Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafidzahullah
Sering kali kita temui pertanyaan atau pun pernyataan perihal hukum-hukum yang berlaku untuk wanita yang sedang mengalami masa haidh atau nifas serta wanita yang sedang dalam keadaan junub. Dan telah diketahui juga bahwa masalah ini pun menjadi ikhtilaf(perselisihan) di kalangan para ulama. Namun demikian, kita harus mengembalikan segala sesuatu yang kita perselisihkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah, sesuai dengan firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِإِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisaa’: 59)
Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kita merujuk kepada sumber kebenaran ketika kita menemui perselisihan terhadap masalah yang kita hadapi agar kita dapat lebih dekat pada kebenaran itu sendiri. Namun tentunya, harus dengan syarat ilmu dan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama, di antaranya kaidah-kaidah dalam ilmu hadits. Demikian juga, kita harus membebaskan diri dari taqlid buta dan ta’ashub madzhabiyyah(kecenderungan terhadap suatu madzhab) yang keduanya akan menjauhkan kita dari kebenaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah.
Terdapat tiga perkara utama yang menjadi perbincangan dalam masalah ini yaitu:
1. Hukum menyentuh atau memegang mushaf al-Qur’an
Mereka yang melarang kaum wanita yang sedang haidh, nifas ataupun junub memegang mushaf al-Qur’an berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“..tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)
Makna yang haq, yang dimaksud oleh ayat di atas adalah: Tidak ada yang dapat menyentuh al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana yang telah ditegaskan oleh ayat sebelumnya [1], kecuali para malaikat yang disucikan oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Demikian tafsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Maka bukanlah yang dimaksud itu adalah larangan menyentuh atau memegang al-Qur’an oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan berhadats, baik berhadats besar maupun kecil.
Sebagian lagi berdalil dengan hadits:
لاَ يَمَسُ الْقُرْ اَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” [2]
Makna yang haq dari hadits ini adalah: Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci (tidak najis) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
إِنَّ الْــمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.”[3]
Lafadz thaahir pada hadits sebelumnya memiliki beberapa arti yaitu: Suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan suci dalam arti orang mu’min. Untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti lafadz thaahir, maka harus ada qarinah (tanda atau alamat) yang membawa atau menentukan salah satu maksudnya.
Hadits di atas telah menjadi qarinah (tanda atau alamat) atas hadits sebelumnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang mu’min, maka mafhumnya orang-orang yang beriman itu suci.
2. Hukum membaca al-Qur’an
Banyak wanita yang menahan hafalan al-Qur’an-nya atau kecintaannya membaca al-Qur’an, hanya karena riwayat-riwayat yang diketahuinya melarang seorang wanita membaca al-Qur’an ketika dia sedang haidh, nifas, dan dalam keadaan junub. Berikut ini beberapa riwayatnya:
Dari Ibnu ‘Umar (ia berkata), dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَ لاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ
“Janganlah wanita yang haidh dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Dalam riwayat lain:
لاَ تَقْرَإِ الْجُنُبُ وَ لاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ
“Janganlah orang yang junub dan wanita yang haidh membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 121, Ibnu Majah (no. 595 dan 596), ad-Daruquthni (I/117) dan al-Baihaqy (I/89), dari jalan Isma’il bin ‘Ayyaasy dari Musa bin ‘Uqbah dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar (seperti di atas).
Imam Bukhari mengatakan: ‘Isma’il (bin ‘Ayyasy) adalah munkarul hadits (hadits-haditsnya munkar).
Hadits yang lain, diriwayatkan dari jalan Jabir bin ‘Abdullah:
Dari Muhammad bin Fadhl, dari bapaknya (Fadhl), dari Thawus, dari Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَ لاَ النَّفَسَاءُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ
“Tidak boleh bagi wanita yang haidh dan nifas membaca (ayat) sedikitpun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Maudhu’/palsu. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (II/87) dan Abu Nua’im di kitabnya al-Hilyah (IV/22).
Sanad hadits ini palsu karena Muhammad bin Fahdl bin ‘Athiyyah bin ‘Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai seorang pendusta sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqribut Tahdzib (II/200).
Ketika hadits-hadits di atas telah jelas derajatnya, maka mari kita menengok beberapa riwayat shahih yang berkaitan dengan masalah ini:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mendapati dirinya haidh ketika sedang menunaikan ibadah haji, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
فَإِنَّ ذَلِكَ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ اَدَمَ، فَا فْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُــوْفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ
“Sesungguhnya (haidh) ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji, selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haidh).”[4]
Hadits ini dijadikan dalil oleh para ulama di antaranya Imam Bukhari, Imam Ibnu Baththal, Imam ath-Thabari, Imam Ibnu Mundzir dan lainnya bahwa wanita yang haidh, nifas, dan orang junub boleh membaca al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang berhaji selain thawaf dan tentunya juga terlarang baginya untuk shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca al-Qur’an. Karena jika membaca al-Qur’an terlarang baginya (wanita yang haidh), maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada ‘Aisyah. Sedangkan ‘Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa-apa yang boleh dan terlarang baginya. Dan menurut kaidah ushul fiqh “tidak boleh mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.”
Dan hadits yang lain:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَذْ كُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaan.”[5]
Hadits ini dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari dan ulama yang lain tentang bolehnya orang yang sedang junub dan wanita haidh atau nifas membaca al-Qur’an. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaan dan yang termasuk berdzikir adalah membaca al-Qur’an.
Meskipun demikian, menyebut nama Allah atau membaca al-Qur’an dalam keadaan suci (berwudhu’) adalah lebih utama berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
(إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أْذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ (أَوْ قََالَ: عَلَى طَهَارَةِ
“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (atau berwudhu’).” Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya.
3. Hukum masuk, tinggal atau diam di dalam masjid
Para ulama berselisih pendapat mengenai boleh atau tidaknya seorang wanita masuk (berdiam) di dalam masjid ketika dia sedang haidh, nifas atau junub. Namun, kita harus kembali merujuk kepada sumber utama dalam dien ini, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah dengan pemahaman as-Salafush Shalih. Berikut ini beberapa riwayat yang digunakan sebagai dalil pelarangan wanita yang sedang haidh, nifas dan junub memasuki dan berdiam di dalam masjid:
...فَإِ نِّي لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَجُنُبٍ
“…sesungguhnya aku tidak halalkan masjid ini bagi perempuan yang haidh dan orang yang junub.”
Hadits ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 232), Ibnu Khuzaimah (no. 1327), al-Baihaqiy (II/442-443) dan ad-Duulabiy di kitabnya al-Kuna wal Asmaa’ (I/150-151), dari jalan Abdul Wahid bin Ziyad (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Aflat bin Khalifah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajaajah, dari ‘Aisyah marfu’ (riwayatnya sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti di atas).
Namun, rawi yang bernama Jasrah binti Dajaajah ini adalah rawi yang lemah. Imam Bukhari berkata[6], “Pada Jasrah terdapat keanehan-keanehan (yakni pada riwayatnya). Berkata al-Baihaqiy[7], “Hadits ini tidak kuat.” Dan berkata Imam al-Khaththabiy[8], “Hadits ini telah dilemahkan oleh jama’ah (ahli hadits).”
Riwayat yang lain adalah perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 43[9]:
وَلاَجُنُبًا إِلاَّ عَابِرِى سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوْا
“Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk.”
Hadits ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy (II/443). Hadits ini menjadi dha’if karena dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Abu Ja’far ar-Raazi. Dia memiliki hafalan yang buruk dan telah dilemahkan oleh para Imam ahli hadits.
Makna yang haq dari lafadz ‘aabiri sabiil dalam ayat di atas, menurut perkataan Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat yang shahih adalahmusafir yang tidak memperoleh air lalu dia bertayamum.[10]
Setelah kita mengetahui, beberapa riwayat di atas yang dijadikan dalil larangan wanita haidh, nifas dan junub masuk atau berdiam di dalam masjid adalah dha’if/lemah, maka sekarang kita lihat dalil-dalil yang membolehkannya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
“Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Ambilkan untukku khumrah (sajadah kecil) di masjid.’ Jawabku, ‘Sesungguhnya aku sedang haidh.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu.” Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya.
Dalam riwayat lain dari jalan ‘Aisyah juga disebutkan ada seorang perempuan yang tinggal di dalam masjid. Dan hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab: Tidurnya perempuan di masjid (no. 439). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam mensyarah bab di atas, mengatakan bahwa yang dimaksud adalah, ‘Tinggal atau Diamnya Perempuan di Dalam Masjid.’
Dan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, lalu pasukan itu datang membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin Utsaal. Kemudian mereka mengikatkannya di salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan bersabda, ‘Lepaskanlah (ikatan) Tsumaamah.’ Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu ia mandi kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan asyhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.”[11]
Pengambilan dalil dari hadits ini adalah, jika orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam masjid, maka terlebih kepada orang muslim yang tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke dalam masjid, meskipun dalam keadaan junub atau bagi seorang wanita yang sedang haidh atau nifas. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskan bahwa orang mu’min itu tidak najis.
Dengan demikian, dapatlah kita tarik kesimpulan berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, bahwa seorang wanita yang sedang haidh atau nifas dan orang yang sedang junub, diperbolehkan menyentuh/memegang mushaf al-Qur’an, membaca al-Qur’an dan masuk/berdiam di dalam masjid. Namun demikian, melakukannya dalam keadaan suci (bersih dari hadats besar dan hadats kecil) adalah hal yang diutamakan.
Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.
Al-Faqir ila Rabbil ‘Arsyil Azhim
Ibnu Isma’il bin Ibrahim al-Muhajirin
Maraji’ wal mashdar:
Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub oleh al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, terbitan Darul Qolam
___________
Catatan kaki:
[1] Surat al-Waaqi’ah ayat 77-79:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Sesungguhnya al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudz), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
[2] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni, al-Hakim, ath-Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir danMu’jam al-Ausath. Dan dari jalan Ibnu Umar, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan lainnya. Dan dari jalan Utsman bin Abil ‘Aash, diriwayatkan oleh ath-Thabrani di Mu’jam Kabir dan lainnya. Syaikh al-Albani rahimahullah telah men-takhrij hadits ini dalam kitabnyaIrwaa-ul Ghaliil dan menyatakan hadits ini shahih.
[3] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi, kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda: ‘Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?’ Jawabku: ‘Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci).’ Maka beliau bersabda: ‘ Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.’ (Dalam riwayat lain beliau bersabda: ‘Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis.’)
[4] Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 305) dan Muslim (IV/30).
[5] Hadits shahih. Riwayat Muslim (I/194) dan lainnya.
[6] Tahdzibut Tahdzib (XII/406) dan Nasbur Raayah (I/194).
[7] Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (II/160) oleh Imam an-Nawawi.
[8] Tafsir Ibnu Katsir (I/501) dan Nasbur Raayah (I/144) dan al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (II/160).
[9] Surat an-Nisaa’ ayat 43:
وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“...(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
[10] Demikian keterangan Imam Ibnu Turkamaaniy atas komentar beliau terhadap kitab Sunanul Kubra milik Imam al-Baihaqiy yang telah dinukil oleh penulis secara ringkas dan mengambil maknanya.
[11] Hadits shahih. Riwayat Imam Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372).
Sering kali kita temui pertanyaan atau pun pernyataan perihal hukum-hukum yang berlaku untuk wanita yang sedang mengalami masa haidh atau nifas serta wanita yang sedang dalam keadaan junub. Dan telah diketahui juga bahwa masalah ini pun menjadi ikhtilaf(perselisihan) di kalangan para ulama. Namun demikian, kita harus mengembalikan segala sesuatu yang kita perselisihkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah, sesuai dengan firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِإِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisaa’: 59)
Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kita merujuk kepada sumber kebenaran ketika kita menemui perselisihan terhadap masalah yang kita hadapi agar kita dapat lebih dekat pada kebenaran itu sendiri. Namun tentunya, harus dengan syarat ilmu dan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama, di antaranya kaidah-kaidah dalam ilmu hadits. Demikian juga, kita harus membebaskan diri dari taqlid buta dan ta’ashub madzhabiyyah(kecenderungan terhadap suatu madzhab) yang keduanya akan menjauhkan kita dari kebenaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah.
Terdapat tiga perkara utama yang menjadi perbincangan dalam masalah ini yaitu:
1. Hukum menyentuh atau memegang mushaf al-Qur’an
Mereka yang melarang kaum wanita yang sedang haidh, nifas ataupun junub memegang mushaf al-Qur’an berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“..tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)
Makna yang haq, yang dimaksud oleh ayat di atas adalah: Tidak ada yang dapat menyentuh al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana yang telah ditegaskan oleh ayat sebelumnya [1], kecuali para malaikat yang disucikan oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Demikian tafsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Maka bukanlah yang dimaksud itu adalah larangan menyentuh atau memegang al-Qur’an oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan berhadats, baik berhadats besar maupun kecil.
Sebagian lagi berdalil dengan hadits:
لاَ يَمَسُ الْقُرْ اَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” [2]
Makna yang haq dari hadits ini adalah: Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci (tidak najis) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
إِنَّ الْــمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.”[3]
Lafadz thaahir pada hadits sebelumnya memiliki beberapa arti yaitu: Suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan suci dalam arti orang mu’min. Untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti lafadz thaahir, maka harus ada qarinah (tanda atau alamat) yang membawa atau menentukan salah satu maksudnya.
Hadits di atas telah menjadi qarinah (tanda atau alamat) atas hadits sebelumnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang mu’min, maka mafhumnya orang-orang yang beriman itu suci.
2. Hukum membaca al-Qur’an
Banyak wanita yang menahan hafalan al-Qur’an-nya atau kecintaannya membaca al-Qur’an, hanya karena riwayat-riwayat yang diketahuinya melarang seorang wanita membaca al-Qur’an ketika dia sedang haidh, nifas, dan dalam keadaan junub. Berikut ini beberapa riwayatnya:
Dari Ibnu ‘Umar (ia berkata), dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَ لاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ
“Janganlah wanita yang haidh dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Dalam riwayat lain:
لاَ تَقْرَإِ الْجُنُبُ وَ لاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ
“Janganlah orang yang junub dan wanita yang haidh membaca sedikit pun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 121, Ibnu Majah (no. 595 dan 596), ad-Daruquthni (I/117) dan al-Baihaqy (I/89), dari jalan Isma’il bin ‘Ayyaasy dari Musa bin ‘Uqbah dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar (seperti di atas).
Imam Bukhari mengatakan: ‘Isma’il (bin ‘Ayyasy) adalah munkarul hadits (hadits-haditsnya munkar).
Hadits yang lain, diriwayatkan dari jalan Jabir bin ‘Abdullah:
Dari Muhammad bin Fadhl, dari bapaknya (Fadhl), dari Thawus, dari Jabir, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَ لاَ النَّفَسَاءُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ
“Tidak boleh bagi wanita yang haidh dan nifas membaca (ayat) sedikitpun juga dari (ayat) al-Qur’an.”
Riwayat ini Maudhu’/palsu. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (II/87) dan Abu Nua’im di kitabnya al-Hilyah (IV/22).
Sanad hadits ini palsu karena Muhammad bin Fahdl bin ‘Athiyyah bin ‘Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai seorang pendusta sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqribut Tahdzib (II/200).
Ketika hadits-hadits di atas telah jelas derajatnya, maka mari kita menengok beberapa riwayat shahih yang berkaitan dengan masalah ini:
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mendapati dirinya haidh ketika sedang menunaikan ibadah haji, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
فَإِنَّ ذَلِكَ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ اَدَمَ، فَا فْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُــوْفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ
“Sesungguhnya (haidh) ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji, selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haidh).”[4]
Hadits ini dijadikan dalil oleh para ulama di antaranya Imam Bukhari, Imam Ibnu Baththal, Imam ath-Thabari, Imam Ibnu Mundzir dan lainnya bahwa wanita yang haidh, nifas, dan orang junub boleh membaca al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang berhaji selain thawaf dan tentunya juga terlarang baginya untuk shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca al-Qur’an. Karena jika membaca al-Qur’an terlarang baginya (wanita yang haidh), maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada ‘Aisyah. Sedangkan ‘Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa-apa yang boleh dan terlarang baginya. Dan menurut kaidah ushul fiqh “tidak boleh mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.”
Dan hadits yang lain:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَذْ كُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaan.”[5]
Hadits ini dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari dan ulama yang lain tentang bolehnya orang yang sedang junub dan wanita haidh atau nifas membaca al-Qur’an. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaan dan yang termasuk berdzikir adalah membaca al-Qur’an.
Meskipun demikian, menyebut nama Allah atau membaca al-Qur’an dalam keadaan suci (berwudhu’) adalah lebih utama berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
(إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أْذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ (أَوْ قََالَ: عَلَى طَهَارَةِ
“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (atau berwudhu’).” Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya.
3. Hukum masuk, tinggal atau diam di dalam masjid
Para ulama berselisih pendapat mengenai boleh atau tidaknya seorang wanita masuk (berdiam) di dalam masjid ketika dia sedang haidh, nifas atau junub. Namun, kita harus kembali merujuk kepada sumber utama dalam dien ini, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah dengan pemahaman as-Salafush Shalih. Berikut ini beberapa riwayat yang digunakan sebagai dalil pelarangan wanita yang sedang haidh, nifas dan junub memasuki dan berdiam di dalam masjid:
...فَإِ نِّي لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَجُنُبٍ
“…sesungguhnya aku tidak halalkan masjid ini bagi perempuan yang haidh dan orang yang junub.”
Hadits ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 232), Ibnu Khuzaimah (no. 1327), al-Baihaqiy (II/442-443) dan ad-Duulabiy di kitabnya al-Kuna wal Asmaa’ (I/150-151), dari jalan Abdul Wahid bin Ziyad (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Aflat bin Khalifah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajaajah, dari ‘Aisyah marfu’ (riwayatnya sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti di atas).
Namun, rawi yang bernama Jasrah binti Dajaajah ini adalah rawi yang lemah. Imam Bukhari berkata[6], “Pada Jasrah terdapat keanehan-keanehan (yakni pada riwayatnya). Berkata al-Baihaqiy[7], “Hadits ini tidak kuat.” Dan berkata Imam al-Khaththabiy[8], “Hadits ini telah dilemahkan oleh jama’ah (ahli hadits).”
Riwayat yang lain adalah perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 43[9]:
وَلاَجُنُبًا إِلاَّ عَابِرِى سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوْا
“Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk.”
Hadits ini Dha’if/lemah. Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy (II/443). Hadits ini menjadi dha’if karena dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Abu Ja’far ar-Raazi. Dia memiliki hafalan yang buruk dan telah dilemahkan oleh para Imam ahli hadits.
Makna yang haq dari lafadz ‘aabiri sabiil dalam ayat di atas, menurut perkataan Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat yang shahih adalahmusafir yang tidak memperoleh air lalu dia bertayamum.[10]
Setelah kita mengetahui, beberapa riwayat di atas yang dijadikan dalil larangan wanita haidh, nifas dan junub masuk atau berdiam di dalam masjid adalah dha’if/lemah, maka sekarang kita lihat dalil-dalil yang membolehkannya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
“Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Ambilkan untukku khumrah (sajadah kecil) di masjid.’ Jawabku, ‘Sesungguhnya aku sedang haidh.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu.” Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya.
Dalam riwayat lain dari jalan ‘Aisyah juga disebutkan ada seorang perempuan yang tinggal di dalam masjid. Dan hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab: Tidurnya perempuan di masjid (no. 439). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam mensyarah bab di atas, mengatakan bahwa yang dimaksud adalah, ‘Tinggal atau Diamnya Perempuan di Dalam Masjid.’
Dan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, lalu pasukan itu datang membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin Utsaal. Kemudian mereka mengikatkannya di salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan bersabda, ‘Lepaskanlah (ikatan) Tsumaamah.’ Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu ia mandi kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan asyhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.”[11]
Pengambilan dalil dari hadits ini adalah, jika orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam masjid, maka terlebih kepada orang muslim yang tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke dalam masjid, meskipun dalam keadaan junub atau bagi seorang wanita yang sedang haidh atau nifas. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskan bahwa orang mu’min itu tidak najis.
Dengan demikian, dapatlah kita tarik kesimpulan berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, bahwa seorang wanita yang sedang haidh atau nifas dan orang yang sedang junub, diperbolehkan menyentuh/memegang mushaf al-Qur’an, membaca al-Qur’an dan masuk/berdiam di dalam masjid. Namun demikian, melakukannya dalam keadaan suci (bersih dari hadats besar dan hadats kecil) adalah hal yang diutamakan.
Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.
Al-Faqir ila Rabbil ‘Arsyil Azhim
Ibnu Isma’il bin Ibrahim al-Muhajirin
Maraji’ wal mashdar:
Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub oleh al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, terbitan Darul Qolam
___________
Catatan kaki:
[1] Surat al-Waaqi’ah ayat 77-79:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Sesungguhnya al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudz), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
[2] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni, al-Hakim, ath-Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir danMu’jam al-Ausath. Dan dari jalan Ibnu Umar, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan lainnya. Dan dari jalan Utsman bin Abil ‘Aash, diriwayatkan oleh ath-Thabrani di Mu’jam Kabir dan lainnya. Syaikh al-Albani rahimahullah telah men-takhrij hadits ini dalam kitabnyaIrwaa-ul Ghaliil dan menyatakan hadits ini shahih.
[3] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi, kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda: ‘Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?’ Jawabku: ‘Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci).’ Maka beliau bersabda: ‘ Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.’ (Dalam riwayat lain beliau bersabda: ‘Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis.’)
[4] Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 305) dan Muslim (IV/30).
[5] Hadits shahih. Riwayat Muslim (I/194) dan lainnya.
[6] Tahdzibut Tahdzib (XII/406) dan Nasbur Raayah (I/194).
[7] Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (II/160) oleh Imam an-Nawawi.
[8] Tafsir Ibnu Katsir (I/501) dan Nasbur Raayah (I/144) dan al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (II/160).
[9] Surat an-Nisaa’ ayat 43:
وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“...(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
[10] Demikian keterangan Imam Ibnu Turkamaaniy atas komentar beliau terhadap kitab Sunanul Kubra milik Imam al-Baihaqiy yang telah dinukil oleh penulis secara ringkas dan mengambil maknanya.
[11] Hadits shahih. Riwayat Imam Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372).
0 komentar:
Posting Komentar