Kamis, 19 Agustus 2010

Tidur Seperti Apa yang Membatalkan Wudhu?


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kelanjutan tentang pembatal wudhu, kami rinci dalam postingan kali ini, yaitu mengenai masalah tidur. Apakah tidur membatalkan wudhu ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama ada silang pendapat. Beda pendapat ini terjadi dikarenakan perbedaan dalam menilai hadits.
Hadits yang membicarakan tentang masalah tidur membatalkan wudhu terlihat (secara zhohir) saling bertentangan. Sebagian hadits menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu. Sebagian lagi menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Sehingga dari sini para ulama menempuh dua jalan. Ada yang melakukan jama' (menggabungkan dalil) dan ada yang melakukan tarjih (memilih manakah dalil yang lebih kuat).
Para ulama yang melakukan tarjih, boleh jadi ada yang memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats dan boleh jadi pula ada yang memiliki pendapat bahwa tidur termasuk hadats sehingga mengharuskan untuk wudhu. Sedangkan ulama yang menempuh jalan jama', mereka memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats, namun hanya mazhonnatu lil hadats(kemungkinan terjadi hadats). Mereka pun nantinya berselisih, bagaimanakah bentuk tidur yang bisa membatalkan wudhu.
Intinya, dalam masalah ini ada delapan pendapat. Berikut di antara pendapat tersebut dan akan kami sebutkan beberapa dalil yang digunakan. [1]
Pendapat pertama: Tidur sama sekali bukan termasuk pembatal wudhu.
Inilah yang menjadi pendapat beberapa sahabat semacam Ibnu 'Umar dan Abu Musa Al Asy'ari. Pendapat ini juga menjadi pendapat Sa'id bin Jubair, Makhul, 'Ubaidah As Salmaniy, Al Awza'i dan selain mereka. Di antara dalil mereka adalah hadits dari Anas bin Malik,
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ.
“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.”[2]
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.
Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.[3]
Pendapat kedua: Tidur termasuk pembatal wudhu, baik tidur sesaat maupun tidur yang lama. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hurairah, Abu Rofi', 'Urwah bin Az Zubair, 'Atho', Al Hasan AL Bashri, Ibnul Musayyib, Az Zuhri, Al Muzanni, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Al Albani -rahimahullah-.
Dalil dari pendapat ini adalah sebagaimana buang air besar dan kencing menyebabkan batalnya wudhu ketika memakai khuf, begitu pula tidur. Perhatikan hadits berikut dari Shofwan bin 'Assal tentang mengusap khuf.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَنْ نَمْسَحَ عَلَى خِفَافِنَا وَلَا نَنْزِعَهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami, jika kami bersafar, maka cukup kami mengusap sepatu kami, tanpa perlu melepasnya selama tiga hari. Tidak perlu melepasnya ketika wudhu batal karena buang air besar, kencing atau tertidur kecuali jika dalam keadaan junub.[4]
Dalam hadits ini disebutkan tidur secara umum tanpa dikatakan tidur yang sesaat atau yang lama. Dan ditambah lagi bahwa tidur ini disamakan dengan kencing dan buang air besar yang merupakan pembatal wudhu.
Pendapat ketiga: Tidur yang lama yang membatalkan wudhu dalam keadaan tidur mana saja. Sedangkan tidur yang cuma sesaat tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ini dipilih olehh Imam Malik dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini memaknai hadits Anas yang disebutkan dalam pendapat pertama sebagai tidur yang sedikit (sesaat). Mereka memiliki argumen dengan perkataan Abu Hurairah,
مَنِ اسْتَحَقَّ النَّوْمَ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ.
Barangsiapa yang tertidur, maka wajib baginya untuk berwudhu.[5] Namun perkataan ini hanya sampai derajat mauquf (sekedar perkataan sahabat).
Pendapat keempat: Tidak membatalkan wudhu kecuali jika tidurnya dalam keadaan berbaring (pada lambung) atau bersandar. Sedangkan apabila tidurnya dalam keadaan ruku', sujud, berdiri atau duduk, maka ini tidak membatalkan wudhu baik di dalam maupun di luar shalat.
Inilah pendapat Hammad, Ats Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Daud, dan pendapat Imam Asy Syafi'i.
Di antara dalilnya adalah dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ عَلَى النَّائِمِ جَالِسًا وُضُوْءٌ حَتَّى يَضَعُ جَنْبَهُ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk sampai ia meletakkan lambungnya.” Namun hadits ini adalah hadits yang dho'if (lemah).[6]
Pendapat kelima: Wudhu tidak batal jika tidur dalam keadaan duduk, baik dalam shalat maupun di luar shalat, baik tidur sesaat maupun lama.
Alasan mereka, tidur hanyalah mazhonnatu lil hadats (sangkaan akan muncul hadats). Dan tidur dalam keadaan seperti ini masih mengingat berbagai hal (misalnya ia masih merasakan kentut atau hadats).
Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi'i dan Asy Syaukani. Pendapat ini menafsirkan hadits Anas dalam pendapat pertama bahwa para sahabat ketika itu tidur dalam keadaan duduk. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar menyanggah pendapat ini dengan menyebutkan sebuah riwayat dari Al Bazzar dengan sanad yang shahih bahwa hadits Anas yang menceritakan sahabat yang tidur menyebutkan kalau ketika itu ada di antara sahabat yang tidur dengan berbaring (pada lambungnya), lalu mereka pergi hendak shalat.
Dan masih ada beberapa pendapat lainnya yang terbilang cukup lemah.
Pendapat yang terkuat:
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku' atau sujud. Karena tidur semacam inilah yangmazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats. Pendapat ini sejalan dengan pemahamann pada pendapat pertama.
Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.
Demikian pembahasan singkat ini. Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Pembahasan ini kami sarikan dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/129-132, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] HR. Muslim no. 376.
[3] HR. Muslim no. 376.
[4] HR. An Nasa-i no. 127. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[5] HR. Al Baihaqi, 2/135, 'Abdur Rozaq no. 481. Hadits ini adalah hadits mauquf (hanya perkataan sahabat) dengan sanad yang shahih dan tidak shahih jika marfu' (disandarkan pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Lihat penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam At Talkhis Al Habir, 1/179
[6] Ibnu Hajar Al 'Asqolaniy menyebutkan hadits ini dalam Lisanul Mizan, 8/181. Dalam hadits ini ada perowi yang tertuduh berdusta dan sering memalsukan hadits, sebagaimana kata Ibnu Ma'in.

Fenomena Kilatan Petir dan Geledek dalam Kacamata Islam

petir_kilatPetir atau halilintar adalah gejala alam yang biasanya muncul pada musim hujan di mana di langit muncul kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan biasanya disebut kilatyang beberapa saat kemudian disusul dengan suara menggelegar sering disebutguruh atau geledek. Perbedaan waktu kemunculan ini disebabkan adanya perbedaan antara kecepatan suara dan kecepatan cahaya. Cahaya merambat lebih cepat (186.000 mil / 299.338 kilometer per detik) bila dibandingkan suara (sekitar 700 mil / 1.126 kilometer per jam, bervariasi tergantung temperatur, kelembapan dan tekanan udara). Sehingga suara gemuruh biasanya terdengar beberapa saat setelah kilatan terlihat.
Petir merupakan gejala alam yang bisa kita analogikan dengan sebuah kapasitor raksasa, di mana lempeng pertama adalah awan (bisa lempeng negatif atau lempeng positif) dan lempeng kedua adalah bumi (dianggap netral). Seperti yang sudah diketahui kapasitor adalah sebuah komponen pasif pada rangkaian listrik yang bisa menyimpan energi sesaat (energy storage). Petir juga dapat terjadi dari awan ke awan (intercloud), di mana salah satu awan bermuatan negatif dan awan lainnya bermuatan positif.
Petir terjadi karena ada perbedaan potensial antara awan dan bumi atau dengan awan lainnya. Proses terjadinya muatan pada awan karena dia bergerak terus menerus secara teratur, dan selama pergerakannya dia akan berinteraksi dengan awan lainnya sehingga muatan negatif akan berkumpul pada salah satu sisi (atas atau bawah), sedangkan muatan positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Jika perbedaan potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya untuk mencapai kesetimbangan. Pada proses pembuangan muatan ini, media yang dilalui elektron adalah udara. Pada saat elektron mampu menembus ambang batas isolasi udara inilah terjadiledakan suara. Petir lebih sering terjadi pada musim hujan, karena pada keadaan tersebut udara mengandung kadar air yang lebih tinggi sehingga daya isolasinya turun dan arus lebih mudah mengalir. Karena ada awan bermuatan negatif dan awan bermuatan positif, maka petir juga bisa terjadi antar awan yang berbeda muatan.[1]
Kilatan Petir dan Geledek dalam Kacamata Syari’at Islam
Ada tiga istilah untuk kilatan petir dan geledek yaitu ar ro’duash showa’iq dan al barqAr ro’du adalah istilah untuk suara petir atau geledek. Sedangkan ash showa’iq dan al barq adalah istilah untuk kilatan petir, yaitu cahaya yang muncul beberapa saat sebelum adanya suara petir.[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Dalam hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) pada riwayat At Tirmidzi dan selainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ar ro’du, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ مَعَهُ مخاريق مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ
Ar ro’du adalah malaikat yang diberi tugas mengurus awan dan bersamanya pengoyak dari api yang memindahkan awan sesuai dengan kehendak Allah.[3]
Disebutkan dalam Makarimil Akhlaq milik Al Khoro-ithi, ’Ali pernah ditanya mengenai ar ro’du. Beliau menjawab, ”Ar ro’duadalah malaikat. Beliau ditanya pula mengenai al barq. Beliau menjawab, ”Al barq (kilatan petir) itu adalah pengoyak di tangannya.” Dan dalam riwayat lain dari Ali juga,” Al barq itu adalah pengoyak dari besi di tangannya”.”
Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan lagi, ”Ar ro’du adalah mashdar (kata kerja yang dibendakan) berasal dari kata ro’ada, yar’udu, ro’dan (yang berarti gemuruh, pen). … Namanya gerakan pasti menimbulkan suara. Malaikat adalah yang menggerakkan (menggetarkan) awan, lalu memindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan setiap gerakan di alam ini baik yang di atas (langit, pen) maupun di bawah (bumi, pen) adalah dari  malaikat. Suara manusia dihasilkan dari gerakan bibir, lisan, gigi, lidah, dan dan tenggorokan. Dari situ, manusia bisa bertasbih kepada Rabbnya, bisa mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Oleh karena itu,  ar ro’du (suara gemuruh) adalah suara yang membentak awan. Dan al barq(kilatan petir) adalah kilauan air atau kilauan cahaya. … ”[4]
Ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 19, As Suyuthi mengatakan bahwa ar ra’du adalah malaikat yang ditugasi mengatur awan. Ada juga yang berpendapat bahwa ar ro’du adalah suara malaikat. Sedangkan al barq (kilatan petir) adalah kilatan cahaya dari cambuk malaikat untuk menggiring mendung.[5]
Kesimpulan:
Ar ro’du kadang dimaknakan dengan malaikat yang ditugasi mengatur awan. Ada pula yang berpendapat bahwa ar ro’du(geledek) adalah suara malaikat. Sedangkan al barq atau ash showa’iq adalah kilatan cahaya dari cambuk malaikat yang digunakan untuk menggiring mendung.
Karena apa yang diperbuat oleh malaikat ini termasuk ranah ghoib, maka kewajiban kita hanyalah mengimaninya saja, dan tidak boleh mengingkari.
Do’a Ketika Mendengar Petir
Dari ‘Ikrimah mengatakan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tatkala mendengar suara petir, beliau mengucapkan,
سُبْحَانَ الَّذِي سَبَّحَتْ لَهُ
Subhanalladzi sabbahat lahu” (Maha suci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya). Lalu beliau mengatakan, ”Sesungguhnya petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan sebagaimana pengembala ternak membentak hewannya.”[6]
Apabila ’Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan,
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ
Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih” (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya). Kemudian beliau mengatakan,
إِنَّ هَذَا لَوَعِيْدٌ شَدِيْدٌ لِأَهْلِ الأَرْضِ
Inilah ancaman yang sangat keras untuk penduduk suatu negeri”.[7]
Jadi, do’a yang bisa dibaca ketika mendengar geledek atau suara petir adalah bacaan: “Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih” (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya).
Insya Allah, berikutnya kita masuk pada pembahasan beberapa keringanan yang diperoleh seorang muslim ketika hujan turun.
Semoga Allah mudahkan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com


[2] Lihat penjelasan para ulama selanjutnya. Mengenai makna istilah ar ro’du dan ash showa’iq, silakan lihat Rosysyul Barod Syarh Al Adab Al Mufrod, Dr. Muhammad Luqman As Salafi, hal. 381, Dar Ad Da’i, cetakan pertama, Jumadil Ula, 1426 H.
[3] HR. Tirmidzi no. 3117. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24/263-264.
[5] Tafsir Al Jalalain, surat Al Baqarah ayat 19, Mawqi’ At Tafasir.
[6] Lihat Adabul Mufrod no. 722, dihasankan oleh Syaikh Al Albani.
[7] Lihat Adabul Mufrod no. 723, dishohihkan oleh Syaikh Al Albani.
thank you