Rabu, 15 Desember 2010

Cinta, Oh… Cinta


At Tauhid edisi III/10
Oleh: Muhammad Saifudin Hakim
Cinta, sebuah kata yang mampu menggetarkan hati setiap manusia. Dengan alasan cinta pula, sepasang pemuda pemudi yang sedang dimabuk cinta sampai menerjang larangan Allah dengan berduaan, bahkan sampai berzina. Mereka lupa, bahwa di sana ada sebuah cinta yang merupakan puncak kebahagiaan bagi seorang hamba dalam kehidupannya.
Cintaku Hanya Untuk Allah
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, kebaikan bagi seorang hamba yang paling besar ialah jika dia mampu mengalihkan semua kekuatan cintanya kepada Allah semata. Sehingga dia mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa dan raganya. Cinta seperti inilah yang menjadi tujuan kebahagiaan manusia dan puncak kenikmatannya. Hatinya tidak merasa memiliki kenikmatan kecuali menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai yang paling dicintai daripada yang lain, termasuk dirinya sendiri. Sehingga apabila dia disuruh memilih antara kekufuran atau dilemparkan ke dalam api, tentu dia akan memilih dilemparkan ke dalam api.
Seorang hamba seperti ini, tidaklah mencintai kecuali karena Allah semata. Dengan cinta inilah dia akan mendapatkan manisnya iman dalam hatinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Ada tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu, dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan dia tidak mencintainya melainkan karena Allah. Dia enggan kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cinta seperti ini tidak bisa dibandingkan dengan cinta kepada manusia, siapa pun dia. Karena ini merupakan cinta yang menuntut pelakunya untuk mendahulukan siapa yang dicintai (Allah) daripada cintanya kepada nyawa, harta, dan anak-anaknya, serta menuntut kesempurnaan ketundukan, kepatuhan, pengagungan, penghambaan, dan ketaatan lahir maupun batin.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan yang lain dalam cinta yang khusus ini, maka dia adalah orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cinta kepada Allah” (QS. Al Baqarah : 165).
Benarkah Kita Mencintai Allah?
Jika kita bertanya kepada seseorang, apakah dia mencintai Allah? Maka tentu banyak yang mengaku bahwa mereka mencintai Allah. Namun, benarkah pengakuannya itu? Apakah hanya sekedar klaim semata? Apa buktinya bahwa kita benar-benar mencintai Allah?
Jika kita mencintai Allah, maka seluruh cinta kita akan tergantung kepada apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Kita tentu akan mencintai Al Qur’an. Hati kita jatuh cinta kepada makna-maknanya. Seberapa jauh cinta seseorang kepada Allah, sejauh itu pula cintanya kepada kalam-Nya. Namun sayang, banyak kita jumpai orang-orang yang mengaku mencintai Allah, namun lebih senang mendengarkan nyanyian-nyanyian setan daripada mendengarkan bacaan Al Qur’an. Mereka lebih suka menghafal lagu-lagu barat daripada menghafal Al Qur’an. Mereka malah menghabiskan waktu untuk mendatangi konser-konser musik daripada mendatangi majelis taklim yang mengajarkan Al Qur’an. Inikah bukti cinta kepada Allah??!
Jika kita mencintai Allah, tentu kita akan banyak mengingat-Nya, baik dengan hati maupun lisan kita. Oleh karena itu, Allah memerintahkan hamba-hambaNya agar mengingat-Nya dalam setiap keadaan, meskipun sedang berperang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka teguhkanlah hati kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung” (QS. Al-Anfal : 45). Sudahkah kita melaksanakan perintah ini??!
Jika kita mencintai Allah, maka kita pun tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketika cinta dan ketundukan kepada Allah sudah mengakar dalam hati, maka muncullah sikap penghambaan kepada Allah semata. Tidaklah kita beribadah kecuali hanya untuk Allah semata. Kita pun harus berusaha menjauhi perbuatan syirik dan membenci orang-orang yang berbuat syirik.
Jalan untuk Mencintai Allah
Mengingat besarnya kedudukan cinta kepada Allah Ta’ala, maka Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan beberapa sebab yang dapat menghantarkan seseorang untuk benar-benar mencintai Allah Ta’ala. Sebab-sebab tersebut adalah:
Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dicapai dengan membaca kitab-kitab yang menjelaskan kandungannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib.
Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, dengan hati, lisan, dan amal perbuatannya. Dia akan meraih rasa cinta kepada Allah sesuai dengan kadar dzikirnya kepada Allah.
Keempat, lebih mendahulukan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya.
Kelima, merenungi kebesaran nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Keenam, mengingat nikmat dan karunia Allah yang telah Allah berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin.
Ketujuh, menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.
Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke dunia pada sepertiga malam yang terakhir, beribadah, dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya. Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.
Kesembilan, duduk di majelis yang di dalamnya terdapat perkataan yang bermanfaat.
Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala. (Madaarijus Saalikiin)
Ujian Bagi yang Mengaku Mencintai Allah
Karena begitu banyaknya orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka, apakah mereka benar-benar jujur dengan pengakuannya itu. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Katakanlah,’Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’” (QS. Ali Imran : 31).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa klaim mereka (orang-orang musyrik) tentang kedudukan yang tinggi ini, tidaklah cukup dengan klaim semata. Akan tetapi, harus dilandasi dengan kejujuran. Dan tanda kejujuran tersebut adalah mengikuti Rasulullah dalam ucapan dan perbuatannya, dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, baik lahir maupun batin. Maka barangsiapa yang mengikuti Rasulullah, hal itu menunjukkan benarnya klaim kecintaan mereka kepada Allah. Allah pun akan mencintai mereka, mengampuni dosa-dosa mereka, dan merahmati mereka. Dan barangsiapa yang tidak mengikuti Rasulullah, maka berarti mereka tidaklah mencintai Allah. Sedangkan klaim mereka itu hanyalah klaim dusta semata. (Taisir Karimir Rohmaan)
Sungguh banyak kita jumpai di zaman ini, orang-orang yang mengaku mencintai Allah, namun beribadah dengan cara-cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memperbanyak dzikir dengan dzikir-dzikir yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada pula yang memperbanyak shalat dan puasa dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akibatnya, bukannya kecintaan dan pengampunan dosa dari Allah yang mereka dapatkan, akan tetapi yang mereka dapatkan justru kecintaan setan beserta pengikutnya dan terancam masuk neraka.
Obat Bagi yang Sedang Jatuh Cinta
Mencintai lawan jenis (wanita) merupakan sebuah kewajaran, sebagaimana Rasulullah juga demikian. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Kesenanganku dijadikan di dalam shalat. Dan aku dijadikan menyenangi wanita serta wewangian” (HR. Muslim). Namun, laki-laki diciptakan dalam keadaan lemah ketika menghadapi fitnah wanita. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisaa’ : 28). Ats-Tsaury rahimahullah berkata, ”Maksudnya adalah tidak sabar dalam menghadapi wanita” (Roudhotul Muhibbin).
Allah telah menciptakan obat penawar bagi setiap penyakit dan memudahkan cara untuk mendapatkan obat itu. Barangsiapa yang ingin berobat dengan syari’at Allah, tentu dia akan memperoleh kesembuhan. Sedangkan barangsiapa yang mencari obat dengan sesuatu yang dilarang syari’at, maka dia seperti mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain yang lebih berbahaya.
Syari’at agama Islam yang mulia ini telah menjadikan pernikahan sebagai obat bagi sepasang insan yang saling mencintai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah oleh) orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan” (HR. Ibnu Majah dengan sanad shohih). Demikianlah obat penawar bagi fitnah yang tengah melanda di hati sepasang kekasih yang saling mencintai. Allah tidaklah menjadikan pacaran dengan berduaan, peluk-pelukan, cium-ciuman, atau jalan berdua sebagai obat. Bahkan semua ini merupakan sarana menuju zina yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang cinta, semoga Allah memberikan taufik kepada kita sehingga kita benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya, dengan demikian Allah pun akan mencintai kita. Amiin. [Muhammad Saifudin Hakim]

0 komentar:

Posting Komentar

thank you