Oleh Al Ustadz Fariq Gasim An Nuz
‘Ala Banafi’ bekerja di sebuah toko di pusat kota di Jeddah. Ketika terjadi bencana alam “Tsunami” akhir tahun 2004 di Aceh dan wilayah lainnya, akhi ‘Ala aktif mengikuti berita musibah tersebut dan merasakan prihatin dan sedih atas bencana yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh. Beliau sempat memberikan sebuah artikel dari internet sebagai bahan masukan bagi saya saat menyusun buku “Hikmah dibalik Musibah”, semoga Allah memberikan ganjaran di dunia dan akhirat atas kebaikannya tersebut.
Pernah terjadi suatu peristiwa sekitar 15 tahun lalu yang sangat berkesan bagi ‘Ala, beberapa waktu setelah ayahnya wafat, turunlah hujan dengan derasnya di kota Makkah tempat mereka tinggal, sampai-sampai air hujan mulai masuk ke dalam rumah membuat penghuni rumah menjadi panik. Adik perempuan ‘Ala yang masih kecil tanpa sadar berteriak dan memanggil ayahnya, “Abi!, Abi!, tolong kami!”. Adiknya secara refleks tanpa sadar memanggil ayahnya yang sangat ia cintai untuk menolongnya, padahal ayahnya telah wafat, semoga Allah merahmatinya.
‘Ala mempunyai adik laki-laki yang cacat, usianya 19 tahun. Sejak lahir ia hanya di tempat tidur. Ia menceritakan bagaimana kesabaran ibunya yang sampai sekarang tetap telatenmerawat adiknya. Ala berkata bahwa jalan menuju sorga itu bermacam-macam, dan mungkin jalan ibunya menuju sorga adalah kesabarannya, yang pertama ditinggal wafat suaminya ketika anak-anaknya masih kecil dan kedua kesabarannya merawat anaknya yang cacat. Semoga harapan dan doa ‘Ala dikabulkan oleh Allah.
Saya teringat dengan sebuah pesan yang disampaikan seorang penyandang cacat bisu tuli, ia bernama Nail Munir berusia 30 tahun, warga Negara Saudi Arabia keturunan Banten Indonesia.. Beliau datang mencari saya ke kantor Islamic Center Di Jeddah pada awal bulan safar 1430 H , kami berkomunikasi dengan tulisan sampai menghabiskan beberapa lembar kertas bolak balik. Beliau ingin konsultasi tentang masalah pribadinya. Disela-sela komunikasi kami ada beberapa hal yang membuat saya kagum dan terharu darinya. Yang membuat saya kagum, akhi Nail meskipun cacat bisu dan tuli, beliau tidak minder dan tetap percaya diri, beliau pandai mengemudikan mobilnya sendiri. Hal itu saya ketahui ketika kami pergi ke rumah makan untuk makan malam bersamanya. Beliau meskipun cacat bisu dan tuli tidak menjadi beban bagi orang lain, akhi Nail bekerja di bagian tata usaha memegang komputer di sebuah sekolah luar biasa di kota Jeddah. Akhi Nail meskipun cacat bisu dan tuli tidak menghalanginya untuk tetap bermasyarakat dan berkomunikasi dengan manusia, beliau pandai berkomunikasi dengan bahasa isyarat kepada sesamanya dan berkomunikasi dengan bahasa tulisan dan bahasa isyarat kepada orang-orang yang normal yang beliau jumpai di toko, rumah makan, kantor Islamic center, pom bensin dan tempat-tempat umum lainnya, ia tidak menyendiri dan menjauhi manusia. Beliau meskipun cacat bisu dan tuli tidak menghalanginya untuk belajar dan memperdalam agama Islam lewat internet atau vcd/ dvd dimana ustadznya Syaikh Abdurrahman Jumáh dan selainnya menyampaikan berbagai materi pelajaran seperti tafsir Al Quran, Sirah Nabawiyyah, Sejarah Islam, Aqidah, Fiqih dengan bahasa isyarat. Jika akhi Nail ingin bertanya tentang masalah keislaman maka beliau mengirim sms kepada gurunya lalu gurunya menjawab lewat sms juga. Hal yang membuat saya terharu ketika akhi Nail meminta secarik kertas dan menasihati saya melalui tulisannya berbahasa Arab,
0 komentar:
Posting Komentar