‘Ikrimah rahimahullah termasuk pembesar ulama tabi’in berkata: “Ibnu ‘Abbas mengikat kakiku dan mengajariku Al-Qur’an dan fara’idh (ilmu waris)”. Maka ‘Ikrimah mengantongi segudang manfaat dari semangat gurunya -Ibnu ‘Abbas- ini, maka jadilah dia seorang ‘alim dari sekian ulama umat pada zamannya dan zaman tabi’in. Demikian pula para ulama kita dari genersi tabi’in dan yang setelah mereka, mereka menyadari betapa berharganya ilmu sehingga mereka mendermakan umur mereka yang berharga dan harta yang melimpah lalu mereka memanfaatkan waktunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan meraih ilmu yang bermanfaat.
Kesungguhan yang besar, pengorbanan dan perjuangan yang dilakukan ulama pendahulu kita. Mereka tidak kenal dengan hidup malas dan curi-curi kesempatan untuk lari dari menuntut ilmu. Akan tetapi waktu mereka siang dan malam terisi dengan usaha menghasilkan ilmu yang bermanfaat.
Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata: “Aku membaca di hadapan bapakku di saat dia menulis, di saat dia jalan, di saat berkendara, di saat dia di rumah, di saat dia di kamar mandi”. Ibnu Abi Hatim adalah syikhul islam dan anak dari seorang syaikhul islam. Ibnu Abi Hatim merupakan pembesar penghafal islam, dan bapaknya juga (Abu Hatim) merupakan pembesar penghafal islam.
Majduddin Ibnu Taimiyah penulis Al-Muntaqa (kakek Syaikhul Islam) jika dia masuk ke kamar mandi dia memberikan pada anaknya sebuah kitab lalu berkata: “Bacalah kitab ini dan angkat suaramu!”. Bacalah kitab ini dan angkat suaramu sedangkan dia dalam kamar mandi. Adapun kita, kita memiliki kamar mandi, tapi tempat apa? Ketika kita di dalam tempat itu adalah tempat kita berpikir, membuka rencan proyek, masuk kamar mandi sembari mengerjakan proyek, berpikir apa yang harus dikerjakan, apa yang akan dibutuhkan pada hari ini dan koreksi apa yang telah lewat.
Mereka (para ulama) menyangka bahwa waktu akan terbuang sia-sia ketika di kamar mandi. Jika masuk kamar mandi dia memberi anaknya kitab dan menyuruhnya membaca dan “Angkat suaramu!”.
Al-Khathib Al-Baghdady rahimahullah tidaklah berjalan di suatu jalan kecuali di tangannya ada permsalahan yang sedang dia bahas. Demikian juga An-Nawawy rahimahullah. Al-Imam Tsa’lab seorang imam ahli nahwu dan adab jika diundang seseorang ke suatu walimah mensyaratkan bagi tuan rumah agar dia diberi tempat yang lapang untuk kitabnya yang dia akan baca. “Saya akan hadir tapi beri aku tempat yang lapang”. Dan adalah sebab kematiannya bahwa dia keluar di hari jum’at setelah ‘Ashr dari masjid, dan di tangannya ada kitab yang dia baca. Tiba-tiba datanglah kuda menabraknya maka dia terjatuh dalam jurang, lalu beliau dikeluarkan mengaduh sakit dan berteriak lalu meninggal di hari yang kedua.
Tidaklah mereka (para ulama) menyia-nyiakan waktu merekaa, bersungguh-sungguh siang dan sore.
Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata: “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan dan belum pernah merasakan kuah daging. Siang kami gunakan untuk keliling ke majelis para ulama, dan malam untuk pertemuan dan mencatat. Kami datang ke seorang ulama kami dikabari bahwa dia sakit, maka kami kembali dan kami temukan di jalan ada ikan dijual maka kami membelinya. Dan kami bertiga, sampailah kami ke rumah lalu tibalah jadwal majelis berikutnya maka kami pergi. Demikian berlangsung tiga hari sehingga kami tidak sempat memberikan ikan ini kepada yang bisa membakarnya, kemudian kami memakan ikan tersebut setelah tiga hari dalam keadaan sudah tidak baik kondisinya. Kemudian apa yang dia katakan????
Dia berkata: “Tidak akan diraih ilmu ini dengan berleha-leha.” Tidaklah dia ingin dipuji dengan hal ini, namun dia ingin menjamkan cita-cita. Dan akhir hayat mereka menjadi bukti akan kejujuran dan keikhlasan mereka. Mereka wafat di atas sunnah, dan di atas kebaikan, Allah menjadikan ilmunya bermanfaat bagi negara dan umat.
Al-Bukhary rahimahullah, salah seorang mereka berkata: “Aku melihatnya di suatu malam, dia berdiri sekitar 15 sampai 20 kali menyalakan lentera, menulis faedah (saduran ilmu) yang terbetik pada dirinya kemudian mematikan lentera itu dan kembali.” Dalam satu malam 15-20 kali menyalakan lentera demi menulis saduran ilmu.
Seorang dari mereka berkata: “Aku bertetangga dengan Al-Mundziry 12 tahun, rumahku di atas rumahnya. Tidaklah aku bangun di suatu malam kecuali terlihat ada cahaya lentera dan dia sibuk dengan ilmu.”
Mereka bersungguh-sungguh sehingga sampai kepada derajat yang tinggi dalam ilmu yang bermanfaat yang ditinggalkan untuk umat ini.
Ibnu Abi Dawud salah seorang lautan ilmu berkata: “Aku masuk Kufah dan hanya memiliki satu dirham lalu aku membeli 30 mud baqlah (kacang-kacangan). Maka aku memakan baqlah dan aku menulis riwayat dari Abu Sai’d Al-Asyad. Tidaklah habis kacang itu sampai aku bisa menulis 30 ribu hadits yang maqthu’ dan mursal.”
Mereka sangat pelit terkait dengan waktu yang mana waktu adalah kebutuhan darurat manusia. Waktu makan, waktu buang hajat. Sebagian mereka mengurangi makan, dan sebagian mereka memilih menu yang tidak butuh waktu banyak untuk memakannya.
Al-Farahidy berkata: “Waktu yang paling berat bagiku adalah waktu makan.” Demikian pula An-Nawawy rahimahullah tidaklah makan dalam sehari kecuali satu kali di waktu sahur, dan tidak minum kecuali satu kali menjauhi berbagi macam buah, karena dia akan membasahi tubuhnya sehingga menjadikan aku banyak tidur.
Sebagian mereka menyedikitkan makan di saat makan sehingga tidak butuh banyak minum, sehingga banyk masuk kamar mandi sehingga terbuat sedikit waktunya.
Ibnu Aqil berkata (yang maknanya): “Aku memilih kue lalu siram dengan air dibanding roti karena adanya perbedaan jenis.” Dia mengambil kue lalu menjadikannya seperti tepung lalu menelannya satu kali telan bersama dengan air, dan tidak memilih roti (terlalu lama makannya). Ii tidaklah berlebih-lebihan, Ibnu Aqil mampu dengan semangat ini mengarang kitab judulnya “Al-Funun” yang terdiri dari 800 jilid.
Adz-Dazhaby berkata: “Tidak diketahui dalam islam karya yang lebih besar dari kitab ini dalam 800 jild.” Beliau mengumpulkan padanya permasalahan aqidah, fiqih, bahasa, ushul, tafsir, sya’ir-sya’ir, wejangan, hasil pemikiran dan sebagainya. Maka cepat dalam makan, dalam berjalan, dalam menulis sesuatu yang dikenal dari ulama kita. As-Suyuthy berkata: berkata guru kami Al-Kinany dari bapaknya (penulis Al-Khithabah”: “Kecepatan temannya ilmu dalam tiga perkaraa: Dalam makan, berjalan dan menulis.”
Ibnu Sahnun ahli fiqih dari Malikiyah, dia memiliki budak wanita bernama Ummu Mudan. Suatu malan dia tersibukkan dengan menulis suatu kitab sampai larut, dan Ummu Mudan telah menyiapkan makan malam. Ummu Mudan berkata: “Tuanku makan malaan sudah siap.” Dia berkata: “Aku sedang sibuk”. Ummu Mudan ingin tidur kaena telh banyak begadang, namun dia beranjak menyuapi kepada Ibnu Sahnun dan dia tidak merasa. Ketika telah adzan fajr dia berkata: “Maafkan aku Ummu Mudan, malam ini sangat tersibukkan, datngkanlah makanannya!” Ummu Mudan berkata: “Demi Allah, aku telah suapkan kepadamu tuanku.” Dia berkata: “Demi Allah, aku tidak menyadarinya.”
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabary disebutkan padanya sbuah faedah ilmiyah ketika dia menjelang kematiannya, maka dia meminta diberi tinta dan kertas. Ada yang berkata: “Sekarang di saat yang begini ahai imam?” Dia menjawab: “Tidak sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk meninggalkan menyalin ilmu sampai dia mati.”
Ibnul Qayyim berkata Syaikhul Islam guru kami mengabarkan bahwa dia tertimpa suatu penyakit dan dokter berkata padanya: “Engkau membaca dan menelaah itu akan menambah sakitmu”. Dia berkata: “Aku tidak bisa”. Dia diminta untuk libur dan istirahat beberapa hari. Dia berkata: “Aku tidak bisa”.
Sebuah semangat.
Kita mendorong dan menghibur diri kita dengan hikayat-hikayat dan kisah ini, semoga Allah menolong kita untuk menanamkannya pada diri kita.
Bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku, mari kita menanggung ujian dan lelah demi ilmu, demikian wahai saudaraku untuk kita bisa berusaha semampu mungkin meraih ilmu yang bermanfaat, terlebih lagi sarana untuk kita mencari ilmu sangat mudah di zaman ini. Maka kita harus memanfaatkan kesempatan dan kemudahan ini. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam dan shalawat serta salam semoga tercurah untuk nabi kita Muhammad, keluarga beliau dan shahabat beliau semuanya.
Sekian sampai di sini dengan sedikit peringkasan.
Diterjemahkan oleh:
‘Umar Al-Indunisy
Darul Hadits – Ma’bar, Yaman
0 komentar:
Posting Komentar