Senin, 11 Oktober 2010

Bolehkah Membaca Al Qur’an Tanpa Suara?

Apa hukum dan dalihnya membaca qur’an tanpa suara, sebab takut membangunkan istri yang sedang tidur dimalam hari?
Tri Gangga
Alamat: Jakarta
Email: trigaxxxx@gmail.com
Jawaban:
Jika yang dimaksud yaitu membaca Al Qur’an tanpa suara dan tanpa gerak bibir, yang demikian ini tidak dinamakan membaca Al Qur’an. Pertanyaan sejenis pernah ditanyakan kepada Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah, beliau menjawab:
“Berdzikir itu harus menggerakan lisan dan harus bersuara, minimal didengar oleh diri sendiri. Orang yang membaca di dalam hati (dalam bahasa arab) tidak dikatakan Qaari. Orang yang membaca tidak dapat dikatakan sedang berdzikir atau sedang membaca Al Quran kecuali dengan lisan. Minimal didengar dirinya sendiri. Kecuali jika ia bisu, maka ini ditoleransi” (Kaset Nurun ‘alad Darbhttp://www.ibnbaz.org.sa/mat/10456)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah juga pernah ditanya hal serupa, beliau menjawab:
Qira’ah itu harus dengan lisan. Jika seseorang membaca bacaan-bacaan shalat dengan hati saja, ini tidak dibolehkan. Demikian juga bacaan-bacaan yang lain, tidak boleh hanya dengan hati. Namun harus menggerakan lisan dan bibirnya, barulah disebut sebagai aqwal (perkataan). Dan tidak dapat dikatakan aqwal, jika tanpa lisan dan bergeraknya bibir” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 13/156)
Demikian penjelasan para ulama. Ringkasnya, orang yang membaca Al Qur’an dalam hati tidak dikatakan sedang membaca Al Qur’an dan tidak diganjar pahala membaca Al Qur’an. Namun praktek ini disebut sebagai tadabburatau tafakkur Al Qur’an. Yaitu mendalami dan merenungkan isi Al Qur’an. Tadabbur atau tafakkur Al Qur’an ini termasuk dzikir hati. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin: “Dzikir bisa dengan hati, dengan lisan dan dengan anggota badan….. Contoh dizikir hati yaitu merenungkan ayat-ayat Al Qur’an, rasa cinta kepada Allah, mengagungkan Allah, berserah diri kepada Allah, rasa takut kepada Allah, tawakkal kepada Allah, dan amalan hati yang lainnya” (Tafsir Al Baqarah, 2/167-168)
Solusinya, hendaknya anda membaca Al Qur’an dengan sirr (lirih). Sebagaimana sabda RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam:
الجاهر بالقرآن كالجاهر بالصدقة، والمسر بالقرآن كالمسر بالصدقة
Membaca Al Qur’an dengan suara keras, seperti bersedekah tanpa disembunyikan. Membaca Al Qur’an dengan lirih, seperti bersedekah dengan sembunyi-sembunyi” (HR. Tirmidzi no.2919, Abu Daud no.1333, Al Baihaqi, 3/13. Di-shahih-kan oleh Al Albani di Shahih Sunan At Tirmidzi)
Memang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama tentang mana yang lebih utama, membaca secarasirr ataukah secara jahr? Namun pada kondisi anda, jika khawatir membaca Al Qur’an dapat mengganggu orang lain, membaca secara sirr lebih utama. Berdasarkan hadits lain:
الا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud no.1332, Ahmad, 430, di-shahih-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel 
UstadzKholid.Com

BERHIASLAH DENGAN MURU'AH (KEHORMATAN)


Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan: "Di antara adab seorang penuntut ilmu syar'i terhadap dirinya sendiri adalah: "Berhias denga MURU-AH(kehormatan)."


Hendaklah setiap penuntut ilmu syar'i senantiasa berhias dengan muru-ah dan segala yang bisa membawamu kepada muru-ah dengan selalu:

1. Berakhlak mulia.
2. Berwajah manis saat bertemu seseorang.
3. Menyebarkan salam.
4. Menolong orang lain.
5. Tegas tanpa sombong.
6. Gagah berani tanpa kediktatoran.
7. Bersikap ksatria tanpa harus fanatik golongan.
8. Punya semangat yang menggelora tanpa harus seperti orang-orang jahiliyyah.

Apakah Sifat Muru-ah Itu?

Para fuqaha (ahli fiqih) memberikan definisi dalam pembahasan mereka mengenai masalah persaksian bahwa muru-ah adalah melakukan segala perbuatan yang bisa membuatnya terhormat serta menjauhi segala yang bisa merendahkan martabatnya.

Apakah yang dimaksud dengan akhlak yang mulia?

Akhlak yang mulia adalah manakala seseorang mampu bersikap toleran sekaligus bisa tegas pada saatnya yang tepat.

Juga termasuk akhlak yang mulia adalah bermuka manis saat bertemu seseorang. Dari Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

"Janganlah engkau meremehkan kebaikan, meskipun cuma sekedar bermuka manis saat bertemu saudaramu." [HR. Muslim (2626)]

Namun, apakah ini berarti saya harus bermuka manis pada setiap orang meskipun pada gembong penjahat? Atau harus lihat situasi dan kondisi?

Jawabnya: "Sesuai situasi dan kondisi."

Saya bermuka manis hanya kepada enam orang, padahal jumlah mereka ada sembilan orang. Apa maknanya? Yakni, saya bermuka manis terhadap dua pertiga dari kelompok tersebut, adapun terhadap sepertiga yang lainnya? Biarkan saja mereka karena keadaan mereka yang mengharuskan untuk disikapi demikian.

Hendaknya engkau selalu bermanis muka, inilah sikap yang paling baik yang bisa membuat orang lain senang kepadamu. Mereka akan berani mengungkapkan sesuatu yang menjadi rahasia mereka kepadamu. Jika engkau senantiasa berwajah CEMBERUTdan bermuka masam, niscaya mereka akan takut dan tidak berani berbicara denganmu.

Namun, JIKA KEADAAN MENGHARUSKANMU untuk TIDAK bermanis muka pada mereka, lakukanlah. Dari sini ketahuilah bahwa sikap bermuka masam tidak selamanya tercela, juga orang yang senantiasa bermuka manis tidak selamanya terpuji.

Perkataan Syaikh selanjutnya: Menyebarkan salam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;

"Kalian tidak akan masuk Surga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian amalkan, kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian." [HR. Muslim ((54)]

Apakah itu berarti harus menyampaikannya dan mengucapkannya kepada setiap orang?

Tidak, akan tetapi cuma diucapkan kepada orang-orang yang berhak menerima salam, yaitu orang Muslim walaupun dia ahli maksiat, ataupun pezina, pencuri, pemakan riba, peminum khamr (arak), ataupun dia seorang yang fasik, (maka) ucapkanlah salam kepada mereka. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Tidak halal bagi seorang Muslim untuk mendiamkan saudaranya sesama Muslim lebih dari tiga hari, ketika keduanya bertemu mereka saling memalingkan muka. Dan yang paling baik di antara keduanya adalah YANG LEBIH DULU mengucapkan salam." [HR. Bukhari (5883)]

Namun, jika ada seorang Mukmin yang melakukan suatu hal yang munkar, lebih-lebih kemunkaran yang sangat besar yang bisa menghancurkan masyarakat Islam, saat itu wajib menjauhinya (hajr) KALAU ADA MANFAATNYA.

Pada dasarnya, menyebarkan salam adalah untuk setiap orang Muslim, terkecuali orang yang TERANG-TERANGAN berbuat maksiat. Maka dia didiamkan (hajr), JIKA MEMANG DENGAN MENDIAMKANNYA DIA AKAN MENJADI SADAR.

Adapun terhadap non Muslim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani." [HR. Muslim (2167)]

Kita diharamkan untuk mendahului salam kepada orang Yahudi maupun Nasrani. Demikian juga terhadap orang kafir lainnya yang lebih jelek dari mereka. Namun, jika mereka yang lebih dulu mengucapkan salam maka kita boleh menjawabnya, berdasarkan firman Allah Ta'ala;

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)." (An-Nisaa': 86)

Jika mereka mengucapkan "assalamu'alaikum", maka dengan tegas kita jawab "wa'alaikumussalam". Karena, itulah makna tekstual firman Allah "maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)."

Nabi manakala mengajarkan kepada kita untuk menjawab dengan "wa'alaikum", karena orang-orang Yahudi dan Nasrani itu sesungguhnya mengucapkan "as-saamu'alaikum" (kecelakaan bagimu) sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah hadits dari ABdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya orang-orang Yahudi atau Ahli Kitab itu mengucapkan (as-saamu'alaikum), maka jika mereka mengucapkan salam (tersebut) kepadamu, jawablah dengan wa'alaikum (dan juga bagi kalian." [HR. Bukhari (5902) dan Muslim (2164)]

Ada juga sebagian orang yang tidak mau mengucapkan salam terhadap orang lain yang berbeda manhaj walaupun sebenarnya sat tujuan. Kenyataan yang terjadi sekarang adalah mereka saling berdebat dengan lisan-lisan mereka, saling mencaci dan saling menjauhi.

Sebenarnya, kelompok-kelompok tersebut wajib saling mengucapkan salam, saling menasihati, serta saling MEMBERIKAN PENJELASAN kepada sudaranya seiman tentang kesalahannya sehingga kesalahan itu bisa segera dibenahi, yang dengannya hati kita akan saling bertautan.

Maka hindarilah hal-hal yang dapat merusak kehormatan, baik dalam watak (perangai), perkataan, perbuatan, sikap yang rendah dan jelek lainnya seperti ujub (berbangga diri), riya', sombong, takabbur, meremehkan orang lain, serta mengunjungi tempat-tempat kotor yang penuh syubhat.

Perkataan Syaikh: "Mengunjungi tempat-tempat kotor yang penuh syubhat."

Maksudnya adalah tempat-tempat yang akan membuat orang meragukan dirinya, kehormatan, serta akhlaknya, maka seharusnya DIHINDARI. Semoga Allah merahmati orang yang bisa membuat orang lain tidak menggunjingnya. Amin.

(Dikutip dari buku Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Jakarta, dengan diringkas)

Bagi saudaraku fillah yang senang bercanda-ria dengan lawan jenis yang bukan mahram, hendaklah senantiasa mengingat hadits berikut:

"Sesungguhnya sesuatu yang dikenal oleh orang dari ucapan para nabi sejak awal adalah JIKA ENGKAU TIDAK MALU, berbuatlah sesukamu." [HR. Bukhari (6/380). Mukhtashar Syu'abil Iman, Al-Imam Abul Ma'aly al-Qazwiini]

Malu adalah akhlak yang tumbuh untuk meninggalkan hal-hal yang jelek, mencegah dari berlebih-lebihan dari mengambil haknya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyempurnakan makna malu ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi secara marfu. Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Malulah kalian KEPADA ALLAH dengan sebenar-benarnya malu." Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami malu, Ya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.' Beliau berkata, 'Bukan demikian, tetapi orang yang benar-benar malu pada Allah adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa-apa yang memenuhinya, dan menjaga perutnya dan apa-apa yang memenuhinya, serta mengingat kematian dan hal-hal yang akan binasa. Barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah MENINGGALKAN PERHIASAN DUNIA. Barangsiapa yang melakukan semua ini maka ia TELAH BENAR-BENAR MALU kepada Allah."

Para ulama berbeda pendapat tentang kuat dan lemahnya malu berdasarkan hidup dan matinya hati. Jika hati hidup, maka sempurnalah malunya, begitu pun sebaliknya.

Hadits Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma dalam Shahihain, dari bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya ia mendengar seorang lelaki memberi nasihat kepada saudaranya tentang malu, ia berkata:

"Bersikap malulah kamu, karena sesungguhnya malu itu bagian dari keimanan." [HR. Bukhari (1/69) dan Muslim (36)]

Hadits Imran bin Husain radhiyallahu 'anhu dalam keduanya:

"Sesungguhnya malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan." [HR. Bukhari (10/433), Muslim (37) dan Abu Dawud (4796)]

Adapun ucapan "berbuatlah sesukamu" sebagaimana dalam hadits di atas, adalah merupakan ANCAMAN, yaitu maksudnya adalah, sesungguhnya orang yang tidak merasa malu maka ia akan berbuat sekehendaknya, sehingga (rasa) malu-lah yang (akan) MENCEGAH seseorang untuk melakukan sebuah perbuatan yang (dapat) menjatuhkan kemuliaan dan harga dirinya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah KESENANGAN YANG MENIPU.” (Al-Hadid: 20)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ألا إن الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر الله وما والاه وعالم أو متعلم

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya dunia itu terlaknat, dan terlaknat pula apa-apa yang ada di dalamnya. Kecuali dzikir kepada Allah, apa-apa yang mendekatkan diri kepada-Nya, orang yang mengajarkan ilmu, atau orang yang belajar ilmu."

[Hadits shahih; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman (no. 1708), dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd (no. 57). Dari jalur ‘Abdurrahman bin Tsaabit, ia berkata: "Aku mendengar ‘Atha’ bin Qurrah berkata: Aku mendengar ‘Abdullah bin Hamzah berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: (lalu ia menyebutkan hadits tersebut)." Syaikh Saliim bin 'Ied Al-Hilaliy berkata: Sanadnya hasan."]

(dikutip dengan sedikit diringkas dari kitab Mukhtashar Syu'abil Iman, karya Al-Imam Abul Ma'aly al-Qazwiini, yang merupakan ringkasan dari kitab Syu'abil Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi)

TEMPUH JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN..! WASPADAI JALAN MENUJU KEBINASAAN..! (Nasehat Syaikh bin Baz rahimahullah)

Perhatikanlah -wahai saudaraku- bimbingan ini!Takutlah engkau akan ringannya timbangan amalanmu! Takutlah engkau akan diberikannya catatan amalan engkau dari arah kiri, karena sesungguhnya itu semua adalah musibah yang besar, maka bersemangatlah engkau untuk menjalani sebab-sebab (amalan) yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan dan keberhasilan, yang bisa memberatkan timbangan amalanmu, dan diberikannya catatan amalanmu dari arah kanan, sehingga engkau menjadi orang yang sukses dan berhasil.

Kehidupan dunia ini adalah tempat untuk mengkoreksi diri, maka koreksilah diri engkau, lihatlah senantiasa amalan-amalan engkau siang dan malam sampai engkau meninggal, jika seandainya engkau adalah orang yang terus istiqamah, maka panjatkanlah puji kepada Allah dan bersyukurlah kepada-Nya, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu, mohonlah taufiq dan tsabat kepada Rabb engkau. Adapun jika engkau telah mengurangi dan menghilangkan sebagian amalan ketaatan engkau, maka koreksilah diri engkau, bertaubatlah kepada Allah dan istiqamahlah di atasnya, kembalilah kepada amalan-amalan kebajikan yang dulu engkau menyepelekannya, beristiqamahlah untuk menjalankan perintah-perintah Allah, jauhilah larangan-larangan-Nya dengan bersumber dari niatan yang jujur, keikhlasan kepada Allah, dan dengan mengharap keutamaan yang ada di sisi Allah, serta sikap yang jujur.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)

Maka kejujuran itu adalah suatu keharusan.

فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ.

“Jikalau mereka jujur (imannya) kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)

Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman di akhir surat Al-Ma’idah:

هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka, bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, Allah ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119)

Inilah keadaan orang-orang yang jujur, orang-orang yang jujur kepada Allah dalam menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya dan meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh-Nya, jujur dalam kesungguhannya untuk berbuat kebajikan dan bersegeranya dalam mengerjakan kebajikan tersebut, jujur dalam beramar ma’ruf nahi munkar, saling menasehati dalam kebenaran dan menjalankan nasihat Lillah (dengan cara menunaikan hak-hak Allah ‘azza wajalla, pent) dan menjalankan nasihat bagi hamba-hamba Allah (dengan cara menunjukkan kepada mereka jalan-jalan kebaikan, pent).

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh untuk berjihad melawan hawa nafsunya, dia akan mendapatkan kesudahan yang baik, akhir yang terpuji, serta keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang telah menyia-nyiakan dan tidak mempedulikannya, maka dia akan menyesal di kemudian hari.

Maka wajib bagi engkau untuk selalu mengingat dan mengkoreksi diri setiap malam dan siang: Apa saja yang telah engkau perbuat!? Apa saja kekurangan engkau!? Sehingga engkau mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibanmu.


Berhati-hatilah dari teman bergaul yang jelek yang bisa menjauhkan engkau dari kebaikan dan membantu engkau untuk berbuat kejelekan. Wajib bagi engkau untuk bergaul dengan orang-orang baik yang jika engkau ingat, mereka akan membantumu, dan jika engkau lupa mereka akan mengingatkanmu dengan kebaikan dan bersungguh-sungguh di dalamnya bersamamu, mereka akan menabahkan hati engkau, membantu, dan memberi semangat kepada engkau untuk selalu berbuat baik.

Wajib bagi engkau untuk berteman dengan orang-orang yang baik, karena seseorang itu dinilai dari agama teman duduknya dan teman karibnya, maka bersemangatlah untuk berteman dengan orang-orang baik yang akan membantu engkau dalam kebaikan dan mengingatkan engkau jika lupa, serta akan memberikan semangat jika engkau malas.

Wajib bagi engkau untuk berteman dengan orang-orang baik, berhati-hatilah dari bergaul dengan orang-orang jelek yang akan menjauhkan engkau dari kebaikan dan menyeret engkau kepada kejelekan. Berhati-hatilah dari berteman dengan mereka.

Seorang mukmin itu sesuai dengan keadaannya, jika dia memberikan nasehat lillah (untuk menunaikan hak-hak Allah) dan li’ibadihi (menunjukkan jalan-jalan kebaikan kepada hamba-hamba Allah), serta berteman dengan orang-orang yang baik, maka dia akan bahagia dengan kebahagiaan yang sangat, dan jika dia menyepelekannya dan bahkan membuang itu semua, maka dia menyesal dengan penyesalan yang sangat. Dan engkau -wahai hamba Allah-, berakhlaklah dengan akhlak mukminin dan senantiasalah engkau untuk berakhlak demikian.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.

“Dan adalah orang-orang yang beriman baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain, mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan mendapatkan rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى ، قيل : يا رسول الله ! من يأبى !؟ قال : من أطاعني دخل الجنة ، ومن عصاني فقد أبى.

“Seluruh ummatku akan masuk al-jannah kecuali orang-orang yang enggan. Maka dikatakan kepada beliau: Wahai Rasulullah siapa orang-orang yang enggan itu? Beliau bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia akan masuk al-jannah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.”

Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan masuk al-jannah dan sukses meraih kebahagiaan. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah enggan (untuk masuk al-jannah) dan menyebabkan kemurkaan Allah dan adzab-Nya.

Maka yang wajib adalah berhati-hati dan bersungguh-sungguh berjihad melawan hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ.

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Kami, maka sungguh-sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama-sama orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69).

Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ.

“Dan benar-benar Kami akan menguji kalian sampai Kami tahu siapa yang benar-benar berjihad dan sabar di antara kalian dan akan Kami kabarkan keadaan kalian.” (Muhammad: 31).

Maka sudah seharusnya seseorang itu untuk selalu bersungguh-sungguh dan bersabar. Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.

“Barangsiapa bersungguh-sungguh maka sesungguhya dia telah bersungguh-sungguh untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatupun dari alam semesta ini.” (Al-’Ankabut: 6).

Bersungguh-sungguhlah untuk berjihad melawan hawa nafsu engkau sendiri, semoga engkau mendapatkan keberuntungan. Posisi engkau dalam keadaan terancam bahaya karena dunia ini adalah negeri (tempat) yang membahayakan, negeri penuh dengan tipuan dan fitnah.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ.

“Dan tidaklah dunia itu kecuali hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ.

“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah ujian bagimu.” (At-Taghabun: 15).

Sesungguhnya engkau berada di negeri (tempat) yang menipu, penuh dengan fitnah (ujian), syahwat, negeri yang mengajak manusia untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah ‘azza wajalla, maka wajib bagi engkau untuk berhati-hati selama engkau masih hidup di dunia ini, bersungguh-sungguhlah untuk berjihad melawan hawa nafsu engkau, bersabarlah dalam menjalankan ketaatan kepada Rabb engkau, jauhilah segala bentuk maksiat kepada-Nya, tetaplah bersama dengan orang-orang yang baik dan jauhilah teman bergaul yang jelek. Inilah jalan menuju kebahagiaan, jalan menuju keberhasilan, jalan menuju kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من يرد الله به خيرًا يفقهه في الدين.

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan bagi seseorang, maka Allah akan memberikan kepahaman dalam agama kepadanya.”

Maka wajib bagi engkau untuk mempelajari ilmu syar’i serta berupaya untuk memahami dan berilmu tentang agama ini.

Muhadharah Asy-Syaikh dengan judul “Asbabu Ats-Tsabat Amamal Fitan”

Diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu ‘Umair Al-Atsary dari:http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=857
thank you