"....kesetiaan adalah kata kerja bagi hati yang didominasi oleh keteguhannya, dan ragalah yang mengadegankan bukti dari kesetiaan itu...
Kesetiaan adalah simbol cinta, bukti kasih, dan nada-nada indah yang menyahduhkan hati. Sungguh indah hari-hari penuh setia..."
****
Secara perlahan daun mata kami terbuka. Pada saat yang sama, secara perlahan pula, rasa sadar mulai mendominasi alam pikiran. Ternyata jam di handphone kami menunjukkan pukul 02.29 WITA dini hari. Terasa sekali kepala memberat, bola mata memerah, pula berkaca.
Sepertinya semua organ-organ tubuh kami sedang meronta karena sedang mengalami gangguan sehingga tidak berfungsi dengan baik. Kami rasakan gerakan jantung berdetak lebih cepat daripada kondisi normal, bibir mengering dan lidah terasa pahit. Jari-jari kaki sesekali ciptakan gerakan, begitu pula jari tangan.
Benar-benar mencoba untuk menutupkan kembali daun mata. Tentu saja mudah. Tapi tak bisa terlelap. Pikiran bercabang tak memfokus. Menulis catatan ini, kami tidak sedang mengeluh. Kami begitu senang sambil mencoba tersenyum penuh kesahajaan.
Bukankah sakit penghapus dosa? Tak pelu bersedih, bukan?
Bukankah sakit merupakan salah satu ajang untuk melatih kesabaran? Ah, tentu saja kawan lebih paham tentang ini.
Ketika pikiran kami melalang buana, memori kami berhasil mengingat sebuah rekaman episode kehidupan seorang laki-laki. Berikut penggalannya.
>>Lelaki yang Menginspirasi Itu
Sore itu, dan sore-sore lainnya, terasa sejuk. Sinar mentari begitu mencerahkan. Angin berhembus kipaskan raga yang tadi siangnya tersengat mentari. Terlihat beberapa daun yang kuning menua berjatuhan.
Kawan, alihkanlah sejenak pandanganmu ke arah depan rumah kontrakan kami. Terlihat seorang lelaki yang merupakan tetangga dekat kami itu sedang berjalan. Engkau pasti bisa menebak bahwa ia begitu senang dan bahagia namun tidak riang layaknya anak-anak karena lelaki itu memang bukan anak-anak.
Kami, dan mungkin engkau pula, akan bisa menangkap bahwa di taman hatinya sedang bertandang musim semi yang menyemikan cinta, bukan cinta atau asmara picisan. Pada saat yang sama, sepertinya, bertandang pula musim gugur yang menggugurkan daun-daun kejenuhan dalam mengarungi derasnya arus kehidupan. Nampaknya, bertamu pula musim hujan, merintik-rintikan air yang menyuburkan rasa sayang.
Tak sendiri lelaki itu berjalan. Lihatlah sejenak kembali. Ia bersama seorang wanita. Ditemaninya wanita tua yang sedang duduk manis di atas kursi roda itu, seorang wanita yang duduk lumpuh melemas. Hanya bibir, lidah, mata dan bagian kepala secara umum yang mampu ciptakan gerakan.
Aduhai. Begitu kasihan wanita kita ini. Sedang ia jalani masa-masa di penghujung umurnya dengan penyakit lumpuh yang Allah takdirkan. Kami melihat tak ada keluh kesah. Namun begitu, kami bisa merasakan bahwa jauh dalam lubuh hatinya, ia membutuhkan perhatian dan sayang dari orang-orang tercinta. Ia butuhkan perhatian dari cucu-cucunya, do’a tulus dari anak-anaknya, dan tentu saja sejuta cinta dari kekasih hatinya.
Dan lelaki yang kami bicarakan tadi benar-benar telah menunjukkan kejantanannya sebagai laki-laki sejati. Dengan penuh kesungguhan jiwa dan raga, atas nama kesetiaan cinta, ia buktikan bahwa ia adalah sosok suami yang bisa dibanggakan.
Didorongnya kursi roda dengan penuh sayang sambil menuturkan kisah-kisah untuk menghibur wanita lumpuh itu. Dibawanya sang wanita menyusuri taman bunga sambil mengenang memori indah masa lalu. Dihadiahkannya senyum ikhlas teruntuk wanita yang merupakan nenek bagi cucu-cucunya.
Masya Allah, bahagianya sang wanita memiliki pangerannya.
Kami melihat bahwa ini adalah salah satu potret indah dari sebuah kesetiaan yang diperagakan anak adam. Ia begitu setia untuk selalu berbagi kasih dengan sang pujaan walau usia pernikahan telah lama terajut. Ada keengganan untuk berpaling cinta dan inilah salah satu kesetiaan sejati yang mengucurkan pahala.
>>Inilah Ungkapan Kami Tentang Kesetiaan
Tema kesetiaan inilah yang akan kami fokuskan pembicaraannya dalam catatan akhir pekan bagian keempat ini. Inilah sebuah tema yang harus direkam apik oleh setiap anak adam dalam ingatan mereka. Inilah sebuah tema yang harus selalu diperagakan dalam setiap episode kehidupan.
Untuk menambah perbendaharaan makna dari sebuah kosakata, ijinkan kami memberikan definisi tersendiri tentang arti sebuah kesetiaan.
Menurut hemat kami, kesetiaan adalah keengganan hati, lisan dan raga untuk berpaling. Berpaling dari apa? Tergantung sebuah kata yang disematkan setelah kata “kesetiaan”.
Ketika kami sebutkan kata “Kesetian Cinta”, misalnya, maka kami sedang memberikan definisi bahwa dalam kata tersebut ada keengganan hati, lisan dan raga untuk memalingkan cinta.
Kami merasakan bahwa kesetiaan adalah kata kerja bagi hati yang didominasi oleh keteguhannya, dan ragalah yang mengadegankan bukti dari kesetiaan itu.
Dalam sejarah kehidupan anak adam tentu saja tersimpan sejuta contoh-contoh kesetiaan yang tersemburat dari jernihnya telaga iman. Kami pun menemukan contoh tersebut dalam sebuah literatur yang kami miliki.
>>Dua Bocah yang Mengagumkan
Adalah dua anak kecil begitu mencintai seorang laki-laki. Ketika keduanya mendengar kabar kepastian bahwa lelaki yang mereka cintai itu dicela maka keduanya bertekad membunuh si pencela. Iya kawan, membunuh si pencela.
Anak kecil pertama berkata dengan penuh ketegasan dan jiwa kesatria:
”. . .demi Allah jika aku bertemu dengannya (si pencela), niscaya aku dan dia (si pencela) tidak akan berpisah sampai salah satu diantara kami terbunuh.”[1]
Anak kedua pun berkata demikian.
Keluarlah dua anak kecil itu dengan semangat yang berkobar. Keduanya benar-benar mencari si pencela untuk segera membunuhnya. Mereka bertanya kepada seorang yang mereka jumpai:
“Di mana lelaki (pencela) itu”
“Itu dia disana”
Dan Allah pun mentakdirkan keduanya berjumpa dengan si pencela.
Allahu akbar, Allahu akbar.
Segeralah pedang-pedang terhunus dan ketiganya larut dalam pertarungan, merekapun berhasil membunuh si pencela.
Subhanallah, alangkah berkualitasnya kesetiaan cinta yang tertancap dalam sanubari kedua anak itu. Kesetiaan cintanya mampu menghunus tajamnya pedang hingga mengalirkan darah di kancah peperangan.
>>Meneguk Manisnya Madu
Marilah meneguk manisnya madu yang tersarikan dari dua buah fragmen kisah yang kami sebutkan.
Begitu indahnya kesetiaan yang dicontohkan sang lelaki tua. Tentu saja ada kebahagian di hatinya, pula di hati sang istri. Dalam kisah pertama yang menginspirasi itu, keteguhan hati untuk tidak memalingkan diri dari sang kekasih inilah kami namakan sebagai sebuah kesetiaan. Dan raganya terhentak untuk membuktikan kesetiaan itu dengan ekspresi spesial yang ia pilih.
Kesetian adalah simbol sebuah cinta, bukti sebuah kasih, dan merupakan nada-nada indah yang menyahdukan hati. Begitu indah hari-hari penuh kesetiaan.
Dan kesetiaan inilah yang telah menjadi bukti cinta dua anak kecil dari kaum Anshar tadi. Keduanya bertaruh nyawa untuk membunuh Abu Jahl yang telah mencaci kekasih mereka yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Gelombang-gelombang cinta keduanya berkecamuk hebat setelah mendengar cacian dan makian itu. Kesetiaan cinta di hati keduanya kemudian mengirim sinyal-sinyal yang mampu menggerakkan mereka menuju medan laga.
Allahu akbar..
Allahu akbar..
Allahu akbar…
Keluarlah pedang dari sarungnya, seolah-olah tajamnya itu sedang haus darah. Benarlah kawan, terperciklah darah di medan peperangan. Dan, terenggutlah nyawa Abu Jahl saat itu. Begitu bergelora kesetiaan cinta yang mereka adegankan. Alangkah dahsyat kesetiaan cinta dua bocah itu. Pena kami pun bergetar menulisnya. Hati kami pun bergemuruh lalu mengkacakan hitam bola mata walaupun tak menderaskan tetesannya.
Keduanya telah mengabarkan kami dan anda bahwa kesetiaan cinta kepada Allah menjadikan pelakunya harus menyetiakan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, celaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan celaan kepada Allah, dan bahwasanya cinta, benci dan marah hanyalah karena Allah bukan karena makhluk.
>>Kesetiaan Tertinggi
Kami mendapati bahwa kesetiaan tertinggi yang diperagakan anak adam adalah pengabdian mereka kepada agama Allah. Kesetiaan pada level ini merupakan pengabdian yang begitu agung. Apa yang kami sebutkan ini bukanlah sebuah pekerjaan biasa dan dan bukan pula sebagai kewajiban biasa.
Kami melihat bahwa kesetiaan yang terpolesi oleh rasa pengabdian terhadap agama tersebut merupakan tiang penting yang merupakan penyangga tegaknya agama Allah di bumi pertiwi. Inilah sebuah kesetian yang tidak boleh ditinggalkan.
Dan pemahaman seperti inilah yang tertanam dan tertancap kuat dalam sanubari pendahulu umat islam, As-Salaf As-Shalih, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari akidah mereka.
>>Kesetiaan yang Teruji
Tak hanya sekedar simbol sebuah cinta, kami melihat bahwa kesetiaan pula merupakan bukti sebuah cinta yang berkualitas. Kami tidak memasukkan kesetian cinta asmara picisan yang dilakoni muda-mudi pada bagian ini. Tentu engkau bisa mengetahui bahwa apa yang mereka lakoni itu menunjukkan rendahnya level cinta yang mereka dengungkan.
Kepadamu sahabat yang kami hormati.
Kesetiaan kepada agama Allah tak hanya rasa yang berinang di hati, ucapan-ucapan lisan atau terlakoni oleh raga namun membutuhkan uji kualitas sehingga benar-benar diketahui kadar sebuah kesetiaan itu.
Dengan uji kualitas kesetiaan tersebut, orang-orang besar mengukir sejarahnya, orang-orang shalih mendapat bagian pahala yang bercucuran, dan orang-orang mukmin mendapati kesalahannya terhapus.
“…senantiasa cobaan dan ujian menyertai seorang mukmin sampai-sampai ia berjalan di bumi tanpa membawa satupun kesalahan.”[2]
Demikian potongan kabar langit yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan terekam apik dalam kitab Shahih Bukhari.
Adalah para nabi dan Rasul yang begitu setia terhadap titah Rabb-Nya mendapat uji kesetiaan yang paling berat diantara makhluk Allah di muka bumi.
Lihatlah kesetiaan beberapa nabi yang leher dan badan mereka digergaji oleh kaumnya.
Lihatlah kesetian sang Khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam yang menjadikannya terlempar dalam api.
Lihatlah kesetiaan Ismail ‘alaihissalam yang rela dibaringkan untuk disembelih sang ayah.
Lihatlah kesetiaan Ayyub ‘alaihissalam yang mempesona saat ditimpa penyakit bertahun-tahun.
Lihatlah kesetiaan Yusuf ‘alaihissalam yang melewati episode-episode penuh ujian.
Dengarlah olehmu do’a indah yang menunjukkan kesetiaan Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap agama Allah sebelum nyawanya dicabut,
“matikanlah aku dalam keadaan muslim dan susulkanlah aku dengan orang-prang shalih.”[3]
Lihatlah tetesan darah yang terpercik di lembaran Al-qur’an sekaligus menjadi saksi kesetiaan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu saat terbunuh di rumahnya.
Ciumlah anyir darah para penghafal Al-qur’an yang gugur di medan perang.
Lihatlah kesetiaan para sahabat yang darahnya tumpah dan mengalir demi kesetiaan mereka membela agama Allah, pun leher mereka terpenggal karena sayatan pedang berkilau.
Lihatlah tubuh Imam Abu Hanifah yang nyawanya terenggut dalam penjara.
Tengoklah tubuh Imam Malik yang diikat lalu didera dan disiksa pedih. Saksikanlah tubuh Imam Syafi’i yang diikat dan dirantai.
Lihatlah tubuh Imam Ahmad yang amat keras dicambuk dan mengalirkan darah. Kesetiaan mereka benar-benar teruji dan nyawa-nyawa mereka pun menjadi taruhannya.
Sungguh benarlah jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat ditanya oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu tentang siapa manusia yang terberat uji kualitas kesetiaannya.
Beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Para nabi, lalu orang-orang shalih, kemudian orang-orang setelah mereka dan demikian seterusnya. Seseorang akan mendapat cobaan sesuai dengan kadar agamanya. Sekiranya agamanya begitu teguh, cobaannya akan ditambah. Namun jika agamanya lemah, cobaannya akan dikurangi…”[4]
Benarlah pula apa yang Allah abadikan dalam Al-qur’an bahwa uji kualitas kesetiaan merupakan tiket ke surga.
“Apakah anda mengira bahwa anda akan masuk Surga padahal belum datang kepada anda (cobaan) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum anda?...”[5]
Masih pada ayat yang sama, Allah mengabarkan pula tentang mereka yang lebih dahulu diuji kualitas kesetiaannya yaitu diantara Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya.
“…mereka ditimpa malapetakka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)…”[6]
>>Hadiah Istimewa di Penghujung Setia
Kepadamu saudara dan saudari kami
Letih memang menghadapi ujian dunia dan isinya. Fitnah selalu menghantam karang keimanan. Kesetiaan kepada agama Allah selalu diuji maka kata sabar selalu menjadi kasur empuk untuk merebahkan jiwa.
Akan tiba masanya orang-orang yang menyetiakan diri di jalan keimanan mendapat hadiah yang tiada tara, sebuah hadiah istimewa yang merupakan puncak segala kenikmatan.
Berbahagialah engkau wahai saudara kami yang shalih nan bertauhid dan berakidah yang benar. . .
Berbahagialah engkau wahai saudari kami yang shalihah nan bertauhid dan berakidah yang benar. . .
Kita akan berjumpa dengan wajah Allah yang agung kelak di Surga. Itulah perjumpaan yang hakiki dan benar-benar merupakan puncak segala kenikmatan. Itulah perjumpaan yang membuat jiwa berdecak kagum karena begitu terpesona. Itu semuanya akan dihadiahkan bagi semua penduduk Surga yang dahulunya setia di jalan keimanan.
Kelak di Surga, wajah orang-orang yang beriman akan berseri-seri melihat Tuhan mereka.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”[7]
Sebagai penutup, kami kutip sebuah hadits yang merekam keadaan penduduk Surga saat merasakan nikmat dan sedapnya memandang wajah Allah. .
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“jika penduduk Surga sudah masuk Surga dan penduduk Neraka sudah masuk Neraka, maka sang penyeru memanggil:
‘Wahai penduduk Surga! Sesungguhnya Allah mempunyai janji kepada kalian yang sekarang hendak Dia penuhi’.
Para penghuni Surga menjawab:
‘Apakah itu?
Bukankah Dia sudah memberatkan timbangan amal kami?
Memberi sinar putih pada wajah kami?
Memasukkan kami dalam Surga dan mengeluarkan kami dari Neraka’.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maka hijab disingkap, mereka pun memandang-Nya. Demi Allah! Tidaklah Allah memberikan sesuatu kepada mereka yang paling mereka sukai dan paling menyedapkan pandangan mata mereka daripada memandang-Nya.”[8]
*****
Sahabat, mata kami sudah melelah. Raga begitu letih. Sepertinya sudah bisa terlelap. Semoga saja terhadiahkan pijitan bidadari kelak di Surga.
Sampai berjumpa di esok hari yang cerah.
Wallahu a’lam. Subhanaka Allahumma wa bihamdika asyhadu alla ila ha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.
Penulis: Fachrian Cansa Akiera As-samawiy
Editor: Al-akh Al-fadhil Johan Saputra Halim
Selesai ditulis saat malam terpolesi kemuning purnama di pertengahan Safar 1432 H (Januari 2011 M). Mataram, Lombok, Pulau Seribu Masjid.
________
Endnotes:
[1] Lihat kisah ini dalam kitab Shuwarun min Hayatisy Syabaab fii Shadril Islam karya Dr. Sulaiman bin Qasim Al-‘ied
[2] HR. Bukhari. Kami kutip dari kitab al-Khutuwatu ilas Sa’adah karya Dr. Abdul Muhsin Muhammad Al-Qasim
[3] Do’a kutipan dari kitab Al-khulafa’ur Rasul karya Amru Khalid pada bab kisah Abu Bakar Ash-shiddiq radiyallahu ‘anhu.
[4] HR Bukhari. Kami kutip dari kitab al-Khutuwatu ilas Sa’adah karya Dr. Abdul Muhsin Muhammad Al-Qasim
[5] QS Al-Baqarah: 214
[6] QS Al-Baqarah: 214
[7] QS. al-Qiyamah: 22-23
[8] HR an-Nasa’I no. 11234. At-Thahawi menegaskan bahwa memandang Allah adalah haq (benar adanya) bagi para penduduk Surga. Lihat keterangan ini dalam kitab Jinaan Al-Khuld Na ‘Iimuha Wa Qushuuruha Wa Huuruha karya Syaikh Mahir Ahmad
0 komentar:
Posting Komentar