Keridhaan Malaikat terhadap Para Penuntut Ilmu
oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dari Abu Darda' menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
"Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, niscaya Allah subhanahu wata’ala menyediakan jalan untuknya menuju surga. Sesungguhnya para malaikat melebarkan sayapnya karena ridha kepada orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya ulama dimintakan ampun oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi sampai paus yang di dalam laut. Keutamaan seorang alim atas seorang abidseperti keutamaan bulan atas segala bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang banyak."
Al-Walid bin Muslim meriwayatkan dari Khalid bin Yazid, dari Usman bin Aiman, dari Abu Darda' bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda,
"Barangsiapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah subhanahu wata’ala membukakan kepadanya jalan menuju surga dan para malaikat pun membentangkan sayap untuk menaunginya. Dan para malaikat di langit serta ikan paus di laut bershalawat untuknya. Keutamaan seorang ulama atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas semua bintang. Ulama adalah pewaris para nabi, para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu, maka dia telah mendapatkan bagian yang banyak (dari warisan itu). Kematian seorang ulama merupakan musibah yang tidak bisa diobati, lubang yang tidak dapat disumbat, dan bintang yang hancur. Kematian satu kabilah lebih ringan daripada kematian seorang alim." (HR Baihaqi)
Jalan yang dilalui orang yang mencari ilmu adalah jalan menuju surga. Ini sebagai balasan baginya, karena di dunia ia telah menempuh jalan untuk mencari ilmu yang mengantarkan ia kepada ridha Tuhan. Para malaikat pun meletakkan sayap mereka sebagai rasa ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan terhadap apa yang ia bawa dan ia cari, yaitu warisan para nabi. Semua ini menunjukkan kecintaan dan penghargaan para malaikat terhadapnya.
Di antara kecintaan dan penghormatan para malaikat kepadanya adalah mereka meletakkan sayap mereka karena ia mencari sebab kehidupan dan keselamatan dunia. Antara malaikat dan seorang alim terdapat kesamaan. Malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling bermanfaat bagi anak cucu Adam, dengan perantara mereka juga manusia mendapatkan kebahagiaan, ilmu pengetahuan, dan petunjuk.
Di antara manfaat dan kebaikan para malaikat kepada manusia adalah mereka meminta pengampunan atas dosa manusia, memuji orang-orang mukmin, dan membantu anak cucu Adam menghadapi setan. Bahkan mereka sangat menginginkan kebaikan bagi hamba Allah subhanahu wata’ala melebihi keinginan kebaikan bagi diri mereka sendiri. Mereka juga menginginkan kebaikan dunia dan akhirat bagi hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh hamba tersebut dan tidak pernah terlintas dalam benaknya. Seperti yang dikatakan beberapa tabi'in bahwa para malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan setan-setan adalah akhlak yang paling jahat.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
"(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), 'Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang bertaobat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga 'Aden yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari balasan kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan hari itu, maka sesungguhnya Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (al-Ghaafir: 7-9)
Maka, hanya kebaikan para nabi yang menyerupai kebaikan para malaikat ini. Sehingga jika seorang hamba menuntut ilmu, maka ia memperoleh kebaikan yang paling agung. Karena itu, mereka dicintai dan dihormati para malaikat sehingga mereka melebarkan sayap-sayap mereka baginya sebagai rasa senang, cinta, dan penghormatan. Abu Hatim ar-Razy berkata, "Saya pernah mendengarkan Ibnu Abi Uwais berkata bahwa dia mendengar Malik bin Anas berkata, 'Makna sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. 'para malaikat melebarkan sayap-sayapnya' adalah berdoa untuk penuntut ilmu, dan 'sayap' dalam hadits tersebut adalah sebagai ganti dari kata tangan."
Ahmad bin Marwan al-Maliki dalam kitab Al-Mujalasah mengatakan bahwa Zakariya bin Abdurrahman al-Bashri berkata bahwa dia mendengar Ahmad bin Syu'aib berkata, "Kami pernah berkumpul dengan beberapa ahli hadits di Bashrah dan mereka menyampaikan kepada kami sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para malaikat melebarkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu. Pada saat itu ada seorang Mu'tazilah yang ikut di majelis kami menertawakan hadits itu. Lalu orang Mu'tazilah tersebut berkata, 'Demi Allah, besok aku akan memasang paku di bawah sandalku, lalu aku akan menginjak-nginjak sayap-sayap para malaikat itu.' Lalu orang Mu'tazilah tersebut melakukan hal itu terhadap sandalnya dan memakainya, setelah beberapa hari tiba-tiba kedua kakinya lumpuh dan terkena penyakit."
Imam Thabrani berkata, "Saya mendengar Yahya Zakariya bin Yahya as-Saji berkata bahwa ia berjalan di beberapa lorong di Bashrah menuju rumah seorang ahli hadits dengan agak tergesa-gesa. Kala itu kami berjalan dengan seseorang yang cacat dalam agamanya. Dan dengan nada mengejek orang itu berkata, 'Angkatlah kaki kalian dari sayap-sayap para malaikat, janganlah mematahkannya!' Belum lagi meninggalkan tempatnya, kakinya kejang dan ia pun terjatuh,"
Dalam Kitab-kitab Sunan dan Musnad-musnad, disebutkan sebuah hadits Shafwan bin Assal, bahwasnya ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya datang kepadamu untuk menuntut ilmu." Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menjawab, "Selamat datang kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya para malaikat mengelilingi dan menaungi orang yang menuntut ilmu dengan sayap-sayapnya. Maka, karena kecintaan mereka kepada apa yang dicari seorang penuntut ilmu, mereka saling menunggangi satu sama lainnya untuk menaunginya sehingga mencapai langit.” Lalu Nabi menyebutkan hadits tentang mengusap khuf.
Abu Abdullah bin Hakim berkata bahwa sanad hadits ini adalah shahih. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa ini adalah hadits shahih hasan tsaabit, mahfuudh dan marfu', dan hadits semacam ini tidak dikatakan berdasarkan rasio. Dalam hadits ini disebutkan bahwa para malaikat mengelilingi penuntut ilmu dengan sayap-sayapnya hingga mencapai langit. Sedangkan, dalam hadits sebelumnya disebutkan bahwa para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka. Maksud dari meletakkan sayap adalah ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan. Dan, maksud dari mengelilingi dengan sayap adalah menjaga, melindungi, dan membentengi.
Maka, kedua hadits tersebut mencakup penghormatan, kecintaan, perlindungan dan pemeliharaan malaikat kepada orang yang menuntut ilmu. Seandainya hanya ini yang diperoleh seorang penuntut ilmu, tentunya itu sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tersendiri.
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Sesungguhnya seorang alim dimintakan ampunan oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi hingga ikan-ikan di lautan," maksudnya tatkala seorang alim merupakan sebab diperolehnya ilmu yang merupakan kunci keselamatan manusia dari kehancuran, sehingga keselamatan manusia diperoleh dengan perantara dia, maka dia mendapatkan balasan sejenis dengan perbuatannya. Sehingga, semua penghuni langit dan bumi selalu berusaha menyelematkannya dari sebab-sebab kebinasaan, yaitu dengan meminta ampunan untuknya. Jika orang-orang mukmin pada umumnya dimintakan ampunan oleh para malaikat, tentunya lebih utama lagi orang-orang khusus dan terbaik dari mereka.
Dikatakan bahwa makhluk langit dan makhluk bumi yang memintakan ampunan bagi orang alim adalah umum, mencakup binatang dan sebagainya, baik yang berbunyi maupun yang tidak. Ini ditegaskan dengan sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, "Hingga ikan-ikan di lautan dan semut di sarangnya memintakan ampun bagi orang yang menuntut ilmu."
Ada yang berpendapat bahwa sebab dari permintaan ampunan dari makhluk-makhluk tersebut untuk orang alim adalah karena orang alim mengajarkan kepada manusia cara memelihara binatang, memperkenalkan yang halal dan yang haram, memberitahukan cara menangkap, menggunakan, menunggangi, memanfaatkan dan menyembelih hewan. Orang alim adalah orang yang paling sayang dan paling baik kepada binatang, karena ia menjelaskan kepada manusia tujuan penciptaannya.
Secara global, kasih sayang dan kebaikan yang karenanya dan untuknya hewan diciptakan, serta bagian dari kedua hal itu yang ditetapkan untuknya hanya dapat diketahui dengan ilmu. Maka, orang alimlah yang mengajarkan hal itu. Karena itu, sudah selayaknya semua binatang memohonkan ampunan baginya. Wallaahu wa'alam.
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, "Keutamaan orang berilmu dari ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang," merupakan perumpamaan yang sangat pas. Karena bulan menerangi penjuru cakrawala dan cahayanya meluas ke penjuru alam. Ini sebagaimana perihal orang berilmu.
Sedangkan bintang-gemintang, cahayanya tidak melewati dirinya atau hanya sampai kepada sesuatu yang terdekat darinya. Hal ini sebagaimana seorang ahli ibadah, dia hanya menerangi dirinya sendiri, tidak menerangi orang lain. Jika cahaya ibadahnya menggapai orang lain, maka jangkauannya tidak jauh sebagaimana cahaya bintang melampaui dirinya sedikit. Di antara riwayat yang sesuai dengan hadits ini adalah sebuah atsar yang berbunyi, "Pada hari kiamat Allah subhanahu wata’ala subhanahu wata’ala berfirman kepada seorang ahli ibadah, 'Masuklah ke surga sendiri, karena manfaatmu hanya untuk dirimu.' Sedangkan kepada seorang alim dikatakan, 'Berikanlah syafaat kepada orang lain maka kamu akan mendapatkan syafaat, sesungguhnya engkau telah memberi manfaat kepada manusia. "
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Atha' dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwa pada hari kiamat orang berilmu dan orang ahli ibadah akan dipanggil, lalu dikatakan kepada ahli ibadah, "Masuklah surga", dan dikatakan kepada orang yang berilmu, "Mintalah syafaat maka kamu akan mendapatkannya."
Dalam penyerupaan seorang alim dengan bulan dan seorang abid seperti bintang terdapat hikmah lainnya. Yaitu bahwa kebodohan seperti malam gelap gulita, sedangkan seorang para ulama dan para ahli ibadah dalam kegelapan itu seperti bulan dan bintang-gemintang. Maka dalam keadaan gelap gulita itu, keutamaan cahaya seorang alim seperti keutamaan cahaya bulan atas cahaya bintang.
Di samping itu, tegaknya agama adalah karena ditopang, dihias, dan diterangi oleh para ulama dan ahli ibadah. Apabila para ulama dan ahli ibadahnya hilang, maka hilanglah agama, sebagaimana langit yang dihias dan diterangi oleh bulan dan bintang-gemintang. Jika bulan dan bintang-bintang hilang dari langit, maka datanglah hari kiamat yang dijanjikan Allah subhanahu wata’ala.
Apabila seseorang bertanya. "Mengapa orang berilmu diserupakan dengan bulan bukan dengan matahari, padahal cahaya matahari lebih besar?" Terhadap pertanyaan ini ada yang menjawab, bahwa dalam perumpamaan tersebut terdapat dua hal penting.
Pertama, karena cahaya bulan merupakan pantulan cahaya matahari, maka orang berilmu yang mengambil ilmu dari risalah Nabi shallallahu alaihi wasallam. lebih sesuai jika diserupakan dengan bulan daripada dengan matahari.
Kedua, cahaya matahari tetap, tidak berubah, dan tidak memiliki tingkatan. Sedangkan bulan, terkadang cahayanya sedikit, banyak, penuh, dan berkurang sebagaimana para ulama yang ilmunya bertingkat-tingkat; ada yang ilmunya sedikit ada juga yang banyak. Perbedaan tingkatan para ulama bagaikan perbedaan keadaan bulan. Dari bulan purnama yang sempurna, lalu berkurang sedikit demi sedikit hingga pada keadaannya yang paling akhir. Di sisi Allah subhanahu wata’ala tingkatan ulama pun berbeda-beda.
Jika ada yang mengatakan bahwa penyerupaan ulama dengan bintang-gemintang adalah hal yang sudah diketahui secara umum, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Sahabat-sahabatku seperti bintang-gemintang," lalu mengapa para ulama diserupakan dengan bulan? Sebagai jawabannya, dikatakan adapun perumpamaan ulama dengan bintang karena bintang dipakai sebagai petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut, demikian pula dengan para ulama. Bintang-bintang adalah penghias langit dan ulama adalah penghias bumi. Bintang-gemintang menjadi penghalang bagi para setan agar tidak mencuri dengar berita langit, sehingga tidak bercampur dengan kebohongan-kebohongan yang mereka buat. Demikian pula para ulama, mereka menjadi lemparan penghalang bagi setan jin dan manusia yang membisikkan kata-kata indah yang memperdaya.
Para ulama menjadi penghalang bagi kelompok jahat ini untuk melakukan akivitas mereka. Seandainya tidak karena para ulama, maka hancurlah ajaran-ajaran agama karena pemalsuan orang-orang yang sesat. Allah subhanahu wata’ala menjadikan para ulama sebagai penjaga bagi agama-Nya dan sebagai penghalang bagi musuh-musuh para rasul-Nya. Dan ini adalah bentuk keserupaan mereka dengan bintang.
Sementara itu, perumpamaan mereka dengan bulan adalah pada posisi keutamaan mereka atas ahli ibadah semata. Perbandingan antara keduanya adalah perbandingan keutamaan dan makna, yaitu bahwa mereka melampaui ahli-ahli ibadah yang bukan ulama sebagaimana bulan melebihi bintang-bintang. Masing-masing dua perumpamaan itu adalah tepat sesuai tempatnya masing-masing.
Adapun perkataan Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, merupakan keistimewaan yang paling besar bagi orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya para nabi adalah hamba Allah subhanahu wata’ala yang terbaik. Maka, para pewaris mereka juga merupakan orang-orang terbaik setelah mereka. Karena para ulama menunaikan tugas para rasul dalam menyampaikan ajaran agama, maka merekalah orang-orang yang paling berhak mewarisi para rasul. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang terdekat dengan para rasul, karena hanya orang-orang terdekat yang mendapatkan warisan, sebagaimana dalam pewarisan harta. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mengkhususkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki.
Dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, menunjukkan perintah bagi umat untuk mentaati, menghormati, meninggikan, dan memuliakan mereka, karena mereka juga adalah pewaris beberapa hak para nabi atas umat. Karena mencintai para nabi adalah bagian dari tuntunan agama dan membenci mereka bertentangan dengan agama, demikian juga terhadap para pewaris mereka. Ali berkata, "Mencintai ulama merupakan tuntunan agama yang harus dilaksanakan." Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah hadits Qudsi,
"Barangsiapa yang menentang wali-Ku, maka dia telah menantang Aku untuk berperang."{HR Bukhari dan Abu Nu'aim)
Jadi para pewaris nabi adalah para wali Allah subhanahu wata’ala.
Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, terdapat isyarat mereka untuk mengikuti petunjuk para nabi dalam menyampaikan agama. Yaitu, dengan penuh kesabaran, membalas kejahatan manusia dengan kebaikan, lemah lembut dan mengajak manusia kepada jalam Allah dengan cara yang terbaik, serta selalu berusaha memberikan nasehat kepada manusia untuk menunaikan kebajikan. Dengan itulah mereka memperoleh bagian dari warisan para nabi yang sangat berharga dan mulia nilainya.Ini juga merupakan peringatan bagi orang-orang berilmu untuk mendidik umat sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Maka, mereka harus mendidik umat secara bertahap dan bertingkat, mulai dari pengetahuan-pengetahuan yang kecil sampai kepada yang besar. Mereka juga hanya membebankan kepada umat apa yang mampu mereka pikul, sebagaimana yang dilakukan seorang bapak kepada anaknya yang masih kecil dalam memberikan makanan kepadanya. Manusia bagi para nabi dan rasul seperti anak-anak di hadapan bapaknya, bahkan lebih rendah lagi. Karena itu, setiap jiwa yang tidak terdidik oleh para rasul tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak dapat melakukan kebajikan. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah syair,
"Orang yang tidak dididik oleh Rasul
dan tidak diberi minum dari ajaran agamanya
Maka ia adalah orang hilang yang tidak memiliki ikatan loyalitas
Dan tidak akan tumbuh melampaui anak-anak sebayanya."
Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam. bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi mewariskan ilmu, menunjukkan kesempurnaan para nabi dan besarnya kebaikan mereka terhadap umat, serta menunjukkan kesempurnaan nikmat Allah subhanahu wata’ala kepada mereka. Dengan demikian, umat mereka harus menghilangkan penyakit hati yang membuat seseorang berpikir bahwa para nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia dan kemewahannya. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga umat ini dari anggapan seperti ini. Karena pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia untuk anaknya sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang untuk anaknya, maka sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. di atas menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata’ala menghindarkan para nabi dan rasul dari anggapan semacam itu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. bersabda,
"Kami -para nabi- tidak meninggalkan warisan. Apa yangkami tinggalkan adalah sedekah."
Jadi para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tapi mewariskan ilmu. Sedangkan firman Allah subhanahu wata’ala,
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
"Dan Sulaiman mewarisi Daud." (an-Naml: 16)
Ini adalah pewarisan ilmu dan kenabian bukan pewarsian yang lain, sebagaimana disepakati oleh para mufassir. Alasannya karena Nabi Daud a.s. memiliki banyak anak selain Nabi Sulaiman. Seandainya warisan itu berupa harta, maka Nabi Sulaiman a.s. tidak akan dikhususkan untuk mendapatkannya. Di samping itu, firman Allah subhanahu wata’ala tidak mungkin dan tidak layak menyampaikan hal semacam itu, karena itu sama saja dengan ucapan kita, "Si Fulan telah mati dan diwarisi oleh anaknya". Kita juga sudah maklum adanya bahwa setiap orang mewarisi anaknya, sehingga tidak ada gunanya menyampaikan hal seperti ini secara khusus dalam Al-Qur'an. Ayat sebelum dan sesudahnya juga menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah warisan ilmu dan kenabian, bukan warisan harta. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْماً وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِّنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
"Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Daud dan Sulaiman ilmu. Dan keduanya berkata/Puji syukur kepada Allah yang mengutamakan kami atas banyak hamba-hamba-Nya yang beriman.' Dan Sulaiman mewarisi Daud." (an-Naml: 15-16)
Dan disebutkan kata-kata "Dan Sulaiman mewarisi Daud" adalah untuk menjelaskan kelebihan dan kekhususan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Sulaiman a.s., berupa kemuliaan yang dimiliki ayahnya yaitu ilmu dan kenabian.
Kemudian Allah subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
"Sesungguhnya ini adalah karunia yang sangat jelas." (an-Naml: 16)
Demikian pula dalam ucapan Zakaria yaitu dalam firman Allah subhanahu wata’ala,
وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِراً فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّاً يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيّاً
"Dan sesungguhnya aku akan khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi aku dengan mewarisi sebagian keluarga Ya'kub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai." (Maryam: 5-6)
Yang dimaksud di sini adalah warisan ilmu, kenabian, dan dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebab tidak dapat dibayangkan jika seorang nabi khawatir tidak memiliki sanak keluarga yang mewarisi hartanya, kemudian memohon kepada Allah subhanahu wata’ala untuk dikaruniai seorang anak yang akan mewarisinya dan menjadi orang yang paling berhak untuk menerimanya. Allah subhanahu wata’ala mensucikan para nabi dan rasul-Nya dari sifat semacam ini dan semisalnya. Maka, hal ini jauh sekali dari anggapan orang-orang yang memalsukan kitab Allah subhanahu wata’ala dan menuduhkan kepada para nabi hal-hal yang tidak layak ada pada mereka. Puji syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala taufik dan hidayah-Nya.
Dikisahkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa pada suatu hari ia melewati sebuah pasar dan melihat orang-orang sedang berdagang dan berjual beli, lalu Abu Hurairah r.a. berkata, "Kalian ada di sini. Mengapa kalian tidak ikut mengambil warisan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. yang dibagikan di mesjid?" Lalu mereka segera bangkit dan pergi menuju ke masjid. Akan tetapi, ketika sampai di masjid mereka tidak menemukan sesuatu kecuali orang-orang yang membaca Al-Qur'an, berzikir, dan majelis ilmu. Maka, mereka pun bertanya kepada Abu Hurairah r.a., "Wahai Abu Hurairah, mana yang engkau katakan tadi?" Abu Hurairah menjawab, "Inilah warisan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. yang dibagikan kepada para ahli warisnya, bukannya harta dan kernewahan dunia."
Adapun sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Barangsiapa yang mengambil warisan Nabi itu, maka ia mendapatkan bagian yang banyak", maksudnya bagian yang manfaatnya paling besar, paling baik, dan paling langgeng bagi manusia, dan tidak lain ini adalah ilmu dan agama. Karena manfaat ilmu dan agama yang dimiliki seseorang lalu diajarkan kepada orang lain adalah kekal. Apabila terputus dari pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap sampai kepada pemiliknya untuk selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang dan sia-sia. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu beterbangan." (al-Furqaan: 23)
Sesungguhnya jika tujuan dari pekerjaan seseorang tidak kekal dan terputus, maka setelah kematiannya ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari apa yang ia lakukan, ini merupakan musibah yang tidak bisa diobati. Oleh karena itu, kita berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga kita dihindarkan dari kerugian semacam itu. Laa haula walaa quwwata ilia billah.
Adapun sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., "Kematian orang berilmu adalah musibah yang tidak dapat diobati, kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dan bintang yang hilang. Dan kematian satu suku lebih ringan daripada kematian seorang berilmu", karena baiknya kehidupan adalah karena ulama. Jika bukan karena mereka, maka manusia seperti hewan bahkan lebih buruk keadaannya. Sudah barang tentu kematian seorang ulama adalah musibah yang tidak dapat diobati, kecuali oleh seorang ulama baru sesudahnya.
Para ulama adalah orang-orang yang mengarahkan umat, negara, dan kekuasaan. Sehingga, kematian mereka mengakibatkan kerusakan pada sistem alam. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala senantiasa menyiapkan para ulama yang menggantikan ulama-ulama yang terdahulu untuk menjelaskan agama-Nya kepada umat. Dengan mereka maka agama, Kitab, dan hamba-hamba-Nya terpelihara.
Jika ada seseorang yang kaya raya dan dermawan yang melampaui kekayaan dan kedermawanan semua orang di dunia, dan semua umat manusia sangat membutuhkan uluran tangannya, maka jika orang tersebut meninggal apa yang bisa Anda bayangkan? Namun, kerugian karena kematian seorang ulama, jauh lebih besar dibandingkan kematian orang semacam itu. Karena kematian seorang ulama berarti kematian manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana dikatakan seorang pujangga,
"Tahukah engkau musibah karena hilangnya harta
tidak akan ada kambing dan unta yang mati karenanya
Akan tetapi kematian seseorang yang berjasa
menyebabkan kematian banyak manusia."
tidak akan ada kambing dan unta yang mati karenanya
Akan tetapi kematian seseorang yang berjasa
menyebabkan kematian banyak manusia."
Dan pujangga yang lain berkata,
"Kematiannya tidak bisa disamakan
dengan kematian satu orang,
akan tetapi kematiannya
adalah kehancuran bangunan bangsa."
_________________
1.Dan itu karena Mu'tazilah menentang nash-nash syariat sesuai dengan akal mereka yang rusak. Mereka menerima apa yang sesuai dengan akal mereka dan menolak apa yang ditolak akal. Hadits ini telah ditentang oleh orang Mu'tazilah tersebut karena tidak sesuai dengan akalnya. Dia beranggapan bahwa balasan kepada seseorang mesti dari jgnis perbuatannya.
2 Diriwayatkan Ahmad (IV/240), ath-Thabari dalam kitab al-Jamii'al-Kabiir, al-Hakim (1/100) dan berkata, "Ini adalah sanad shahih" dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya nomor 85, Ibnu Abdil al-Barr dalam kitab Jami' al-'flm (1/32-33). Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Tarhiib wa at-Targhiib (1/34).
3. Diriwayatkan secara marfu’ oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ al-Ilm hal. 47 dari riwayat Jabir bin Abdillah. Diriwayatkan juga oleh Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal-Mutafaqqih (1/20), Al-Baihaqi dalam Syu’ub al-Imaan (11/268) dan ia berkata: “Hadits ini adalah hadits Fard dari Munqatil bin Sulaiman.” Imam Al-Bukhari berkata bahwa Munqatil bin Salman munkar al-hadits. Yahya bin Ma’in berkata bahwa hadits Munqatil bin Sulaiman sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan.
4. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’adz Dzawaa’id (1/123-123, Ath-Thabrani Al-Mu’jam al-Ausath dan dia berkata bahwa sanadnya hasan. Al-Munziri juga mengatakan demikian dalam At-Targhib wat-Tarhib (1/61).
Sumber: "Kunci Kebahagiaan" (Muhktasar Miftah Daar as-Sa'adah), Pentahqiq: Abu Hafs Sayyid bin Ibrahim bin Shidiq Imran, hal 134-143; Penerbit: Akbar, cetakan pertama, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar