui

Sadarkah kita, bahwa setiap diri kita ini memiliki musuh besar? Musuh yang sangat berkeinginan untuk menyesatkan dan mencelakakan kita! Musuh yang memiliki berbagai tipu daya dan cara untuk mencapai tujuannya! Musuh yang kita tidak dapat melihatnya, sedangkan dia melihat kita! Musuh besar itu adalah syaithan.
Maka, hamba yang ingin selamat perlu mengetahui berbagai rintangan syaithan sehingga selamat dari jerat dan perangkapnya.
Sesungguhnya syaithan berkehendak mengalahkan manusia dengan tujuh rintangan, sebagian rintangan ini lebih berat dari yang lainnya. Tujuh rintangan ini adalah:
Rintangan Kekafiran
Yaitu kekafiran kepada Allah, agama-Nya, pertemuan dengan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan kepada apa yang diberitakan oleh para rasul dari-Nya. Jika syaithan dapat mengalahkan manusia pada rintangan ini, maka padamlah api permusuhannya dan dia dapat beristirahat! Karena jika manusia sudah kafir, maka dia akan menemani syaithan di dalam neraka Jahannam, kekal selamanya-lamanya. Allah Ta'ala berfirman,
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلإِنسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ  فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَآ أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاؤُا الظَّالِمِينَ
(Bujukan orang-orang munafik kepada orang-orang kafir itu adalah) seperti (bujukan) syaitan ketika ia berkata pada manusia, "Kafirlah kamu." Maka, tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, "Sesungguhnya, aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam". Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zhalim.” (Qs. al-Hasyr: 16-17)
Jika manusia dapat melewati rintangan ini dengan selamat, karena membawa cahaya keimanan,syaithan-pun memburunya dengan tahapan selanjutnya, yaitu:
Rintangan Bid'ah
Imam asy-Syatibi rahimahullah berkata, “Bid'ah adalah suatu jalan di dalam agama yang dibuat-buat, menyerupai syariat, meniti jalan tersebut dengan niat berlebihan-lebihan di dalam beribadah kepada Allah Ta'ala.” Bid'ah ini dapat berupa aqidah (keyakinan) yang menyelisihi kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Atau berupa peribadatan yang tidak diizinkan oleh Allah. Atau berupa perkara lainnya yang termasuk cakupan agama.
Telah masyhur perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri tentang hal ini,
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ, الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَ الْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
Bid'ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada maksiat. Terkadang orang bertobat dari maksiat, tetapi (sulit diharapkan) orang bertobat dari bid'ah.” (Riwayat al-Lalikai, al-Baghawi, Ibnul Jauzi, dan lainnya).
Jika manusia selamat dari rintangan ini, dengan berpegang teguh dengan cahaya Sunnah Nabi serta meniti jalan Salaf Shalihsyaithan-pun memburunya dengan tahapan berikutnya, yaitu:
Rintangan Dosa-Dosa Besar
Tahapan selanjutnya adalah syaithan berusaha menjerumuskan manusia ke dalam dosa-dosa besar, perbuatan-perbuatan keji dan kemungkaran. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaithan, maka sesungguhnya syaithan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (Qs. an-Nur: 21)
Jika hamba dapat melewati rintangan ini dengan penjagaan Allah dan dengan taubat nasuha (yang sebenarnya), maka syaithan akan memburunya dengan:
Rintangan Dosa-Dosa Kecil
Syaithan akan membisikkan manusia dengan kata-kata, “Dosa-dosa kecil tidak masalah bagimu, selama engkau menjahui dosa-dosa besar!” atau dengan kalimat, “Tidakkah engkau tahu, dosa-dosa kecil itu otomatis terhapus dengan ditinggalkannya dosa-dosa besar, atau terhapus dengan perbuatan-perbuatan ketaatan!”
Syaithan akan selalu menjadikan orang tersebut meremehkan dosa-dosa kecil, sehingga dia akan terus-menerus melakukannya. Rasulullah telah memperingatkan umatnya tentang dosa-dosa kecil dengan sabdanya,
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ
Jauhilah dosa-dosa yang dianggap kecil, karena dosa-dosa itu akan berhimpun pada seseorang, sehingga akan membinasakannya.” (HR. Ahmad, ar-Ruyani, al-Baihaqi. Lihat Silsilah ash-Shahihah, no. 389, karya al-Albani).
Jika seseorang selamat dari rintangan ini, karena selalu mewaspadai dirinya dan selalu bertobat, maka syaithan akan mengejarnya dengan:
Rintangan Perkara-Perkara yang Mubah
Syaithan akan berusaha menyibukkan manusia melakukan perbuatan-perbuatan mubah, sehingga lalai untuk memperbanyak ketaatan, dan tidak bersungguh-sungguh mencari bekal untuk akhiratnya.
Allah Ta'ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلآ أَوْلاَدُكُمْ عَن ذِكْرِ اللهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Qs. al-Munafiqun: 9)
Alangkah banyaknya manusia di zaman ini yang telah tersungkur dengan rintangan syaithan ini! Mereka terjatuh ke dalam jurang kelalaian dan tidak pernah terlintas untuk menyiapkan bekal yang cukup untuk akhiratnya!!
Berapa banyak manusia sibuk berolahraga, lalai kalau malaikat maut segera menjemputnya?
Berapa banyak manusia tenggelam dalam kesenian dan kesenangan, lupa bekal untuk akhiratnya? Berapa banyak manusia larut dalam hiburan, sehingga menyia-nyiakan waktunya?
Berapa banyak manusia menekuni ilmu dunia semata, mengabaikan ilmu agamanya?
Jika manusia selamat dari rintangan ini, maka syaithan akan mengejarnya dengan:
Rintangan Amalan-Amalan Ketaatan yang Tidak Utama
Syaithan menjadikan manusia sibuk dengan amalan-amalan yang tidak utama, sehingga tidak mendapatkan yang utama. Sibuk dengan amalan yang dicintai Allah, sehingga tidak mendapatkan yang lebih dicintai. Sibuk dengan amalan yang sedikit pahalanya, sehingga tidak mendapatkan yang lebih besar pahalanya.
Padahal, jika manusia menyadari umurnya yang pendek, sedangkan dia membutuhkan bekal yang cukup untuk perjalanannya yang panjang menuju keridhaan Allah Ta'ala, maka dia akan memilih amalan-amalan yang bernilai tinggi di sisi Allah.
Akan tetapi, siapakah yang dapat mencapai tingkatan ini? Mereka jumlahnya sedikit saja, karena mayoritas manusia telah dikalahkan oleh syaithan pada rintangan-rintangan sebelumnya! Sehingga, tidaklah melewati rintangan ini kecuali orang yang memiliki keyakinan, keikhlasan, ilmu, dan mendapatkan taufiq dari Allah Ta'ala. Pada tahapan ini, syaithan-pun melancarkan jurusnya yang terakhir:
Rintangan Gangguan
Rintangan terakhir ini pasti akan menimpa manusia yang telah melewati semua rintangan di atas, seandainya ada seseorang yang selamat, pastilah para rasul dan nabi Allah selamat darinya.
Pada fase ini, syaithan akan mengerahkan bala tentaranya agar memberikan berbagai gangguan dengan tangan, lisan, dan hati. Gangguan tersebut akan menimpa hamba sesuai dengan kadar keimanan dan kebaikannya. Semakin tinggi kedudukannya, semakin besar dan berat cobaan yang dia terima.
Rasulullah bersabda,
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
Dari Mush'ab bin Sa'd, dari bapaknya, dia berkata, “Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat musibahnya?' Beliau menjawab, 'Para nabi, kemudian yang lebih sebanding (dengan para nabi), kemudian yang lebih sebanding (dengan mereka).'” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain).
Inilah sedikit keterangan tentang syaithan dan tipu-dayanya, semoga bermanfaat bagi kita semua.Aamiin. Wallahul Musta'an.
[Tujuh rintangan syaithan ini berasal dari penjelasan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitabMadarijus Salikin, 1/185-18188, penerbit: Darul Hadits Kairo, tahun: 1424 H/2003 M]
Penulis: Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari
Artikel www.PengusahaMuslim.com



http://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/984/tujuh-tipu-daya-musuh-yang-harus-anda-ketahui
thank you