Kamis, 20 Januari 2011

Lima Langkah Penyempurna, Agar Rumah Tangga Bahagia.

Tentu, rumah tangga bahagia yang bergelar baiti jannati, rumahku adalah surgaku,  memiliki harga mati yang wajib kita beli:  yakni seharga iman dan kepatuhan kita kepada Allah.

Segala kaidah, petuah, rumus dan kiat-kiat yang berhulu dari olah logika manusia, tak akan bisa menghantarkan pasutri kepada kebahagiaan hakiki. Tanpa kepatuhan kepada Allah, tanpa ketaatan pada syariat yang Maha Pencipta, manusia hanya akan menjadi perusak bagi dirinya sendiri, dan bagi siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk keluarga, anak, isteri atau suami.

Bisa jadi, kerusakan itu tak terlihat. Bisa jadi orang banyak menganggap mereka sebagai sosok keluarga bahagia. Bisa jadi, seolah-olah mereka adalah keluarga yang layak diteladani dalam segala hal. Selama mereka jauh dari agama Allah, selama itu pula mereka menjadi contoh manusia yang membahayakan diri dan orang lain.

Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:

Pertama: Mendahulukan Keridhaan Allah, dan Keridhaan Pasangan
Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan keinginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan kemarahan pasangan senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang paling menakutkan.
Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya kepada Allah. Padahal, Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda, مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ  سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ

Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allah pun akan meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya.  Siapa saja yang mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, pasti Allah pun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru akan membencinya [1].”

Saat mencari keridhaan orang lain dengan konsekuensi kemurkaan Allah, maka seseorang akan menjadi budak sesamanya. Kekuatan Allah tidak pernah mengisi hatinya, sementara kemurkaan orang lain akan menjadi Neraka buat dirinya.

Maka, lihatlah suami yang begitu takut pada kemarahan isteri, atau isteri yang begitu khawatir terhadap kemarahan suami, lalu mereka melakukan apa saja demi menghindari kemarahan tersebut. Mereka akan kehilangan kesempatan memperoleh banyak kebajikan.
Seorang suami harus bertarung menghadapi kemarahan banyak orang, termasuk atasannya dalam pekerjaan, atau para tetangganya. Ia akan kelihatan begitu menyebalkan di hadapan banyak orang, dan hanya mungkin menjadi hero di hadapan  isterinya saja. Dan itupun tidak akan bertahan lama. Karena memuaskan isteri dengan segala cara, justru membuat isteri semakin lapar tuntutan. Layaknya bayi yang tak pernah disapih. Alih-alih mendapatkan pujian sang isteri, ia justru akan menjadi manusia paling sengsara di dalam rumahnya sendiri.

Seorang istri yang berlaku serupa karena takut pada kemarahan suami, akan kehilangan kesempatan menjadi wanita yang baik di mata siapapun, bahkan akhirnya juga di mata suaminya sendiri. Ia akan kepayahan bergaul dengan sesama wanita. Karena segalanya selalu dibatasi kemauan suami. Ia akan sulit mengaji, memperbaiki diri, bila kebetulan sang suami kurang menghendakinya. Bahkan di lingkungan orang-orang taat sekalipun, isteri yang berorientasi hanya pada kenyamanan hati suami tanpa mengindahkan syariat Allah, pasti akan terjebak pada dilema penyembahan sesama manusia. Saat itu, segala sendi kebahagiaan rumah tangga akan runtuh dengan sendirinya.

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan, “Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena dengan cara itu, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan manusia dengan hal-hal yang membuat Allah  murka, pasti pujian manusia terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka [2].”

Agar beroleh kebahagiaan seutuhnya, manusia tidak boleh menggantungkan kebahagiaannya pada kehendak sesama manusia. Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada kehendak suami atau isterinya, lalu dengan itu mereka ingin bahagia, sementara suami atau isteri mereka sendiripun tak bisa menjaminkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri?

Membiarkan diri kita memperturutkan kemauan orang lain dengan mengorbankan kehendak Yang MahaKuasa, berarti membiarkan diri kita dijajah sesama manusia. Orang yang dijajah, bagaimana mungkin beroleh bahagia?

Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman…?” (At-Taubah : 13)

Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat
Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah Yang MahaPengasih. Tapi, dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, suami maupun isteri kerap terjebak pada target-target jangka pendek yang terlalu menyibukkan pikiran, sehingga konsistensi pada nilai-nilai akhirat menjadi terabaikan.

Hari ini, saya harus beli ini. Tanggal sekian, saya harus sudah bisa membeli ini, memiliki itu. Tahun ke sekian pernikahan, kami harus sudah mempu begini dan begitu. Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu. Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan? Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.

Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan, kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah. [3]“

Pondasi ini harus kerap dikampanyekan dalam keluarga. Suami maupun isteri harus saling ingat-mengingati soal cita-cita akhirat ini. Setiap tingkah, prilaku, amalan, hingga ucapan sehari-hari yang mulai mengarah untuk menjebak diri mereka ke dalam kegilaan terhadap dunia, harus segera dimandulkan kembali. Apakah dengan itu mereka akan menjadi pribadi yang pemalas? Tidak, sama sekali tidak.

Itu bisa terlihat, ketika suami terlalu sibuk bekerja, sehingga lupa mengajak isteri mengaji, lupa dengan masjid, mulai semakin jarang membaca Al-Quran…..Sang isteri wajib menegur, dan mengingatkan suami, “Mas, mari kita kembali kepada Allah….”

Saat mulut isteri sibuk berkicau soal keinginan-keinginan duniawi, sehingga menjadi sepi dari dzikir,  sang suami harus berkata santun, “Sayang, banyaklah bertasbih, bertakbir, bertahlil, agar iiwa kita senantiasa ingin mengejar akhirat…”
Saat kegilaan terhadap dunia menghinggapi hati salah satu pasutri, apalagi kedua-duanya, maka arah kehidupan rumah tangga akan berbolak-balik. Mereka tak akan pernah merasa nyaman dalam satu kondisi. Pikiran mereka selalu berusaha melahap kenyamanan-kenyamanan baru, sehingga nyaris tak pernah menyukuri segala yang Allah karuniakan kepada mereka.

Itulah sebabnya, banyak konflik rumah tangga terjadi, karena hasrat-hasrat duniawi yang tidak terpenuhi. Ada yang isteri yang ribut secara heboh, hanya karena uang jatah uang bulannya berkurang. Padahal sesungguhnya, yang ia terima masih sangat berlimpah dibandingkan kebanyakan orang.
Itulah sebabnya, banyak suami yang bekerja kesetanan mencari tambahan rezki, karena baik dirinya maupun isterinya, sama-sama menganggap bahwa pencapaian tertentu dalam soal kemapanan adalah keharusan. Kegagalan adalah musibah yang tak bisa dimaafkan.

Dengan demikian, berarti kebahagiaan seseorang amatlah bergantung pada pencapaian hasrat-hasrat duniawinya. Padahal hasrat manusia selalu berkembang. Hari ini, batas sekian sangatlah mencukupi. Bila itu sudah tercapai, ia akan mengejar yang lebih banyak lagi. Hasratnya akan makin berkembang dari hari ke hari. Maka, dari mana kebahagiaan itu akan muncul? Bagaimana pasutri bisa mengenyam kebahagiaan itu, bila syarat pencapaiannya senantiasa berubah-ubah?

Saudara seiman. Bila sebuah rumah tangga tidak dibangun dengan terus mengasah kecintaan terhadap akhirat, dengan saling nasihat menasihati dalam meningkatkan ibadah, maka hasrat-hasrat duniawi akan membelit jiwa pasutri. Bila itu terjadi, kebahagiaan hidup akan menjadi angan-angan belaka.

Ketiga: Meningkatkan Kwalitas Karakter dan Kebiasaan
Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri, padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan kebiasaan.
Manusia yang tidak berdinamika untuk semakin baik dari hari kehari, pasti akan terjebak dalam kepenatan hidup. Karena ujian dan cobaan hidup makin beragam, sementara potensi diri tidak berkembang.

Begitu juga dalam kehidupan pasutri.  Di antara sekian banyak problematika rumah tangga, sisi yang terberat adalah membina keserasian dan harmonisasi pasutri dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling kerap mengganjal tujuan membina keserasian adalah adanya perbedaan karakter antara suami dan isteri, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk berinteraksi secara nyaman.
Perbedaan karakter dan kebiasaan itu kadang-kadang kontradiktif, seperti perbedaan antara manis dan pahit, dingin dan panas, sehingga kerap terjadi ketegangan-ketegangan saat kepentingan karakternya terusik oleh kepentingan karakter pasangannya.
Saat makan, saat menikmati udara, saat mengamati kasus-kasus tertentu, saat menghibur diri, tentu sangat membahagiakan pasutri. Tapi semua itu lenyap seketika, ketika masing-masing memiliki karakter berseberangan saat menikmati semuanya. Kebersamaan yang indah itu akhirnya justru memberi hasil sebaliknya: keributan.

Maka, setiap pasutri wajib membina karakter dan kebiasaannya agar semakin permisif, semakin akomodatif terhadap perbedaan karakter pasangannnya. Dan itu akan semakin mudah, bahkan semakin memberikan kenikmatan lebih, bila mereka tulus menjalannya. Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.
Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang [4].”

Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut.

Artinya, jangan sampai karakter yang tidak disukai pasangan justru semakin dominan dari hari ke hari. Justru sebaliknya, karakter yang kurang disukai itu hendaknya semakin hari semakin dikikis, sementara karakter yang disenangi oleh pasangan, semakin hari semakin diasah. Bila keduanya melakukan hal itu, niscaya kehidupan rumah tangga akan semakin mengembunkan keceriaan, kebahagiaan dan ketentraman, pada kulit kehidupan keseharian.

Persoalannya, banyak pasutri yang enggan mengubah karakter dan kebiasaan diri. Di sisi lain, mereka juga kurang berminat untuk mengoptimalkan karakter dan kebiasaan diri yang berpotensi membahagiakan pasangan. Kenapa? Karena banyak orang ingin menjalani hidup ini secara mengalir begitu saja. Padahal, tidak ada puncak kebahagiaan yang bisa dicapai tanpa tetesan keringat. Itu artinya, kebahagiaan harus dicari dan diusahakan. Kalau Allah telah menciptakan segala potensi itu pada diri kita, kenapa kita tidak mengusahakannya?

Amatlah mudah untuk memahami apa yang disukai pasangan dari diri kita, dan apa yang tidak disukai oleh pasangan dari diri kita. Hanya persoalannya, maukah kita berusaha agar pasangan kita semakin hari semakin banyak mendapatkan hal-hal yang paling disukainya dari diri kita?

Keempat: Menghargai Pasangan
Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita.

Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama sekali pasangan kita sehari-hari.
Memahami kekurangan, berarti juga menghargai kelebihan. Semakin seorang suami atau isteri memahami kekurangan pasangannya, semakin pula ia mampu menghargai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangannya.
“Wajar, kalau dia kurang pandai memasak, karena sejak kecil tidak terbiasa melakukannya. Tapi bersih-bersih, dia tetap jagonya…”
“Mungkin suamiku agak sedikit pemarah, karena dia memang anak satu-satunya dalam keluarga. Tapi soal keromantisan, makin hari makin luar biasa…”

Salah satu tips menghargai  pasangan adalah membangun kebiasaan untuk mempelajari kelebihannya. Artinya, suami maupun isteri, sebaiknya melihat apa yang menjadi kelebihan pasangannya, lalu belajar untuk bisa seperti dia. Kenapa demikian? Karena seseorang akan bisa menghargai pekerjaan atau sesuatu, bila ia sudah mengenalinya. Bila sudah sibuk memasak di dapur, atau membersihkan kamar mandi, seorang suami akan mengerti betapa pekerjaan-pekerjaan isterinya itu sesungguhnya sangatlah luar biasa.
Begitu pula, bila isteri menyempatkan diri membantu mengerjakan sebagian pekerjaan suami. Begitu pula, bila suami maupun isteri menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal yang menjadi kelebihan pasangan, meski itu sebenarnya sudah lazim dikerjakan oleh isteri atau suami sepertinya.

Selain meniru kebiasaan baik pasangan, sebaiknya suami ataupun isteri juga mengajarkan kelebihannya kepada pasangannya. Suasana take and give itu akan indah, ketika masing-masing saling menyadari bahwa yang ia miliki juga sudah seharusnya dimiliki oleh pasangannya. Meski dalam kenyataan itu tidaklah mudah, dan kalaupun berhasil tidak akan sepenuhnya, namun dengan kebiasaan itu masing-masing akan semakin mampu menghargai pasangan. Tanpa belajar memahami pasangan, pasutri akan terus dibuat kepayahan oleh pasangannya sendiri sepanjang hidupnya.

” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya…”
(Al-Maidah : 2)

Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah
Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah, YangMahaPerkasa.

Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)

Hanya orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada Allah, yang mampu meminimalisir pengaruh dari karakter dasar manusia itu. Selebihnya, dari awal hingga akhir, ia harus senantiasa menyandarkan urusannya kepada Allah.
Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh…” (Al-A’raaf : 196)

Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 173-174)

Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan beban yang berat.
Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang dibayangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan. Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa.
Simak, sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ، إِلاَّ شَيْءٌ أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ
“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]

Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat. Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri, sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan mereka.

“Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mendatangkan manfaat padamu maka, mereka takkan dapat memberikan manfaat itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu. Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu, maka mereka tak dapat mendatangkan mudharat kecuali sebatas mudharat yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”[6]

Pasutri harus saling ingat mengingatkan, agar bertawakal kepada Allah, menyerahkan segala hal, urusan dan akhir perjalanan hidup ini kepada Allah semata. Kita hanya wajib berusaha, dan Allah yang akan menentukan segalanya.
Membiasakan diri, untuk tersenyum dalam segala kepedihan.
Membiasakan diri, untuk menolong orang lain dalam segala kesusahan.
Membiasakan diri, untuk bersyukur atas segala kesulitan.
Membiasakan diri, untuk mengerjakan sesuatu tanpa terbebani oleh apa yang akan terjadi sesudahnya.

Seorang isteri harus membiasakan diri melepas suami bekerja dengan senyum indah, dan menyambutnya kembali sepulang kerja dengan senyum yang tetap mengembang sentosa.
Seorang suami harus membiasakan diri memahami relung-relung terdalam dari perasaan seorang isteri. Mempelajari body language yang menjadi ciri khas wanita, sehingga lebih mampu memberi sentuhan-sentuhan bahagia kepadanya.
Suami dan isteri haruslah membiasakan diri, untuk menyadari bahwa segala yang terjadi bukanlah hak manusia untuk mengadilinya…..

[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I : 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71. Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh Ath-Thabrani X : 215.
[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.
[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443
[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar,  “Hadits ini hasan Shahih”.

Memulai Hari dengan Kalimat Tauhid

Di antara doa-doa agung yang dipanjatkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam setiap pagi hari, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abdurrohman bin Abza rodhiyallohu ‘anhu berkata: “Dahulu Nabi (shollallohu ‘alaihi wasallam) jika waktu telah pagi, beliau berkata:
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْراَهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Di waktu pagi kami berada di atas fithroh Islam, di atas kalimat ikhlas, di atas agama Nabi kami Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, di atas agama ayah kami, Ibrohim ‘alaihissalam, yang berdiri di atas jalan yang lurus, seorang muslim, dan bukan termasuk di antara orang-orang musyrik.
Hal apa yang paling indah di pagi hari, tatkala seorang muslim baru membuka matanya, baru bangun dari kematian kecil, tiada yang lebih indah dengan cara memulai dengan bacaan doa di atas, dengan kalimat-kalimat agung di atas yang mencakup tentang pembaharuan keimanan seorang hamba, pengumuman tentang ketauhidan, pengokohan akan kesungguhan mengikuti agama Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, dan mengikuti agama kekasih Alloh -Nabi Ibrohim alaihissalam-, agama yang lurus nan selamat, dan jauh dari kesyirikan, baik yang kecil maupun yang besar.
Doa di atas merupakan doa yang mencakup tetang kalimat-kalimat keimanan, ketauhidan, kejujuran, keikhlasan, ketundukan, sangat mendebarkan bagi mereka yang menjaga dan menghapalnya serta merenungi dan memikirkan makna yang terkandung di dalamnya.
Berada di atas Fithroh Islam
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ
Di waktu pagi kami berada di atas fithroh Islam.
Alloh telah memberikan kepada kita kehidupan pagi setelah bangun dari tidur dan kita dalam keadaan di atas fithroh keIslaman, berpegang teguh dengan agama Islam, menjaganya, tidak mengubah atau menggantinya.
Yang dimaksud dengan fithroh Islam adalah agama Islam yang Alloh tetapkan atas manusia, menghadapkan agama Alloh yang lurus dengan hati, dan anggota badan kepada penetapan syariat-syariat agama, baik yang dzohir dan yang batin. Firman Alloh Ta’ala:
١٠. ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةَ الَّذِينَ أَسَاؤُوا السُّوأَى أَن كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَكَانُوا بِهَا يَسْتَهْزِئُون
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Alloh; (tetaplah atas) fithroh Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fithroh itu. tidak ada peubahan pada fithroh Alloh. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS ar-Rum: 30)
Pada dasarnya seluruh manusia berada di atas fithroh keIslaman, dan barangsiapa yang keluar dari asas ini maka dia telah keluar dari fithrohnya sehingga rusak.
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan: “Sesungguhnya Aku (Alloh) ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan yang hanif (lurus), dan mereka didatangi oleh setan sehingga mereka digelincirkan dari agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku (Alloh) halalkan atas mereka, dan diserukan kepada manusia agar menyekutukan Aku.” (HR Muslim)
Dan dalam Shohihain, dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali terlahir secara fithroh, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Tidak diragukan lagi bahwa nikmat Alloh yang sangat besar atas seorang hamba, tatkala ia bangun pagi dalam keadaan di atas fithroh yang selamat, tanpa mengubah atau menggantinya.
Kalimat Ikhlas
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ
Di atas kalimat ikhlas.
Di waktu pagi dalam keadaan di atas kalimat ikhlas, kalimat ikhlas tersebut adalah kalimat tauhid Laa ilaha Illalloh, kalimat yang agung lagi mulia, yang merupakan pokok, asas, atau pondasi agama dan asas dari perkara agama, sebab kalimat inilah para makhluk tercipta, dan sebab kalimat ini para utusan diutus dan diturunkan kitab-kitab, dan sebab kalimat ini manusia terpecah menjadi mukmin dan kafir, kalimat ini merupakan inti dakwah para Rosul dan inti risalah mereka, kalimat ini merupakan sebesar-besar nikmat Alloh atas hambaNya. Sufyan Ibnu Uyainah rohimahulloh berkata, “Tidaklah Alloh memberi nikmat kepada salah seorang di antara hambaNya, nikmat yang paling agung, selain nikmat dipahamkan atas mereka kalimat Laa ilaha Illalloh.”
Kalimat Laa ilaha Illalloh merupakan kalimat ikhlas dan kalimat tauhid, menafikan syirik, dan berlepas dari kesyirikan serta orang-orang yang berbuat syirik, Alloh berfirman:
٢٦. وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُونَ
٢٧. إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
٢٨. وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan ingatlah ketika Ibrohim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan (lbrohim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS az-Zukhruf: 26-28)
Jika seorang hamba mendapatkan dirinya di waktu pagi dalam keadaan di atas kalimat yang agung ini tanpa mengubah atau menggantinya, maka dia telah berada di pagi hari dalam keadaan yang sangat baik, sebab agungnya kalimat ini, kita memulai hari dengan membacanya, dan dianjurkan untuk memperbanyak bacaan kalimat tersebut berkali-kali setiap pagi.
Di atas agama Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم
Di atas agama Nabi kami Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam.
Di waktu pagi kita berada di atas agama yang agung, yang Alloh ridho bagi hambaNya agama tersebut, dan sebab agama tersebut Nabi kita, Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam diutus. Alloh berfirman:
٣. حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridhoi Islam itu jadi agama bagimu. (QS al-Maidah: 3)
Dan firman Alloh:
١٩. إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Alloh hanyalah Islam. (QS Ali Imron: 19)
٨٥. وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imron: 85)
Inilah agama Nabi kita yang mulia Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam yaitu berserah diri kepada Alloh dengan bertauhid, dan patuh kepadaNya dengan menjalankan ketaatan, menjauhi kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik. Merupakan nikmat yang sangat mulia bagi seorang hamba yang mendapatkan pagi harinya dalam keadaan di atas agama yang mulia ini, di atas jalan yang lurus, jalan yang Alloh beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang Alloh murkai dan tersesat.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengingatkan hamba-hambanya yang Alloh cintai dengan diberinya nikmat ini atas mereka:
٧. وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
Tetapi Alloh menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (QS al-Hujurot: 7)
Dan Alloh berfirman:
٢١. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَداً وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Sekiranya tidaklah karena karunia Alloh dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Alloh membersihkan siapa yang dikehendakiNya. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS an-Nur: 21)
Tiada yang lebih agung dari pemberian dan lebih mulia dari nikmat yang telah Alloh berikan.
Di atas Agama Ayah Kami –Ibrohim-
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْراَهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْن
Di atas agama ayah kami Ibrohim yang berdiri di atas jalan yang lurus, seorang muslim, dan bukan termasuk di antara orang-orang musyrik (menyekutukan Alloh).
Di waktu pagi berada di atas agama yang penuh dengan keberkahan, agama Ibrohim kekasih AllohSubhanahu wa Ta’ala yaitu agama yang lurus, berpegang teguh dengan Islam dan jauh dari kesyirikan, agama yang penuh keberkahan ini tidaklah ditinggalkan dan dibenci kecuali oleh orang-orang yang memperdayai dan memperbodoh dirinya sendiri. Alloh berfirman:
١٣٠. وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrohim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri.(QS al-Baqoroh: 130)
Alloh Azza wa Jalla telah memerintahkan NabiNya shollallohu ‘alaihi wasallam agar mengikuti agama ini dan memberi petunjuk (manusia) kepada agama tersebut, sebagaimana yang telah Alloh firmankan:
١٦١. قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ دِيناً قِيَماً مِّلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrohim yang lurus, dan Ibrohim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS al-An’am: 161)
Dan firman Alloh:
٧٨. {س} وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Dan berjihadlah kamu pada jalan Alloh dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu, (Nabi) Ibrohim. (QS. al-Hajj: 78)
Jika seorang hamba mendapati dirinya di waktu pagi dalam keadaan di atas agama yang penuh berkah, yang lurus, maka dia berada di pagi yang sangat banyak kebaikannya dan keutamaannya.
Berapa banyak kebaikan dan keagungan bagi seorang hamba yang membuka harinya dengan kalimat yang penuh keberkahan ini, membuka harinya dengan kalimat ini dengan hati yang jujur, maka Alloh akan memuliakan harinya dengan kalimat tersebut.
Wallohu a’lam. Semoga Alloh memudahkan lisan kita untuk senantiasa berdzikir dengan doa-doa yang telah disunnahkan oleh NabiNya, Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam.
Disarikan dari kitab Fiqh al-Ad’iyah wa al-Adzkar karya Prof. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, oleh Maryono, S.Th.I

thank you