Senin, 22 November 2010

Fenomena Riya Dalam Lapangan Ilmu

Aku Hanya Menyampaikan
a. Terlalu berani berfatwa dan tergesa-gesa untuk mengajar.
Sifat ini adalah akibat cinta ketenaran dan ingin disebut sebagai 'alim ulama, sehingga ia amat berani berfatwa karena takut dikatakan 'tidak tahu'. Padahal para ulama terdahulu, rasa takut mereka kepada Allah mengalahkan rasa takutnya untuk dikatakan 'tidak tahu'.
Abu Dawud berkata: "Tak terhitung jumlahnya aku mendengar imam Ahmad ditanya tentang permasalahan yang masih diperselisihkan, beliau berkata: "Aku tidak tahu". Imam Ahmad berkata: "Aku tidak pernah melihat fatwa yang lebih bagus dari fatwa Sufyan bin 'Uyainah, ia amat ringan untuk berkata: "Tidak tahu".
Ibnu Qayyim berkata: "Para ulama salaf dari kalangan shahabat dan Tabi'in tidak suka tergesa-gesa dalam berfatwa, dan setiap mereka berharap agar saudaranyalah yang menjawabnya, dan bila ia melihat sudah menjadi keharusan baginya, maka ia mengeluarkan semua kesungguhannya untuk mengetahui hukumnya dari Al Qur'an dan sunnah atau pendapat Khulafa Ar Rasyidin, kemudian ia berfatwa".
Doktor Nashir al ‘aql berkata :” diantara kesalahan yang harus di peringatkan dalam masalah fiqih adalah memisahkan dakwah dari ilmu, dan ini lebih banyak ditemukan pada pemuda, mereka berkata ,” berdakwah berbeda dengan menuntut ilmu “. Oleh karena itu, kita dapati para pemuda sangat memperhatikan amaliyah dakwah, bahkan memberikan semua kesungguhannya, akan tetapi ia sangat sedikit dalam menghasilkan ilmu syar’iat, padahal kebalikannya itulah yang benar, hendaklah ia menuntut ilmu dan bertafaqquh dalam agama, menghasilkan ilmu-ilmu syari’at kemudian baru ia berdakwah…”. (Al Fiqhu fiddiin hal 58).
b. Sibuk dengan ilmu yang bersifat fardlu kifayah dan meninggalkan yang fardlu 'ain.
Ia sibuk memperdalam ilmu-ilmu qira'at dan makhrajnya, namun meninggalkan yang lebih utama darinya, yaitu mentadabburi makna-maknanya. Ia memperdalam permasalahan-permasalahan fiqih yang amat pelik namun meninggalkan ilmu tauhid dan ikhlas. Namun bukan berarti kita berburuk sangka kepada mereka, akan tetapi perbuatan tersebut termasuk langkah-langkah setan dalam menggoda manusia.
c. Suka berdialog dan bertengkar dalam agama.
Sifat ini digemari oleh orang-orang yang terfitnah oleh popularitas, dan ingin mengalahkan saingannya dengan memperlihatkan kehebatannya, dan ini adalah tanda yang tidak baik, imam Al Auza'I berkata: "Apabila Allah menginginkan keburukan kepada suatu kaum, Allah bukakan kepada mereka pintu jidal, dan menutup untuknya pintu amal".
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ في رَبَضِ الْجَنّةِ لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقاّ..
"Aku menjamin dengan rumah di pinggir surga, untuk orang yang meninggalkan mira' (debat kusir), walaupun ia di pihak yang benar..". (HR Abu Dawud).
Para ulama salaf terdahulu berdialog bila dalam keadaan terpaksa saja, dan adanya orang-orang yang tergelincir dalam masalah ini adalah karena niat yang tidak baik, padahal para ulama salaf lebih memperhatikan amal dari berbicara, adapun sekarang, banyak dari kita yang lebih banyak memperhatikan berbicara karena ingin dianggap unggul. Allahul musta'an.
d. Marah bila dikritik dan bersikap dingin kepada orang yang menyelisihinya serta berbangga dengan banyaknya pengikut.
Ini akibat tidak ikhlasnya ia dalam menuntut ilmu dan berdakwah, imam Adz Dzahabi berkata: "Tanda orang yang ikhlas, yang terkadang tak terasa masih menyukai ketenaran, adalah bila ia diingatkan tentang hal itu, hatinya tidak merasa panas, dan tidak membebaskan diri darinya, namun ia mengakuinya dan berkata: "Semoga Allah merahmati orang yang mengingatkan aibku". Ia tidak berbangga dengan dirinya, dan penyakit yang berat adalah bila ia tidak merasakan aibnya tersebut".
Betapa indahnya perkataan beliau ini, amat layak untuk ditulis dengan tinta emas, dan menjadi renungan kita bersama.
Al Fudlail bin 'Iyadl berkata (Kepada dirinya): "Wahai, kasihannya engkau.. engkau berbuat buruk tetapi engkau merasa berbuat baik, engkau tidak tahu tetapi merasa selevel dengan ulama, engkau kikir tetapi merasa dermawan, engkau pandir tetapi merasa pintar dan berakal, ajalmu pendek namun angan-anganmu panjang".
Saudaraku, terkadang banyaknya pengikut membuat kita tertipu dan menjadikan seorang da'I berbangga. Bila yang hadir di majlis taklimnya banyak, ia senang, namun bila yang hadir sedikit, ia bersedih dan ciut hatinya, tanda apakah ini ya akhi..?!
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: "Aku mempunyai majlis (ta'lim) di Masjid Jami' setiap hari jum'at, apabila yang hadir banyak, aku merasa senang. Dan apabila yang hadir sedikit, aku merasa sedih. Lalu aku tanyakan kepada Bisyir bin Manshur, ia menjawab: "Itu majlis yang buruk, jangan kamu kembali kepadanya". Akupun tidak lagi kembali kepadanya.
Subhanallah!! Betapa ikhlasnya mereka, betapa jauhnya dari cinta popularitas, sedangkan kita ?!! entah, wallahu a'lam.
I'laamul muwaqqi'iin 1/33-34.
Sunan Abu Dawud no 4800, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Abi Dawud no 4015.
Siyar a'lamin Nubalaa 7/393.
Siyar A'lamin Nubalaa 8/440.
Hilyatul auliya 9/12.


http://abuyahyabadrusalam.com

Mutiara salaf: “… bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian…”

Nur Izza H
Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

“Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati-hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus meneruslah berada pada majelis-majelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi ada satu kata yang terdengar dan kata itu merendahkan diri kita namun sangat bermanfaat bagi kita. Bertaqwalah kalian semua kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”

Pada suatu hari beliau rahimahullah pergi menemui murid-muridnya dan mereka tengah berkumpul, maka beliau rahimahullah berkata:

“Demi Allah ‘Azza wa Jalla, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama umat ini sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang bermain-main di antara mereka. Dan seseorang yang rajin dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang suka meninggalkan di antara mereka. Seandainya aku ridha terhadap diriku sendiri pastilah aku akan memperingatkan kalian dengannya, akan tetapi Allah ‘Azza wa Jalla Maha Tahu bahwa aku tidak senang terhadapnya, oleh karena itu aku membencinya.”

(Mawai’zh lilImam Al-Hasan Al-Bashri, hal.185-187). 

Istriku Buntelan Karung Hitam

Istriku Buntelan Karung Hitam (Coppas Dari Seorang Teman)

oleh Ini Adalah Saya pada 05 Oktober 2010 jam 18:51

Kecantikan raga itu tidaklah akan abadi namun kecantikan hati itulah yang akan haqiqi, rumah tangga tidak dibangun atas dasar nafsu namun atas dasar ketakwaan dan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wata'ala, siapakah yang lebih mengetahui kebaikan bagi diri kita melainkan Allah Subhanahu wata'ala ?

SIMAK KISAH INI....Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan justru rasa haru biru.

Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.

Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama 'buntelan karung hitam' itu ....?!?" Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut 'buntelan karung hitam'.

"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.

"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.

"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!"

DEGG !!!!

"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran Ismail membuyarkan lamunanku. Segera kuucapkan istighfar dalam hati.

"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi Ismail memberi semangat padaku.

"Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat tunai !"

Alhamdulillah lancar juga aku mengucapkan aqad nikah.

"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien. Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."

Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama. Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.

"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui.

"Nanti saja dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.

Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya. Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.

"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya. Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka," ... Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak."(QS An-Nisa:19)

Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.

"Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."

Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhnya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih menyisakan segumpal ragu.

"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.

"Tidak...De'. Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil menggenggam erat tangannya.

Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait do'a kubentangkan pada Nya.

"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karena itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"

Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum sunnah Rasul Nya.

"...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah ..." (QS. al-Baqarah:165)

Sumber: Lembaga Sakinah (FB) 

Taisir Musthalah Hadits (7): Maudhu’

Al Maudhu’
  1. Pengertiannya
  2. Hukumnya
  3. Tanda-tanda untuk mengetahui hadits palsu
  4. Contoh dari hadits-hadits palsu dan berbagai kitab yang memuat daftar hadits-hadits palsu
  5. Contoh orang yang memalsukan hadits
1.  Al maudhu’ (الموضوع): Hadits yang didustakan atas Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hadits maudhu’ merupakan hadits yang tertolak (1). Tidak boleh disebutkan kecuali disertai penjelasan tentang kepalsuannya dalam rangka memperingatkan bahwa hadits tersebut palsu. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
من حدث عني بحيث يرى أنه كذبٌ فهو احد الكاذبين
“Barang siapa mengucapkan dariku dengan sebuah hadits yang dia kira bahwa hadits tersebut adalah dusta maka dia salah seorang pendusta.” (HR Muslim)
3. Diantara tanda hadits palsu adalah sebagai berikut:
  • Pengakuan orang yang memalsukannya.
  • Bertentangan dengan akal. Misalnya, kandungan hadits tersebut mengumpulkan dua hal yang bertentangan, menetapkan hal yang mustahil, meniadakan adanya sesuatu yang harus ada, dan selainnya.
  • Bertentangan dengan yang diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama. Misalnya hadits tersebut mengingkari salah satu rukun Islam, menghalalkan riba dan selainnya, menetapkan waktu terjadinya kiamat, atau menetapkan mungkin ada nabi setelah nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dan selainnya.
4.  Hadits-hadits maudhu’ banyak sekali diantaranya:
  • Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
  • Hadits-hadits tentang keutamaan bulan Rajab dan keistimewaan sholat di bulan tersebut.
  • Hadits-hadits tentang hidupnya nabi Khidhir, sahabat nabi Musa ‘alaihissholatu wasalam dan bahwasannya beliau datang menemui nabi serta menghadiri pemakaman Nabi.
  • Hadits-hadits palsu tentang berbagai hal:
  • “Cintailah orang arab karena tiga hal, karena aku adalah orang arab, Al Quran itu berbahasa arab, dan bahasa penghuni surga adalah bahasa arab”
  • “Ikhtilaf umatku adalah rahmat”
  • “Bekerjalah untuk dunia seolah engkau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhirat seolah engkau akan mati esok hari”
  • “Cinta dunia adalah sumber dari segala dosa”
  • “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”
  • “Sebaik-baik nama adalah yang mengandung pujian dan penghambaan”
  • “Aku melarang jual beli dengan syarat”
  • “Hari puasa kalian adalah hari kalian menyembelih kurban”
Banyak dari ahli hadits yang menulis buku untuk menjelaskan hadits-hadits palsu dalam rangka membela sunnah dam memperingatkan umat darinya semisal:
  1. Maudhu’at Kubro (الموضوعات الكبرى). Ditulis oleh Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 H. Akan tetapi kitab ini tidak mencakup semua hadits palsu, dan di dalamnya dimasukkan hadits-hadits yang sebenarnya tidak palsu.
  2. Fawaidul Majmu’atu Fil Ahadiysil Maudhu’ah (الفوائد المجمعة في الأحاديث), ditulis oleh Asy Syaukani yang wafat pada tahun 1250 H. Di dalamnya penulis mudah memberikan vonis palsu sehingga beliau memasukkan hadits-hadits yang bukan maudhu’ ke dalamnya.
  3. Tanzihusy Syari’atil Marfu’atu ‘Anil Akhbarisy Syani’atil Maudhu’ah (تنزيه الشريعة المفوعة عن الأخبار الشنيعة الموضوعة), ditulis oleh Ibnu ‘Iroqi yang wafat pada tahun 963 H. Kitab ini termasuk kitab terlengkap yang ditulis mengenai hal ini.
5. Pemalsu hadits sangat banyak
Diantara tokoh pemalsu hadits yang terkenal adalah: Ishaq bin Najh Al Malathi, Makmun bin Ahmad Al Harowi, Muhammad ibnu As Saib Al Kulbi, Al Mughiroh bin Sa’id Al Kufi, Muqotil bin Abi Sulaiman, Al Waqidi, Ibnu Abi Yahya.
Pemalsu hadits itu terdiri dari beberapa kelompok, diantaranya:
1. Az Zindik
Yaitu mereka yang pura-pura masuk Islam untuk merusak akidah kaum muslimin, dan memperburuk citra islam, dan merubah hukum Islam.
Misal: Muhammad bin Sa’id Al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far Al Manshur. Dia memalsukan hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu yang disandarkan pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku adalah penutup nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali yang Allah kehendaki.”
Yang lain adalah ‘Abdul Karim bin Abi Al ‘Aujai yang dibunuh oleh salah seorang gubernur Abasiyah di Bashroh. Dia berkata saat dibawa untuk dibunuh, “Sesungguhnya aku telah membuat di tengah-tengah kalian empat ribu hadits. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram.”
Sungguh dikatakan bahwa orang-orang zindik telah memalsukan atas nama Rosulullahshollallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 14.000 hadits.
2. Orang yang hendak mencari muka kepada kholifah atau gubernur.
Misalnya Ghiyats bin Ibrohim. Ia pergi menemui Khalifah Al Mahdi yang sedang bermain burung merpati. Dikatakan padanya, “Sampaikan hadits pada amirul mukminin”, maka dia menyebutkan sebuah sanad untuk membuat hadits palsu atas Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada taruhan kecuali pada pacuan unta, melempar tombak, memanah, atau pacuan merpati.” Mendengar itu, Al Mahdi berkata “Aku yang menjadi penyebab orang itu membuat hadits palsu”, kemudian beliau meninggalkan burung merpati tersebut dan memerintahkan untuk disembelih (2).
3. Orang yang mencari perhatian kepada orang awam, dengan menyebut cerita yang aneh-aneh dalam rangka memotivasi mereka untuk berbuat taat, menakuti-nakuti mereka untuk berbuat maksiat, untuk mencari harta (3), atau mencari kedudukan.,Semacam tukang-tukang kisah di masa silam, yaitu orang-orang yang berbicara, memberikan pengajian di masjid-masjid di tempat orang berkumpul dengan cerita yang membuat keterpengahan, berupa cerita yang aneh-aneh.
Semisal dari Imam Ahmad ibn Hambal dan Imam Yahya ibn Ma’in. Keduanya suatu hari sholat di masjid Rosafah. Setelah selesai sholat berdirilah seorang tukang kisah/penceramah yang kemudian dia bercerita dan mengatakan “Bercerita kepada kami Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in kemudian menyebutkan sanad sampai Rosulullahshollallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia mengatakan, “Barang siapa yang mengucapkan la ilaha illallah maka Allah ciptakan untuk setiap kalimat seekor burung, paruhnya dari emas, dan bulunya dari marjan (semacam tumbuh-tumbuhan yang indah) kemudian dia sebutkan sebuah kisah yang panjang (4).”
Ketika telah selesai bercerita, maka kemudian dia mengambil pemberian dari hadirin yang terkesima dengan ceritanya. Kemudian Imam Yahya ibn Ma’in berisyarat dengan tangannya kepada orang tersebut. Maka dia datang karena mengira akan mendapat uang. Imam Yahya ibn Ma’in bertanya kepadanya, “Siapa yang bercerita kepadamu hadits seperti ini?”  Maka orang tersebut menjawab tanpa merasa bersalah, “Yang bercerita adalah Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in (5).” Maka Yahya ibn Ma’in mengatakan, “Saya ini Yahya ibn Ma’in dan sebelah saya ini adalah Ahmad ibn Hambal. Dan kami tidak pernah mendengar hadits seperti ini dalam haditsnya Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka si tukang cerita itu berkata, “Aku tidak pernah mengira kalau Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal itu lebih bodoh daripada dari hari ini. Memangnya Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Ma’in di dunia ini hanya dua saja.” Maka si tukang cerita berkata dengan beraninya, “Selalu saja aku dengar bahwasannya Yahya ibn Ma’in itu lebih dungu yang kuperkirakan kecuali pada detik ini. Aku tidak pernah mengira Yahya ibn Ma’in seorang bodoh, dan tidak pernah kuperkirakan ia ternyata lebih bodoh lagi dari hari ini. Seakan-akan di dunia ini tidak ada Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal kecuali kalian berdua. Sungguh aku telah menulis hadits dari 17 orang yang bernama Ahmad ibn Hambal dan 17 orang yang bernama Yahya ibn Ma’in.” Maka Imam Ahmad pun meletakkan lengan bajunya ke wajahnya dan mengatakan kepada Yahya ibn Ma’in, “Biarkan dia pergi.” Lalu dia berdiri dengan gaya seperti orang yang mengejek Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal (6).
4. Semangat membela agama (7)
Akhirnya membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan Islam dan hal-hal yang berkaitan dengannya, tentang zuhud di dunia dan semacam itu. Maksudnya mulia, lillahita ‘ala tidak untuk mendapat uang tapi agar orang mempunyai perhatian terhadap agama. Semacam yang dilakukan Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abi Maryam. Padahal dia seorang hakim di daerah Marwa. Dia membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surat-surat Al-Qur’an, surat persurat (8). Kemudian diia mengatakan motivasi membuat hadits palsu, “Sungguh aku lihat banyak orang berpaling dari membaca Al-Qur’an. Orang sibuk mempelajari fiqh Abu Hanifah dan kitab Siroh Ibnu Ishaq. Maka aku membuat hadits palsu tersebu.t”
5. Karena penyakit fanatik
Yaitu orang yang fanatik dengan madzhab fiqih atau suatu metode atau suatu negara yang dia ikuti (9). Mereka membuat hadits-hadits tentang sesuatu yang mereka fanatik dengan menyanjung-nyanjungnya, semacam perbuatan Maisaroh ibn Abdu Robbihiyang mengaku telah memalsukan hadits Nabi sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali ibn Abi Thalib .
  1. Tidak boleh dijadikan dalil
  2. Dalam hadits ini, terdapat tiga jenis permainan yang itu diperbolehkan dengan bertaruh, boleh juga tanpa bertaruh. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrohman As Sa’di rohimahullah, membagi permainan menjadi tiga jenis,
    1. Permainan yang haram, baik menggunakan taruhan atau tidak. Misal : permainan yang menggunakan dadu, catur.
    2. Permainan yang halal, yang diperbolehkan menggunakan taruhan atau tidak, yaitu tiga jenis lomba ini.
    3. Permainan yang halal jika tidak menggunakan taruhan. Yaitu perlombaan yang selain tiga jenis ini.
    Demikian yang beliau katakan di Qowaid wal Ushul Jamiah.
  3. Semacam meningkatkan oplah majalah. Khusus di tempat kita majalah Hidayah.
  4. Lengkapnya tentang hadits dia ini ada di Durotun Nasihin di bab Keutamaan La ilaha illallah.
  5. Dibuku yang lain ada penjelasan, mereka saling bertanya, “Kamu pernah bercerita?”. Keduanya saling menjawab tidak.
  6. Kalau yang ada sekarang, misalnya ada yang meninggal, kemudian tanah tidak bisa menerimanya, tubuhnya bau, tubuhnya penuh belatung. Kemudian tukang cerita seakan-akan tahu yang ghoib mengatakan, “Ini seperti ini karena durhaka pada orang tua”. Padahal dosanya banyak sekali misalnya berjudi, tidak sholat. Darimana dia dapat memastikan belatung itu karena durhaka pada orangtua. Darimana tahu bahwa ini dan itu berhubungan. Adzab Allah Ta’ala adalah sesuatu yang ghoib. Itulah tukang kisah di zaman ini. Kalau tukang kisah di masa silam membuat sanad palsu, hadits palsu.
  7. Ulama menyebutnya, membuat hadits karena motivasi ihtisaban (karena lillahi Ta’ala) namun membuat hadits palsu. Mereka mengatakan yang dilarang adalah “Barangsiapa berdusta atas namaku” sedangkan yang kami lakukan, “Barangsiapa berdusta yang menguntungkan Rosulullah”, jadi kami tidak dosa. Ini terjadi karena semangat tanpa ilmu. Mutahamisun terjadi karena semangat yang luar biasa terhadap agama.
  8. Yang menyedihkan, adalah ada orang yang menulis buku dan isinya mencantumkan hadits-hadits palsu ini dan lebih menyedihkan lagi bukunya sudah diterjemahkan.
  9. Bahkan karena sangat fanatiknya dengan seseorang sampai ada yang membuat hadits palsu. Semacam hadits, “Lentera umatku adalah Abu Hanifah dan akan muncul di tengah-tengah umatku manusia yang lebih bahaya daripada Dajjal yang bernama Muhammad ibn Idris As Syafi’i”. Hadits-hadits ini muncul karena fantaik berat dengan madzhab.

Taisir Musthalah Hadits 8 (Jarh dan Ta’dil)

JARH (CELAAN)
Definisi
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan satu pernyataan yang mengharuskan untuk menolak riwayatnya. Dengan menetapkan sifat penolakan atau menafikan (meniadakan) sifat untuk diterima haditsnya. Semisal dikatakan, dia adalah: pembohong (كذاب ), fasiq (فاسق ) lemah (ضعيف ), tidak tsiqah ( ليس بثقة ), tidak dianggap (لا يعتبر ) atau tidak ditulis haditsnya ( لا بكتب حديثه ).
Pembagian
Jarh terbagi menjadi dua, yaitu mutlaq dan muqayyad
Mutlaq ( المطلق )
Jika disebut seorang rawi dengan jarh (celaan) tanpa batasan, maka dia menjadi cacat di setiap keadaan.
Muqoyyad ( المقيد )
Disebutkannya seorang rawi dengan jarh, namun jarh tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), semisal berkaitan dengan guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau semacamnya, maka jarh tersebut menjadi cacat pada rawi tersebut jika dikaitkan dengan hal tersebut dan tidak berlaku untuk yang lainnya.
Contoh :
Perkataan Ibnu Hajar dalam Taqribu Tahdzib tentang Zaid ibn Habab – rawi ini dipakai Imam Muslim – Ibnu Hajar mengatakan “Dia adalah orang yang jujur (1). Namun, riwayat-riwayatnya adalah keliru jika dia dapatkan dari gurunya yang bernama Sufyan Atsauri. Namun dia tidak dha’if untuk guru yang lain.”
Contoh lain:
Perkataan penulis kitab Al Kholashoh tentang Isma’il ibn ‘Iyas“Orang ini ditsiqahkan Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Bukhori khusus untuk riwayat dari orang Syam, akan tetapi para ulama mendha’ifkan Ismail jika gurunya adalah orang Hijaz.” Jadi, dia dha’if dalam hadits yang diambil dari orang-orang Hijaz namun tidak dha’if jika gurunya dari penduduk Syam (2).
Dan semisal itu, jika dikatakan orang tersebut adalah dha’if jika berkenaan dengan hadits tentang sifat Allah. Maka rawi tersebut bukan rawi yang dha’if untuk riwayat yang lain.
Akan tetapi jika maksud jarh adalah untuk membantah klaim tsiqah dalam batasan/catatan tersebut, maka hal ini tidak menghalangi rawi tersebut sebagai orang yang dha’if dalam keadaan lain (3).
Tingkatan jarh
Yang paling keras adalah yang menyebutkan dengan puncaknya dalam celaan. Misalnya: “orang yang paling pendusta” (أكذب الناس ), “sendi kedustaan” ( ركن الكذب ).
Kemudian apa yang menunjukkan berlebih-lebihan, akan tetapi tidak sampai seperti yang pertama. Misalnya : tukang bohong ( كذاب ), pembuat hadits palsu ( وضاع), pembohong (دجال ).
Dan yang paling ringan: lembek haditsnya (لينٌ ), lemah hafalannya ( سيئُ الحفظ ) atau orang tersebut ada pembicaraan pada dirinya (فيه مقال ).
Di antara tiga tingkatan tersebut terdapat berbagai tingkatan  jarh yang sudah dikenal (4).
Syarat penerimaan jarh
Terdapat lima syarat penerimaan jarh, yaitu:
  1. Hendaknya ia adalah orang yang adil, sehingga tidak diterima jarh dari orang fasiq.
  2. Hendaknya dia adalah yang teliti, sehingga tidak diterima jarh dari orang yang mughfil(tidak teliti).
  3. Hendaknya dia adalah orang yang arif dan mengetahui sebab-sebab cacatnya rawi. Maka tidak diterima jarh dari orang yang tidak mengetahui sebab-sebab cacatnya seorang rawi.
  4. Menjelaskan sebab-sebab jarh. Maka tidak diterima jarh yang samar, semacam mencukupkan diri dengan mengatakan “dia dha’if, tidak diterima haditsnya” tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Hal ini dikarenakan terkadang seseorang menjarhseseorang dengan sebab yang tidak menyebabkan jarh. Inilah pendapat yang masyhur.Ibnu Hajar rahimahullah memilih pendapat diterimanya jarh yang samar (mubham) kecuali dari orang yang sudah diketahui bahwa dia adalah perawi yang adil. Jika demikian, maka tidak diterima jarhnya kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya. Dan inilah pendapat yang rajih, khususnya jika orang yang menjarh adalah ulama yang pakar dalam ilmu ini.
  5. Hendaknya jarh tersebut tidak tertuju kepada orang yang mutawatir keadilannyadan dia terkenal sebagai imam (dalam agama) semacam Nafi’ (Maula Ibnu Umar), Syu’bah, Imam Malik, Imam Bukhari. Maka tidak diterima jarh untuk orang-orang semisal mereka.
TA’DIL (PENILAIAN BAIK)
Defenisinya
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan perkataan yang menyebabkan wajib diterimanya riwayat darinya, bisa berupa sifat diterimanya riwayat atau menafikan sifat ditolaknya riwayat. Misalnya dikatakan : dia “tsiqah (terpercaya)” (هو ثقة ), “tidak mengapa dengannya” (لا بأس به ) atau “tidak ditolak hadits darinya” (لا يرد حديثه ).
Pembagian Ta’dil
Ta’dil terbagi menjadi dua: Mutlaq dan Muqoyyad
Mutlak
Disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil tanpa persyaratan. Maka rawi tersebut tsiqahdalam setiap kondisi.
Muqayyad
Disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil,namun ta’dil tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), baik dari guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau sejwenisnya. Maka ta’dil ini adalah penilaian tsiqah tentang orang ini pada keadaan tertentu tersebut dan tidak pada keadaan selainnya.
Misalnya dikatakan “Dia ini tsiqah bila membawakan hadits dari Az Zuhri atau hadits yang dia dapatkan berasal dari orang Hijaz.” Maka rawi ini tidak tsiqah dalam riwayat yang dia bawakan dari orang lain yang dia tidak ditsiqahkan.
Akan tetapi jika ta’dil muqayyad maksudnya adalah untuk membantah klaim dha’ifnya rawi tersebut, maka hal tersebut tidak menghalangi ketsiqahan rawi tersebut pada selain bantahan tersebut.
Tingkatan ta’dil
Yang paling tinggi adalah yang menunjukkan puncaknya dalam ta’dil. Semacam:“manusia yang paling terpercaya” ( اوثق الناس ), “padanya terdapat puncak ketekunan” (إليه المنتهى ), (فيه الثبت )
Dengan kata-kata yang menguatkan ta’dilnya dengan satu sifat atau dua sifat. Semacam “tsiqah tsiqah” (ثقت ثقة ) atau “tsiqah tsabat” (ثقت ثبت ).
Yang paling rendah adalah kata-kata pujian yang dekat dengan jarh yg paling ringan. Semisal dikatakan “dia adalah orang yang sholeh” ( صالح ), “dia adalah dekat”(مقارب ), “diriwayatkan haditsnya” (يروى حديثه ) atau kata-kata semisal.
Di antara tiga tingkatan tersebut terdapat berbagai tingkatan  ta’dil yang sudah dikenal.
Persyaratan diterimanya ta’dil
Persyaratan diterimanya ta’dil ada empat, yaitu:
  1. Orangnya adil, sehingga tidak diterima ta’dil dari orang fasiq.
  2. Orangnya cermat, sehingga tidak diterima ta’dil dari orang yang tidak cermat karena dia bisa saja tertipu dengan kondisi orang tersebut.
  3. Hendaknya orang tersebut mengetahui sebab-sebab ta’dil. Maka tidak diterimata’dil dari orang yang tidak mengetahui sifat-sifat diterima atau ditolaknya suatu riwayat.
  4. Hendaknya ta’dil tersebut tidak berkenaan dengan orang yang terkenal dengan sifat-sifat yang mengharuskan riwayatnya ditolak karena dusta, nyata kefasiqannya atau yang selainnya.
KONTRADIKSI ANTARA JARH DAN TA’DIL
Definisinya
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan sesuatu yang mengharuskan untuk menolak riwayat darinya atau mengharuskan diterima riwayatnya. Contohnya perkataan sebagaian ulama, “dia tsiqah“, kemudian sebagian yang lain mengatakan, “dia dha’if“.
Keadaan kontradiksi antara jarh dan ta’dil
Keadaan kontradiksi antara jarh dan ta’dil ada empat
Keadaan Pertama
Antara jarh dan ta’dil sama-sama mubham (samar). Maksudnya tidak dijelaskan pada keduanya sebab-sebab jarh atau ta’dil.
Maka jika kita katakan tidak diterima jarh yang mubham (samar), berarti kita mengambilta’dilnya (meskipun mubham) karena hakikatnya tidak terdapat jarh yang menyelisihinya.
Sedangkan jika kita menerima jarh yang mubham (samar) dan itulah pendapat yang kuat, maka terjadi pertentangan (antara jarh dan ta’dil). Jika demikian keadaannya, maka yang kita ambil adalah yang paling mendekati kebenaran, baik dengan melihat sifat adil pemberijarh dan ta’dil, pengetahuan pemberi jarh dan ta’dil tentang keadaan rawi, atau dengan sebab-sebab jarh dan ta’dil atau dengan melihat jumlah yang terbanyak.
Keadaan Kedua
Antara jarh dan ta’dil sama-sama dijelaskan (tidak mubham/samar). Maksudnya, sebab-sebab jarh dan ta’dil dijelaskan. Jika demikian, maka kita mengambil jarh, karena orang yang mengatakan jarh tersebut mempunyai tambahan ilmu (tentang perawi keadaan tersebut). Kecuali jika ahli ta’dil mengatakan : ”Kami mengetahui sebab-sebab jarhnya telah hilang.” Maka pada saat seperti ini, kita mengambil ta’dil karena orang yang menta’dil mempunyai tambahan ilmu (tentang keadaan rawi) yang tidak dimiliki oleh orang yang menjarh.
Keadaan Ketiga
Jika disebutkan ta’dil secara mubham (samar) dan jarh dengan penjelasan, maka diambiljarhya. Karena pada orang yang menjarh terdapat tambahan ilmu (tentang keadaan rawi).
Keadaan Keempat
Jika jarhnya mubham (samar) dan ta’dilnya dengan penjelasan, maka diambil ta’dil dalam hal ini lebih kuat.
Footnote:
(1) Jujur dalam istilah Ibnu Hajar berarti haditsnya berkualitas hasan.
(2) Semacam haditsnya tentang larangan tentang membaca Al-Qur’an untuk orang haidh. Gurunya adalah orang Hijaz. Maka haditsnya adalah hadits yang dho’if.
(3) Misalnya jika ada ulama yang mengatakan, “rawi ini dha’if jika dia mengambil dari orang Hijaz.” Dan perkataan ini digunakan untuk membantah ulama lain yang mengatakan“dia tsiqah jika mengambil dari orang Hijaz.” Maka, inilah yang dimaksud jarhmembantah klaim tsiqah. Sehingga jarh tersebut belum berarti menunjukkan bahwa rawi tersebut tidak dha’if jika mengambil dari orang diluar Hijaz.
(4) Di antara 3 tingkatan tersebut masih ada tingkatan yang lain yang sudah maklum dan diketahui oleh orang-orang yg mengetahui ilmu ini. Misalnya, celaan Imam Bukhari yg keras adalah fihi nadzor (فيه نظر ) (perlu dilihat). Kalau sudah ada celaan ini dari Imam Bukhari maka haditsnya tidak diterima, tidak dapat dijadikan syawahid (hadits penguat), tidak dijadikan mutaba’ah. Karena setiap ulama dalam jarh ada yang secara terang-terangan dan ada yang tidak. Karena jarh pada hakekatnya ghibah dan ini hanya diperlukan dalam rangka membela din dan dalam keadaan terpaksa. Semacam yang dilakukan Imam Bukari. Celaan Imam Bukhari yang paling keras adalah “orang ini bermasalah”, yang artinya pada orang tersebut terdapat masalah yang besar. Sedang jika ulama lain mengatakan “padanya ada pembicaraan” justru menjadi celaan yang paling ringan.

thank you