Sabtu, 15 Januari 2011

Laksana Bidadari Dalam Hati Suami 3 (Terjaga Kesuciannya)

Dipingit dalam Kemah-Kemah yang Terjaga Kesuciannya
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ
(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam kemah-kemah.”(Qs. Ar-Rahman: 72)
Begitulah gambaran tentang terjaganya kesucian bidadari. Coba kita bayangkan dengan kondisi wanita sekarang, keadaan diriku dan dirimu…sudahkah kita sudah meniru akhlak wanita utama pendahulu kita yang shalihah? Tidaklah mereka keluar melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Bidadari adalah makhluk yang teristimewa, maka tidaklah heran jika dia wanita yang sangat terjaga. Ingatkah kau zaman nenek moyang kita dahulu…tentang cerita wanita pemalu yang dipingit di dalam rumahnya, wanita yang terjaga dan menjaga dirinya? Begitulah gambaran bidadari yang hanya berada di dalam tempat kediamannya. Coba kita bayangkan dengan kondisi wanita sekarang, keadaan diriku dan dirimu…apakah kita sudah meniru akhlak wanita shalihah pendahulu kita yang hanya keluar untuk sekadar mencukupi kebutuhan mereka saja? Perhatikanlah kembali firman Allah Ta’ala dalam kitabNya,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dulu. dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. ” (Qs. Al-Ahzab: 33)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Saudah binti Zam’ah radhiyallahu’anha keluar pada suatu malam setelah turunnya perintah berhijab. Dia seorang wanita yang bertubuh besar sehingga tidak sulit bagi orang untuk mengenalinya. Lalu Umar melihatnya maka Umar radhiyallahu’anhu berkata, “Wahai Saudah, Demi Allah engkau tidak asing bagi kami. Lihatlah, bagaimana engkau bisa keluar?” Lalu ‘Aisyah berkata, “Maka Saudah pun berbalik pulang. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam berada di rumahku sedang makan malam. Di tangannya ada daging. Maka Saudah pun masuk kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya keluar rumah untuk memenuhi keperluanku. Lalu Umar berkata begini dan begitu.” ‘Aisyah berkata, “Maka Allah mewahyukan kepada beliau dan daging masih di tangannya, beliau tidak meletakkannya. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Telah diizinkan bagi kalian kaum wanita keluar untuk keperluan dan kebutuhan kalian.”(HR. Bukhari)
Ya…wanita memang tidak diharamkan keluar rumah, namun janganlah hanya untuk hal yang tidak perlu kita lalu bermudah-mudahan berkeliaran di luar sana, bahkan berdesak-desakan dengan lelaki asing untuk urusan yang kurang perlu. Kita lihat wanita masa kini, mereka seringkali terlihat berlalu lalang di sekitar pusat perbelanjaan untuk alasan “sekadar jalan-jalan”, duduk-duduk di cafe, berkeluyuran tidak karuan di tempat-tempat umum dan berbagai macam aktivitas yang kurang pantas dilakukan oleh wanita yang ingin terjaga ‘iffahnya.
Wanita dengan segala aktivitasnya di rumah yang boleh dibilang monoton, memang sesekali pasti merasa bosan tinggal di rumah dan butuh penyegaran suasana. Suami yang baik tentunya akan mengerti, memahani dan mengambil solusi yang bijak atas keadaan yang dialami sang istri, agar dia tidak keluyuran di luar rumah untuk sekadar mencari suasana baru.
Allah Ta’ala berfirman,
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Qs. Ar-Rahman: 74)
Keadaan bidadari yang tiada pernah disentuh oleh seorangpun sebelum suaminya menghasilkan puncak kebahagiaan suami-suaminya terhadap mereka. Sesungguhnya kebahagiaan lelaki terhadap seorang wanita yang tidak pernah disentuh oleh siapapun memberikan arti tersendiri.
Penjagaan Allah atas diri bidadari menunjukkan kemuliaan bidadari. Dan bentuk penjagaan diri ini sudah sepantasnya ditiru oleh wanita dunia agar wanita dunia senantiasa terjaga kemuliaannya. Kemuliaan dan kedudukan yang paling tinggi dan luhur dari seorang wanita ialah…jika sifat malunya tidak dinodai oleh makhluk. Tak didekati manusia serta tak seorangpun menjamah tubuhnya, baik menyetubuhi ataupun hanya melihatnya, kecuali oleh suami yang menikahi dan berhak atas dirinya.
***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Fatihdaya Khairani
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits
Maraji’:
  1. Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
  2. Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”), Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.
  3. Bersanding Dengan Bidadari di Surga, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.
  4. Mengintip Indahnya Surga, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.
  5. Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.
  6. Majelis Bulan Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.
  7. Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.

Hadits-Hadits Tentang Larangan Menggambar

Hadits-Hadits Tentang Larangan Menggambar


Hadits-hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa sangat banyak, ada beberapa lafazh yang diriwayatkan oleh sahabat berbeda sehingga dianggap sebagai beberapa hadits. Berikut ini hanya sebagian di antaranya:

1.    Hadits Jabir radhiallahu anhu dia berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوَرِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau melarang untuk membuat gambar.” (HR. At-Tirmizi no. 1671 dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”)

2.    Hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:
أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرَفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pulan kubur yang ditinggikan kecuali engkau meratakannya.”(HR. Muslim no. 969)
Dalam riwayat An-Nasai, “Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.”

3.    Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ وَرَأَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِمَا السَّلَام بِأَيْدِيهِمَا الْأَزْلَامُ فَقَالَ قَاتَلَهُمْ اللَّهُ وَاللَّهِ مَا اسْتَقْسَمَا بِالْأَزْلَامِ قَطُّ
“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau tidak masuk ke dalamnya dan beliau memerintahkan agar semua gambar itu dihapus. Beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Ismail alaihimasssalam tengah memegang anak panah (untuk mengundi nasib), maka beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi Allah keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah sekalipun. “ (HR. Ahmad  no. 3276)
4.    Aisyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah masuk ke rumahku sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Dalam riwayat Muslim:
أَنَّهَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ : فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar, maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”

5.    Dari Ali radhiallahu anhu dia berkata:
صَنَعْتُ طَعَامًا فَدَعَوْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ فَدَخَلَ فَرَأَى سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَخَرَجَ . وَقَالَ : إِنَّ الْمَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Saya membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk datang. Ketika beliau datang dan masuk ke dalam rumah, beliau melihat ada tirai yang bergambar, maka beliau segera keluar seraya bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5256)

6.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : « ادْخُلْ » . فَقَالَ : « كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Jibril alaihissalam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5270)
Mirip dengan hadit ini dari hadits Aisyah riwayat Muslim, hadits Ibnu Umar riwayat Al-Bukhari, dan hadits-hadits lainnya.

7.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا تَدْخُلُ الْمَلائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ
“Para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar.” (HR. Muslim no. 5545)

8.    Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang gambar-gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar gambar-gambar itu padanya. Merekalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528)

9.    Dari Abu Juhaifah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم لَعَنَ الْمُصَوِّرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melaknat penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5962)
10.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنْ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ تبْصِرُان وَأُذُنَانِ تسْمَعُان ، وَلِسَانٌ يَنْطِقُ  يَقُولُ : إِنِّي وُكِّلْتُ بِثَلاثَةٍ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ وَبِكُلِّ مَنْ ادَّعَى مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَالْمُصَوِّرِينَ
“Akan keluar sebuah leher dari neraka pada hari kiamat, dia mempunyai 2 mata yang melihat, 2 telinga yang mendengar, dan lisan yang berbicara. Dia berkata, “Saya diberikan perwakilan (untuk menyiksa) tiga (kelompok): Semua yang keras kepala lagi penentang, semua yang beribadah bersama Allah sembahan yang lain dan para penggambar”. (HR. At-Tirmizi no. 2574 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)

11.    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Saya mendengar Nabi  shallallahu alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Kenapa mereka tidak menciptakan lalat atau kenapa mereka tidak menciptakan semut kecil (jika mereka memang mampu)?!” (HR. Al-Bukhari no. 5953, Muslim no. 2111, Ahmad, dan ini adalah lafazhnya)

12.    Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)
13.    Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” (HR. Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535)

14.    Dari An-Nadhr bin Anas radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Siapa saja yang menggambar suatu gambar di dunia maka pada hari kiamat dia akan dibebankan untuk meniupkan roh ke dalamnya padahal dia tidak akan sanggup meniupkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5963 dan Muslim no. 5541)

Yang Terlarang Hanyalah Gambar Makhluk Bernyawa

Sebagian besar hadits-hadits di atas larangannya bersifat umum mencakup semua jenis gambar. Hanya saja sebagian hadits lainnya memberikan pembatasan bahwa yang terlarang di sini hanyalah menggambar gambar makhluk yang bernyawa.
Di antara hadits-hadits yang memberikan pembatasan ini adalah:
a.    Hadits no. 6 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah. Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.
b.    Hadits no. 13 dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma. Sisi pendalilannya bahwa Allah menyuruh untuk menghidupkan gambar yang dia gambar. Ini menunjukkan bahwa yang terlarang hanyalah gambar makhluk yang bisa hidup (bernyawa).
c.    Hadits setelahnya pada no. 14 dari An-Nadhr bin Anas radhiallahu anhu. Sisi pendalilannya bahwa para penggambar diperintahkan untuk meniupkan roh pada gambarnya, maka ini menunjukkan tidak mengapa menggambar gambar makhluk yang tidak memiliki roh/nyawa.
d.    Menguatkan hadits no. 6 di atas, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak ada lagi gambar.” (HR. Al-Baihaqi: 7/270 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
e.    Sebagai tambahan juga ada dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ, يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسٌ يُعَذَّبُ بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Setiap penggambar berada dalam neraka, setiap gambar yang dia telah gambar akan diberikan jiwa (dihidupkan oleh Allah) yang dengan gambar itu dia akan disiksa di dalam Jahannam.”Lalu Ibnu Abbas berkata, “Jika kamu harus untuk menggambar maka gambarlah pohon dan apa saja yang tidak mempunyai nyawa.” (HR. Al-Bukhari no. 2225 dan Muslim no. 5540)

Hukum Menggambar Dalam Islam

Sebelum kita mulai pembahasan mengenai hukum gambar bernyawa, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui sebab diharamkannya gambar bernyawa dalam syariat Islam. Maka kami katakan:
Ada dua perkara yang menjadi sebab diharamkannya gambar bernyawa:

1.    Karena dia disembah selain Allah.
Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang gambar-gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar gambar-gambar itu padanya. Merekalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)
Dan sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dosa yang siksaannya paling besar adalah kesyirikan.
Al-Khaththabi berkata, “Tidaklah hukuman bagi (pembuat) gambar (bernyawa) itu sangat besar kecuali karena dia disembah selain Allah, dan juga karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah, dan membuat sebagian jiwa cendrung kepadanya.” Al-Fath (10/471)
2.    Dia diagungkan dan dimuliakan baik dengan dipasang atau digantung, karena mengagungkan gambar merupakan sarana kepada kesyirikan.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Al-Qaul Al-Mufid (3/213), “Alasan disebutkannya kuburan bersama dengan gambar adalah karena keduanya bisa menjadi sarana menuju kesyirikan. Karena asal kesyirikan pada kaum Nuh adalah tatkala mereka menggambar gambar orang-orang saleh, dan setelah berlalu masa yang lama merekapun menyembahnya.”
Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (1/455) disebutkan, “Karena gambar bisa menjadi sarana menuju kesyirikan, seperti pada gambar para pembesar dan orang-orang saleh. Atau bisa juga menjadi sarana terbukanya pintu-pintu fitnah, seperti pada gambar-gambar wanita cantik, pemain film lelaki dan wanita, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang.”
Tambahan:
Sebagian ulama menambahkan illat (sebab) pengharaman yang lain yaitu karena gambar bernyawa menyerupai makhluk ciptaan Allah. Mereka berdalil dengan hadits Aisyah:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ 
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Hanya saja sebagian ulama lainnya menolak illat ini dengan beberapa alasan:
1.    Makhluk-makhluk Allah sangat banyak, seandainya sebab larangan menggambar adalah karena menyerupai ciptaan Allah, maka keharusannya dilarang juga untuk menggambar matahari, langit, pegunungan, dan seterusnya, karena mereka semua ini adalah makhluk Allah. Padahal para ulama telah sepakat akan bolehnya menggambar gambar-gambar di atas.
2.    Dalil-dalil telah menetapkan dikecualikannya mainan anak-anak dari larangan gambar bernyawa, dan tidak diragukan bahwa mainan anak-anak juga mempunyai kemiripan dengan makhluk ciptaan Allah. Tapi bersamaan dengan itu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan Aisyah untuk bermain boneka.
3.    Dalil-dalil juga mengecualikan bolehnya menggunakan gambar-gambar bernyawa jika dia tidak dipasang atau digantung atau dengan kata lain dia direndahkan dan dihinakan. Ini berdasarkan hadits Aisyah yang akan datang, dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan Aisyah membuat bantal dari kain yang bergambar, padahal gambar tersebut menyerupai ciptaan Allah.
4.    Ketiga alasan di atas menghantarkan kita kepada alasan yang keempat yaitu tidak mungkinnya kita memahami hadits Aisyah di atas dengan pemahaman bahwa alasan diharamkannya gambar hanya karena dia menyerupai ciptaan Allah semata. Akan tetapi kita harus memahaminya dengan makna ‘penyerupaan’ yang lebih khusus, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk yang dia gambar tersebut. Ini bisa kita lihat dari kalimat: يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ Hal itu karena orang-orang Arab tidak pernah mengikutkan huruf ‘ba’ pada maf’ulun bihi (objek). Akan tetapi mereka hanya menggunakan susunan kalimat seperti ini jika pada kalimat tersebut terdapat maf’ulun bih baik disebutkan seperti pada kalimat: كسرْتُ بالزجاجةِ رأسَه (aku memecahkan kepalanya dengan kaca) maupun jika dia dihilangkan seperti pada hadits Aisyah di atas: يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ, dimana kalimat lengkapnya (taqdirnya) -wallahu a’lam- adalah: الذين يشبهون الله بخلق الله (mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk Allah) yakni dia juga menyerahkan ibadah kepada gambar tersebut sebagaimana dia beribadah kepada Allah, atau dengan kata lain dia berbuat kesyirikan kepada Allah bersama gambar-gambar tersebut.
Makna inilah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits ada seperti hadits Ibnu Mas’ud yang tersebut pada illat pertama di atas, dimana penggambar disifati sebagai manusia yang paling keras siksaannya. Dan sudah dimaklumi bahwa manusia yang paling keras siksaannya adalah kaum kafir dan orang-orang musyrik.
Juga hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang gambar-gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar gambar-gambar itu padanya. Merekalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528)
Dan tentunya manusia yang paling jelek adalah orang-orang kafir dan musyrik.
Juga hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Saya mendengar Nabi  shallallahu alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Kenapa mereka tidak menciptakan lalat atau kenapa mereka tidak menciptakan semut kecil (jika mereka memang mampu)?!” (HR. Al-Bukhari no. 5953, Muslim no. 2111, Ahmad, dan ini adalah lafazhnya)
Maksud hendak mencipta seperti ciptaan-Ku adalah: Bermaksud menandingi sifat penciptaan Allah, dan ini jelas merupakan kesyirikan dalam rububiah, karenanya dia dikatakan sebagai makhluk yang paling zhalim karena kesyirikan adalah kezhaliman yang paling besar. Adapun bermaksud menyerupai makhluk tanpa bermaksud menyerupai sifat penciptaan, maka hal itu tidak termasuk dalam hadits ini.
Kesimpulannya: Illat (sebab) diharamkannya gambar hanya terbatas pada dua perkara yang disebutkan pertama. Adapun karena menyerupai ciptaan Allah, maka tidak ada dalil tegas yang menunjukkan dia merupakan sebab terlarangnya menggambar, wallahu a’lam.
Setelah kita memahami sebab dilarangnya menggambar, maka berikut kami bawakan secara ringkas hukum menggambar dalam Islam, maka kami katakan:
Gambar terbagi menjadi 2:
1.    Yang mempunyai roh. Ini terbagi lagi menjadi dua:
a.    Yang 3 dimensi. Ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Gambar satu tubuh penuh.
Jika bahan pembuatnya tahan lama -seperti kayu atau batu atau yang semacamnya-, maka hampir seluruh ulama menyatakan haramnya secara mutlak, baik ditujukan untuk disembah maupun untuk selainnya. Sementara dinukil dari Abu Said Al-Ashthakhri Asy-Syafi’i bahwa dia berpendapat: Gambar 3 dimensi hanya haram dibuat jika ditujukan untuk ibadah. Akan tetapi itu adalah pendapat yang lemah.
Adapun yang bahan bakunya tidak tahan lama, misalnya dibuat dari bahan yang bisa dimakan lalu dibentuk menjadi gambar makhluk, seperti coklat, roti, permen, dan seterusnya. Yang benar dalam masalah ini adalah jika dia dibuat untuk dipasang atau digantung maka itu diharamkan. Akan tetapi jika dia dibuat untuk dimakan atau dijadikan mainan anak maka tidak mengapa karena itu adalah bentuk menghinakannya, dan akan diterangkan bahwa mainan anak-anak dikecualikan dari hukum ini.
Kemudian, di sini ada silang pendapat mengenai mainan anak-anak, apakah diperbolehkan atau tidak. Ada dua pendapat di kalangan ulama:
Pertama: Boleh. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan yang diamalkan oleh kebanyakan ulama belakangan dari mazhab Ahmad. Dan inilah pendapat yang lebih tepat.
Mereka berdalil dengan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata:
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي
“Aku pernah bermain dengan (boneka) anak-anak perempuan di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku mempunyai teman-teman yang biasa bermain denganku. Apabila Rasulullah shallaallahu’alaihi wa sallam masuk, mereka bersembunyi dari beliau. Sehingga beliau memanggil mereka supaya bermain bersamaku.” (HR. Al-Bukhari no. 5665 dan Muslim no. 4470)
Pendapat kedua: Tetap tidak diperbolehkan. Ini adalah Mazhab Ahmad dan pendapat dari sekelompok ulama Malikiah dan Syafi’iyah. Pendapat ini juga dinukil dari Ibnu Baththal, Ad-Daudi, Al-Baihaqi, Al-Hulaimi, dan Al-Mundziri.
Catatan:
Perbedaan pendapat mengenai mainan anak 3 dimensi yang dinukil dari para ulama salaf hanya berkenaan dengan mainan yang dibuat dari benang wol, kain, dan semacamnya. Adapun mainan yang terbuat dari plastik -seperti pada zaman ini-, maka para ulama belakangan juga berbeda pendapat tentangnya:
1. Diharamkan. Yang dikenal berpendapat dengan pendapat ini adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah.
2. Boleh, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama di zaman ini, dan inilah insya Allah pendapat yang lebih tepat.
Kedua: Jika gambarnya hanya berupa sebagian tubuh. Ini juga terbagi dua:
1. Yang tidak ada adalah kepalanya. Hukumnya adalah boleh karena dia tidak lagi dianggap gambar makhluk bernyawa. Ini adalah pendapat seluruh ulama kecuali Al-Qurthubi dari mazhab Al-Maliki dan Al-Mutawalli dari mazhab Asy-Syafi’i, dan keduanya terbantahkan dengan ijma’ ulama yang sudah ada sebelum keduanya.
2. Yang tidak ada adalah selain kepalanya, dan ini juga ada dua bentuk:
a. Jika yang tidak ada itu tidaklah membuat manusia mati, misalnya gambarnya seluruh tubuh kecuali kedua tangan dan kaki. Karena manusia yang tidak mempunyai tangan dan kaki tetap masih bisa hidup. Hukum bentuk seperti ini sama seperti hukum gambar satu tubuh penuh yaitu tetap dilarang.
b. Jika yang tidak ada itu membuat manusia mati, misalnya gambar setengah badan. Karena manusia yang terbelah hingga dadanya tidak akan bisa bertahan hidup. Maka gambar seperti ini boleh karena diikutkan hukumnya kepada gambar makhluk yang tidak bernyawa. Ini merupakan mazhab Imam Empat.
b.    Yang 2 dimensi. Yang dua dimensi terbagi lagi menjadi 2:
Pertama: Yang dibuat dengan tangan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung seperti menggambar melalui komputer tapi tetap dengan tangan (misalnya dengan memegang mouse) . Ini terbagi juga menjadi dua:
1.    Gambarnya tidak bergerak, maka ini juga ada dua bentuk:
•    Gambar satu tubuh penuh. Ada dua pendapat besar di kalangan ulama mengenai hukumnya:
a.    Haram secara mutlak. Ini adalah riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad, salah satu dari dua sisi dalam mazhab Abu Hanifah, dan sisi yang paling shahih dalam mazhab Asy-Syafi’i.
b.    Haram kecuali yang dibuat untuk direndahkan dan dihinakan atau yang dijadikan mainan anak. Ini adalah sisi yang lain dalam mazhab Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah, sisi yang paling shahih dalam mazhab Abu Hanifah, dan yang baku dalam mazhab Malik.
Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah masuk ke rumahku sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ 
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupai penciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Dalam riwayat Muslim:
أَنَّهَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ : فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar, maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”
Maka hadits ini dan yang semisalnya menunjukkan bahwa selama gambar tersebut tidak dipasang dan tidak juga digantung maka dia sudah dikatakan ‘mumtahanah’ (direndahkan/dihinakan).
•    Adapun gambar dua dimensi yang tidak satu tubuh penuh (misalnya setengah badan), maka perincian dan hukumnya sama seperti pada pembahasan gambar 3 dimensi, demikian pula pendapat yang rajih di dalamnya.
2.    Jika gambar dengan tangan ini bergerak, atau yang kita kenal dengan kartun. Yaitu dimana seseorang menggambar beberapa gambar yang hampir mirip, lalu gambar-gambar ini ditampilkan secara cepat sehingga seakan-akan dia bergerak.
Hukumnya sama seperti gambar yang tidak bergerak di atas, karena hakikatnya dia tidak bergerak akan tetapi dia hanya seakan-akan bergerak di mata orang yang melihatnya.
Kedua: Yang dibuat dengan alat, baik gambarnya tidak bergerak seperti foto maupun bergerak seperti yang ada di televisi.
Ini termasuk masalah kontemporer karena yang seperti ini belum ada bentuknya di zaman para ulama salaf. Gambar dengan kamera dan semacamnya ini baru muncul pada tahun 1839 M yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang berkebangsaan Inggris yang bernama William Henry Fox.
Ada dua pendapat di kalangan ulama belakangan berkenaan dengan hal ini:
Pendapat pertama: Diharamkan kecuali yang dibutuhkan dalam keadaan terpaksa, seperti foto pada KTP, SIM, Paspor, dan semacamnya. Ini adalah pendapat masyaikh: Muhammad bin Ibrahim, Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazzaq Afifi, Al-Albani, Muqbil bin Hady, Ahmad An-Najmi, Rabi’ bin Hadi, Saleh Al-Fauzan, dan selainnya rahimahumullah.
Para ulama ini berdalil dengan 5 dalil akan tetapi semuanya tidak jelas menunjukkan haramnya gambar dengan alat ini.
Pendapat kedua: Boleh karena yang dibuat dengan alat bukanlah merupakan gambar hakiki, karenanya dia tidak termasuk ke dalam dalil-dalil yang mengharamkan gambar. Ini adalah pendapat masyaikh: Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin, Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh, Abdul Muhsin Al-Abbad, dan selainnya rahimahumullah.
Para ulama ini berdalil dengan 3 dalil akan tetapi hakikatnya hanya kembali kepada 1 dalil yaitu bahwa gambar dengan alat bukanlah gambar hakiki.
Kami sengaja tidak membawakan dalil-dalil tiap pendapat karena ini hanyalah pembahasan ringkas dan hanya untuk merinci masalah dalam hal ini. Ala kulli hal, pendapat yang lebih tepat menurut kami adalah pendapat yang kedua, yaitu yang berpendapat bahwa gambar dengan alat tidaklah diharamkan pada dasarnya, kecuali jika dia disembah selain Allah atau dia dipasang atau digantung yang merupakan bentuk pengagungan kepada gambar dan menjadi wasilah kepada kesyirikan wallahu a’lam.
Pendapat ini kami pandang lebih kuat karena pada dasarnya gambar dengan alat bukanlah ‘shurah’ secara bahasa. Hal itu karena ‘shurah’ (gambar) secara bahasa adalah ‘at-tasykil’ yang bermakna membentuk sebuah ‘syakl’ (bentuk) atau ‘at-tashwir’ yang bermakna menjadikan sesuatu di atas bentuk atau keadaan tertentu. Jadi ‘shurah’ yang hakiki secara bahasa mengandung makna memunculkan atau mengadakan zat yang tidak ada sebelumnya. Dan makna inilah yang ditunjukkan dalam Al-Qur`an, seperti pada firman-Nya:
وَصَوَّرَكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
“Dan Dia membentuk kalian di dalam rahim sesuai dengan kehendak-Nya.”
Juga pada firman-Nya:
فِي أَيِّ صُوْرَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
“Pada bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia membentuk kalian.”
Sementara gambar fotografi tidaklah mengandung makna ‘shurah’ yang kita sebutkan di atas. Karena gambar fotografi bukanlah memunculkan suatu zat/bentuk yang tidak ada sebelumnya, akan tetapi gambar fotografi hanyalah kebalikan dari benda aslinya.
Hal ini bisa kita pahami dengan memahami prinsip kerja kamera yaitu sebagai berikut:
Kamera terdiri dari lensa cembung dan film, jika dia menerima cahaya (dalam hal ini cahaya berbentuk objek yang dipotret), maka lensa ini akan memfokuskan cahaya tersebut, dimana hasilnya adalah berupa bayangan yang terbalik yang bisa ditangkap oleh layar. Bayangan ini terekam dalam film yang sensitif terhadap cahaya.
Untuk membuktikan hal ini, kita bisa mengambil sebuah lensa cembung (lup). Kita hadapkan lup ini menghadap keluar jendela yang terbuka. Lalu kita letakkan selembar kertas putih di belakang lup tersebut, maka kita pasti akan melihat sebuah bayangan pemandangan luar jendela di kertas putih tadi akan tetapi posisinya terbalik.
Setelah kita memahami prinsip kerja kamera, maka kita tidak akan mendapati makna ‘shurah’ di dalamnya. Yang menjadi ‘shurah’ hakiki dalam kasus di atas adalah cahaya (berbentuk benda) yang datang menuju lensa kamera, sementara cahaya ini yang mengadakan dan membentuknya adalah Allah Ta’ala, bukan kamera dan bukan pula sang fotografer. Kamera sendiri hanya membalik bayangan yang datang tersebut dan kamera ini dioperasikan oleh fotografer.
Sekarang akan muncul pertanyaan: Apakah proses membalik cahaya benda dianggap sebagai ‘shurah’ atau gambar?
Jawabannya: Tidak, dia bukanlah ‘shurah’. Karena ‘shurah’ tidak mungkin ada kecuali ada ‘mushawwir’ (penggambar) dan orang ini harus punya kemampuan menggambar. Sementara membalik cahaya bisa terjadi walaupun tidak ada mushawwir atau orang yang melakukannya tidak paham menggambar. Misalnya: Seseorang berdiri di depan cermin atau air sehingga terlihat bayangannya. Maka bayangan ini hanyalah kebalikan dari benda aslinya, orang yang berdiri tidak melakukan apa-apa, tidak menyentuh apa-apa, bahkan mungkin dia adalah orang yang tidak bisa menggambar sama sekali. Karenanya tidak ada seorangpun yang menamakan bayangan di cermin sebagai ‘shurah’ (gambar), baik secara bahasa maupun secara urf (kebiasaan).
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin memperumpamakan hal ini seperti memfoto kopi sebuah buku, karena huruf-huruf yang ada di dalam hasil foto kopian adalah hasil tulisan pemilik buku, bukan hasil tulisan orang yang mengoperasikan foto kopi dan bukan bula tulisan dari foto kopi tersebut.
Demikian penjelasannya secara ringkas, wallahu a’lam bishshawab.
Catatan:
Ketika kita katakan bahwa gambar 2 dimensi dengan alat bukanlah gambar secara hakiki, maka itu tidaklah mengharuskan bolehnya menggantung foto-foto karena hal itu bisa menjadi sarana menuju pengagungan yang berlebihan kepada makhluk yang hal itu merupakan kesyirikan.
2.    Yang tidak mempunyai roh. Terbagi menjadi:
a.    Yang tumbuh seperti tanaman.
Hukumnya boleh  berdasarkan pendapat hampir seluruh ulama.
b.    Benda mati. Yang ini terbagi:
1.    Yang bisa dibuat oleh manusia.
2.    Yang hanya bisa dicipta oleh Allah seperti matahari
Hukum gambar yang tidak mempunyai roh dengan semua bentuknya di atas adalah boleh berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di sini. Karenanya para ulama sepakat akan bolehnya menggambar makhluk yang tidak bernyawa.
Sebagai catatan terakhir kami katakan:
Di sini kami hanya menyebutkan hukum asal gambar dengan semua bentuknya, kami tidak berbicara mengenai hukum gambar dari sisi penggunaannya atau berdasarkan apa yang terdapat dalam gambar tersebut. Karena para ulama sepakat tidak boleh melihat aurat sesama jenis atau lawan jenis atau aurat yang bukan mahramnya atau melihat perkara haram lainnya, sebagaimana mereka sepakat tidak bolehnya melihat sesuatu (baik berupa gambar maupun selainnya) yang menyibukkan dan melalaikan dari ibadah, sebagaimana haramnya menggantung atau memasang sesuatu dengan tujuan diagungkan, baik dia berupa gambar maupun bukan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
[Sumber bacaan: Mas`alah At-Tashwir oleh Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al-Bajadi, Bayan Tadhlil fii Fatwa Al-Umrani fii Jawaz At-Tashwir oleh Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, Tahrim At-Tashwir oleh Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiry, Hukmu At-Tashwir Al-Futughrafi oleh Walid bin Raasyid As-Saidan, Al-Ibraz li Aqwal Al-Ulama` fii Hukmi At-Tilfazh yang dikumpulkan oleh Luqman bin Abi Al-Qasim]

thank you