Sungguh hidayah menuju Islam yang hakiki itu merupakan kenikmatan yang terbesar dalam kehidupan manusia, karena ia adalah kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat. Orang-orang terdahulu telah mengorbankan semua yang ada pada diri mereka untuk meraihnya. Jalan itu pula kiranya yang ditempuh oleh para nabi dan rasul dalam mendakwahkan kalimat tauhid untuk mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
1. HAKIKAT KEHIDUPAN
Tujuan Hidup
Setiap manusia sepakat dengan tujuan hidup, yaitu mencari dan menggapai kebahagian. Semua manusia ingin hidup bahagia, hanya saja kebanyakan manusia salah dalam mencari jalan kebahagiaan, banyak yang memilih sebuah jalan hidup yang ia sangka disana ada pantai kebahagian, padahal ia adalah jurang kebinasaan.
Banyak orang menyangka kebahagian itu ada pada harta, karenanya ia berletih-letih dan berpeluh mencari sumber-sumber harta. Setelah ia memperoleh harta tersebut, hatinya tetap gundah dan perasaan selalu gelisah, dalam harta yang banyak itu terdapat jiwa yang rapuh. Banyak pula yang menyangka bahwa pangkat dan kekuasaan itu adalah kebahagian, tetapi setelah pangkat dan kekuasaan diperoleh kebahagiaan semakin jauh darinya, yang terdengar hanya keluh kesahnya. Jadi apa kebahagiaan yang sesungguhnya? Apa kebahagian sejati yang harus dicari oleh manusia? Siapa sebenarnya orang yang bahagia? Apa sarana untuk mencapainya?
Manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu yang paling mengenal tentang seluk-beluk manusia, termasuk tentang sebab bahagia atau sengsara adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala bukan manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Muluk: 14)
Ketika Al-Quran ditadaburi dan syariat Islam dikaji, maka kebahagiaan yang hakiki adalah mengaplikasikan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang yang bahagia adalah orang yang telah berhasil menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sarana kebahagiaan adalah semua sarana yang telah disediakan oleh-Nya dalam meniti jalan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Karena penghambaan diri inilah sebab diciptakannya manusia dan jin. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada Ku". (QS. Adz-Dzaaryiat: 56)
Orang yang berpaling dari penghambaan diri, dialah orang yang sengsara, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta'. (QS. Thaha: 124)
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menentukan taqdir semua makhluk dan tidak ada yang dapat merubah taqdir selain-Nya. Manusia yang berakal tentu akan bernaung kepada Dzat yang mampu mentaqdirkan segala sesuatu, ia akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam menyandarkan diri dan kepasrahan kepada-Nya.
Beban Amanah
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia untuk sebuah tujuan yang mulia, yang akan memikul amanah yang sangat berat. Pantas saja tidak ada yang mau memikul amanah tersebut dari langit yang tinggi, gunung yang menjulang atau bumi yang terbentang, semuanya menyatakan enggan kecuali manusia. Allah menceritakan tentang perihal tersebut,
"Sesungguhnya telah kami sampaikan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zholim dan amat bodoh". (QS. Al-Ahzab: 72)
Apa gerangan amanah yang telah diikrarkan itu? Amanah itu adalah Islam dan peraturannya, yaitu janji kepatuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala .
Ahsanu ‘Amala
Al-Quran menyebutkan bahwa penciptaan alam, hidup dan mati untuk menguji manusia, siapa yang lebih baik amalnya. Itulah yang disebut dengan "Ahsanu ‘amala". Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk: 2)
"Sesungguhnya kami menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah yang terbaik perbuatannya". (QS. Al-Kahfi: 7)
Fudhail bin ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu berkata "Ahsanu ‘amala, adalah amalan yang paling ikhlas dan yang paling benar".
Jadi penghambaan diri yang paling sempurna dengan 2 syarat, yaitu hendaklah ‘ubudiyah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan penuh keikhlasan kepada-Nya dan sesuai dengan syari'at.
2. GERBANG HIDAYAH
Fitrah Bekal Kebenaran
Setiap jiwa manusia diberi fitrah sebagai bekal untuk mencari kebenaran. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tahu manusia itu lemah dan membutuhkan Khaliq-nya. Fitrah itu adalah Islam, yaitu penyerahan diri kepada Dzat Yang Maha Kuasa, perasaan kerinduan terhadap kebenaran dan keinginan yang mendalam untuk menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi larangannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"(Berpegang teguhlah dengan) fitrah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah dirakit manusia dengannya, tidak ada perubahan pada penciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itulah agama yang lurus". (QS. Ar-Rum: 30)
Muara Kebenaran
Semua aktivitas badan yang lahir, perbuatan baik dan buruk, dikuasai oleh satu komando, yaitu hati. Ia bagaikan raja yang berkuasa mutlak terhadap bala tentaranya, semua tindakan harus dibawah perintah dan larangannya, ia pergunakan sekehendaknya dan ia suruh semaunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh, jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah dia adalah hati. (HR Bukhari 1/126 no.52, Muslim 11/57 no. 1599 dari Nu'man bin Basyir)
Hati yang bisa meraih hidayah Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah hati yang masih dalam kategori hidup dan hati yang masih memiliki cahaya sekalipun redup.
Tunjuki Aku Jalan yang Lurus
Ihdinashshirotholmustaqim, Shirotholladzina an'amta'alaihim.... tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat..., Begitu pentingnya hidayah, sehingga seorang hamba memohon minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam. Ketika hidayah jauh dari seorang, berarti kebinasaan dan kesengsaraanlah yang akan segera menimpanya. Hajat seorang hamba kepada hidayah seperti hajat badan terhadap udara, ia sangat membutuhkan sejumlah hidayah-nafas yang keluar masuk tubuhnya. Sebagaimana tubuh membutuhkan makan dan minum, hati juga membutuhkan hidayah sebagai makanan dan minumannya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Kebutuhan seorang hamba pada hidayah, melebihi kebutuhannya dari makan dan minum, kalau makan dan minum hanya dibutuhkan satu dua kali saja, sedangkan hidayah dibutuhkan sejumlah nafas". (Miftah Darus sa'adah, 1/61)
Jadilah Lentera
Orang yang merasakan manisnya hidayah dan lezatnya iman dialah orang yang punya motivasi dalam hidup dan bertabiat tidak pernah puas pada sesuatu, ia tidak puas kalau dirinya saja yang merengkuh kenikmatan dan merasakan kebahagiaan. Ia bagaikan lentera yang memberi penerangan buat dirinya sebagaimana ia menerangi yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan apakah orang yang telah mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan kembali dan Kami anugerahkan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya dalam gelap gulita yang sekali-kali ia tidak dapat keluar darinya...". (QS. Al-An'am: 122)
3. Menuju Cara Beragama yang Benar
Setelah seseorang dihantarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke gerbang hidayah, yaitu "Islam" yakni keinginan untuk mencari kebenaran melalui ilmu dan iman serta usaha dan amal, berarti ia telah mendapatkan setengah kebahagiaan. Akan tetapi, tidak cukup sampai disana, ia menghendaki hidayah kedua dari Allah Subhanahu wa Ta'ala . yaitu, taufiq Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kebenaran pada semua tindakannya. Itulah yang disebut Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Quran;
"Dan orang yang berjuang di jalan kami, akan kami beri kepada mereka hidayah jalan-jalan kami...". (QS. Al-Ankabut : 69)
Para ulama berkata, "Kami beri mereka taufiq untuk mendapatkan sarana yang benar menuju jalan yang lurus, jalan itu yang mengantarkan mereka kepada ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala." (Tafsir Baghawi, 404)
Untuk menggapai hidayah yang kedua ini seorang muslim harus memiliki sifat :
Berjiwa Hanif
Orang yang berjiwa hanif yaitu orang yang condong kepada kebenaran, berkepribadian yang lurus dan istiqomah. Agama hanif yaitu agama yang jauh dari kesyirikan dan penyembahan berhala, dengan berkhitan dan melakukan manasik haji. (Qamus Muhith, 2/370)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
"Tidaklah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang yang hanif lagi muslim, dan dia bukan dari orang musyrik. (QS. Ali ‘Imran : 67)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: jauh dari syirik dan condong kepada iman". (Tafsir Ibnu Katsir, 2/58)
Berserah Diri
Penyerahan diri dalam syari'at adalah "Islam", atau " taslim", yaitu tunduk, patuh dan menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tidak ada perlawanan, penolakan dan keraguan dalam melaksanakan perintah-Nya.
Memiliki Motivasi
Seorang yang memperoleh hidayah mempunyai kemauan yang kuat dan motivasi yang tinggi, karena yang dicarinya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Jika orang yang mencari dunia memerlukan semangat dan motivasi, maka selayaknya orang yang mencari akhirat akan memiliki semangat dan motivasi yang lebih besar untuk meraihnya.
Sabar dan Yakin
Sabar dan yakin sebagai syarat kebahagiaan hamba di dunia dan di akhirat, ketika dua hal ini telah diperoleh hamba, berarti ia telah menjadi insan kamil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; "Dengan sabar dan yakin akan diperoleh kepemimpinan dalam din."
Mahyudin Ibnu Rusli
Maraji'
* "Untukmu yang Berjiwa Hanif". Karya Ustadz Armen Halim Naro, Lc. Pustaka Darul Ilmi. Bogor.
* MP3 Bedah Buku "Untukmu yang Berjiwa Hanif" pada Acara Daurah Ilmiyah Islam III di Mesjid Jabal Rahmah Semen Padang.
Diringkas dari : http://dareliman.or.id/
Rekaman Audio "Untukmu yang Berjiwa Hanif:
0 komentar:
Posting Komentar