Minggu, 13 Februari 2011

MASA MENDATANG : relakah jasadmu tidak dimandikan dan tidak dishalati..



Elih Tahliyah HaqqiBesok, semua jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya Semua orang akan menuai apa yang selama ini ditanamnya.
Kalau mereka berbuat baik, kebajikan itu akan kembali kepada mereka Dan kalau mereka berbuat jahat, kejahatan itu juga kembali kepada mereka


Rambut sudah beruban. Umurku sudah lebih dari lima puluh tahun. Meskipun aku masih gemar membaca, tetapi waktuku sudah demikian sempit. Kemilau dunia telah merebut kenikmatan membaca yang kumiliki. Itu anakku datang. Dan itu lagi, cucuku yang tidak pernah membosankan dilihat.


Kehidupan berjalan sebagaimana yang aku harapkan. Tidak terkeruhkan oleh suatu apapun..


Tibalah akhir hari Kamis.. Setelah satu hari yang panjang, penuh dengan kunjungan dan bersuka ria. Aku meninggalkan anak-anak dan cucu-cucuku. Hati kecilku berteriak. Sungguh mengherankan dunia ini. Ada pertemuan, ada perpisahan. Semuanya akan pergi. Meninggalkan atau ditinggalkan. Pikiran apa ini? Dengan cepat, aku menengok ke kiri dan ke kanan. Oh, ada setumpuk buku-buku tipis dengan ukuran kecil pula yang lama mataku tertuju kepadanya..


Tidak diragukan lagi, pasti putriku yang paling bungsu telah meletakkannya di sini. Ia selalu menghadiahkannya kepadaku dari waktu ke waktu, dan menganjurkanku untuk membacanya…


“Dzikir pagi dan petang”. Buku “Bekal Muslim Sehari-hari”. Apa lagi yang lain? Ada sebuah buku kecil, tidak lebih dari empat lembar. Hanya membutuhkan tidak lebih dari empat menit membacanya. Aku segera mengambilnya, dan dengan segera pula aku menamatkan bacaannya. Tiba-tiba aku merasa pusing. “Aku tidak dimandikan? Tidak dikafani? Tidak pula dishalatkan? Bahkan tidak boleh dikuburkan bersama kaum muslimin?


Bagaimana sesudahnya? Aku sudah berusia lima puluhan tahun. Begitukah hidupku akan berakhir?


Tidak. Ternyata masih ada lagi bacaan tersisa, akan aku ulangi lagi membacanya, namun dengan rinci:


Buku itu berjudul: “Hukum Bagi Orang yang Meninggalkan Shalat.” [1]


Ringkasnya, bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Aku bertanya kepada diriku sendiri: “Apakah aku kafir? Apakah setelah berumur sekian… Aku mendapatkan gelar tersebut?” Hanya kebisuan yang panjang..


Kenapa tidak kafir? Bukankah aku selalu meninggalkan shalat? Aku mendengar berbagai konsekuensi hukum bagi orang yang meninggalkan shalat.


Pertama: Tidak sah nikahnya. Bila ia menikah, sementara ia tidak shalat, maka nikahnya adalah batal. Si istri tidak halal baginya.


Yang kedua: Bila ia meninggalkan shalat setelah menikah, maka nikahnya dibatalkan (di-fasakh), dan si istri sudah tidak halal lagi baginya.


Yang ketiga: Orang yang meninggalkan shalat itu, bila menyembelih hewan, sembelihannya tidak boleh dimakan. Kenapa? Karena sembelihan itu haram. Padahal bila disembelih oleh orang Yahudi atau Nashrani, sembelihannya boleh dimakan.


Yang keempat: Tidak dibolehkan masuk Mekah atau batas tanah Al-Haram.


Yang kelima: Bila salah seorang kerabatnya meninggal dunia, ia tidak memiliki hak warisan.


Yang keenam: Bila meninggal, ia tidak boleh dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Juga tidak boleh dikuburkan bersama kaum muslimin. Lalu apa yang dilakukan dengan mayitnya?


Digotong ke tengah padang pasir, dibuatkan lubang lalu dikuburkan bersama pakaiannya. Karena ia tidak memiliki kehormatan. Oleh sebab itu, tidak halal bagi seseorang yang di antara anggota keluarganya ada yang meninggal, sementara ia tahu bahwa orang yang meninggal itu tidak shalat, lalu menyerahkannya kepada kaum muslimin untuk dishalatkan.


Aku bagaikan hidup di alam mimpi… Aku meletakkan buku itu di sampingku. Aku mengangkat tanganku ke atas kepala dan menekannya dengan kuat. Jatuhlah satu helai uban… Aku memandanginya: apakah setelah aku beruban, aku tidak dimandikan dan tidak akan dikafani… bahkan juga tidak dishalatkan?


Inikah akhir dari segalanya? Inikah hasil dari yang kukumpulkan dari dunia ini?


Allah… sebuah kata yang keluar dari lubuk hatiku dengan tekanan penuh… Inikah akhir dari segalanya?


Di manakah kita telah berbuat keteledoran? Tidak diragukan lagi, bahwa aku sungguh telah berbuat kelalaian, bahkan terlalu meremehkan… Tetapi masalahnya, lima puluh tahun. Aku tidak pernah mendapatkan orang yang menasehati diriku seperti itu! Bagaimana ini? Tanggung jawab siapa ini?


Aku mencuci hari-hari yang buruk dengan air mata taubat. Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk menjadi penasihat bagi setiap orang yang melakukan kesalahan…


Aku pun berdiri untuk shalat… Aku akan dishalatkan, dan insya Allah akan dikuburkan bersama kaum muslimin…


Catatan kaki:


[1] Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin.


Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah karya Abdul Malik Al-Qasim (penerjemah: Abu Umar Basyir), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Ramadhan 1422 H / Desember 2001 M. Hal. 76-79.

0 komentar:

Posting Komentar

thank you