Jumat, 15 April 2011

Waspadai terorisme, bom bunuh diri bukan jihad tapi sikap orang yang frustasi



Kaum muslimin –semoga Allah menjaga aqidah kita dari kesalahpahaman- sesungguhnya menunaikan jihad dalam pengertian dan penerapan yang benar termasuk ibadah yang mulia. Sebab Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk berjihad melawan musuh-musuh-Nya. Allah berfirman (yang artinya), 






“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, dan bersikaplah keras kepada mereka…”(QS. At-Taubah: 9). 


Karena jihad adalah ibadah, maka untuk melaksanakannya pun harus terpenuhi 2 syarat utama: (1) ikhlas dan (2) sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah fenomena pengeboman yang dilakukan oleh sebagian pemuda Islam di tempat maksiat yang dikunjungi oleh turis asing yang notabene orang-orang kafir. Benarkah tindakan bom bunuh diri di tempat semacam itu termasuk dalam kategori jihad dan orang yang mati karena aksi tersebut -baik pada saat hari-H maupun karena tertangkap aparat dan dijatuhi hukuman mati- boleh disebut orang yang mati syahid?

Bom Bunuh Diri Bukan Jihad

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim). 


Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal itu diberikan udzur dan pelakunya tidak berdosa berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),


“Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian sengaja akan tetapi (yang berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5). 


Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan (baca: pelanggaran syari’at). Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-Israa’: 33)

Membunuh Muslim Dengan Sengaja dan Tidak Sengaja

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: [1] nyawa dibalas nyawa (qishash), [2] seorang lelaki beristri yang berzina, [3] dan orang yang memisahkan agama dan meninggalkan jama’ah (murtad).” (HR. Bukhari Muslim)

Beliau juga bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Al-Mundziri, lihat Sahih At-Targhib wa At-Tarhib).


Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar.

Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),


“Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92)


 Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan jihad.

Membunuh Orang Kafir Tanpa Hak

Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari).

Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak sengaja maka Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan dia adalah orang yang beriman maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang beriman, adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang memiliki ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad) maka dia harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut supaya taubatnya diterima oleh Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 92)

Bolehkah Mengatakan Si Fulan Syahid?

Di dalam kitab Sahihnya yang merupakan kitab paling sahih sesudah Al-Qur’an, Bukhari rahimahullah menulis bab berjudul “Bab. Tidak boleh mengatakan si fulan Syahid” berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Allah yang lebih mengetahui siapakah orang yang benar-benar berjihad di jalan-Nya, dan Allah yang lebih mengetahui siapakah orang yang terluka di jalan-Nya.” (Sahih Bukhari, cet. Dar Ibnu Hazm, hal. 520)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan (Fath Al-Bari, jilid 6 hal. 90. cet. Dar Al-Ma’rifah Beirut. Asy-Syamilah), “Perkataan beliau ‘Tidak boleh mengatakan si fulan syahid’, maksudnya tidak boleh memastikan perkara itu kecuali didasari dengan wahyu…”
Al-’Aini rahimahullah juga mengatakan, “Maksudnya tidak boleh memastikan hal itu (si fulan syahid, pent) kecuali ada dalil wahyu yang menegaskannya.” (Umdat Al-Qari, jilid 14 hal. 180. Asy-Syamilah)

Nah, sebenarnya perkara ini sudah jelas. Yaitu apabila ada seorang mujahid yang berjihad dengan jihad yang syar’i kemudian dia mati dalam peperangan maka tidak boleh dipastikan bahwa dia mati syahid, kecuali terhadap orang-orang tertentu yang secara tegas disebutkan oleh dalil!
Maka keterangan Bukhari, Ibnu Hajar, dan Al-’Aini -rahimahumullah- di atas dapat kita bandingkan dengan komentar Abu Bakar Ba’asyir -semoga Allah menunjukinya- terhadap para pelaku bom Bali, “… Amrozi dan kawan-kawan ini memperjuangkan keyakinan di jalan Allah karena itu saya yakin dia termasuk mati sahid,” tegasnya dalam orasi di Pondok Pesantren Al Islam, Sabtu (8/11/2008).” (sebagaimana dikutip Okezone.com.news)

Kalau orang yang benar-benar berjihad dengan jihad yang syar’i saja tidak boleh dipastikan sebagai syahid -selama tidak ada dalil khusus yang menegaskannya- lalu bagaimanakah lagi terhadap orang yang melakukan tindak perusakan di muka bumi tanpa hak dengan mengatasnamakan jihad -semoga Allah mengampuni dosa mereka yang sudah meninggal dan menyadarkan pendukungnya yang masih hidup-… Ambillah pelajaran, wahai saudaraku…

Sebagai penutup, kami mengingatkan kepada para pemuda untuk bertakwa kepada Allah dan menjauhkan diri mereka dari tindakan-tindakan yang akan menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka takutlah kalian terhadap neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. Al-Baqarah: 24). Sadarlah wahai saudara-saudaraku dari kelalaian kalian, janganlah kalian menjadi tunggangan syaitan untuk menebarkan kerusakan di atas muka bumi ini. Kami berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar memahamkan kaum muslimin tentang agama mereka, dan menjaga mereka dari fitnah menyesatkan yang tampak ataupun yang tersembunyi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya Muhammad, para pengikutnya, dan segenap para sahabatnya.

Diringkas oleh Ari Wahyudi dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbadhafizhahullah dalam kitab beliau Bi ayyi ‘aqlin wa diinin yakuunu tafjir wa tadmir jihaadan?! Waihakum, … Afiiquu yaa syabaab!! (artinya: Menurut akal dan agama siapa; tindakan pengeboman dan penghancuran dinilai sebagai jihad?! Sungguh celaka kalian… Sadarlah hai para pemuda!!) Islamspirit.com. Dengan tambahan keterangan dari sumber lain.
***
Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Tanda-tanda Kecanduan Facebook

Tanda-tanda Kecanduan Facebook

Ada tanda-tanda yang bisa jadi ukuran bahwa hidup anda mulai di kendalikan (kecanduan) Facebook. Berikut adalah tanda-tandanya:

1. Facebook telah menjadi homepage internet di PC atau laptop anda.

2. Anda mengubah status anda di FB lebih dari dua kali sehari dan rajin mengomentari perubahan status orang lain.

3. Daftar teman anda sudah melebihi angka 500 orang dan setengahnya hampir tidak dikenal.

4. Apabila sedang jauh dari komputer, anda sign in Facebook melalui BlackBerry, iPhone, atau ponsel pintar lainnya.

5. Rajin membaca profil teman lebih dari dua kali sehari, meski dia tidak mengirimkan pesan atau menautkan anda di fotonya.

6. Anda merubah foto profil lebih dari 12 kali.

7. Anda membaca buku (tulisan) ini sambil berfacebook.

8. Anda membersihkan wall (dinding) agar terlihat seolah sudah lama tidak sign in.

9. Anda menjadi anggota lebih dari 10 group dan merespon setiap undangan, meski sebenarnya anda tidak berminat.

10. Anda mengubah status hubungan hanya untuk meningkatkan popularitas di Facebook.

Nah, bagaimana dengan anda? Apakah salah satu atau beberapa tanda di atas ada pada anda? Jika iya, itu artinya anda telah "Kecanduan Facebook".

~ Disalin dari buku "Bahaya Facebook - Bagaimana Berfacebook Dengan Aman, Sehat, dan Islami" oleh Andi Wicaksono, hal. 32 Penerbit: Aqwam ~
http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/04/15/tanda-tanda-kecanduan-facebook/

Suara Hati Untuk Para Penuntut Ilmu Syar’i

Oleh : Abu Muslim Majdi bin Abdul Wahhab al-Ahmad

Inilah nasehat dari hati ke hati, dari hati yang penuh dengan kesedihan dikarenakan fenomena permusuhan, perdebatan, celaan dan pengasingan yang terjadi diantara para penuntut ilmu
Dari hati yang penuh dengan kepedihan dikarenakan perpecahan, perselisihan dan persengketaan
Dari hati yang merasa sakit dikarenakan banyaknya orang yang ragu dan bingung dalam mencari kebenaran beserta para penegaknya
Kepada hati yang memahami kata-kata ini
Kepada hati yang senantiasa berbaik sangka
Kepada hati yang merasa sakit terhadap fenomena yang menimpa para penuntut ilmu
Ini semua, bertujuan agar kita bisa mempersatukan barisan dan kata, sesuai dengan bimbingan Kitab Rabb kita Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi kita Shallallahu’alaihi wa sallam serta metode para pendahulu kita – semoga keridhoan Allah atas mereka –

Tentang Niat
Ali bin Fudhail berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, betapa manisnya perkataan para sahabat Muhammad Shallallahu’ alaihi wa sallam
Ayahnya berkata: “Wahai anakku! Apakah kamu mengetahui, apa yang menyebabkan perkataan mereka menjadi manis?!”
Ali menjawab: “Tidak, wahai ayahku”
Ayahnya berkata: “Karena dengan perkataan tersebut mereka hanya menginginkan Allah Azza wa Jalla semata.

Abdullah bin Muhammad bin Munazil bercerita bahwa Hamdun bin ahmad pernah ditanya: “Kenapa perkataan para salaf (penadulu umat) lebih bermanfaat dari pada perkataan kita?”
Hamdun menjawab: “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, keselamatan jiwa-jiwa dan keridhoan Ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara demi kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan ketenaran dihadapan manusia.”

Tentang Nasehat Dan Menasehati
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Agama itu nasehat”
Kami bertanya: “Untuk siapa?”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menjawab: “Untuk Allah, Kitab-kitab-Nya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin secara umum“

Dari Ali bin Hasan bin Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary -semoga Allah menjaga dan meluruskan langkahnya- Beliau mengatakan kepada Abu Muslim Majdi bin Abdul Wahhab al-Ahmad: “Wahai saudaraku, jika kamu melihat kesalahan padaku, maka wajib bagimu untuk menegur kesalahan tersebut. Jika benar hal itu salah, pasti saya akan bertaubat. Jika saya nilai teguranmu salah, niscaya saya akan menjelaskan yang benar.
Kemudian wahai saudaraku, janganlah kamu sembunyikan apa yang kamu lihat didalam hatimu, padahal hal itu kamu nilai sebagai suatu kesalahan, saya adalah seorang manusia yang bisa salah dan akan salah serta bersalah, jika kamu tinggalkan teguran niscaya akan bertumpuk kesalahan-kesalahan tersebut sampai menjadi suatu kebencian antara saya dengan kamu, dan inilah perkara yang saya tidak menyukainya dan tidak menginginkannya.”

Tentang Menetapi Kejujuran
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam  bersabda: “Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan kejujuran, karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kebaikan dan kebaikan itu akan membawa kepada surga, dan seorang yang senantiasa jujur dan menetapi kejujuran niscaya akan dicatat disisi Allah sebagai seorang yang amat jujur. Dan berhati-hatilah kalian dari berdusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu akan akan membawa kepada neraka, dan seorang yang senantiasa berdusta dan berpegang teguh dengan kedustaan niscaya akan dicatat disisi Allah sebagai pendusta”

Allah Azza wa Jalla berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang  melampaui batas lagi pendusta.” (Qs. Al-Mukmin:28)

Allah Azza wa Jalla berfirman : “Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.” (Qs. Thoha:61)

Allah Azza wa Jalla berfirman : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Qs. Al-Isra’:36)

Tentang Hasad dan Para Pelakunya
Sangat disayangkan ada diantara para penuntut ilmu syar’i memiliki sifat hasad. Dan sangat disayangkan lagi, orang tersebut ketika dia berusaha meghilangkan nikmat dari orang yang dihasadi, dia menjadikan kehasadannya itu berkedok agama untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Ajjawajjalla, dengan tujuan agar nampak dihadapan masyarakat, bahwa tujuannya adalah demi Islam dan kaum Muslimin, demi menjaga dan melindungi keduanya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam  bersabda: “Berhati-hatilah kalian dari berperasangka, karena sesungguhnya prasangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah kalian saling berbuat Najasy. Janganlah kalian berlaku hasad dan saling membenci serta mengunggulkan diri. Akan tetapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (diriwayatkan oleh al-Bukhari)

Tentang Fitnah
Betapa banyak orang yang tenggelam di dalam fitnah, bahkan betapa banyak para pemicu fitnah!!!

Allah Azza wa Jalla  berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al-Anfaal:25)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam: “Ya Allah sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari kembali kepada kekufuran (murtad) atau terfitnah dalam urusan agama kami.” (HR. Al-Bukhari no. 6593 dan Muslim no.2293)

Tentang Sebab Kehinaan

Oleh: Syaikh Abu Usamah Salim bin’Id al-Hilali

Sesungguhnya kembali pada ajaran agama yang sebenarnya adalah jalan untuk mengangkat kehinaan, karena berpaling dari agama adalah penyebab utama kehinaan dan kekalahan.
Apabila kaum muslimin mengalami kekalahan dan mereka ditimpa kehinaan serta terjerumus ke dalam fitnah (malapetaka), maka hendaklah mereka mengoreksi diri mereka sendiri. Sudahkah kita mengoreksi diri kita sendiri???

Allah Azza wa Jalla berfirman : “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan ini)?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Ali Imran:165)

Ini adalah sunnatullah, dimana Allah tidak akan mencabut kenikmatan yang telah dianugerahkannya kepada suatu kaum sehingga mereka berpaling dan merubah apa yang telah Allah anugerahkan kepada mereka berupa keimanan, petunjuk dan kebaikan.

Allah Azza wa Jalla berfirman : “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfal:53)

Demikian pula Allah tidak akan mencabut kehinaan yang menimpa suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.

Allah Azza wa Jalla berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Qs. Ar-Ra’d:40)

Ini adalah Sunnatullah yang benar dan pasti terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat menolaknya. Sungguh seseorang yang tidak bisa merubah dirinya sendiri pasti dia tidak akan bisa merubah kaumnya. Maka dari itu perubahan harus dimulai dari diri sendiri, dan hal itu tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan pendidikan keimanan yang sesungguhnya dan berpegang teguh dengan benar serta kembali dengan jujur kepada agama Allah, sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat Lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Hajj:40)

Fotenote: 1. Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 20 Th.IV Jumadil Awwal 1427 H
                  2. Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 22 Th.IV Sya’ban 1427 H

Jika Kita Mengaku Salafi, Sudahkah Kita Memiliki Sifat-Sifat Salaf Berikut Ini…? (Bag. I)

Salafusshalih (orang-orang terdahulu dari kalangan umat Islam yang shalih) memiliki segudang akhlak mulia yang “barangkali” sudah sangat jarang ditemui di masa sekarang ini. Maka, dalam risalah ini, saya coba susun beberapa akhlak mulia mereka agar bisa menjadi perenungan bagi kita semua. Sudahkah kita memiliki akhlak mereka?
I. Salaf tidak Mencari-Cari Keburukan Muslim yang lain…
Seorang salaf, yang bernama Sahal ibn ‘Abdillah berkata, “Jangan suka mencari-cari kekurangan orang lain dankeburukan akhlaknya. Akan tetapi, cari dan telitilah bagaimana kondisi Anda di dalam akhlak Islam, sehingga Anda selamat dan bisa menghormati kedudukannya di dalam diri Anda dan di sisi Anda” [ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, IV/279 ].
II. Salaf Senantiasa Berwajah Ceria terhadap Orang Lain
Urwah bin Zubair, murid shahabat Nabi, berkata, “Tertulis di dalam hikmah, “Ucapkanlah kata-kata yang baik dan tampilkanlah wajah yang cerah. Niscaya Anda lebih dicintai orang daripada mereka yang memberikan banyak hadiah.” [ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, II/178 ]

II. Salaf, Marah Besar Bila Melihat Islam Dilecehkan
Abu Salamah ibn Abdurrahman ibn Auf berkata, “Di antara shahabat-shahabat Nabi صلى الله عليه و سلم, ada seseorang yang apabila melihat AGAMANYA HENDAK DILECEHKAN, bola matanya langsung terlihat berputar-putar di wajahnya seperti orang gila (karena sangat marangnya-ed)” [ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, IX/194 ]
III. Salaf Gembira Apabla Kebenaran Justru Muncul dari Lawan Debatnya
Hatim Al-Aslam berkata, “Aku mempunyai tiga pekerti yang membuatku bisa mengalahkan lawan bicaraku.” Apa itu?, tanya mereka. Ia menjawab, (1) Aku gembira jika lawan bicaraku benar. (2) Aku sedih jika ia salah. (3) Dan aku selalu menjaga diriku agar tidak membodohinya.”
Notes: Ketika hal ini didengar Imam Ahmad ibn Hambal, ia berkata, Subhanallah, betapa cedasnya ia.” [ lihat: حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, VII/82 ]
IV. Salaf Adalah Manusia yang Paling Sayang Kepada Ahli Maksiat, dengan Tidak Membiarkannya Terus dalam Kemaksiatannya.
Salaf bernama Mughirah berkata, “Ada seorang pria baik, tetapi kemudian melakukan perbuatan dosa. Hal ini kemudian diketahui Ibrahim An-Nakha’i, salah seorang ulama besar salafi. Lalu, Ibrahim berkata, “BANTULAH DIA, DAN NASIHATILAH DIA! JANGAN MENINGGALKANNYA”
[ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, IV/233 ]

V. Salaf memberi Nasehat bahwa JURUS TERAKHIR SETAN ADALAH WANITA
Tabi’in senior Sa’id bin Musayyib berkata, “Setiap kali setan merasa frustasi terhadap sesuatu (menggoda manusia-ed), IA PASTI MENDATANGI KORBANNYA MELALUI WANITA.
[ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, II/166 ]

VI. Salaf Mendoakan Kebaikan terhadap ORANG YANG MENDZALIMINYA
Al-’Alaa bin Musayyib berkata, “Ar-Rabi’ bin Khutsaim pernah Menjadi korban pencurian kuda, lalu warga pengajiannya berkata, “KUTUKLAH DIA” Ia menjawab, “JUSTRU AKU BERDOA UNTUKNYA: “YA الله JIKA DIA KAYA, TERIMALAH DENGAN HATINYA. JIKA DIA FAKIR, BERILAH DIA KECUKUPAN.”

VII. Salaf Membenci Popularitas dan Tidak Suka Terkenal di Mata Manusia
Bisyr ibn Harits berkata, “Aku tidak mengetahui orang yang ingin terkenal, melainkan agamanya hilang DAN AIBNYA TERBONGKAR, ia juga berkata, “Tiadk akan menemukan manisnya akhirat bagi orang yang INGIN DIKENAL ORANG BANYAK.
[ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, VIII/343 ]


 Al-’Ashri, 23/07/1430H, pukul 21:44
Saudaramu, Abu Muhammad Al-’Ashri
عفا الله عنه (Mudah-mudahan الله memaafkannya)

4 Kondisi Manusia: Antara Al-Qur’an dan Nyanyian*


Barangsiapa menyamakan bacaan Al-Qur’an dan nyanyian, cukuplah Allah yang membalas dan menghisabnya. Pada hari kiamat nanti, akan diketahui apakah nyanyian yang mereka senandungkan itu itu akan memberatkan atau meringankan timbangan. Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi empat kelompok:
  1. Orang yang menyibukkan diri dengan bacaan Al-Qur’an dan berpaling dari nyanyian.
  2. Kebalikan point pertama, yaitu orang yang menyibukkan diri dengan nyanyian dan melalaikan bacaaan Al-Qur’an.
  3. Orang yang menyibukkan diri dengan keduanya. Di samping gemar membaca Al-Qur’an, ia juga gemar menyenandungkan nyanyian.
  4. Orang yang tidak menyibukkan diri dengan bacaan Al-Qur’an dan nyanyian.
Penjelasan:
1. Kondisi pertama
  • Kondisi pertama merupakan kebiasaan generasi awal umat Islam, dan kebiasaan setiap orang yang mengikuti dan menempuh jalur mereka.
2. Kondisi kedua
  • Kondisi kedua merupakan keadaan kaum musyrikin, munafikin, orang-orang fajir, fasik, ahli batil, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.
3. Kondisi ketiga
  • Kondisi ketiga merupakan keadaan kaum mukminin yang dalam dirinya terkumpul dua unsur sekaligus, yaitu unsur Al-Qur’an dan unsur setan. Maka, keadaan orang ini ditentukan oleh kecondongannya kepada salah satu dari keduanya.
3. Kondisi keempat
  • Kondisi keempat adalah keadaan orang yang hampa dari unsur Al-Qur’an maupun dari unsur setan. Orang ini, tidak menghiraukan keduanya. Ia tidak suka membaca Al-Qur’an, tidak pula suka mendengarkan nyanyian.
‘ala kulli  haal, barangsiapa membolehkan nyanyian setan, berdalil dengan atsar-atsar yang berisi pujian terhadap suara merdu ketika membaca Al-Qur’an, dan digunakan untuk hal yang disukai Allah, sesungguhnya ia adalah orang yang dangkal ilmu dan pengetahuannya.
—-artikel mengenai musik dan nyanyian masih akan dilanjutkan—-

Suami Memanggil ISTRI dengan panggilan UMMI

Q Umaymah Farras
Bismillaah… walhamdulillah… was sholaatu was salaamu alaa rosuulillaah… wa alaa aalihii wa shohbihii wa maw waalaah…
Berikut ini adalah, fatwa Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tentang masalah di atas, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis  dan pembacanya:
السؤال: هل يجوز للرجل أن يقول لزوجته يا أختي بقصد المحبة فقط , أو يا أمي بقصد المحبة فقط
فأجاب: نعم , يجوز له أن يقول لها يا أختي, أو يا أمي, وما أشبه ذلك من الكلمات التي توجب المودة والمحبة, وإن كان بعض أهل العلم كره أن يخاطب الرجل زوجته بمثل هذه العبارات, ولكن لا وجه للكراهة, وذلك لأن الأعمال بالنيات, وهذا الرجل لم ينو بهذه الكلمات أنها أخته بالتحريم والمحرمية, وإنما أراد أن يتودد إليها ويتحبب إليها, وكل شيء يكون سبباً للمودة بين الزوجين, سواء كان من الزوج أو الزوجة فإنه أمر مطلوب
Pertanyaan: Bolehkan suami memanggil isterinya “Ya Ukhti” (wahai saudariku) atau “Ya Ummi” (wahai ibuku) karena dorongan kecintaan saja?.
Beliau menjawab: Ya, dibolehkan bagi suami untuk memanggil isterinya dg panggilan “Ya Ukhti”, atau “Ya Ummi“, atau panggilan-panggilan lain yg dapat mendatangkan rasa sayang dan cinta.
Walaupun sebagian ulama me-makruh-kan bila seorang suami memanggil istrinya dg panggilan-panggilan yg seperti ini, namun hukum makruh ini tidaklah tepat, karena setiap amalan itu tergantung niatnya, dan orang ini tidaklah meniatkan dg panggilan-panggilan itu, bahwa istrinya adalah saudarinya yg diharamkan ataumahrom-nya. Tidak lain ia hanya bermaksud menampakkan rasa sayang dan cintanya, dan setiap sesuatu yg menjadikan/mendatangkan rasa sayang antara dua mempelai, baik dilakukan oleh suami atau istri, maka hal itu adalah sesuatu yg dianjurkan. (Sumber: Fatawa Nurun Alad Darb hal: 19)
Dalam kitabnya Syarhul Mumti’, beliau juga mengatakan:
فإذا قال: يا أمي تعالي، أصلحي الغداء فليس بظهار، لكن ذكر الفقهاء -رحمهم الله- أنه يكره للرجل أن ينادي زوجته باسم محارمه، فلا يقول: يا أختي، يا أمي، يا بنتي، وما أشبه ذلك، وقولهم ليس بصواب؛ لأن المعنى معلوم أنه أراد الكرامة، فهذا ليس فيه شيء، بل هذا من العبارات التي توجب المودة والمحبة والألفة.
Jika seorang suami mengatakan kepada isterinya: “ya Ummi! Kemarilah, siapkan makan siang”, ini bukanlah “zhihar“.
Namun para ahli fikih -rohimahumulloh- menyebutkan bahwa: di-makruh-kan bagi seorang suami memanggil isterinya dg sebutan mahrom-mahromnya, sehingga tidak boleh baginya memanggil istrinya: “ya Ukhti”, “ya ummi“, “ya binti”, dan yg semisalnya. Perkataan mereka ini tidaklah benar, karena makna dari panggilan itu sudah maklum, bahwa si suami bermaksud memuliakan istrinya, maka ini tidaklah mengapa, bahkan panggilan-panggilan seperti ini dapat mendatangkan rasa sayang, cinta, dan keakaraban. (Sumber: Syarhul Mumti’ 13/236)
Sekian, wa subhanakalloohumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaiik…

Pesan dari… Maqomatul Hariri




Bismillah… walhamdulillah… was sholatu wassalamu ala rosulillah… wa ala alihi wa man tabi’a hudah…
Berikut ini adalah syair dari seorang pujangga terkemuka… Abu Muhammad Alqosim bin Ali al-Hariri namanya… Penulis kitab Al-Maqomat yg sangat tinggi keindahan bahasanya… Sehingga Nabi Gadungan Mirza Ghulam Ahmad sering mencomot kata-katanya…
Tahun 446 adalah tahun kelahirannya… dan tahun 517 H beliau meninggalkan dunia… banyak sekali hikmah yg terkandung di dalam syairnya… berikut adalah sebagian untaian hikmahnya…

أيا مَن يدّعي الفَـهْـمْ *** إلى كمْ يا أخا الوَهْـمْ
تُعبّي الـذّنْـبَ والـذمّ *** وتُخْطي الخَطأ الجَـمّ
Wahai orang yg mengaku memiliki pemahaman
wahai orang (yg secara tabiat) bersaudara dg kesalahan
Sampai kapan engkau terus melakukan dosa & tercelanya perbuatan!
Sampai kapan kau terus melakukan banyak kesalahan!
أمَا بانَ لـكَ الـعـيْبْ *** أمَا أنْـذرَكَ الـشّـيبْ
وما في نُصحِـهِ ريْبْ *** ولا سمْعُكَ قـدْ صـمّ
Bukankah sudah jelas keburukan yg ada padamu?!
Bukankah ubanmu telah memperingatkanmu?!
Tidaklah ada keraguan dalam nasihat & peringatannya itu
dan tidak pula tuli telingamu
أمَا نادَى بكَ الـمـوتْ *** أمَا أسْمَعَك الصّـوْتْ
أما تخشَى من الفَـوْتْ *** فتَحْـتـاطَ وتـهـتـمْ
Bukankah kematian telah memanggilmu?!
Bukankah suara (tangisan terhadap mayit) telah banyak menyerumu?!
Tidakkah kau takut akan hilangnya kesempatan?!
Sehingga membuatmu lebih hati-hati dan menaruh perhatian
فكمْ تسدَرُ في السهْـوْ *** وتختالُ من الـزهْـوْ
وتنْصَبُّ إلى الـلّـهـوْ *** كأنّ الموتَ مـا عَـمّ
Sudah berapa kali engkau acuh dalam kelalain…?!
Sombong karena baiknya keadaan…?!
Tenggelam dalam perkara yg melalaikan…?!
Seakan kematian tidak untuk semua insan
وحَـتّـام تَـجـافـيكْ *** وإبْـطـاءُ تـلافـيكْ
طِباعاً جمْعـتْ فـيكْ *** عُيوباً شمْلُها انْـضَـمّ
Sampai kapan engkau jauh dari amal kebaikan…?!
Sampai kapan engkau terus dalam penundaan…?!
Tabiat-tabiat buruk telah mengumpulkan untukmu…
Aib-aib yg terus menumpuk dan menyatu
إذا أسخَطْـتَ مـوْلاكْ *** فَما تقْلَـقُ مـنْ ذاكْ
وإنْ أخفَقَ مسـعـاكْ *** تلظّيتَ مـنَ الـهـمّ
Bila engkau membuat murka Bagindamu… engkau tidak gelisah dengan hal itu
Tapi bila gagal usaha duniamu… engkau menjadi tersiksa dg kegundahanmu
وإنْ لاحَ لكَ النّـقـشْ *** منَ الأصفَرِ تهـتَـشّ
وإن مرّ بك النّـعـشْ *** تغامَـمْـتَ ولا غـمّ
Bila tampak ukiran dinar dg warna kuningnya
Engkau menari tanda bahagia
Tapi jika lewat peti mayat di depan mata
kau tampak sedih, padahal sebenarnya kesedihan itu tiada
تُعاصي النّاصِحَ البَـرّ *** وتعْـتـاصُ وتَـزْوَرّ
وتنْقـادُ لـمَـنْ غَـرّ *** ومنْ مانَ ومـنْ نَـمّ
Terus-menerus tidak engkau patuhi setiap orang baik yg menasehatimu
Bahkan engkau benci dan lari dari nasehat itu
Sebaliknya engkau mengikuti orang yg menipu dan membohongimu
Serta menyebar namimah yg merugikanmu
وتسعى في هَوى النّفسْ *** وتحْتالُ على الفَـلْـسْ
وتنسَى ظُلمةَ الرّمـسْ *** ولا تَـذكُـرُ مـا ثَـمّ
Engkau terus berjalan dalam godaan hawa nafsu…!
Terus memburu fulus dg berbagai tipu…!
Terus melalaikan gelapnya liang lahat…!
apa yg ada di sana, tidaklah kau ingat…
ولوْ لاحظَـكَ الـحـظّ *** لما طاحَ بكَ اللّـحْـظْ
ولا كُنتَ إذا الـوَعـظْ *** جَلا الأحزانَ تغْـتَـمّ
Kalau saja engkau mendapatkan bagian taufiqNya
Niscaya engkau takkan melirik dunia
Dan tidak akan tampak kesedihan dan kegelisahan
Saat engkau mendapatkan pesan kebaikan
ستُذْري الدّمَ لا الدّمْـعْ *** إذا عايَنْتَ لا جـمْـعْ
يَقي في عَرصَةِ الجمعْ *** ولا خـالَ ولا عــمّ
Di padang makhsyar nanti
Engkau akan menangis darah dan bukan air mata lagi!
Saat kau lihat tidak ada keluarga yg melindungimu
Tidak pula saudara bapak maupun ibumu
كأني بـكَ تـنـحـطّ *** إلى اللحْدِ وتـنْـغـطّ
وقد أسلمَك الـرّهـطْ *** إلى أضيَقَ مـنْ سـمّ
Seakan aku melihat engkau tenggelam
Masuk ke liang lahat dan tertutup dalam
Sekelompok orang telah melepaskanmu terpencil
Ke tempat yg lebih sempit dari lubang yg kecil
هُناك الجسمُ مـمـدودْ *** ليستـأكِـلَـهُ الـدّودْ
إلى أن ينخَرَ الـعـودْ *** ويُمسي العظمُ قـد رمّ
Di sanalah jasad tergeletak lemah
Untuk kemudian dimakan cacing tanah
Hingga rapuh batang tubuhnya
Dan tulang belulang pun rusak pada akhirnya
ومنْ بـعْـدُ فـلا بُـدّ *** منَ العرْضِ إذا اعتُـدّ
صِراطٌ جَـسْـرُهُ مُـدّ *** على النارِ لـمَـنْ أمّ
Dan selanjutnya
Ia harus mempertanggung-jawabkan amalannya
Bila telah disiapkan siroth yg jembatannya
dibentangkan di atas neraka bagi mereka yg menujunya
فكمْ من مُرشـدٍ ضـلّ *** ومـنْ ذي عِـزةٍ ذَلّ
وكم مـن عـالِـمٍ زلّ *** وقال الخطْبُ قد طـمّ
Betapa banyak orang dulunya juru dakwah, menjadi sesat jalan
Banyak pula orang yg dulunya berpangkat, menjadi hina kedudukan
Betapa banyak orang alim yg dulunya alim, ternyata disandung kesalahan
Ia mengatakan: sekarang, telah menjadi besar semua permasalahan
فبادِرْ أيّها الـغُـمْـرْ *** لِما يحْلو بـهِ الـمُـرّ
فقد كادَ يهي العُـمـرْ *** وما أقلعْـتَ عـن ذمّ
Maka cepatlah wahai orang yg belum tahu,
Untuk melakukan kebaikan yg dapat memaniskan pahitnya sesuatu,
Karena hampir saja lemah usiamu,
Sedang engkau belum juga meninggalkan amalan tercelamu
ولا ترْكَنْ إلى الدهـرْ *** وإنْ لانَ وإن ســرّ
فتُلْفى كمـنْ اغـتَـرّ *** بأفعى تنفُـثُ الـسـمّ
Janganlah engkau terus bersandar kepada masa
Meski hidupmu menyenangkan dan berada
Hingga engkau seperti orang yg terperdaya
Oleh ular yg bisa menyemburkan bisanya (dg tiba-tiba)
وخفّضْ منْ تـراقـيكْ *** فإنّ المـوتَ لاقِـيكْ
وسارٍ فـي تـراقـيكْ *** وما ينـكُـلُ إنْ هـمّ
Janganlah angkuh dan turunkan pundakmu
Karena kematian pasti akan menjumpaimu dan menjalari pundakmu
Dan ia takkan melemah
Jika telah menentukan arah
وجانِبْ صعَرَ الـخـدّ *** إذا ساعـدَكَ الـجـدّ
وزُمّ اللـفْـظَ إنْ نـدّ *** فَما أسـعَـدَ مَـنْ زمّ
Jauhilah sikap memalingkan wajahmu
Bila engkau terbantukan oleh kebaikan nasibmu
Dan jagalah ucapan, agar tidak kelepasan
Sungguh suatu kebahagiaan, untuk orang yg bisa menjaga lisan
ونفِّسْ عن أخي البـثّ *** وصـدّقْـهُ إذا نــثّ
ورُمّ العـمَـلَ الـرثّ *** فقد أفـلـحَ مَـنْ رمّ
Bantulah saudaramu yg sedang kesusahan
Dan percayalah kepadanya saat ia mengadukan
Sempurnakanlah kurangnya amalan
Sungguh beruntung orang menyempurnakan amalan
ورِشْ مَن ريشُهُ انحصّ *** بما عمّ ومـا خـصّ
ولا تأسَ على النّقـصْ *** ولا تحرِصْ على اللَّمّ
Sandangilah mereka yg kekurangan hidupnya
Baik dg sesuatu yg banyak maupun yg sekedarnya
Jangan sedih dg kurangnya harta (karena sedekah dan amal kebaikan)
Jangan pula berambisi mengumpulkan dunia (hingga menghalangimu bersedekah kepada yg membutuhkan)
وعادِ الخُلُـقَ الـرّذْلْ *** وعوّدْ كفّـكَ الـبـذْلْ
ولا تستمِـعِ الـعـذلْ *** ونزّهْها عنِ الـضـمّ
Jadilah engkau musuh akhlak tercela
Biasakan tanganmu untuk memberi harta
Jangan dengarkan celaan
Dan jauhkan tanganmu dari belenggu kebakhilan
وزوّدْ نفسَكَ الـخـيرْ *** ودعْ ما يُعقِبُ الضّـيرْ
وهيّئ مركبَ الـسّـيرْ *** وخَفْ منْ لُـجّةِ الـيمّ
Bekalilah dirimu dg kebaikan
Tinggalkan apapun yg menyebabkan keburukan
Siapkan tunggangan bahtera untuk perjalanan
Dan takutlah dg banyaknya ombak di lautan
بِذا أُوصـيتُ يا صـاحْ *** وقد بُحتُ كمَـن بـاحْ
فطوبى لـفـتًـى راحْ *** بآدابـــيَ يأتَـــمّ
Wahai saudaraku, dg ini aku mewasiatkan
Telah ku jelaskan (kebaikan) padamu, sebagaimana orang lain melakukan
Maka beruntunglah pemuda yg pergi
Dg adab-adabku ini dan menerapkannya dalam diri
(Sumber: Kitab Syarah Maqomat Hariri, jilid 2, hal 16)

thank you