Minggu, 26 September 2010

Fenomena Tahdzir Sesama Ahlus Sunnah dan Solusinya



Oleh: Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr

Muncul fenomena belakangan ini, sebagian Ahlus Sunnah sibuk mengomentari sebagian yang lain, saling mencaci dan saling men-
tahdzir, hal demikian ini telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta sikap saling hajr (menjauhi) di antara mereka. Seharusnya mereka saling berkasih sayang dan menyatukan barisan dalam menghadapi ahlul bida’ dan ahlul hawa’ yang mana mereka adalah sebenar-benar penentang golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Fenomena ini terjadi akibat dua perkara, yaitu:
Pertama: Sebagian Ahlus Sunnah pada zaman sekarang memiliki kebiasaan menyibukkan diri mencari-cari kesalahan orang lain, baik melalui karangan-karangan atau kaset-kaset. Kemudian, mereka men-tahdzir siapa saja yang didapatinya melakukan sebuah kesalahan. Bahkan, di antara perkara yang dianggap kesalahan, sehingga karenanya orang tersebut dapat ditahdzir adalah bekerja sama dengan salah satu yayasan atau badan sosial agama (Jam’iyyat Khoyriyah) seperti memberikan ceramah atau turut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial tersebut.
Padahal Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumallah pernah memberikan
muhadhoroh untuk yayasan tersebut melalui saluran telepon. Apakah seseorang dapat dan layak dicela karena ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan ‘mubah’ atau ‘boleh’ oleh dua orang ulama besar? Dan lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu daripada menyalahkan pendapat orang lain, terlebih jika pendapat itu telah mendapat fatwa dari oleh para ulama besar. Oleh karena itu, sebagian Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata seusai perjanjian Hudaibiyah, “Wahai sekalian manusia! Hendaklah kalian mengkoreksi pendapat ro’yu (akal) bila bertentangan dengan perintah agama.”
Bahkan di antara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfaat yang cukup besar, baik dalam hal memberikan pelajaran, atau melalui karya-karya tulis, atau khutbah. Ia di
tahdzir hanya karena tidak pernah memberikan komentar tentang si Fulan atau Jama’ah tertentu, misalnya. Bahkan celaan dan tahdzir tersebut merembet hingga ke bagian yang lainnya di negara-negara Arab dari orang-orang yang manfaatnya menyebar luas dan perjuangannya cukup besar dalam menegakkan dan menebarkan Sunnah serta berdakwah kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir seperti ini merupakan tindakan menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak mulia.
Kedua: Sebagian Ahlus Sunnah apabila melihat salah seorang Ahlus Sunnah melakukan kesalahan, spontan dia menulis sebuah bantahan terhadapnya, kemudian orang yang dibantah pun membalas dengan menulis bantahan pula. Kemudian masing-masing dari keduanya saling sibuk membaca tulisan yang lainnya atau ceramah serta memperdengarkan kaset-kasetnya yang sudah lama untuk mengumpulkan berbagai kesalahan dan aibnya. Boleh jadi sebagiannya merupakan kekhilafan bicara, ia melakukan hal tersebut sendiri atau dibantu oleh orang lain. Kemudian masing-masing pihak berusaha mencari pendukung untuk membelanya sekaligus untuk meremehkan pihak lain. Kemudian pendukung dari kedua belah pihak berusaha memberikan dukungan bagi pendapat orang yang didukungnya dan mencela pendapat lawan. Dan memaksa setiap orang yang mereka temui untuk memberikan sikap terhadap orang yang tidak didukungnya. Jika tidak, maka ia akan divonis bid’ah sebagai konsekuensi vonis bid’ah terhadap pihak lawan.
Kemudian hal yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk meng-
hajr¬nya. Tindakan para pendukung dari kedua belah pihak termasuk penyebab utama muncul dan menyebarnya fitnah dalam skala yang lebih luas. Dan keadaan semakin bertambah parah lagi apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaannya melalui media internet. Kemudian generasi muda Ahlus Sunnah di berbagai negara bahkan di berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan yang tersebar di website masing-masing pihak tentang ‘kata si fulan’ dan ‘kata si fulan’ yang tidak membuahkan kebaikan sama sekali, tetapi hanya membawa dampak kerusakan dan perpecahan. Hal ini telah membuat pendukung kedua belah pihak yang berseteru seperti orang yang terpaku di depan kaca iklan untuk mengetahui berita apa yang tengah tersebar. Tak ubahnya seperti orang yang terfitnah dengan fanatisme klub-klub olah raga yang masing-masing supporter memberikan dukungan untuk klubnya. Sehingga hal yang demikian menimbulkan persaingan, keberingasan dan pertengkaran di antara mereka.
Bagaimana Solusinya..?
Jalan selamat dari fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini:
Pertama: Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahdzir, perlu diperhatikan hal-hal berikut.
Orang yang menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta men-
tahdzir mereka, hendaklah takut kepada Allah. Lebih baik ia menyibukkan diri memeriksa aib-aibnya sendiri supaya ia dapat memperbaiki diri, daripada ia sibuk membicarakan aib orang lain. Dan lebih baik ia menjaga konsistensi amal, jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang dicela dan dicacinya. Sementara ia sangat butuh terhadap amal kebaikan tersebut daripada orang lain, pada hari yang tiada bermanfaat harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
Hendaklah ia menyibukkan diri dengan mencari ilmu yang bermanfaat daripada ia sibuk mencela dan men-
tahdzir orang lain. Lebih baik ia giat dan bersungguh-sungguh mencari ilmu agar ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfaat dan bermanfaat. Salah satu pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah ia sibuk menuntut ilmu, belajar, mengajar, berdakwah dan menulis. Apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun, dan tidak menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah. Serta menutup jalan yang dapat menyebabkan dirinya mengambil berita dari mereka, sehingga ia menjadi seperti orang yang hancur. Orang yang sibuk mencela seperti ini, tentu dia tidak akan meninggalkan ilmu yang dapat memberi manfaat kepada orang lain. Manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang dapat memberi manfaat. Justru dengan kepergiannya, mereka merasa selamat dari kejahatannya.
Para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah dimanapun mereka berada hendaklah menyibukkan diri menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfaat dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh bin Baaz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah, daripada menyibukkan diri mereka dengan menelepon si Fulan dan si Fulan untuk bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Apa pula pandanganmu terhadap perkataan si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Perkataan si Fulan terhadap si Fulan?’
Ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang keadaan orang-orang yang aktif menyebarkan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada 
Lajnah Daimah lil Ifta’ (Tim Komisi Pemberi Fatwa) di Riyadh untuk bertanya tentang keadaan mereka tersebut. Apakah mereka berhak dimintai fatwanya dan bolehkah menuntut ilmu darinya atau tidak? Dan barang siapa yang betul-betul tahu tentang keadaan orang tersebut hendaklah ia menulis surat kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ tentang apa yang diketahuinya tentang orang tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam masalah tersebut. Supaya hukum yang diputuskan berupa celaan atau tahdzir dikeluarkan oleh lembaga yang bisa dipercaya fatwanya, dalam hal ini menerangkan siapa yang boleh diambil ilmunya dan siapa yang bisa diambil fatwanya. Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya lembaga resmilah sebagai tempat rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa untuk mengetahui siapa saja yang boleh dimintai fatwanya dan diambil ilmunya. Dan janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam persoalan penting seperti ini. Sesungguhnya di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang bukan urusannya.
Kedua: Masalah yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang keliru, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
Bantahan tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah lembut, disertai harapan yang tulus untuk menyelamatkan orang yang keliru tersebut dari kesalahannya. Ketika kesalahan tersebut sudah jelas dan nyata. Dan seharusnya merujuk kepada bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syaikh bin Baaz rahimahullah untuk mengambil faedah darinya tentang sebuah metode yang patut diperhatikan dalam menulis sebuah bantahan.
Apabila bantahan tersebut ditujukan kepada sebuah kesalahan yang masih belum jelas, dan termasuk jenis persoalan yang bantahan terhadapnya mengandung sisi benar dan sisi salah, maka untuk memutuskan persoalan tersebut perlu merujuk kepada 
Lajnah Daimah lil Ifta’. Adapun bila kesalahan tersebut sudah jelas, maka bagi pihak yang dibantah seharusnya merujuk kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada bertahan di atas kebathilan.
Apabila seseorang telah memberikan bantahan terhadap orang lain maka sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya ia tidak perlu mengikuti gerak-gerik orang yang dibantahnya. Tetapi hendaklah dia menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang akan membawa manfaat yang sangat besar bagi dirinya dan bagi orang lain, beginilah sikap Syaikh bin Baaz rahimahullah.
Seorang penuntut ilmu tidak boleh menguji saudaranya, dengan memaksanya untuk memilih sikap tegas terhadap orang yang dibantahnya atau orang yang membantahnya. Jika setuju ia selamat, dan jika tidak ia divonis bid’ah dan di
hajr. Tidak seorangpun berhak menisbatkan kepada manhaj Ahlus Sunnah secara ceroboh seperti ini dalam menjatuhkan vonis bid’ah dan hajr. Begitu juga tidak seorangpun yang berhak menuduh orang yang tidak menempuh cara yang ceroboh seperti ini sebagai perusak manhaj Salaf. Hajr yang bermanfaat dikalangan Ahlus Sunnah adalah hajr yang dapat memberikan manfaat bagi yang dihajr (dikucilkan), seperti orang tua menghajr anaknya dan seorang guru terhadap muridnya. Dan begitupula hajr yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehormatan dan kedudukan yang tinggi. Pengucilan yang mereka lakukan memberi faedah bagi orang yang dikucilkan.
Adapun bila hal itu dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian lainnya, apalagi bila penyebabnya adalah masalah yang tidak sepatutnya menjadi alasan dilakukan pengucilan, maka hal seperti ini tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan hal tersebut akan berakibat pada pertengkaran dan perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya
Majmuu Fatawa’ (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah, “Pendapat yang benar adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa sesungguhnya Yazid tersebut tidak secara khusus dicintai dan dicela. Bersamaan dengan itu, sekalipun dia seorang yang fasiq atau seorang yang zhalim, maka Allah mengampuni dosa seorang yang fasiq dan dosa seorang yang zhalim, apalagi bila dia memiliki kebaikan-kebaikan yang cukup besar. Sesungguhnya Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أول جيش يغزو القسطنطينية مغفورله
“Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qasthanthiniyyah akan memperoleh ampunan.”
Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qathanthiniyyah dikomandoi oleh Yazid bin Mu’awiyah dan turut serta bersama pasukan tersebut adalah Abu Ayub al-Anshari. Maka yang wajib dalam hal ini adalah bersikap netral, dan tidak mengomentari Yazid serta tidak menguji kaum muslimin dengannya (yakni meminta pendapat tentangnya). Karena hal itu termasuk bid’ah yang menyalahi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Ia (Syaikhul Islam) berkata lagi (III/415), “Dan demikian juga memecah belah antara umat dan menguji mereka dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Dan ia berkata lagi (XX/164), “Tidak seorang pun yang berhak mengangkat seorang figur untuk umat ini yang diseru dan diikuti jalannya, yang menjadi tolak ukur dalam menentukan 
wala’(loyalitas) dan baro’ (permusuhan), kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak seorang pun yang berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan, kecuali perkataan Allah dan Rasul-Nya serta apa yang menjadi kesepakatan umat. Perbuatan seperti itu adalah kebiasaan mubtadi’(ahli bid’ah), mereka mengangkat seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat. Mereka menjadikan pendapat tersebut atau figur tersebut sebagai tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan.”
Ia berkata lagi, (XXVIII/15-16), “Apabila seorang guru atau ustadz memerintahkan 
hajr terhadap seseorang atau menjatuhkan (wibawanya) dan menjauhinya atau yang semisalnya, maka si murid harus mempertimbangkannya terlebih dahulu. Jika orang tersebut melakukan suatu dosa yang secara syar’i berhak dihukum, maka hukumlah dia sesuai kadar dosanya, tanpa berlebihan. Dan jika dia tidak melakukan dosa yang secara syar’i berhak untuk tidak dijatuhi hukuman, maka ia tidak boleh dihukumi dengan hukuman apapun, hanya karena keinginan seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokkan manusia dan menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka. Tetapi hendaklah mereka saling bersaudara, saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah,
وتعاونوا على البر والتقوى, ولا نعاونوا على الإثم والعدون
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maa’idah: 2)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam kitabnya 
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (I/288) mengenai syarah hadits:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.” (Riwayat Tirmidzi no. 2317, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam 
Shahih Imam Ibnu Majah no. 3211)
Hadits ini mengandung pokok yang amat penting dari pokok-pokok adab. Imam Abu ‘Amru bin ash-Sholah telah menceritakan dari Abi Muhammad bin Abi Zaid (salah seorang Imam madzhab Malikiyyah pada zamannya) bahwa ia berkata, “Kumpulan berbagai adab dan himpunannya bercabang dari empat hadits, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خبرا أوليصمت.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau (lebih baik) diam.” (Riwayat Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 74)
Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.”
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wasiat yang singkat,
لا تغضب.
“Jangan marah.” (Riwayat Bukhari no. 6116)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المؤمن يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari no. 13; Muslim no. 45; an-Nasa’i VIII/115; Tirmidzi no. 2515; ad-Darimi II/307; Ibnu Majah no. 66; dan Ahmad III/176,206,251,272,278)

Aku (penulis) berkata, Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu beradab dengan adab-adab ini yang membawa kebaikan dan faedah bagi meerka dan orang lain. Serta menjauhi sikap kasar dan kata-kata kasar yang tidak akan membuahkan apapun kecuali permusuhan, perpecahan, saling benci dan mencerai beraikan persatuan dikalangan kaum muslimin.
Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasihati dirinya, hendaklah ia meninggalkan kesibukan mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai.

(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr dalam 
Rifqaan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah)

0 komentar:

Posting Komentar

thank you