MAKNA DZIKIR SECARA BAHASA (ETIMOLOGI)
Dzikir (ذِكْرٌ), secara bahasa maknanya adalah sesuatu yang sering diucapkan lisan. [Al-Qamus Al-Muhith (hal. 507) dan Lisaanul-‘Arab (5/48)]. Terkadang dimaksudkan untuk menghapal sesuatu.
Ar-Raghiib Al-Asfahaaniy menjelaskan makna Adz-Dzikir dalam kitabnya Al-Mufradaat sebagai berikut:
الذكر : تارة يقال ويراد به : هيئة للنفس بها يمكن للإنسان أن يحفظ ما يقتنيه من المعرفة ، وهو كالحفظ إلا أن الحفظ يقال اعتباراً باحترازه ، والذكر يقال اعتباراً باستحضاره . وتارة يقال لحضور الشيء القلب أو القول . ولذلك قيل منهما ضربان : ذكر عن نسيان . وذكر لا عن نسيان ، بل عن إدامة الحفظ
“Adz-Dzikr, kadangkala yang dimaksudkan adalah satu keadaan yang terjadi pada diri seseorang yang dengannya ia bisa tenang dan merasa puas untuk menghapal suatu pengetahuan. Istilah dzikir sama halnya dengan menghapal, hanya saja bedanya dalam menghapal mengandung makna menyimpan, sedangkan dzikir mengandung makna mengingat. Dan terkadang dzikir bermakna mendatangkan sesuatu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karenanya, dzikir bisa berarti mengingat dari kelupaan, dan dzikir (mengingat) itu tidak hanya disebabkan karena lupa, tapi justru karena ingat maka berdzikir.” [Al-Mufradaat (hal. 328)]
MAKNA DZIKIR SECARA ISTILAH (TERMINOLOGI)
Secara istilah (terminologi), Dzikir maknanya adalah :
كل قول سيق للثناء والدعاء . أي ما تعبدنا الشارع بلفظ منا يتعلق بتعظيم الله والثناء عليه ، بأسمائه وصفاته ، وتمجيده وتوحيده ، وشكره وتعظيمه ، أو بتلاوة كتابه ، أو بمسألته ودعائه
“Setiap perkataan yang diungkapkan untuk menyanjung, berdoa, artinya segala perkataan (wirid) yang kita ucapkan dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala untuk mengagungkan-Nya, menyanjung-Nya dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengesakan-Nya, dan mensyukuri-Nya, atau dengan membaca Al-Qur’an, atau dalam rangka memohon dan meminta kepada-Nya.” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (21/220) dan Al-Futuuhaat Ar-Rabbaniyyah (1/18)]
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata :
والمراد بالذكر هنا الإتيان بالألفاظ التي ورد الترغيب في قولها والإكثار منها مثل الباقيات الصالحات وهي "سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر" وما يلتحق بها من الحوقلة والبسملة والحسبلة والاستغفار ونحو ذلك والدعاء بخيري الدنيا والآخرة، ويطلق ذكر الله أيضا ويراد به المواظبة على العمل بما أوجبه أو ندب إليه كتلاوة القرآن وقراءة الحديث ومدارسة العلم والتنفل بالصلاة،
“Dan yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan dan memperbanyak segala bentuk lafadh yang di dalamnya berisi tentang kabar gembira, seperti kalimat : subhaanallaahi, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar; dan yang semisalnya, doa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan termasuk juga dzikir kepada Allah adalah segala bentuk aktifitas amal shalih yang hukumnya wajib ataupun sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, membaca Hadiits, belajar ilmu agama, dan melakukan shalat-shalat sunnah.” [Fathul-Baari (11/209)]
Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata :
فمثل أنواع الذكر من التسبيح والتكبير والتحميد والتهليل والاستغفار والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم وكذلك تلاوة القرآن والمشي إلى المساجد والجلوس فيها لانتظار الصلاة أو لاستماع
“Contohnya adalah berbagai macam jenis dzikir seperti tasbiih, takbiir, tahmiid, tahliil, istighfaar, bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula membaca Al-Qur’an, berjalan menuju masjid, duduk di dalamnya untuk menunggu shalat ditegakkan, dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an.” [Jaami’ul-Ulum wal-Hikam (hal. 325)]
Dapat kita lihat bahwa makna dzikir sebagaimana penjelasan para ulama mu’tabar adalah luas, tidak sesempit yang dipahami sebagian orang. Oleh karena itu, ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah pernah menjelaskan cakupan makna Majelis Dzikir sebagaimana tercantum dalam riwayat berikut :
عن أبي هزان قال : سمعت عطاء بن أبي رباح يقول : من جلس مجلس ذكر كفر الله عنه بذلك المجلس عشرة مجالس من مجالس الباطل . قال أبو هزان : قلت لعطاء : ما مجلس الذكر ؟ قال : مجلس الحلال والحرام ، وكيف تصلي ، وكيف تصوم ، وكيف تنكح ، وكيف تطلق وتبيع وتشتري
Dari Abu Haazin ia berkata : Aku mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabbah (salah seorang pembesar di kalangan tabi’in – murid Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu – Abu ‘Aisyah ) ia berkata : “Barangsiapa yang duduk di majelis dzikir, niscaya Allah akan menghapus dengannya sepuluh majelis dari majelis-majelis kebathilan yang pernah ia lakukan”. Abu Haazin berkata : Aku bertanya kepada ‘Atha’ : “Apakah itu majelis dzikir?”. ‘Atha’ menjawab : “Majelis yang menjelaskan perkara halal dan haram, bagaimana shalat yang benar, bagaimana berpuasa yang benar, bagaimana pernikahan dilakukan, bagaimana syari’at tentang thalaq dan jual-beli.” [Hilyatul-Auliyaa’ (3/313)]
Yang kemudian dipertegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah :
معلم يقرئهم القرآن أو علما من العلوم الشرعية أو تجتمع إليه العامة فيعلمهم أمر دينهم ويذكرهم بالله ويبين لهم سنة نبيهم ليعملوا بها ويبين لهم المحدثات التي هي ضلالة ليحذروا منها ويتجنبوا مواطنها والعمل بها فهذه مجالس الذكر على الحقيقة
“(Majelis Dzikir yang sebenarnya adalah yang) mengajarkan Al-Qur’an, ilmu-ilmu syar’i (agama), dan perkara agama yang lain, menjelaskan umat tentang sunnah-sunnah Nabi mereka agar mereka mengamalkannya, menjelaskan tentang bid’ah-bid’ah agar umat berhati-hati terhadap bid’ah dan menjauhkannya. Ini adalah majelis dzikir yang sebenarnya.”
Pertanyaan:
Bolehkah dzikir bersama-sama, misalnya setelah shalat berjama'ah?
Jawaban:
Yang pernah ada di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukan dzikir bersama (apalagi dengan menyatukan suara), tapi terdengarnya dzikir dengan suara keras. Itu pun tidak berlangsung terus menerus.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya: "Bagaimana hukum mengeraskan suara dalam dzikir setelah shalat?"
Jawaban:
Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu 'Abbas, ia berkata:
"Kami dahulu mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras."
Akan tetapi sebagian ulama mencermati dengan teliti perkataan Ibnu 'Abbas tersebut, mereka menyimpulkan bahwa lafal "Kunnaa" (Kami dahulu), mengandung isyarat halus bahwa perkara iniTIDAKLAH BERLANGSUNG TERUS MENERUS.
Berkata Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm bahwasanya Nabi ahallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut hanya untuk pengajaran maka biasanya TIDAK DILAKUKAN TERUS MENERUS.
Ini mengingatkanku akan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang bolehnya imam mengeraskan suara pada bacaan shalat padahal mestinya dibaca perlahan dengan tujuan untuk mengajari orang-orang yang belum bisa.
Ada sebuah hadits di dalam Shahihain dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu terkadang memperdengarkan kepada para shabahat bacaan ayat Al-Qur'an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar, dan Umar juga melakukan sunnah ini.
Imam Asy-Syafi'i menyimpulkan berdasarkan sanad yang shahih bahwa Umar pernah men-jahar-kan do'a iftitah untuk mengajari makmum ; yang menyebabkan Imam Asy-Syafi'i, Ibnu Taimiyah dan lain-lain berkesimpulan bahwa hadits di atas mengandung maksud pengajaran. Dan syari'at telah menentukan bahwa sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi.
Walaupun hadits : "Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (perlahan)". Sanad-nya Dhaif akan tetapi maknanya 'shahih'.
Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras, sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy'ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para shahabat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Musa berkata : "Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kami pun mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo'a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian sendiri."
Kejadian ini berlangsung di padang pasir yang tidak mungkin mengganggu siapa pun. Lalu bagaimana pendapatmu, jika mengeraskan suara dzikir itu berlangsung dalam masjid yang tentu mengganggu orang yang sedang membaca Al-Qur'an, orang yang 'masbuq' dan lain-lain. Jadi dengan alasan mengganggu orang lain inilah kita dilarang mengeraskan suara dzikir.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.
Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat.
"Sehingga mengganggu kaum mu'minin (yang sedang bermunajat)."
[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, hal 39-41, Pustaka At-Tauhid]
Dikutip dari almanhaj.or.id.
0 komentar:
Posting Komentar