Minggu, 01 Agustus 2010

Hukum Menunda Pembayaran Hutang Puasa Hingga Tiba Ramadhan




Pertanyaan :
Seseorang memiliki tanggungan/hutang beberapa hari puasa Ramadhan. Namun hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya ternyata ia belum juga mengqodho’ (mengganti kewajiban/membayar) hutang puasanya tersebut. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan? Apakah ia berdosa, dan apakah gugur kewajibannya?
Jawab :
Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur`anul Karim :
(( فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ , وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٍ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ))
“Barangsiapa diantara kalian yang mendapati bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau berpergian (lalu ia tidak berpuasa) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari yang lain.”Al Baqorah : 185.
Sehingga seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika ada alasan syar’i, kemudian ia berkewajiban untuk menggantinya pada hari-hari lain, serta tidak menundanya sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, dengan dasar ucapan ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha (istri Rasulullah), ia berkata :
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ .
Dahulu kami memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya (yakni terus tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Sya’ban berikutnya). (HR. Al-Bukhari, Bab Kapan Menunaikan Qodho’ Puasa, no.1950)
‘Aisyah Radhiyallah ‘anha tidak sempat mengqodho’ puasanya hingga tiba bulan Sya’ban (berikutnya) karena keadaan beliau di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .
Adapun perkataan Aisyah : “dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya kecuali setelah sampai bulan Sya’ban”, adalah dalil wajibnya mengqodho’ puasa Ramadhan sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya.
Namun apabila qodho’nya diakhirkan/ditunda-tunda hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya maka ia berkewajiban untuk beristighfar dan meminta ampun kepada Allah, serta menyesal dan mencela perbuatannya menunda-nunda qodho’ puasa. Namun ia tetap berkewajiban mengqodho’ puasanya yang ia tinggalkan, karena kewajiban mengqodho’ tidak gugur dengan sebab diakhirkan/ditunda. Maka ia tetap wajib menggantinya walaupun setelah bulan Ramadhan tahun berikutnya,Wallahul  Muwaffiq.
Fatawa Arkanul Islam oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, halaman 489, pertanyaan yang ke - 439.
http://www.assalafy.org/mahad

Al-Imam Al-Bukhari membolehkan ikhtilath, benarkah?!

بسم الله الرحمن الرحيم

Ada sebagian orang yang membolehkan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) berdalih dengan hadits shahih . Di antaranya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - جَمِيعًا

"Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, "Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwa dia berkata: "Sesungguhnya dulu pada zaman Rasulullahshallallaahu 'alaihi wa sallam, laki-laki dan perempuan berwudhu' secara bersama-sama." (HR. Al-Bukhari) 

Bagaimana kalian -wahai orang-orang yang mengaku ahlus sunnah- melarang manusia untuk ikhtilath? Sedangkan Al-Imam Al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadits yang membolehkan hal tersebut?!

Untuk menanggapi 'syubhat' ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Perlunya mempelajari dasar-dasar ajaran islam yang benar secara global, sehingga ketika syubhat menyerang, seorang muslim tidak terlalu panik menghadapinya. Kembalikan saja kepada kaidah umum yang telah dipelajari dan diketahui walau tidak memahami penjelasannya secara terperinci. Dalam hal ini, penulis sangat menyarankan para pembaca untuk mengulang kembali faidah yang tertuang dalam kitab "Kasyfu Asy-Syubuhat" karya Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab Al-Hanbali rahimahullaah

2. Pentingnya mengkaitkan antara hadits dengan judul bab di mana hadits itu diletakkan oleh penyusunnya. 

Tidak mengambil teks hadits itu kemudian dialihbahasakan begitu saja, terlebih lagi digunakan sebagai dalih untuk menghalalkan sesuatu yang telah disepakati keharamannya. Seperti hadits tersebut di atas jika dikaitkan dengan judul bab tempat hadits itu diletakkan oleh penyusunnya, maka sirnalah kerancuan atau syubhat yang dimaksud. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini di dalam kitab tentang Wudhu' bab "Bolehnya seorang laki-laki berwudhu' bersama istrinya"(4/43, 193). Ulama kita menjelaskan bahwa fiqh atau madzhab Al-Imam Al-Bukhari dapat dilihat dari judul bab (yang ia buat). Dengan demikian terlihatlah dengan jelas bahwa Al-Imam Al-Bukhari ,sama sekali tidak mendukung bolehnya ikhtilath. Lalu apa hubungannya antara hadits dengan judul bab? Mengapa Al-Imam Al-Bukhari bisa mengambil kesimpulan dengan membuat judul yang lebih khusus cakupannya berdalil dengan hadits yang bersifat umum? 

Dalam bab yang sama terdapat banyak hadits yang senada dengan berbagai macam jalur periwayatannya. Al-Imam Al-Bukhari dikenal sebagai orang yang sangat selektif dan super ketat dalam menentukan sebuah hadits itu shahih. Di sisi yang lain beliau dituntut untuk menyusun sebuah kitab yang ringkas tetapi menyeluruh yang berisi hadits-hadits yang shahih saja. Karena dua faktor inilah maka mungkin -wallaahu a'lam- beliau hanya menurunkan satu hadits saja dalam bab tersebut, yaitu hadits mauquf (hadits Ibnu 'Umar) yang berstatus marfu'. Bahkan hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dalam bab ini. Di samping jalur periwayatannya dikenal sebagai 'silsilah adz dzahab' (jalur emas) -yaitu dari Malik dari Nafi' dari Ibnu 'Umar-, juga yang meriwayatkannya adalah Al-Bukhari (atau bisa disebut juga sebagai "jalur emas" yang paling shahih). 

Di antara sekian banyak riwayat, ada sebuah riwayat yang menegaskan bahwa Ibnu 'Umarradhiyallahu 'anhuma melihat mereka (para sahabat) bersama istri-istri mereka berwudhu' bersama-sama dalam satu bejana yang sama. Riwayat ini shahih diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya. Lalu mari sejenak kita berfikir, mungkinkah seluruh para sahabat bersama istri mereka berwudhu' secara bersama-sama dalam satu bejana (إناء) yang dikenal kala itu berukuran relatif kecil? Ataukah maksud Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma adalah masing-masing sahabat bersama istrinya berwudhu' bersama-sama, kemudian sahabat yang lain berwudhu' bersama istrinya, lalu sahabat yang lain lagi dan seterusnya? Tentu yang terakhir disebutkan lebih logis dan lebih mendekati kebenaran. Inilah yang dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari yang sekaligus menunjukkan kejelian dan kecerdasan Al-Imam Al-Bukhari dalam beristidlal dan menempatkan hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat-syaratnya pada judul bab (tarjamah) yang merupakan cerminan fiqh dan madzhab beliau dalam suatu masalah tertentu.

3. Urgennya belajar bahasa arab. 

Alif lam pada kata-kata الرجال dan النساء dalam hadits tersebut bukan alif lam Al-Istighraqiyyah(menunjukkan keumuman). Tetapi alif lam Al-Jinsiyyah (menunjukkan jenis). Sebagai contoh misalnya:

فلان يلبس الثياب
Si Fulan memakai baju.

الثياب bentuk jama' dari الثوب . Maksud dari pernyataan di atas bukan berarti si Fulan memakai semua baju. Tetapi yang dimaksud adalah keterangan jenis objek (maf'ul)nya. Si Fulan memakai baju, bukan sandal.

Untuk lebih jelasnya lagi, perhatikan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:

لكنى أصلى وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء

"Akan tetapi aku shalat dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku menikahi wanita." 

Apakah النساء yang dimaksudkan Nabi tersebut adalah "bilangannya", atau yang dimaksudkan beliau adalah menerangkan "jenis objeknya"? Tentu yang dimaksudkan adalah jenis objeknya.

Kemudian lagi kata-kata جميعا (bersama-sama) merupakan hal (menerangkan keadaan) bukan sebagai ta'kid (penguat). Karena jika lah memang maksudnya ta'kid, maka Ibnu 'Umar <radhiyallahu 'anhuma tentunya menyebutkan أجمعون (semuanya) bukan جميعا. 

Perbedaannya sangat jelas, جميعا menjelaskan fa'il pada fi'il يتوضئون. Sedangkan أجمعون menjelaskan/menguatkan isim كان . Dengan begitu menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma adalah perbuatan wudhu' itu dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dengan istrinya atau mahramnya, bukan seluruh sahabat baik laki-laki maupun perempuan bercampur baur berwudhu' bersama-sama dalam satu bejana yang sama pula.

4. Sekaligus sebagai kesimpulan, 

hadits Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma tersebut di atas sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk menghalalkan ikhtilath. Bahkan banyak hadits shahih yang menyatakan terlarangnya ikhtilath. Di antaranya:

عن عقبة بن عامر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إياكم والدخول على النساء فقال رجل من الأنصار : يا رسول الله أفرأيت الحمو ؟ قال : الحمو الموت

Dari 'Uqbah bin 'Aamir bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian masuk ke tempat para wanita!" Seorang pria dari kaum Anshar berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana hukumnya kalau dia adalah saudara ipar?" Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Saudara ipar sama dengan kematian" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Walhamdulillaah, wa shallallaahu 'ala nabiyyinaa Muhammad.

Selesai ditulis oleh Al-Faqiir ila rahmati rabbih: Abu Yazid Nurdin, sore menjelang maghrib 20 Sya'ban 1431 H di Riyadh, KSA.

Maraaji':
1. Fathul Baari, Al-Haafizh Ibnu Hajar, Daarul Hadits, Kairo: 1424 H.
2. 'Umdatul Qaari, Badruddin Al-'Aini Al-Hanafi, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
3. Kaset ceramah berjudul"Nashaaih wa Taujiihaat li Asy-Syabaab", Syaikh DR. 'Abdul Karim Al- Khudhair.

TERUNTUK YANG BIASA MENITIPKAN PARAF KEHADIRAN........

Posted on 4 Juli 2010 by nasihatonline



بسم الله الرحمن الرحيم



Bolehkah Menitipkan Paraf Kehadiran?



Telah menjadi kebiasaan sebagian pegawai atau mahasiswa, meminta tolong teman kantor atau teman kuliahnya untuk menandatangani daftar kehadirannya, meskipun ia tidak hadir atau ia datang terlambat, agar diketahui atasannya atau dosennya bahwa ia datang tepat waktu. Seperti apa bimbingan para ulama dalam masalah ini, berikut saya terjemahkan fatwa Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah ketika beliau ditanya tentang permasalahan serupa:

Pertanyaan: Terkadang teman kuliahku memintaku untuk menandatangani absensi sebagai tanda kehadirannya pada suatu perkuliahan meskipun ia tidak hadir, apakah perbuatan ini termasuk tolong menolong antar sesama ataukah termasuk kecurangan dan penipuan?

Jawab: Perbuatan tersebut termasuk tolong menolong, namun dalam kebatilan yang disukai setan (bukan dalam kebaikan), karena setanlah yang menggodanya hingga ia menandatangani kehadiran orang yang sebenarnya tidak hadir. Maka dalam perbuatan tersebut terdapat tiga pelanggaran:

Pertama: Kedustaan.

Kedua: Mengkhianati penanggung jawab perkuliahan.

Ketiga: Menjadikan orang yang tidak hadir tersebut berhak mendapatkan tunjangan yang biasanya diberikan kepada seorang mahasiswa karena kehadirannya (karena kebanyakan universitas di Arab Saudi mahasiswanya digaji layaknya pegawai di negeri kita, pent.) maka (jika ia mengambil tunjangan tersebut), berarti ia telah mengambil dan memakannya dengan cara yang batil.

Satu saja dari ketiga pelanggaran tersebut sudah cukup untuk mengatakan bahwa perbuatan ini haram dilakukan, meski dari zahir pertanyaan di atas, seakan perbuatan ini termasuk tolong menolong antar sesama.

Oleh karenanya, tolong menolong antar sesama tidaklah terpuji secara mutlak, akan tetapi yang sesuai syari’at itulah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi syari’at maka tercela.

Dan hakikat perbuatan yang menyelisihi syari’at meski dinamakan amal sosial, hanyalah istilah yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena apapun yang menyelisihi syari’at hakikatnya adalah perbuatan hewani, oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala mensifatkan orang-orang kafir dan musyrikin bagaikan hewan-hewan ternak, sebagaimana firman-Nya:

يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

“Mereka bersenang-senang dan makan layaknya hewan-hewan, dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Dan juga firman-Nya :

إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا

”Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqon: 44)

Maka setiap yang menyelisihi syari’at adalah perbuatan hewani, bukan insani.

Teks asli:

س – أحيانا يطلب مني زميلي في المحاضرة أن أقوم بتحضيره مع أنه غائب حيث تمر ورقة التحضير فأكتب اسمه . فهل هذه الخدمة إنسانية ، أم أنه نوع من الغش والخداع ؟

ج- هي خدمة ولكنها خدمة شيطانية يمليها الشيطان على هذا الذي فعل وحضر من ليس بحاضر وفي ذلك ثلاثة محاذير المحذور الأول الكذب ، والمحذور الثاني خيانة المسئولية في هذه المصلحة ، والمحذور الثالث أنه يجعل هذا الغائب مستحقاً للراتب المرتب على الحضور ، فيأخذه ويأكله بالباطل ، وواحد من هذه المحاذير يكفي بالقول في تحريم هذا التصرف الذي ظاهر سؤال السائل أنه من الأمور الإنسانية ، والأمور الإنسانية ليست محمودة على الإطلاق بل ما وافق الشرع منها فهو محمود وما خالف الشرع فهو مذموم ، والحقيقة أن ما خالف الشرع مما يقال عنه عمل إنساني فإنه اسم على خير مسماه ، لأن ما خالف الشرع فهو عمل بهيمي ، ولهذا وصف الله الكفار والمشركين بأنهم كالأنعام { يتمتعون ويأكلون كما تأكل الأنعام ، والنار مثوى لهم } وقال { إن هم إلا كالأنعام . بل هم أضل سبيلاً } فكل ما خالف الشرع فهو عمل بهيمي لا إنساني .

(Al-Fatawa Al-Islamiyah, 4/421)
thank you