Saudariku yang semoga Allah Ta’ala merahmatimu, ketahuilah bahwasanya merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Yang dimaksud dengan tali Allah (hablullah) ini sebagaimana dijelaskan oleh kalangan ahli tafsir adalah perjanjian Allah, yaitu Al-Qur’an.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku. Dan keduanya tidak akan tercerai-berai hingga keduanya bertemu denganku di telaga.” (HR. Malik. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terlebih lagi jika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Demikianlah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan kepada umat Islam untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah agar selamat di dunia dan akhirat.
Syaikh Shalih bin Sa’ad As Suhaimy dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa arti berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah seorang muslim berusaha untuk mengorbankan segala kemampuan dan keahlian yang dimilikinya untuk selalu berpegang teguh dengan keduanya, berusaha memahaminya dan beramal sesuai dengan yang dijelaskan dalam keduanya, menjadikan Al Quran dan As-Sunnah sebagi pedoman dalam beraqidah, beribadah, bermuamalah, dalam pelaksanaan hukum, dalam adab dan akhlak mulia.
Yang dimaksud dengan tali Allah (hablullah) ini sebagaimana dijelaskan oleh kalangan ahli tafsir adalah perjanjian Allah, yaitu Al-Qur’an.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku. Dan keduanya tidak akan tercerai-berai hingga keduanya bertemu denganku di telaga.” (HR. Malik. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terlebih lagi jika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Demikianlah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan kepada umat Islam untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah agar selamat di dunia dan akhirat.
Syaikh Shalih bin Sa’ad As Suhaimy dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa arti berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah seorang muslim berusaha untuk mengorbankan segala kemampuan dan keahlian yang dimilikinya untuk selalu berpegang teguh dengan keduanya, berusaha memahaminya dan beramal sesuai dengan yang dijelaskan dalam keduanya, menjadikan Al Quran dan As-Sunnah sebagi pedoman dalam beraqidah, beribadah, bermuamalah, dalam pelaksanaan hukum, dalam adab dan akhlak mulia.
Kedudukan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Keduanya adalah pedoman dan sumber hukum yang pertama dalam agama ini (I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin (4/121)). Kedudukan Al-Qur’an dan As-Sunnah di dalam hujjah (berdalil) adalah setingkat, meskipun dalam segi urutan lebih didahulukan Al-Qur’an. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat dan perinci hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Melalui As-Sunnah-lah ditetapkan suatu hukum yang tidak ada lafadz dalilnya di dalam Al-Qur’an. Maka alangkah jeleknya tindakan sebagian orang yang hanya mau menerima Al-Qur’an dan menolak sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pedoman hidup mereka. Padahal di dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan bahwa Allah telah menyuruh kita untuk taat kepada Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya sedangkan kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al Anfal: 20)
“Dan apa-apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang olehnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7)
Serta firman-Nya yang artinya, “Katakanlah (Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)
Ketahuilah wahai Saudariku, bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berasal dari sumber yang sama dengan Al-Qur’an. Baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah keduanya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla. Karena tidaklah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berbicara dan berbuat sekehendak hawa nafsunya, melainkan berasal dari petunjuk Allah. Maka tidak mungkin sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur’an.
Sungguh indah perkataan Syaikh Bakr Abu Zayd, “Karena keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bagaikan dua sayap bagi burung, maka berhati-hatilah jangan sampai salah satu sayap itu patah.” Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi mengatakan, “…sebagaimana seekor burung tidak bisa terbang kecuali dengan kedua sayapnya, jika salah satu sayapnya putus maka burung itu tidak akan bisa terbang lagi. Dengan demikian, janganlah engkau memperhatikan As-Sunnah tetapi mengabaikan Al-Qur’an, atau memperhatikan Al-Qur’an tetapi mengabaikan As-Sunnah… Ini adalah suatu kesalahan. Akan tetapi haruslah Al-Qur’an dan As-Sunnah itu menjadi dua sayap bagimu, sedangkan sayap yang pokok adalah Al-Qur’an.” (Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi hal. 157)
Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Keduanya adalah pedoman dan sumber hukum yang pertama dalam agama ini (I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin (4/121)). Kedudukan Al-Qur’an dan As-Sunnah di dalam hujjah (berdalil) adalah setingkat, meskipun dalam segi urutan lebih didahulukan Al-Qur’an. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat dan perinci hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Melalui As-Sunnah-lah ditetapkan suatu hukum yang tidak ada lafadz dalilnya di dalam Al-Qur’an. Maka alangkah jeleknya tindakan sebagian orang yang hanya mau menerima Al-Qur’an dan menolak sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pedoman hidup mereka. Padahal di dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan bahwa Allah telah menyuruh kita untuk taat kepada Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya sedangkan kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al Anfal: 20)
“Dan apa-apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang olehnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr: 7)
Serta firman-Nya yang artinya, “Katakanlah (Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)
Ketahuilah wahai Saudariku, bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berasal dari sumber yang sama dengan Al-Qur’an. Baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah keduanya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla. Karena tidaklah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berbicara dan berbuat sekehendak hawa nafsunya, melainkan berasal dari petunjuk Allah. Maka tidak mungkin sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur’an.
Sungguh indah perkataan Syaikh Bakr Abu Zayd, “Karena keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bagaikan dua sayap bagi burung, maka berhati-hatilah jangan sampai salah satu sayap itu patah.” Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi mengatakan, “…sebagaimana seekor burung tidak bisa terbang kecuali dengan kedua sayapnya, jika salah satu sayapnya putus maka burung itu tidak akan bisa terbang lagi. Dengan demikian, janganlah engkau memperhatikan As-Sunnah tetapi mengabaikan Al-Qur’an, atau memperhatikan Al-Qur’an tetapi mengabaikan As-Sunnah… Ini adalah suatu kesalahan. Akan tetapi haruslah Al-Qur’an dan As-Sunnah itu menjadi dua sayap bagimu, sedangkan sayap yang pokok adalah Al-Qur’an.” (Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi hal. 157)
Cukupkah dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah saja?
Sekarang ini banyak kelompok dakwah yang menyerukan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, meskipun apa yang mereka serukan adalah sama, tetap saja terjadi perselisihan. Hal itu disebabkan oleh berbeda-bedanya pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu wahai Saudariku, tidaklah cukup hanya dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, tetapi harus disertai dengan pemahaman yang benar terhadap keduanya. Lantas, pemahaman kelompok manakah yang benar dan harus kita ikuti?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Fatihah ayat 6-7, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka.” Dalam kedua ayat tersebut tercakup tiga rukun yang mana jika seseorang melaksanakan ketiganya niscaya dia telah berada di atas jalan keselamatan. Ayat ke enam mencakup dua rukun yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan ayat ke tujuh mencakup rukun ke tiga yaitu mengikuti pemahaman para salafush shalih dalam meniti jalan yang lurus ini. Salafush shalih adalah tiga generasi terbaik yaitu para sahabat, tabi’in (generasi setelah generasi para sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah generasi tabi’in) yang dipersaksikan keilmuannya dan kebaikannya, komitmen dalam sunnah, menjauhi bid’ah serta memperingatkan manusia untuk menjauhi bid’ah.
Dalam Madarijus Salikin (1/72-74), Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan bahwa para ulama salaf menafsirkan ash-shirathal mustaqim dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang lainnya. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka. Kemudian beliau menukil perkataan Abul ‘Aliyah Rufai’ dan Al-Hasan Al-Bashri, “Ash-shirathal mustaqim adalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”. Abul ‘Aliyah juga mengatakan, “Dalam firman Allah “shirathalladziina an’amta ‘alaihim” yaitu mereka adalah keluarga (para pengikut) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.” Berkata Zaid bin Aslam, “Alladziina an’amta ‘alaihim: mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.” Maka telah jelaslah bahwasanya shirathal mustaqim adalah jalannya para sahabat Rasulullah dan para pengikutnya.
Sekarang ini banyak kelompok dakwah yang menyerukan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, meskipun apa yang mereka serukan adalah sama, tetap saja terjadi perselisihan. Hal itu disebabkan oleh berbeda-bedanya pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu wahai Saudariku, tidaklah cukup hanya dengan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, tetapi harus disertai dengan pemahaman yang benar terhadap keduanya. Lantas, pemahaman kelompok manakah yang benar dan harus kita ikuti?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Fatihah ayat 6-7, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka.” Dalam kedua ayat tersebut tercakup tiga rukun yang mana jika seseorang melaksanakan ketiganya niscaya dia telah berada di atas jalan keselamatan. Ayat ke enam mencakup dua rukun yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan ayat ke tujuh mencakup rukun ke tiga yaitu mengikuti pemahaman para salafush shalih dalam meniti jalan yang lurus ini. Salafush shalih adalah tiga generasi terbaik yaitu para sahabat, tabi’in (generasi setelah generasi para sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah generasi tabi’in) yang dipersaksikan keilmuannya dan kebaikannya, komitmen dalam sunnah, menjauhi bid’ah serta memperingatkan manusia untuk menjauhi bid’ah.
Dalam Madarijus Salikin (1/72-74), Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan bahwa para ulama salaf menafsirkan ash-shirathal mustaqim dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang lainnya. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka. Kemudian beliau menukil perkataan Abul ‘Aliyah Rufai’ dan Al-Hasan Al-Bashri, “Ash-shirathal mustaqim adalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”. Abul ‘Aliyah juga mengatakan, “Dalam firman Allah “shirathalladziina an’amta ‘alaihim” yaitu mereka adalah keluarga (para pengikut) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.” Berkata Zaid bin Aslam, “Alladziina an’amta ‘alaihim: mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.” Maka telah jelaslah bahwasanya shirathal mustaqim adalah jalannya para sahabat Rasulullah dan para pengikutnya.
Mengapa harus salafush shalih ?
Saudariku, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para khalifah sesudahnya. Bahkan beliau mensejajarkan antara sunnah beliau dengan sunnah para khulafaur rasyidin.
”Sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku. Pegang teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah terpecah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan di neraka dan satu golongan di surga, yaitu al jama’ah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan siapakah yang dimaksud dengan al jama’ah, yaitu, “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.” (HR. Tirmidzi)
Maka golongan yang selamat (al jama’ah) adalah orang-orang yang komitmen pada jalannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya, dan jalannya para sahabat (Minhaj Al Firqotun Najiyah wa Thoifatul Mansuroh hal. 8). Ketahuilah, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya kemudian beliau menjelaskannya kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits yang shahih. Para sahabat adalah orang-orang yang lebih mengetahui seluk-beluk Al-Qur’an karena mereka hidup pada zaman diturunkannya Al-Qur’an dan mendapatkannya langsung dari manusia yang paling mulia, Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, penafsiran dan pemahaman para sahabatlah yang paling benar dan selamat. Mereka juga paling mengetahui keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan, dan ucapan beliau sehingga merekalah orang yang paling paham tentang As-Sunnah.
Di samping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga generasi yang beliau persaksikan kebaikannya melalui sabdanya, yang artinya, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku , kemudian yang mengikuti mereka , kemudian yang mengikuti mereka .” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah duhai Saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirilah yang telah memberi rekomendasi kepada para salafush shalih sebagai generasi terbaik. Maka sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Abdul Hamid bin Badisrahimahullah, “Islam itu sesungguhnya hanya ada di dalam Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan oleh para salaf dari tiga generasi yang dipersaksikan kebaikannya melalui ucapan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Saudariku, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para khalifah sesudahnya. Bahkan beliau mensejajarkan antara sunnah beliau dengan sunnah para khulafaur rasyidin.
”Sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku. Pegang teguhlah sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah terpecah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan di neraka dan satu golongan di surga, yaitu al jama’ah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan siapakah yang dimaksud dengan al jama’ah, yaitu, “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.” (HR. Tirmidzi)
Maka golongan yang selamat (al jama’ah) adalah orang-orang yang komitmen pada jalannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya, dan jalannya para sahabat (Minhaj Al Firqotun Najiyah wa Thoifatul Mansuroh hal. 8). Ketahuilah, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya kemudian beliau menjelaskannya kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits yang shahih. Para sahabat adalah orang-orang yang lebih mengetahui seluk-beluk Al-Qur’an karena mereka hidup pada zaman diturunkannya Al-Qur’an dan mendapatkannya langsung dari manusia yang paling mulia, Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, penafsiran dan pemahaman para sahabatlah yang paling benar dan selamat. Mereka juga paling mengetahui keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan, dan ucapan beliau sehingga merekalah orang yang paling paham tentang As-Sunnah.
Di samping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga generasi yang beliau persaksikan kebaikannya melalui sabdanya, yang artinya, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku , kemudian yang mengikuti mereka , kemudian yang mengikuti mereka .” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah duhai Saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirilah yang telah memberi rekomendasi kepada para salafush shalih sebagai generasi terbaik. Maka sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Abdul Hamid bin Badisrahimahullah, “Islam itu sesungguhnya hanya ada di dalam Al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan oleh para salaf dari tiga generasi yang dipersaksikan kebaikannya melalui ucapan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Keutamaan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush shalih
Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan keridhaan-Nya dan menganugerahkan surga kepada orang-orang yang mau mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Orang yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahi mereka kenikmatan berupa ilmu dan amal shalih, sebagaimana terkandung dalam surat Al Fatihah ayat 7. Mereka akan beramal berdasarkan ilmu. Maka jika seseorang beramal disertai dengan ilmu yang benar (sesuai dengan yang telah dituntunkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) serta niat yang ikhlas, niscaya amalannya tersebut akan diterima oleh Allah Ta’ala dan akan mendapatkan pahala.
Kita juga tidak akan tersesat selama kita berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar. Hal ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan kepada umatnya. “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku.”
Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih juga merupakan sebab bersatunya kaum muslimin. Tidaklah mungkin umat Islam bersatu di atas landasan dan pemahaman yang berbeda-beda. Ketahuilah, sebab terpecahnya umat adalah karena penyimpangan dan jauhnya mereka dari kitabullah dan sunnah nabinya.
Oleh karena itu, sebagai muslimah yang komitmen terhadap agama ini, hendaknya kita senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman salafush shalih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik dan keistiqamahan kepada kita untuk berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Wallahul muwaffiq.
Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan keridhaan-Nya dan menganugerahkan surga kepada orang-orang yang mau mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Orang yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahi mereka kenikmatan berupa ilmu dan amal shalih, sebagaimana terkandung dalam surat Al Fatihah ayat 7. Mereka akan beramal berdasarkan ilmu. Maka jika seseorang beramal disertai dengan ilmu yang benar (sesuai dengan yang telah dituntunkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) serta niat yang ikhlas, niscaya amalannya tersebut akan diterima oleh Allah Ta’ala dan akan mendapatkan pahala.
Kita juga tidak akan tersesat selama kita berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar. Hal ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan kepada umatnya. “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku.”
Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih juga merupakan sebab bersatunya kaum muslimin. Tidaklah mungkin umat Islam bersatu di atas landasan dan pemahaman yang berbeda-beda. Ketahuilah, sebab terpecahnya umat adalah karena penyimpangan dan jauhnya mereka dari kitabullah dan sunnah nabinya.
Oleh karena itu, sebagai muslimah yang komitmen terhadap agama ini, hendaknya kita senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman salafush shalih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik dan keistiqamahan kepada kita untuk berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Wallahul muwaffiq.
[Ummu Isma’il]
Maraji’:
- Sittu Duror [Terj.], Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramdhani, Media Hidayah.
- Jadilah Salafi Sejati [Terj. Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah], Syaikh Abdussalam bin Salim As Suhaimi, Pustaka At Tazkia.
- I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘alamin, Ibnu Qoyim Al Jauziyah, via software Maktabah Salafiyah.
- Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, via software Maktabah Salafiyah.
- Minhaj Al Firqotun Najiyah wa Thoifatul Mansuroh, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haromain.
- Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Daar Al Ghad Al Jadiid, Mesir.
- CD Untaian Nasehat dari Kitab Arba’in An Nawawiyah, Pustaka Muslim.
- Sittu Duror [Terj.], Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramdhani, Media Hidayah.
- Jadilah Salafi Sejati [Terj. Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah], Syaikh Abdussalam bin Salim As Suhaimi, Pustaka At Tazkia.
- I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘alamin, Ibnu Qoyim Al Jauziyah, via software Maktabah Salafiyah.
- Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, via software Maktabah Salafiyah.
- Minhaj Al Firqotun Najiyah wa Thoifatul Mansuroh, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haromain.
- Syarh Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Daar Al Ghad Al Jadiid, Mesir.
- CD Untaian Nasehat dari Kitab Arba’in An Nawawiyah, Pustaka Muslim.
0 komentar:
Posting Komentar