Rabu, 01 Desember 2010

Mengenal Tadlis


Tadlis ada 2 macam:
Jenis pertama. Seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang pernah ia temui, namun ia tidak mendengar hadits tersebut dari orang tersebut. Atau dari orang yang sezaman dengannya, namun tidak pernah bertemu. Dan perawi tersebut mengesankan seolah-olah ia pernah bertemu. Contoh, perkataan Ibnu Khasyram: “Aku pernah bersama Sufyan bin Uyainah, beliau berkata: ‘Az Zuhri berkata demikian..’. Lalu ada yang bertanya: ‘Wahai Sufyan, apakah engkau mendengar dari Az Zuhri?’. Sufyan bin Uyainah berkata: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepadaku, dari Ma’mar dari Az Zuhri’”.
Sejumlah ulama hadits memakruhkan dan mencela tadlis jenis ini. Bahkan beberapa ulama agak keras mengingkari tadlis yang demikian, sampai ada yang berkata: “Berzina bagiku lebih baik daripada aku melakukan tadlis”. Ibnu Shalah berkata: “Mungkin ini dalam rangka ekstra hati-hati dan memberi peringatan yang tegas”.
Imam Asy Syafi’i berkata:
التدليس أخو الكذب
Tadlis itu saudaranya kedustaan
Sebagian huffadz ada yang men-jarh perawi yang dikenal sering melakukan tadlis jenis ini, dan menolak riwayatnya secara mutlak walaupun dilafalkan dengan lafadz muttashil, bahkan meski belum dipastikan apakah ia melakukan tadlis jenis ini hanya sekali atau lebih. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah.
Ibnu Shalah berkata:
والصحيح التفصيل بين ما صرح فيه بالسماع، فيقبل، وبين ما أتى فيه بلفظ محتمل، فيرد
Pendapat yang benar adalah dengan merinci, jika telah jelas bahwa seorang mudallis telah mendengar langsung, diterima. Jika dalam bentuk yang belum jelas apakah mudallis tersebut mendengar langsung atau tidak, maka ditolak
Ibnu Shalah berkata: “Dalam Shahihain, mudallis yang melakukan tadlis bentuk ini contohnya Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Al A’masy, Qatadah, Hasyim, dll”
Menurut Ibnu Katsir, para perawi yang disebut kemungkinan melakukan tadlis dalam rangka memursalkan riwayat yang sebetulnya shahih, mereka khawatir kalau-kalau disebabkan status syaikh (guru) mereka riwayatnya jadi tertolak. Wallahu’alam.
Jenis kedua. Meriwayatkan dari seorang guru, dengan menyebutkan nama atau kunyah yang kurang dikenal dari guru tersebut, untuk menggelapkan status gurunya atau membuat sulit diketahui statusnya.
Tadlis jenis ini hukumnya berbeda-beda tergantung niatnya. Terkadang hukumnya makruh, misalnya jika gurunya tersebut ternyata lebih muda dari si perawi, atau jika ternyata status gurunya menurunkan kualitas riwayat. Terkadang hukumnya haram, misalnya jika ternyata gurunya tersebut statusnya tidak tsiqah, si perawi melakukan tadlis agar status gurunya tersebut tidak diketahui atau agar tersamar sehingga dikira orang lain yang berstatus tsiqah dan kebetulan nama atau kunyah-nya sama.
Contoh mudallis jenis ini adalah Abu Bakar bin Mujahid Al Maqri’i, ia meriwayatkan dari Abu Bakar Abdullah bin Abi Dawud As Sijistani dengan lafadz: “Abdullah bin Abi Abdillah telah menceritakan kepadaku…”. Abu Bakar bin Mujahid Al Maqri’i juga meriwayatkan dari Abu Bakar Muhammad bin Hasan An Naqqash Al Mufassir dengan lafadz: “Muhammad bin Sanad telah menuturkan kepadaku…”, padahal Sanad adalah kakeknya. Wallahu’alam.
Ibnu Shalah berkata: “Terkadang Al Khatib Al Baghdadi juga menggunakan model tadlis ini dalam tulisan-tulisan beliau”
[Diterjemahkan dari Al Ba'its Al Hatsits, karya Al Imam Abul Fida' Ibnu Katsir]

Mengenal Hadits Mu’dhal dan An’anah

Hadits mu’dhal adalah hadits yang pada sanadnya terdapat keterputusan 2 orang rawi secara berurutan. Hadits mursal dari tabi’ut tabi’in termasuk ke dalam jenis hadits mu’dhal.

Ibnu Shalah berkata:
ومنه قول المصنفين من الفقهاء: ” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” . وقد سماه الخطيب في بعض مصنفاته ” مرسلاً ” ، وذلك على مذهب من يسمى كل ما لا يتصل إسناده ” مرسلاً “
“Juga termasuk hadits mu’dhal, perkataan ulama fuqaha: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:…‘. Al Khatib dalam sebagian tulisannya menamai hadits yang demikian sebagai haditsmursal. Tentu saja ini berlaku bagi yang memegang madzhab yang berpendapat bahwa semua hadits yang sanad-nya tidak bersambung adalah hadits mursal
Beliau juga berkata:
وقد روى الأعمش عن الشعبي قال: ” ويقال للرجل يوم القيامة: عملت كذا وكذا؛ فيقول: لا، فيختم على فيه ” ، الحديث قال: فقد أعضله الأعمش، لأن الشعبي يرويه عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: فقد أسقط منه الأعمش أنساً والنبي صلى الله عليه وسلم، فناسب أن يسمى معضلاً
“Al A’masy telah meriwayatkan dari Asy Sya’bi, ia berkata:
ويقال للرجل يوم القيامة: عملت كذا وكذا؛ فيقول: لا، فيختم على فيه
Akan dikatakan pada seseorang di hari kiamat kelak: Engkau mengetahui ini dan itu? Ia berkata: Tidak. Maka mulutnya pun ditutup‘. (Al Hadits)
Al A’masy telah meriwayatkan hadits ini secara mu’dhal. Karena Asy Sya’bi meriwayatkan dari Anas, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Ada keterputusan sanad pada Anas dan NabiShallallahu’alaihi Wasallam, sehingga tepatlah untuk dikatakan sebagai hadits mu’dhal
Apakah Yang Terdapat ‘An’anah Juga Termasuk Hadits Mursal Atau Munqathi’ ?
Ibnu Shalah berkata:
وقد حاول بعضهم أن يطلق على الإسناد المعنعن اسم ” الإرسال ” أو ” الإنقطاع “
“Sebagian ulama hadits ada yang memutlakkan bahwa hadits yang pada sanadnya terdapat‘an’anah adalah termasuk hadits mursal atau munqathi‘”
Beliau lalu berkata:
والصحيح الذي عليه العمل: أنه متصل محمول على السماع، إذا تعاصروا، مع البراءة من وصمة التدليس. وقد ادعى الشيخ أبو عمرو الداني المقريء إجماع أهل النقل على ذلك، وكاد ابن عبد البر أن يدعي ذلك أيضاً
“Yang benar untuk dipraktekan dalam masalah ini adalah bahwa hadits yang sanadnya terdapat ‘an’anah itu muttashil dan memiliki kemungkinan sima’ dengan syarat:
  1. Kedua perawi sezaman
  2. Bukan orang yang sering melakukan tadlis
Syaikh Abu ‘Amr Ad Dani Al Maqri’i meng-klaim adanya ijma ahli hadits dalam pendapat ini. Demikian juga Ibnu Abdil Barr”.
Menurut Ibnu Katsir, pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim. Dalam Muqaddimah Shahih Muslim, beliau telah mengkritisi pendapat yang mensyaratkan dipastikannya kedua perawi bertemu dan tidak cukup hanya sezaman. Ada yang mengatakan itu pendapatnya Imam Al Bukhari. Namun nampaknya, yang benar itu pendapatnya Ali Al Madini, bahwa Ali Al Madini mensyaratkan dipastikannya kedua perawi bertemu untuk menghukumi sebuah hadits itu shahih. Adapun Al Bukhari tidak mensyaratkan demikian, walau memang, di kitab Shahih Bukhari beliau menerapkan syarat tersebut. Abul Muzhaffar As Sam’ani bahkan menambahkan syarat lain yaitu kedua perawi harus sudah lama kenal. Abu ‘Amr Ad Dani menjelaskan: “Jika sudah ma’ruf bahwa perawi A sudah biasa meriwayatkan dari perawi B, maka‘an’anah tetap diterima”. Al Qabisi memiliki patokan: “Diterima jika antara kedua perawi sudah sangat kenal”
Pada Imam ahli hadits juga berselisih pendapat tentang lafadz ” أن فلاناً قال ” (Fulan telah berkata…), apakah lafadz ini sama dengan lafadz ” عن فلان ” (Dari Fulan…) sehingga dianggap muttashilsampai ada kabar shahih yang menyelisihinya? Ataukah dua lafadz tersebut berbeda hukumnya? Imam Ahmad bin Hambal, Ya’qub bin Abi Syaibah, Abu Bakr Al Bardiji menyatakan bahwa dua lafadz tersebut berbeda hukumnya. Mereka menyatakan bahwa lafadz ” عن ” hukumnya muttashil, sedangkan lafadz “ أن فلاناً قال كذا” hukumnya munqathi’ sampai ada kabar shahih yang menyelisihinya. Namun, mayoritas ulama ahli hadits berpendapat keduanya sama-samamuttashil. Ini juga pendapat Ibnu Abdil Barr dan Imam Malik bin Anas.
Ibnu ‘Abdil Barr juga menuturkan adanya ijma tentang lafadz-lafadz sanad dari sahabat semisal berikut dihukumi sama yaitu muttashil, baik berupa lafaz:
  • ” عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ” (Dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), atau
  • ” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda), atau
  • ” سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ” (Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam)
Syaikh Abu ‘Amr Ad Dani juga membahas tentang kasus, jika seorang rawi meriwayatkan secaramusnad, padahal perawi yang lain meriwayatkan secara mursal. Sebagian ulama ada yang memberikan poin negatif pada sisi ‘adalah perawi pertama tersebut, jika perawi yang memursalkan lebih kuat dhabt-nya dan lebih banyak jumlahnya. Ada pula yang menerimanya jika perawi yang memusnadkan lebih kuat dhabt-nya dan lebih banyak jumlahnya. Sebagian lagi ada yang menerima perawi yang memusnadkan secara mutlak, jika ia ‘adil dan dhabit. Pendapat terakhir ini disetujui oleh Al Khatib, Ibnu Shalah dan mereka menyandarkan pendapat ini kepada para ulama fuqaha dan ulama ahli ushul, dan mereka menuturkan pendapat Imam Al Bukhari yang menyatakan:
الزيادة من الثقة مقبولة
Tambahan lafadz dari orang yang tsiqah itu diterima
[Diterjemahkan dari Al Ba'its Al Hatsits, karya Al Imam Abul Fida' Ibnu Katsir]

Mengenal Hadits Munqathi’

Ibnu Shalah berkata:

وفيه في الفرق بينه وبين المرسل مذاهب
Terdapat beberapa pendapat tentang perbedaan antara hadits mursal dan hadits munqathi’
Menurut Ibnu Katsir, pendapat pertama:
هو أن يسقط من الإسناد رجل، أو يذكر فيه رجل مبهم
Hadits munqathi adalah setiap hadits yang dalam sanadnya terdapat satu perawi yang terputus atau mubham
Kemudian Ibnu Shalah memberikan contoh,
Contoh pertama: (Perawi terputus)
عبد الرزاق عن الثوري عن أبي إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفة مرفوعاً: ” إن وليتموها أبا بكر فقوي أمين ” ، الحديث
“Dari Abdur Razzaq: dari At Tsauri: dari Abu Ishaq: dari Zaid bin Yatsi’: dari Hudzaifah, secaramarfu’: ‘Kalau kalian menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, sungguh dia itu kuat dan terpercaya‘” (Al Hadits)
Ibnu Shalah menjelaskan: “Dalam hadits terputus sanadnya pada 2 tempat. Pertama, Abdur Razzaq tidak mendengar dari At Tsauri. Yang benar, Abdur Razzaq meriwayatkan dari Nu’man bin Abi Syaibah Al Janadi dari Ats Tauri. Kedua, Ats Tsauri tidak mendengar dari Abu Ishaq. Yang benar, Ats Tsauri mendengar dari Syuraik dari Abu Ishaq”
Contoh kedua: (Perawi mubham)
عن أبو العلاء بن عبد الله بن الشخير عن رجلين عن شداد بن أوس، حديث: ” اللهم إني أسألك الثبات في الأمر “
“Dari Abu Ya’la bin Abdillah bin Asy Syukhair: dari seseorang: dari seseorang: dari Syaddad bin Aus: ‘Ya Allah aku memohon kepadamu keteguhan dalam setiap urusan’
Pendapat kedua:
المنقطع مثل المرسل، وهو كل ما لا يتصل إسناده
Hadits munqathi mirip hadits mursal, yaitu setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya
Namun mayoritas ulama memutlakkan istilah hadits mursal untuk hadits dari tabi’in yang meriwayatkan langsung dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ibnu Shalah berkata: “Ini pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran, dan dipegang oleh banyak ulama fuqaha dan selain mereka. Pendapat ini juga disebutkan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam kitab Al Kifayah miliknya”
Pendapat ketiga:
Ibnu Shalah menjelaskan bahwa Al Khatib menuturkan bahwa sebagian ulama mendefinisikan hadits munqathi’:
ما روي عن التابعي فمن دونه، موقوفاً عليه من قوله أو فعله
Setiap hadits yang diriwayatkan dari tabi’in oleh orang yang dibawahnya, secara mauquf, baik berupa perkataan maupun perbuatan
Ibnu Shalah berkata: “Pendapat ini sangat jauh dan patut diragukan”
Wallahu’alam.
[Al Ba'its Al Hatsits, karya Abul Fida' Ibnu Katsir rahimahullah ]

Mengenai Hadits Mursal

Ibnu Shalah berkata:

وصورته التي لا خلاف فيها: حديث التابعي الكبير الذي قد أدرك جماعة من الصحابة وجالسهم، كعبيد الله بن عدي بن الخيار، ثم سعيد بن المسيب، وأمثالهما، إذا قال: ” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” .
والمشهور التسوية بين التابعين أجمعين في ذلك. وحكى ابن عبد البر عن بعضهم: أنه لا يعد إرسال صغار التابعين مرسلاً.
ثم إن الحاكم يخص المرسل بالتابعين. والجمهور من الفقهاء والأصوليين يعممون التابعين وغيرهم
Jenis hadits mursal yang disepakati secara ijma adalah: Hadits dari seorang tabi’in kabir yang pernah menjumpai banyak shahabat Nabi dan menuntut ilmu dari mereka. Semisal ‘Ubaidullah bin ‘Adiy bin Khiyar, Sa’id bin Musayyab, dan semisal mereka, yaitu jika dalam hadits tersebut mereka mengatakan: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata..”
Selain dari jenis tersebut, pendapat yang terkenal adalah menyamakan seluruh tabi’in dalam hal ini. Namun Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan bahwa sebagian ulama hadits tidak menganggap hadits dari tabi’in shighar sebagai hadits mursal.
Di sisi lain, Al Hakim mengkhususkan hadits mursal hanya jika dari tabi’in. Namun mayoritas ulama ahli fiqih dan ahli ushul fiqih memandang dengan pandangan umum, baik dari tabi’in maupun bukan, tetap disebut hadits mursal.
Menurut Ibnu Katsir, Abu ‘Amr bin Hajib mengatakan dalam kitab ushul fiqihnya yang berjudul ‘Al Mukhtashar’ :
المرسل قول غير الصحابي: ” قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “
Hadits mursal adalah jika ada orang selain sahabat meriwayatkan hadits dengan berkata: ‘Telah berkata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam’
Demikianlah deskripsi mengenai hadits mursal menurut para ulama ahli hadits. Adapun pembahasan mengenai apakah hadits mursal itu dapat dijadikan hujjah atau tidak, itu berkaitan dengan ilmu ushul fiqih. Ibnu Katsir telah membahas permasalahan ini secara lengkap pada kitabnya ‘Al Muqaddimat’.
Imam Muslim berkata dalam muqaddimah Shahih Muslim:
أن المرسل في أصل قولنا وقول أهل العلم بالأخبار ليس بحجة “
Mengenai hadits mursal, pendapat yang kupegang dan dipegang oleh para ulama hadits adalah bahwa ia bukanlah hujjah
Pendapat senada, dikatakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr bahwa ini juga dikemukakan oleh banyak ulama ahli hadits.
Demikian pula Ibnu Shalah berkata:
وما ذكرناه من سقوط الاحتجاج بالمرسل والحكم بضعفه، هو الذي استقر عليه آراء جماعة حفاظ الحديث ونقاد الأثر، وتداولوه في تصانيفهم.
قال: والاحتجاج به مذهب مالك وأبي حنيفة وأصحابهما في طائفة. والله أعلم
Apa yang telah saya jelaskan, yaitu bahwa hadits mursal bukanlah hujjah dan merupakan hadits dha’if, ini adalah pendapat yang telah ditetapkan oleh banyak huffadz dan ahli hadits. Sering mereka kemukakan dalam tulisan-tulisan mereka
Ibnu Shalah juga berkata: “Madzhab Maliki menganggap hadits mursal adalah hujjah, demikian juga Madzhab Abu Hanifah dan sekelompok orang murid dari mereka berdua. Wallahu’alam
Menurut Ibnu Katsir, dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad, beliau juga menganggap hadits mursal sebagai hujjah. Adapun Imam Asy Syafi’i, beliau mengatakan bahwa hadits mursal dari Sa’id bin Musayyab statusnya hasan. Menurut sebagian ulama hadits, Imam Asy Syafi’i telah meneliti riwayat-riwayat mursal dari Sa’id bin Musayyab dan beliau mendapati bahwa riwayat-riwayat tergolong riwayat yang musnad.
Sebagian orang menafsirkan perkataan Imam Syafi’i tentang kehujjahan hadits mursal, mereka berkata: “Hadits mursal dari tabi’in kabir adalah hujjah, dengan syarat:
  1. Diriwayatkan dari jalan lain juga, minimal riwayat yang mursal
  2. Didukung oleh perkataan sahabat atau perkataan mayoritas ulama
  3. Tabi’in tersebut disepakati status tsiqah-nya
Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka dapat dijadikan hujjah. Namun tidak sampai naik ke tingkatan muttashil”
Imam Asy Syafi’i berkata:
وأما مراسيل غير كبار التابعين فلا أعلم أحد أقبلها
Adapun hadits mursal dari selain tabi’in kabir, saya tidak tahu ada ulama yang menerimanya
Ibnu Shalah berkata:
وأما مراسيل الصحابة، كابن عباس وأمثاله، ففي حكم الموصول، لأنهم إنما يروون عن الصحابة، كلهم عدول، فجهالتهم لا تضر. والله أعلم
Hadits mursal dari shahabat, seperti Ibnu ‘Abbas atau semisalnya, dihukumi hadits maushul (muttashil). Karena diriwayatkan dari para sahabat, dan para sahabat itu semuanya ‘adil, adanya jahalah pada riwayat tersebut tidaklah membahayakan. Wallahu’alam
Menurut Ibnu Katsir, sebagian ulama ahli hadits menukil ijma tentang diterimanya hadits mursal shahabi, walaupun Ibnu Atsir dan beberapa ulama pernah mengatakan adanya khilaf. Ustadz Abu Ishaq Al Isfara’ini menjelaskan bahwa khilaf tersebut dalam hal ihtimal (probabilitas) bertemunya sebagian shahabat dengan sebagian tabi’in.
Terdapat pula jenis riwayat dari tabi’in kabir kepada tabi’in shaghir, atau riwayat dari ayah kepada anaknya, insya Allah akan datang penjelasannya.
Catatan dari Ibnu Katsir:
Al Hafidz Al Baihaqi dalam kitab ‘As Sunan Al Kabir’ dan kitabnya yang lain, menamai riwayat dari seorang shahabat kepada seorang tabi’in sebagai hadits mursal. Di sisi lain, beliau berpendirian bahwa hadits mursal bukanlah hujjah. Konsekuensinya, berarti Al Baihaqi menganggap hadits mursal shahabi bukanlah hujjah. Wallahu’alam.
(Al Ba’its Al Hatsits, Al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir)

Hadits Maqthu’ Dan Catatan Mengenai Hadits Mauquf


Hadits Maqthu’
Ibnu Shalah berkata:
وهو الموقوف على التابعين قولاً وفعلاً، وهو غير المنقطع. وقد وقع في عبارة الشافعي والطبراني إطلاق ” المقطوع ” على منقطع الإسناد غير الموصول
“Hadits Maqthu’ adalah hadits mauquf dari tabi’in, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hadits maqthu’ tidak termasuk hadits munqathi’. Namun Imam Asy Syafi’i dan Ath Thabrani menggunakan istilah maqthu’ untuk hadits yang sanadnya terputus dan tidak bersambung”
Catatan Mengenai Hadits MauqufTentang perkataan shahabat Nabi, jika mereka berkata: كنا نفعل “Kami biasa melakukan … ” atau نقول كذا “Kami berpendapat bahwa … ” atau perkataan lain, walau tidak dikaitkan dengan zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tentang hal ini Syaikh Abu ‘Amr menjelaskan bahwa Abu Bakar Al Burqani, dari gurunya, Abu Bakar Al Isma-ili, perkataan shahabat yang demikian dianggap hadits mauquf’. Al Hafidz Abu Ali An Naisaburi berpendapat yang demikian dianggapmarfu’, karena menunjukkan adanya taqrir (persetujuan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam). Ibnu Shalah juga menguatkan pendapat ini dengan berkata:
ومن هذا القبيل قول الصحابي ” كنا لا نرى بأساً بكذا ” ، أو ” كانوا يفعلون أو يقولون ” ، أو ” يقال كذا في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ” : إنه من قبيل المرفوع
“Perkataan para shahabat: ‘Kami tidak berpendapat demikian’ atau ‘Kami melakukan demikian dan berpendapat demikian’ atau ‘Pada zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dikatakan demikian’, ini semua dianggap hadits marfu’ ”
Jika para sahabat berkata أمرنا بكذا “Kami diperintah untuk demikian” atau نهينا عن كذا “Kami dilarang untuk demikian” dianggap hadits marfu’ dan musnad menurut para ulama hadits dan menurut jumhur ulama, walau sekelompok ulama tidak sependapat diantaranya Abu Bakar Al Isma-ili.
Demikian juga perkataan para sahabat: من السنة كذا “Demikian ini termasuk sunnah” atau perkataan Anas bin Malik Radhiallahu’anhu: أمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة “Bilal diperintahkan untuk melafalkan adzan berpasangan, dan diperintahkan iqamah sekali-sekali”, juga dianggap marfu’ dan musnad.
Ibnu Shalah berkata:
وما قيل من أن تفسير الصحابي في حكم المرفوع، فإنما ذلك فيما كان سبب نزول، أو نحو ذلك
“Ada pendapat yang mengatakan bahwa tafsir Al Qur’an dari shahabat Nabi dihukumi marfu’. Sebenarnya ini hanya berlaku dalam sababu an nuzul, atau semacamnya”
Sedangkan jika orang yang meriwayatkan hadits dari shahabat berkata: يرفع الحديث “Ia (shahabat) me-marfu’-kan hadits ini”, atau berkata: ينميه “Ia (shahabat) menyandarkan hadits ini (kepada Rasulullah)”, atau berkata: يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم “Ia (shahabat) mengklaim periwayatan hadits ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”, maka dianggap sebagai hadits marfu’ yang sangat jelas, demikian pendapat para ulama hadits. Wallahu’alam.
(Al Ba’ts Al Hatsits, Al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir -rahimahullah- )

Hadits Dha’if, Musnad, Muttashil, Marfu’ dan Mauquf


Hadits Dhaif
Ibnu Shalah berkata:
وهو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح، ولا صفات الحسن المذكورة كما تقدم
Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak memiliki seluruh sifat hadits shahih, atau tidak memiliki seluruh sifat hadits hasan yang telah dijelaskan”
Lalu beliau menyebutkan jenis-jenis hadits dhaif ditinjau dari jumlah sifat yang kurang sehingga tidak mencapai derajat shahih atau hasan, baik satu atau semua sifat. Dengan tinjauan tersebut, beliau membagi hadits dhaif menjadi:
  • Maudhu’ (الموضوع)
  • Maqlub (المقلوب)
  • Syadz (الشاذ)
  • Mu’allal (المعلل)
  • Mutharib (المضطرب)
  • Mursal (والمرسل)
  • Munqathi’ (والمنقطع)
  • Mu’dhal (والمعضل)
  • Dll
Hadits Musnad
Ibnu Shalah berkata:
قال الحاكم: هو ما اتصل إسناده إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم. وقال الخطيب: هو ما اتصل إلى منتهاه. وحكي ابن عبد البر: أنه المروي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وسواء كان متصلاً أو منقطعاً. فهذه أقوال ثلاثة
  1. Al Hakim mengatakan bahwa hadits musnad adalah hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
  2. Al Khatib mengatakan bahwa hadits musnad adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga akhir sanad
  3. Ibnu ‘Abdil Barr mengabarkan bahwa hadits musnad adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, baik bersambung maupun terputus sanadnya.
Inilah tiga pendapat tentang definisi hadits musnad.
Hadits Muttashil
Ibnu Shalah berkata:
ويقال له: ” الموصول ” أيضاً، وهو ينفي الإرسال والانقطاع، ويشمل لمرفوع إلى النبي صلى الله عليه وسلم، والموقوف على الصحابي أو من دونه
Hadits Muttashil disebut juga hadits maushul, yaitu hadits yang tidak terdapat irsal dan tidak terputus sanadnya. Hadits muttashil mencakup hadits marfu’ dan hadits mauquf
Hadits Marfu’
Ibnu Shalah berkata:
هو ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولاً أو فعلاً عنه، وسواء كان متصلاً أو منقطعاً أو مرسلاً، ونفي الخطيب أن يكون مرسلاً، فقال: هو ما أخبر فيه الصحابي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
Hadits marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik muttashil maupun munqathi’ atau mursal. Namun Al Khatib menyatakan bahwa hadits marfu’ tidak boleh mursal, dengan berkata: ‘Hadits marfu’adalah hadits yang di dalamnya terdapat sahabat yang mengabarkan dari RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam‘”
Hadits Mauquf
Ibnu Shalah berkata:
ومطلقه يختص بالصحابي، فيمن دونه إلا مقيداً. وقد يكون إسناده متصلاً وغير متصل،
Hadits mauquf jika disebut secara mutlak, maksudnya hadits shahabat. Jika dimaksudkan untuk selain shahabat, disebutkan secara muqayyad. Hadits mauquf kadang sanadnya bersambung dan kadang tidak bersambung.
Menurut Ibnu Katsir, mayoritas ahli fiqih dan ahli hadits menyebut hadits mauquf dengan isitilah ‘atsar’. Ibnu Shalah menguatkan bahwa ini berasal dari para ulama Khurasan, mereka menyebut hadits mauquf dengan istilah atsar”
Ibnu Shalah berkata:
وبلغنا عن أبي القاسم الفوراني أنه قال: الخبر ما كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، والأثر ما كان عن الصحابي
“Ada yang menyampaikan kepada kami dari Abul Qasim Al Faurani, ia berkata: ‘Hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam disebut khabar, hadits dari para sahabat disebut atsar‘”
Menurut Ibnu Katsir, inilah mengapa banyak para ulama yang menamai kitab Jami’nya dengan ‘As Sunan Wal Atsar‘. Sebagaimana kitab ‘As Sunan Wal Atsar‘ milik Ath Thahawi dan Al Baihaqi, juga selain mereka. Wallahu’alam.
(Al Ba’its Al Hatsits, Al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah)

thank you