Minggu, 26 September 2010

Fenomena Tahdzir Sesama Ahlus Sunnah dan Solusinya



Oleh: Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr

Muncul fenomena belakangan ini, sebagian Ahlus Sunnah sibuk mengomentari sebagian yang lain, saling mencaci dan saling men-
tahdzir, hal demikian ini telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta sikap saling hajr (menjauhi) di antara mereka. Seharusnya mereka saling berkasih sayang dan menyatukan barisan dalam menghadapi ahlul bida’ dan ahlul hawa’ yang mana mereka adalah sebenar-benar penentang golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Fenomena ini terjadi akibat dua perkara, yaitu:
Pertama: Sebagian Ahlus Sunnah pada zaman sekarang memiliki kebiasaan menyibukkan diri mencari-cari kesalahan orang lain, baik melalui karangan-karangan atau kaset-kaset. Kemudian, mereka men-tahdzir siapa saja yang didapatinya melakukan sebuah kesalahan. Bahkan, di antara perkara yang dianggap kesalahan, sehingga karenanya orang tersebut dapat ditahdzir adalah bekerja sama dengan salah satu yayasan atau badan sosial agama (Jam’iyyat Khoyriyah) seperti memberikan ceramah atau turut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial tersebut.
Padahal Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumallah pernah memberikan
muhadhoroh untuk yayasan tersebut melalui saluran telepon. Apakah seseorang dapat dan layak dicela karena ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan ‘mubah’ atau ‘boleh’ oleh dua orang ulama besar? Dan lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu daripada menyalahkan pendapat orang lain, terlebih jika pendapat itu telah mendapat fatwa dari oleh para ulama besar. Oleh karena itu, sebagian Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata seusai perjanjian Hudaibiyah, “Wahai sekalian manusia! Hendaklah kalian mengkoreksi pendapat ro’yu (akal) bila bertentangan dengan perintah agama.”
Bahkan di antara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfaat yang cukup besar, baik dalam hal memberikan pelajaran, atau melalui karya-karya tulis, atau khutbah. Ia di
tahdzir hanya karena tidak pernah memberikan komentar tentang si Fulan atau Jama’ah tertentu, misalnya. Bahkan celaan dan tahdzir tersebut merembet hingga ke bagian yang lainnya di negara-negara Arab dari orang-orang yang manfaatnya menyebar luas dan perjuangannya cukup besar dalam menegakkan dan menebarkan Sunnah serta berdakwah kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir seperti ini merupakan tindakan menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak mulia.
Kedua: Sebagian Ahlus Sunnah apabila melihat salah seorang Ahlus Sunnah melakukan kesalahan, spontan dia menulis sebuah bantahan terhadapnya, kemudian orang yang dibantah pun membalas dengan menulis bantahan pula. Kemudian masing-masing dari keduanya saling sibuk membaca tulisan yang lainnya atau ceramah serta memperdengarkan kaset-kasetnya yang sudah lama untuk mengumpulkan berbagai kesalahan dan aibnya. Boleh jadi sebagiannya merupakan kekhilafan bicara, ia melakukan hal tersebut sendiri atau dibantu oleh orang lain. Kemudian masing-masing pihak berusaha mencari pendukung untuk membelanya sekaligus untuk meremehkan pihak lain. Kemudian pendukung dari kedua belah pihak berusaha memberikan dukungan bagi pendapat orang yang didukungnya dan mencela pendapat lawan. Dan memaksa setiap orang yang mereka temui untuk memberikan sikap terhadap orang yang tidak didukungnya. Jika tidak, maka ia akan divonis bid’ah sebagai konsekuensi vonis bid’ah terhadap pihak lawan.
Kemudian hal yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk meng-
hajr¬nya. Tindakan para pendukung dari kedua belah pihak termasuk penyebab utama muncul dan menyebarnya fitnah dalam skala yang lebih luas. Dan keadaan semakin bertambah parah lagi apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaannya melalui media internet. Kemudian generasi muda Ahlus Sunnah di berbagai negara bahkan di berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan yang tersebar di website masing-masing pihak tentang ‘kata si fulan’ dan ‘kata si fulan’ yang tidak membuahkan kebaikan sama sekali, tetapi hanya membawa dampak kerusakan dan perpecahan. Hal ini telah membuat pendukung kedua belah pihak yang berseteru seperti orang yang terpaku di depan kaca iklan untuk mengetahui berita apa yang tengah tersebar. Tak ubahnya seperti orang yang terfitnah dengan fanatisme klub-klub olah raga yang masing-masing supporter memberikan dukungan untuk klubnya. Sehingga hal yang demikian menimbulkan persaingan, keberingasan dan pertengkaran di antara mereka.
Bagaimana Solusinya..?
Jalan selamat dari fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini:
Pertama: Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahdzir, perlu diperhatikan hal-hal berikut.
Orang yang menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta men-
tahdzir mereka, hendaklah takut kepada Allah. Lebih baik ia menyibukkan diri memeriksa aib-aibnya sendiri supaya ia dapat memperbaiki diri, daripada ia sibuk membicarakan aib orang lain. Dan lebih baik ia menjaga konsistensi amal, jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang dicela dan dicacinya. Sementara ia sangat butuh terhadap amal kebaikan tersebut daripada orang lain, pada hari yang tiada bermanfaat harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
Hendaklah ia menyibukkan diri dengan mencari ilmu yang bermanfaat daripada ia sibuk mencela dan men-
tahdzir orang lain. Lebih baik ia giat dan bersungguh-sungguh mencari ilmu agar ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfaat dan bermanfaat. Salah satu pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah ia sibuk menuntut ilmu, belajar, mengajar, berdakwah dan menulis. Apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun, dan tidak menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah. Serta menutup jalan yang dapat menyebabkan dirinya mengambil berita dari mereka, sehingga ia menjadi seperti orang yang hancur. Orang yang sibuk mencela seperti ini, tentu dia tidak akan meninggalkan ilmu yang dapat memberi manfaat kepada orang lain. Manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang dapat memberi manfaat. Justru dengan kepergiannya, mereka merasa selamat dari kejahatannya.
Para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah dimanapun mereka berada hendaklah menyibukkan diri menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfaat dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh bin Baaz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah, daripada menyibukkan diri mereka dengan menelepon si Fulan dan si Fulan untuk bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Apa pula pandanganmu terhadap perkataan si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Perkataan si Fulan terhadap si Fulan?’
Ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang keadaan orang-orang yang aktif menyebarkan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada 
Lajnah Daimah lil Ifta’ (Tim Komisi Pemberi Fatwa) di Riyadh untuk bertanya tentang keadaan mereka tersebut. Apakah mereka berhak dimintai fatwanya dan bolehkah menuntut ilmu darinya atau tidak? Dan barang siapa yang betul-betul tahu tentang keadaan orang tersebut hendaklah ia menulis surat kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ tentang apa yang diketahuinya tentang orang tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam masalah tersebut. Supaya hukum yang diputuskan berupa celaan atau tahdzir dikeluarkan oleh lembaga yang bisa dipercaya fatwanya, dalam hal ini menerangkan siapa yang boleh diambil ilmunya dan siapa yang bisa diambil fatwanya. Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya lembaga resmilah sebagai tempat rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa untuk mengetahui siapa saja yang boleh dimintai fatwanya dan diambil ilmunya. Dan janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam persoalan penting seperti ini. Sesungguhnya di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang bukan urusannya.
Kedua: Masalah yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang keliru, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
Bantahan tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah lembut, disertai harapan yang tulus untuk menyelamatkan orang yang keliru tersebut dari kesalahannya. Ketika kesalahan tersebut sudah jelas dan nyata. Dan seharusnya merujuk kepada bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syaikh bin Baaz rahimahullah untuk mengambil faedah darinya tentang sebuah metode yang patut diperhatikan dalam menulis sebuah bantahan.
Apabila bantahan tersebut ditujukan kepada sebuah kesalahan yang masih belum jelas, dan termasuk jenis persoalan yang bantahan terhadapnya mengandung sisi benar dan sisi salah, maka untuk memutuskan persoalan tersebut perlu merujuk kepada 
Lajnah Daimah lil Ifta’. Adapun bila kesalahan tersebut sudah jelas, maka bagi pihak yang dibantah seharusnya merujuk kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada bertahan di atas kebathilan.
Apabila seseorang telah memberikan bantahan terhadap orang lain maka sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya ia tidak perlu mengikuti gerak-gerik orang yang dibantahnya. Tetapi hendaklah dia menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang akan membawa manfaat yang sangat besar bagi dirinya dan bagi orang lain, beginilah sikap Syaikh bin Baaz rahimahullah.
Seorang penuntut ilmu tidak boleh menguji saudaranya, dengan memaksanya untuk memilih sikap tegas terhadap orang yang dibantahnya atau orang yang membantahnya. Jika setuju ia selamat, dan jika tidak ia divonis bid’ah dan di
hajr. Tidak seorangpun berhak menisbatkan kepada manhaj Ahlus Sunnah secara ceroboh seperti ini dalam menjatuhkan vonis bid’ah dan hajr. Begitu juga tidak seorangpun yang berhak menuduh orang yang tidak menempuh cara yang ceroboh seperti ini sebagai perusak manhaj Salaf. Hajr yang bermanfaat dikalangan Ahlus Sunnah adalah hajr yang dapat memberikan manfaat bagi yang dihajr (dikucilkan), seperti orang tua menghajr anaknya dan seorang guru terhadap muridnya. Dan begitupula hajr yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehormatan dan kedudukan yang tinggi. Pengucilan yang mereka lakukan memberi faedah bagi orang yang dikucilkan.
Adapun bila hal itu dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian lainnya, apalagi bila penyebabnya adalah masalah yang tidak sepatutnya menjadi alasan dilakukan pengucilan, maka hal seperti ini tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan hal tersebut akan berakibat pada pertengkaran dan perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya
Majmuu Fatawa’ (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah, “Pendapat yang benar adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa sesungguhnya Yazid tersebut tidak secara khusus dicintai dan dicela. Bersamaan dengan itu, sekalipun dia seorang yang fasiq atau seorang yang zhalim, maka Allah mengampuni dosa seorang yang fasiq dan dosa seorang yang zhalim, apalagi bila dia memiliki kebaikan-kebaikan yang cukup besar. Sesungguhnya Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أول جيش يغزو القسطنطينية مغفورله
“Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qasthanthiniyyah akan memperoleh ampunan.”
Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qathanthiniyyah dikomandoi oleh Yazid bin Mu’awiyah dan turut serta bersama pasukan tersebut adalah Abu Ayub al-Anshari. Maka yang wajib dalam hal ini adalah bersikap netral, dan tidak mengomentari Yazid serta tidak menguji kaum muslimin dengannya (yakni meminta pendapat tentangnya). Karena hal itu termasuk bid’ah yang menyalahi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Ia (Syaikhul Islam) berkata lagi (III/415), “Dan demikian juga memecah belah antara umat dan menguji mereka dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Dan ia berkata lagi (XX/164), “Tidak seorang pun yang berhak mengangkat seorang figur untuk umat ini yang diseru dan diikuti jalannya, yang menjadi tolak ukur dalam menentukan 
wala’(loyalitas) dan baro’ (permusuhan), kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak seorang pun yang berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan, kecuali perkataan Allah dan Rasul-Nya serta apa yang menjadi kesepakatan umat. Perbuatan seperti itu adalah kebiasaan mubtadi’(ahli bid’ah), mereka mengangkat seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat. Mereka menjadikan pendapat tersebut atau figur tersebut sebagai tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan.”
Ia berkata lagi, (XXVIII/15-16), “Apabila seorang guru atau ustadz memerintahkan 
hajr terhadap seseorang atau menjatuhkan (wibawanya) dan menjauhinya atau yang semisalnya, maka si murid harus mempertimbangkannya terlebih dahulu. Jika orang tersebut melakukan suatu dosa yang secara syar’i berhak dihukum, maka hukumlah dia sesuai kadar dosanya, tanpa berlebihan. Dan jika dia tidak melakukan dosa yang secara syar’i berhak untuk tidak dijatuhi hukuman, maka ia tidak boleh dihukumi dengan hukuman apapun, hanya karena keinginan seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokkan manusia dan menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka. Tetapi hendaklah mereka saling bersaudara, saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah,
وتعاونوا على البر والتقوى, ولا نعاونوا على الإثم والعدون
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maa’idah: 2)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam kitabnya 
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (I/288) mengenai syarah hadits:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.” (Riwayat Tirmidzi no. 2317, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam 
Shahih Imam Ibnu Majah no. 3211)
Hadits ini mengandung pokok yang amat penting dari pokok-pokok adab. Imam Abu ‘Amru bin ash-Sholah telah menceritakan dari Abi Muhammad bin Abi Zaid (salah seorang Imam madzhab Malikiyyah pada zamannya) bahwa ia berkata, “Kumpulan berbagai adab dan himpunannya bercabang dari empat hadits, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خبرا أوليصمت.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau (lebih baik) diam.” (Riwayat Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 74)
Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.”
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wasiat yang singkat,
لا تغضب.
“Jangan marah.” (Riwayat Bukhari no. 6116)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المؤمن يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari no. 13; Muslim no. 45; an-Nasa’i VIII/115; Tirmidzi no. 2515; ad-Darimi II/307; Ibnu Majah no. 66; dan Ahmad III/176,206,251,272,278)

Aku (penulis) berkata, Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu beradab dengan adab-adab ini yang membawa kebaikan dan faedah bagi meerka dan orang lain. Serta menjauhi sikap kasar dan kata-kata kasar yang tidak akan membuahkan apapun kecuali permusuhan, perpecahan, saling benci dan mencerai beraikan persatuan dikalangan kaum muslimin.
Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasihati dirinya, hendaklah ia meninggalkan kesibukan mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai.

(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr dalam 
Rifqaan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah)

Keindahan Islam Yang Berupa Perintah-Perintah Dan Larangan-Larangan



Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. KEINDAHAN ISLAM YANG BERUPA PERINTAH-PERINTAH[1]
[1]. Islam memerintahkan kita agar bertauhid secara murni (beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja, tidak kepada yang selain-Nya), ber‘aqidah yang benar sesuai dengan pemahaman para Shahabat karena yang demikian itu dapat membawa kepada ketentraman hati. ‘Aqidah yang diajarkan Islam dapat menjadikan mulia, menampakkan harga diri dan memberikan kelezatan iman.

[2]. Islam memerintahkan agar berbakti kepada kedua orang tua, menghubungkan silaturahmi dan menghormati tetangga.

[3]. Islam mengajarkan agar berbuat dan berupaya untuk memenuhi dan membantu kebutuhan-kebutuhan kaum Muslimin dan meringankan beban kesengsaraan mereka.

[4]. Islam menganjurkan terlebih dahulu memberi ucapan salam kepada setiap muslim yang kita jumpai dan menolong kaum Muslimin.

[5]. Islam mengajurkan agar menjenguk orang yang sakit, mengantar jenazah, berziarah kubur, dan mendo’akan sesama kaum Muslimin.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam.” (Para Shahabat bertanya), “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(1) Apabila engkau berjumpa dengan-nya, maka ucapkanlah salam, (2) bila ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya, (3) bila ia meminta nasihat, maka nasihatilah, (4) bila ia bersin lalu mengu-capkan tahmid (alhamdulillaah), maka do’akanlah (dengan ucapan: ‘Yarhamukallaah’), (5) bila ia sakit, maka jenguklah, dan (6) bila ia wafat, maka antarkanlah jenazahnya (ke pemakaman).” [2]

[6]. Islam menyuruh agar berlaku adil kepada orang lain dan mencintai apa yang dicintai mereka sebagaimana kita mencintai diri sendiri.

“Artinya : …Berlaku adillah, karena (adil itu) lebih dekat kepada takwa….” [Al-Maa-idah: 8]

[7]. Islam menyuruh berikhtiar untuk mencari rizki, menjaga kehormatan diri dan mengangkatnya dari posisi yang hina dan lemah.

Dalam mencari rizki, seseorang hendaknya berikhtiar terlebih dahulu, baru kemudian bertawakal (menggantungkan harapan) hanya kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana yang diperin-tahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Artinya : Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka sungguh kalian akan diberikan rizki oleh Allah sebagaimana Dia memberikannya kepada burung. Pagi hari ia keluar dalam keadaan kosong perutnya, kemudian pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” [3]

[8]. Islam mengajarkan berlaku amanah (dipercaya), menempati janji, baik sangka (husnu zhan), tidak tergesa-gesa dalam segala perkara dan berlomba dalam melakukan kebajikan.
B. KEINDAHAN ISLAM YANG BERUPA LARANGAN-LARANGAN
Di antara keindahan Islam adalah larangan-larangan yang memperingatkan seorang muslim agar tidak terje-rumus ke dalam keburukan dan ancaman keras atas akibat buruk dari perbuatan tercela itu. Di antara larangan Islam itu adalah.

[1]. Islam melarang syirik, yaitu menyekutukan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu. Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Allah meng-ampuni (dosa) selainnya bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa': 48]

[2]. Islam melarang kekafiran, kefasikan, kedurhakaan dan menuruti keinginan hawa nafsu.

[3]. Islam melarang bid’ah (mengadakan sesuatu ibadah yang baru dalam agama).

[4]. Islam melarang riba dan makan harta riba. Allah Subhanahu wa Ta'ala melaknat orang yang makan riba, wakilnya, saksi dan penulisnya.[4]

[5]. Islam melarang sifat takabur, dengki, ujub (bangga diri), hasad, mencela, memaki orang lain dan mengganggu tetangga.

[6]. Islam melarang perbuatan menggunjing (ghibah), yaitu membicarakan keburukan orang lain dan mengadu domba (namimah), yaitu mengadakan provokasi di antara sesama untuk menimbulkan kerusakan dan permusuhan.

[7]. Islam melarang banyak berbicara yang tidak berguna, menyebarluaskan rahasia orang lain, memperolok-olok dan menganggap remeh orang lain.

[8]. Islam juga melarang mencaci-maki, mengutuk, mencela dan ungkapan-ungkapan buruk dan memanggil orang lain dengan panggilan-panggilan buruk.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk (fasiq) sesudah beriman dan barangsiapa yang tidak ber-taubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. Wahai orang-orang yang beriman. Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [Al-Hujuraat: 10-12]

[9]. Islam melarang kita banyak berdebat, bertengkar, percandaan hina yang dapat membawa kepada kejahatan dan meremehkan orang lain.

[10]. Islam melarang pengkhianatan, perbuatan makar, ingkar janji dan fitnah yang dapat menyebabkan orang lain berada dalam ketidakpastian.

[11]. Islam melarang seorang anak durhaka kepada kedua orang tua dan memutus hubungan silaturahmi dengan sanak kerabat famili terdekat.

[12]. Islam melarang berburuk sangka, memata-matai dan mencari-cari kesalahan orang lain.

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain...” [Al-Hujuraat: 12]

[13]. Islam melarang membuat tato, mengerik bulu wajah, mencukur alis, menyambung rambut (sanggul) dan memakai pakaian yang tidak menutup aurat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Allah melaknat wanita yang bertato, wanita yang meminta ditato, wanita yang mengerik bulu wajah, wanita yang mencukur bulu alis matanya dan wanita yang mengikir giginya agar tampak cantik, mereka telah mengubah ciptaan Allah.” [5]

Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyambung rambut dan meminta disambung rambutnya.[6]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam dengan masuk Neraka bagi wanita yang tidak berbusana muslimah (berjilbab yang menutupi aurat), Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ada dua golongan penduduk Neraka, yang belum pernah aku lihat keduanya, yaitu suatu kaum yang memegang cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, ia berjalan berlenggak-lenggok dan kepalanya dicondongkan seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aroma Surga, padahal sesungguhnya aroma Surga dapat tercium sejauh perjalanan begini dan begini.” [7]

Syarat jilbab wanita muslimah yang sempurna.
a. Menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan dua telapak tangan.
b. Kainnya tebal, tidak tipis atau transparan.
c. Harus longgar, tidak ketat.
d. Tidak memakai wangi-wangian (parfum).
e. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
f. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.[8]

[14]. Islam melarang minuman keras (khamr), mengkonsumsi atau memperjualbelikan narkoba dan melarang perjudian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr (minuman keras), berjudi, ( berkorban untuk ) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan itu) agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu syaitan bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” [Al-Maa-idah: 90-91]

[15]. Islam melarang promosi palsu dan dusta, curang dalam takaran dan timbangan. Menggunakan harta kekayaan dalam hal yang diharamkan.
Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Artinya : Celakalah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.” [Al-Muthaffifin: 1-3]

[16]. Islam melarang perbuatan saling menjauhi satu sama lain, saling bermusuhan, acuh tak acuh dan melarang seorang muslim tidak menegur saudaranya sesama muslim lebih dari tiga hari.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Tidak halal bagi seorang muslim untuk membiarkan saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya bertemu te-tapi saling memalingkan muka. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” [9]

[17]. Islam melarang onani, perzinahan, homoseks, lesbian dan membunuh jiwa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela. Tetapi barangsiapa mencari yang di balik (zina dan sebagainya) itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [Mukminun: 5-7]

[18]. Islam melarang kita menerima uang sogokan (suap) atau menyuap orang lain. Dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu 'anhuma.

“Artinya : Rasulullah j melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap.” [10]

Orang yang menyuap dan yang disuap hukumnya sama bagi keduanya, yaitu berdosa. Suap menyuap hukumnya haram, meskipun mereka memakai istilah “hadiah”, “uang jasa”, “uang damai”, dan lainnya.

Demikianlah ulasan singkat tentang perintah-perintah dan larangan-larangan Islam yang menunjukkan kebenaran dan keindahannya.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]

Sumber: 
almanhaj.or.id
__________
Foot Note
[1]. Lihat ath-Thariq ilal Islam oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.
[2]. HR. Muslim (no. 2162 (5)) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[3]. HR. At-Tirmidzi (no. 2344), Ahmad (I/30), Ibnu Majah (no. 4164). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dishahihkan pula oleh al-Hakim (IV/318) dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, lafazh ini milik Ahmad.
[4]. HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan lainnya.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 4886, 5931, 5948) dan Muslim (no. 2125) dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu. Lihat keterangan lengkap dalam Adabuz Zifaf (hal 202-203).
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5947) dan Muslim (no. 2124) dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhu
[7]. HR. Muslim (no. 2128), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[8]. Untuk lebih lengkapnya, silakan lihat kitab Jilbabul Mar-atil Mus-limah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 6077) dan Muslim (no. 2560) dari Shahabat Abu Ayyub al-Anshary Radhiyallahu 'anhu
[10]. HR. Abu Dawud (no. 3580), at-Tirmidzi (no. 1337) dan ia berkata: “Hadits hasan shahih.”

Kedudukan Wanita Dalam Berdakwah Mengajak Ke Jalan Allah

Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: "Apa pendapat Anda tentang wanita dan kegiatan dakwahnya untuk mengajak ke jalan Allah ?"

Jawaban.
Kedudukannya sebagaimana kedudukan kaum laki-laki yang mempunyai kewajiban dakwah mengajak ke jalan Allah dan memerintahkan perbuatan baik dan mencegah kemungkaran, karena teks Al-Qur'an dan Sunnah yang suci menunjukkan hal tersebut, sementara pendapat ulama dalam masalah tersebut juga sangat jelas.

Maka seorang wanita berkewajiban untuk berdakwah ke jalan Allah, memerintahkan kepada perbuatan baik dan mencegah kemungkaran dengan adab yang Islami yang dituntut juga dari seorang lelaki. Ia juga hendaknya tidak berpaling dari dakwah ke jalan Allah karena putus asa dan tidak sabar, akibat hinaan atau cacian dari beberapa orang. Akan tetapi ia harus bertahan dan bersabar walaupun ia melihat beberapa orang yang memperlihatkan suatu ejekan. Hendaklah ia menjaga perkara-perkara lain yakni menjadi suri tauladan dalam menjauhkan diri dari hal yang haram, menutup diri dari pandangan laki-laki selain mahram dan menjaukan diri dari ikhtilath.

Lebih dari itu hendaknya dalam dakwahnya ia memperhatikan penjagaan diri dari segala yang diingkarinya. Saat berdakwah kepada kaum lelaki, hendaklah ia berdakwah dalam keadaan memakai hijab dan tidak berduaan dengan salah seorang dari mereka. Apabila berdakwah kepada kaum wanita, hendaklah ia berdakwah dengan hikmah dan menjadi orang yang bersih akhlaq dan perbuatannya sehingga mereka tidak menentangnya dan berkata: "Mengapa ia tidak memulai perbuatan baik dari dirinya sendiri".

Hendaknya ia menjauhi pakaian yang bisa menimbulkan fitnah kepada orang lain dan menjauhi segala perkara yang bisa menimbulkan fitnah, dari mulai menampakkan keindahan tubuh, lemah lembut dalam berbicara dan segala yang diingkarinya dalam dakwahnya. Justru ia harus berdakwah ke jalan Allah dengan tetap menjaga kondisi yang tidak membahayakan agamanya dan menodai nama baiknya sendiri.

[Majmu' Fatawa wa Rasail Mutanawwi'ah, Syaikh Bin Baz, 4/240]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-3, hal. 201, Darul Haq]

Sumber: 
almanhaj.or.id

SEBUAH NASIHAT UNTUK ISTRIKU


 
Bersabarlah wahai istriku…
Ketika keadaan mendadak berubah tak seperti biasa. Karena engkau tahu jalan hidup tak selamanya sesuai dengan harapan kita. Karena bahagia tak bisa selamanya kita rasa. Karena Allah telah menuliskan semuanya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman:

”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. al-Hadiid: 22-23)

Dan ketika engkau merasa lelah dan bimbang, datang dan bersandarlah di pundakku. Supaya dapat kukisahkan lagi sirah Nabi yang dapat menyemangatimu. Dan bisa kulihat lagi senyum manis diwajahmu. Karena senyuman adalah lengkungan yang dapat meluruskan segalanya.

Oleh karena itu, bersabarlah istriku...
Karena ujian akan selalu ada dalam tiap cerita manusia. Dan janganlah engkau banyak mengeluh. Tapi berbaik sangkalah pada Rabb-mu yang telah memilih kita menjadi hamba-hamba yang dicintai-Nya. Ingatkah engkau pada salah satu firman-Nya:
”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”(QS. al-’Ankabut: 2-3)

Bukankah engkau selalu memohon kepada ar-Rahmaan agar kita digolongkan kepada orang-orang beriman? Maka ketahuilah istriku, inilah 
sabilul mukminin (jalan orang-orang beriman). Jalan mereka tidak senantiasa mudah. Dan jalan mereka tidak senantiasa lapang.

Maka sabarkanlah dirimu wahai istriku,
Sebagaimana para Shahabat dan Salafush Shalih telah bersabar atas apa yang Allah tetapkan atas mereka. Sesungguhnya kita tidak pernah mengetahui apa yang baik untuk kita, melainkan telah Allah tetapkan dengan ilmu-Nya yang tak berbatas. Ingatkah engkau pada firman-firman-Nya:
”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 216)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”(QS. al-Qamar: 49)
”Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”(QS. al-An’aam: 59)

Maka janganlah engkau ingkar terhadap apa yang engkau sendiri telah meyakininya.

Itulah kenapa aku selalu memintamu untuk bersabar wahai istriku...
Karena sabar itu adalah perisai seorang mukmin. Dan tidaklah seorang mukmin itu mendapatkan jannah melainkan dia bersabar atas ketetapan Rabb-nya. Dan sabarmu itu laksana pedang tajam yang tidak akan salah sasaran, pasukan yang tak terkalahkan, dan benteng kokoh yang tak dapat diruntuhkan.

Ketahuilah istriku...
Sabar itu bersaudara dengan kemenangan. Dan dari setiap masalah akan ada jalan keluar yang datang bersama kesabaran. Bukankah Allah Ta’ala telah mengisyaratkan dalam firman-Nya:
”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah: 5-6)
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)

Wahai istriku...
Sabar itu adalah tali seorang mukmin yang dia berpegang kepadanya karena keimanannya. Tidaklah seorang mukmin itu memiliki keimanan melainkan telah ada kesabaran dalam dirinya. Dan iman itu terdiri dari sabar dan syukur, maka jagalah dua hal ini olehmu.
”Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang-orang yang sabar dan bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5; Luqman: 31; Saba’: 19; dan asy-Syura’: 33)

Ingatlah wahai istriku...
Allah ar-Rahmaan telah menjamin balasan dan kebaikan bagi orang-orang yang sabar dalam firman-firman-Nya:
”Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,”(QS. Al-Qashash: 54)
”Katakanlah: ”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. az-Zumar: 10)
”kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Huud: 11)
”Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”(al-Fushshilat: 35)
”Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. an-Nahl: 126)

Maka tetapkanlah dirimu untuk senantiasa bersabar wahai istriku...

thank you