بسم الله الرحمن الرحيم
Al-Hafizh Al-Hakamy رحمه الله berkata dalam “Al-Mimiyah”:
Dan nasehat berikanlah pada pera penuntut ilmu dengan ikhlash
Secara tersembunyi dan terang-terangan, Dan guru itu hormatilah
Asy-Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr حفظه الله menjelaskan dalam syarahnya hal. 84-86:
Nasehat adalah menginginkan kebaikan bagi orang lain. Dan engkau mencintai bagi mereka apa yang engkau cintai bagi dirimu. Jika Allah تعالى telah memuliakan dan menganugerahimu ilmu dan keutamaan, maka tularkanlah hal itu kepada yang lain. Agar mereka juga mendapatkan manfaat.
Dan lakukan semua itu dengan ikhlash mengharap balasan dari Allah تعالى. Janganlah niatmu itu demi mendapatkan balasan dari mereka, akan tetapi haraplah pahala akhirat.
Dan sampaikan nasehat itu secara tersembunyi, berdua dan empat mata saja. Terlebih ketika menasehatinya dari sebagian kesalahan dan penyimpangan. Sesungguhnya nasehat itu jika disampaikan dengan menyendiri maka akan lebih berpengaruh dan lebih berfaedah. Al-Hafizh Ibnu Rajab رحمه الله menyebutkan bahwa ulama salaf itu tidak suka melakukan nasehat amar ma’ruf nahi munkar di depan khalayak ramai, menampakkan orang yang salah. Kemudian beliau mengatakan: “Mereka lebih suka melakukannya dengan tersembunyi, karena ini merupakan tanda adanya nasehat. Seorang penasehat itu tidaklah selayaknya punya tujuan menyebarkan aib, karena hal ini diharamkan.”
Dan juga sampaikan dengan terang pada pelajaran, khutbah yang membawa manfaat bagi semua pihak.
Demikian juga hormatilah ustadz dan gurumu. Hendaknya menghormati ulama dan orang yang menyampaikan padanya ilmu. Sesuai dengan kadar hormatnya kepada ulama maka dia akan mendapatkan faedah dari ulama tersebut. Demikian pula sebaliknya.
Asy-Syaikh Muhammad Mani’ رحمه الله (seorang ulama Su’udiyah) berkata: “Dan tidak pantas bagi seorang penuntut ilmu itu mencela dan menggunjing ulama dan juga para pengajar yang membantunya. Jangan sampai dia membalas kebaikan ulama dengan kejelekan. Sebagaimana hal ini banyak terjadi pada sekian banyak penuntut ilmu. Sehingga dia diharamkan dari ilmu yang dimiliki ulama tersebut. Bahkan yang wajib adalah dia mengakui keutamaan ulama itu, berdoa untuknya, menyebarkan kebaikannya dan melindungi kejelekannya.”
Ingatlah ucapan Ibnu Asakir رحمه الله: “Sesungguhnya daging para ulama itu masmumah.” Dan apa maksudnya? Ingatlah bahwa orang yang menggunjing, menyebarkan aib dan mencela para ulama yang merupakan pewaris nabi dan hujjah Allah تعالى di muka bumi maka dia terancam dengan kejelekan, kerugian dan kebinasaan. Dia akan rugi karena dia akan diharamkan dari ilmu ulama yang dia cela, dia akan binasa karena bimbingan dan nasehatnya akan luput darinya.
Dan ingatlah ucapan Abu Hazim seorang ulama salaf: “Engkau tidak akan menjadi ulama (tidak pantas disebut ulama) sampai engkau memiliki tiga perangai:
- Tidak memusuhi orang yang di atasmu (dari segi ilmu, umur dan kedudukan)
- Tidak meremehkan orang yang di bawahmu.
- Tidak menginginkan dengan ilmu ini sekelumit dari dunia (entah kedudukan, entah agar dielu-elukan, entah agar kelihatan selalu tampil dan sebagainya). Lihat Siyar A’lam An-Nubala karya Adz-Dzahaby (6/90).
Koreksi dirimu apakah sudah benar tujuan dan langkahmu. Indahkan kehidupanmu dengan adab. Karena Allah تعالى telah mengawali firman-Nya dengan pelajaran adab kepada-Nya. Renungkanlah surat Al-Fatihah niscaya akan ada pelajaran adab padanya.
Kemudian pada hal 159 Asy-Syaikh mengatakan:
Ambillah ilmu dari ulama-ulama besar, sebagaimana hal ini datang dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه : “Senantiasa manusia ini akan shalih keadaannya berpegang teguh, selama ilmu itu diambil dari para shahabat Muhammad صلى الله عليه وسلم dan dari ulama-ulama besar mereka. Jika datang dari ulama-ulama kacangan maka niscaya mereka akan binasa.” Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam “Al-Mushannaf” no. 20446.
Disadur oleh
‘Umar Al-Indunisy
Darul Hadits – Ma’bar, Yaman.
0 komentar:
Posting Komentar