Rabu, 04 Agustus 2010

Kunci Surga

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Kunci surga adalah kesaksian la ilaha illallahu (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah)."
Hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya

Allah membuat kunci bagi setiap permohonan. Ia menjadikan thaharah (bersuci) sebagai kunci shalat sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, 

"Kunci shalat adalah thaharah."

Kunci haji adalah ihram.

Kunci segala kebaikan adalah kejujuran.

Kunci surga adalah tauhid.

Kunci ilmu adalah bertanya dengan baik dan serius mendengar.

Kunci kemenangan dan kegemilangan adalah sabar. 

Kunci penambahan nikmat adalah syukur.

Kunci kewalian adalah cinta dan dzikir.

Kunci keberuntungan adalah takwa.

Kunci petunjuk adalah cinta dan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kunci permintaan adalah doa.

Kunci cinta akhirat adalah zuhud di dunia.

Kunci iman adalah merenungkan apa saja yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk direnungkan.

Kunci masuk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penyerahan hati, kesehatannya kepada-Nya, ikhlas karena-Nya dalam cinta, benci, mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. 

Kunci kehidupan hati adalah merenungkan Al-Qur'an, merendahkan diri, berdoa waktu sahur dan meninggalkan dosa. 

Kunci mendapatkan rahmat dan ihsan adalah beribadah kepada Al-Khaliq dan berusaha menjadi orang yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. 

Kunci rezki adalah bekerja dengan disertai istighfar dan takwa.

Kunci kemuliaan adalah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.

Kunci persiapan menuju akhirat adalah memperpendek angan-angan.

Kunci segala kebajikan adalah cinta Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat.

Dan kunci segala keburukan adalah cinta dunia dan panjang angan-angan.


 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah

[Penting!] Kumpulan Artikel Seputar Puasa Ramadhan

Pink Flower Pictures, Images and PhotosBismillaah..

Saudaraku kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah..
Tinggal hitungan hari menjelang bulan Ramadhan. Bulan yang dirindukan setiap insan beriman, dimana
begitu banyak keutamaan dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Allah subhanahu wata'ala telah mengkhususkan bulan tersebut kepada umat Muhammad shallallahu 'alayhi wasallama, yang tidak kita temukan pada umat para Nabi yang lainnya, maka tidakkah kita ingin meraih sesuatu yang khusus tersebut?

Lalu apa yang telah kita siapkan untuk menyambut Ramadhan?
Sudahkah kita berilmu mengenai puasa? Keutamaan puasa Ramadhan? Apa sajakah amalan-amalan yang dituntunkan pada buan tersebut? Apa sajakah pembatal-pembatak puasa? dan lain sebagainya..
sudahkah kita mengetahui itu?
Maka marilah berilmu sebelum berkata dan beramal. Sebab syarat suatu amalan mestilah ikhlas serta mengikuti Nabi shallallahu 'alayhi wasallama (ittiba') bukan? Bagaimana kita ingin meniru dan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallama sedang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya (apa saja yg mesti diikuti)?
lagi-lagi ILMU..

Mari bersemangat kawan..
baarakAllahufiikum.. semoga Allah memberi barakah kepada kalian..

Berikut kami rangkum bebrapa artikel seputar puasa Ramadhan yang dibahas secara ilmiah.
Semoga Allah Ta'ala memudahkan kita untuk dapat menyimak semua..

Menjelang Bulan Ramadhan
Do'a Menjelang Ramadhan
Ramadhan yang Kurindukan
Penentuan Awal Bulan Hijriah
Meneropong Ilmu Hisab
Penetapan Awal Ramadhan & 1 Syawal
Nasihat Untuk Organisasi Muhammadiyyah
Fatwa Ulama Tentang Penentuan Awal Ramadhan & Ied
Shaum Ramadhan & Hari Raya Bersama Penguasa, Syi'ar Kebersamaan Umat Islam
Hukum Ringkas Puasa Ramadhan
Adab-adab Berpuasa
Kajian Seputar Ramadhan
Perhiasan Mukmin di Bulan Suci
Niat Puasa
Beberapa Kesalahan di Bulan Ramadhan
Memperbaiki Beberapa Kesalahn di Bulan ramadhan
Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag I
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag II
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag III
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag IV & V
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag VI
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag VII
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag VIII
Huku-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag IX & X
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag XI
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag XII
Hukum-Hukum Seputar Puasa Ramadhan bag XIII
Jima' Saat Puasa Ramadhan
Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum
Shalat Tarawih
FJumlah Raka'at Shalat Tarawih
Shalat Tarawih di Belakang Imam yang Melebihi 11 Rakaat
Sahur dan Berbuka
Sahur dan Bebuka Bersama Rasulullah
Hukum Tidur Sepanjang Siang Hari di Bulan Ramadhan
Kewajiban Orang yang Tidak Puasa karena Telah renda dan Sakit
FHukum Mengqadha Puasa
Ancaman Bagi Orang yang Membatalkan Puasa dengan Sengaja
Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam
Hukum Seorang Pemuda yang Melakukan Onani di Bulan Ramadhan
Berlebih-lebihan dalam Makan, Minum, dan Tidur di Bulan Ramadhan
Hukum Seseorang Masuk Islam Setelah Beberapa Hari Ramadhan Berlalu
Hukum Donor Darah di Bulan ramadhan


Pink Flower Pictures, Images and PhotosSumber:
Darussalaf.or.id
hanif019.wordpress.com

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

aqiqahSegala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Pembahasan kali ini adalah pembahasan terakhir dari kami mengenai aqiqah. Kita masuk pada pembahasan waktu pelaksanaan aqiqah dan beberapa hal lainnya. Semoga bermanfaat.
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits,
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?
Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1]
Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?
Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها
“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.
Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).
Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.
Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?
Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5]
Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.
Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.
Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]Wallahu a’lam.
Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”
Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.”[7]
Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”
Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”
Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”[8]
Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak
An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10]
Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah- menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih tepat.”[11]
Mengundang Makan-Makan Aqiqah
Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12]
Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.
Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah untuk aqiqah?”
Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang baik.”[13]
Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah
Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.[14]
Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15]
Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16]
Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi
Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu datang.
Dari Buraidah, ia berkata,
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ.
“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Alhamdulillah, usai sudah bahasan kami tentang aqiqah. Semoga bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan di Panggang-GK, 7 Rajab 1431 H, 20/06/2010
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.
[3] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh.
[4] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011.
[6] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[7] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11
[8] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42
[9] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
[11] Kifayatul Akhyar,hal. 706
[12] Idem
[13] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa no. 6779, 11/443. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.
[14] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706.
[15] Mughnil Muhtaj, hal. 392.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

thank you