Minggu, 29 Agustus 2010

Apa Lagi yang Engkau Tuntut Wahai Wanita ?






Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah 
 
Kehancuran sebuah rumah tangga karena salah satu di antara suami atau istri berbuat selingkuh, rasanya telah menjadi berita yang amat biasa. Bukan hanya terjadi di kalangan selebritis, namun juga banyak terjadi di rumah tangga sekitar kita. Fenomena ini merupakan secuil dari petaka yang muncul karena wanita muslimah tergoda dengan slogan-slogan emansipasi.

Ibarat sebuah permata yang sangat berharga, ditempatkan di tempat yang bagus, yang tak gampang terjamah. Itulah wanita dalam Islam. Bukan sekedar omong kosong bila kita katakan bahwa wanita benar-benar mendapatkan kemuliaannya dalam Islam. Pembicaraan tentang hal ini telah kita lewati dalam edisi yang lalu. Namun sayangnya banyak orang yang tidak mau menoleh kepada perlakuan istimewa dari agama yang mulia ini, sehingga mereka menengok ke Barat, ingin beroleh konsep bagaimana mengangkat harkat dan martabat wanita ala Barat.
 
Orang-orang seperti ini biasanya sudah tertular penyakit minder jadi orang Islam. Atau lebih parahnya, fobi bahkan anti terhadap semua yang berbau Islam namun kagum kepada semua yang datang dari Barat, walaupun itu adalah kesesatan yang dipoles dengan bungkus warna-warni. Timbullah kekaguman mereka kepada wanita-wanita di Barat yang bebas berkeliaran mengejar karir di luar rumah sebagaimana lelaki. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan lelaki. Diteriakkanlah kepada para wanita agar meniru wanita-wanita Barat, hingga tampaklah akibatnya yang mengerikan ketika gayung bersambut.
 
Dan hari ini maupun hari-hari sebelumnya, kita telah melihat hasil teriakan tersebut…
 
Para wanita berseliweran di setiap tempat keramaian, di kantor, di lapangan… Dan ini adalah pemandangan yang biasa setiap harinya. Para wanita itu mengejar dunianya dengan menjunjung setinggi-tingginya slogan emansipasi.
 
Kalau dulu, para lelaki baik itu ayah, kakek, suami, paman, ataupun saudara laki-laki, demikian cemburu dengan wanitanya bila sampai terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya, namun kita dapati pada hari ini, di zaman kemajuan ini, rasa cemburu sudah ketinggalan kereta. Tak ada lagi tempat untuknya, bukan zamannya lagi. Ayah, suami, paman dan saudara laki-laki membukakan pintu rumah selebar-lebarnya bagi si wanita untuk mengepakkan sayap kebebasan, menurut mereka.
 
Para lelaki tak lagi cemburu, sementara si wanita tak lagi memiliki rasa malu. Lalu, diayunkannya langkahnya sampai melampaui pagar ‘istana’nya. Selanjutnya dapat kita duga kerusakan apa yang bakal terjadi bila jalan-jalan dan tempat-tempat di luar rumah dipenuhi wanita, bercampur baur dengan lelaki. Ini semua akibat kebodohan dan jauhnya mereka dari agama, kemudian akibat termakan emansipasi.
Apa itu Emansipasi?
 
Kami tak bermaksud berbicara panjang lebar tentang emansipasi, karena materi ini akan dibahas secara meluas di majalah kesayangan kita ini dalam edisi-edisi mendatang, Insya Allah. Namun tidak mengapa, kami sedikit menyentil permasalahan ini karena berkaitan dengan pembahasan kami di rubrik ini dalam edisi yang telah lalu.
 
Kalau ada yang bertanya, apa itu emansipasi? Maka secara praktis kita katakan bahwa yang dimaukan dengan emansipasi oleh para penyerunya adalah upaya mempersamakan wanita dengan lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik secara intelektual maupun fisik.
 
Emansipasi dipandang sebagai kemajuan bagi kaum wanita, yang berarti kebebasan bagi wanita untuk melakukan apa saja yang diinginkan dan menjalani profesi apa saja. Bukan lagi pemandangan aneh bila kita dapati seorang wanita menjadi sopir truk, kondektur, kuli bangunan, tukang parkir, satpam…. Jangan heran bila wanita bisa menjadi perdana menteri, pilot, jenderal bahkan presiden. Walhasil, kalau lelaki bisa unjuk otak dan ototnya dalam segala lapangan penghidupan maka wanita pun dituntut harus bisa dan harus diberi porsi yang sama. Kalau tidak seperti itu, berarti merendahkan wanita dan menginjak hak asasinya!!! Demikian lolongan mereka.
 
Sesuai atau tidak defenisi emansipasi yang disebutkan di sini dengan defenisi palsu yang mereka –kaum feminis– berikan, tidaklah jadi soal. Yang penting demikianlah kenyataan praktik emansipasi di masyarakat kita. Wallahu a’lam.
Kapan Muncul Emansipasi?
 
Tidak terlalu penting untuk kita sebutkan di sini kapan gerakan emansipasi ini muncul untuk pertama kalinya. Yang jelas, gerakan ini pertama kali berbentuk slogan pendidikan akademis bagi kaum wanita. Slogan-slogan itu pada awalnya nampak menarik karena mengusahakan peningkatan kecerdasan dan pengetahuan kaum wanita, agar dapat melahirkan generasi baru yang lebih cakap dan lebih berkualitas.
 
Tetapi, di kemudian hari setelah tercapainya tujuan pertama, gerakan ini mulai melakukan tipu daya baru yang tentu saja dibungkus dengan kata-kata indah nan menawan, yakni persamaan hak pria dan wanita secara mutlak dan kebebasan karir wanita di segala bidang.
 
Dengan iming-iming yang menarik ini, tak pelak lagi banyak kaum hawa yang tertipu dan terbawa arus gelombang emansipasi. Bahkan hembusan emansipasi seolah angin sejuk bagi masa depan mereka.
 
Terlahir di negeri Eropa Barat, emanisipasi jelas mewakili pemikiran bangsa yang sangat jauh dari tuntunan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Bahkan mereka adalah budak-budak hawa nafsu, kesyirikan, dan kekufuran. Kaum wanita dalam masyarakat penyembah salib tersebut sama sekali tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya. Mereka diibaratkan barang yang dapat diperjualbelikan di pasaran, dianggap sebagai sampah dan budak pemuas hawa nafsu.
 
Para pemuka agama mereka bahkan menyimpulkan bahwa wanita adalah makhluk pembawa kejahatan, musuh keselamatan, penunggu neraka, semata-mata dicipta untuk melayani lelaki, dianggap sejenis hewan yang harus dipukul, dan merupakan tangan dari tangan-tangan setan. Dan masih banyak lagi sebutan dan gelar-gelar jelek yang mereka berikan kepada kaum wanita. Dalam kenyataan buruk seperti itulah dihembuskan ‘angin segar’ emansipasi, agar wanita terlepas dari perbudakan dan perlakuan buruk kaum lelaki. Agar wanita mendapatkan hak asasinya sebagai manusia yang selama ini telah diinjak-injak oleh lelaki.
 
Bila demikian kenyataan yang melatarbelakangi lahirnya emansipasi, apakah pantas wanita muslimah ikut-ikutan menjayakan gerakan ini sementara ia telah dimuliakan dalam Islam, diberikan perlindungan dan kedudukan mulia? Sungguh kebodohan telah meracuninya. Andai ia tahu kemuliaan yang diberikan Islam padanya…. Kemuliaan yang membuat iri wanita-wanita Barat !!!.
Racun Emansipasi
 
Propaganda yang laris manis ini banyak menebarkan racun di tengah masyarakat. Kaum wanita berbondong-bondong menyerbu tiap bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan. Tak peduli apakah hal itu sesuai dengan fitrahnya atau tidak. Akibatnya, jumlah pengangguran di kalangan lelaki meningkat karena lapangan pekerjaannya telah direbut oleh wanita.
 
Dewasa ini tak jarang wanita memasuki bidang-bidang yang ‘berotot’, yang tentunya standar yang dipakai adalah standar yang biasa berlaku pada kaum lelaki, karena memang demikian kebutuhannya. Wanita yang masuk ke bidang ini berarti harus menyesuaikan diri dengan standar yang ada, sementara wanita diciptakan dengan struktur tubuh yang berbeda dengan lelaki. Lalu pekerjaan apa yang dapat diselesaikannya dengan baik?
 
Sementara itu, di tempat kerjanya wanita tidak jarang menjadi korban pelecehan -lisan maupun tindakan- dari lawan jenisnya, baik dari rekan kerja ataupun atasannya. Nilai wanita jadi begitu rendah, tak lebih sebagai obyek dari pandangan mata-mata nakal. Kehadirannya di tempat kerja tak jarang hanya sebagai ‘penyegar’ suasana.
 
Kemerosotan akhlak terjadi di kalangan masyarakat dengan lepasnya wanita dari rumahnya. Lelaki jadi terfitnah[1] dengan bebasnya wanita berkeliaran di sekitarnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya):“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 
Wanita dan lelaki bebas bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya pemisah (ikhtilath). Padahal Islam telah melarang hal ini karena ikhtilath merupakan pintu yang mengantarkan pada perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan pada perbuatan zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan (yang artinya): “Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang amat buruk.” (Al-Isra’: 32)
 
Gejala lain yang kini terlihat di kalangan mereka yang menjadi korban emansipasi adalah sepinya ikatan pernikahan. Wanita yang sibuk dengan karirnya lebih suka hidup sendiri daripada harus terikat dengan tanggung jawab mengurus suami, rumah dan anak. Terkadang si wanita lebih memilih hidup bebas, dan bergaul dengan lelaki mana saja yang ia inginkan. Na’udzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal itu).
 
Tuntutan agar wanita meraih pendidikan formal yang tinggi ternyata mengharuskan si wanita mempraktikkan ilmunya di lapangan, walau ia harus meninggalkan suami, anak, dan rumahnya. Karena tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, semangat cinta kehidupan dunia berikut perhiasannya semakin meninggi, akhirnya para wanita merasa harus bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga. Timbullah dilema antara mengurus rumah tangga dengan kepentingan pekerjaannya. Tak jarang mereka menyisihkan urusan rumah tangga. “Bisa diserahkan kepada pembantu,” kata mereka.
 
Saat ini, terlalu banyak kita dapati anak-anak yang dibesarkan oleh pembantunya, sementara ibunya hanya menjadi pengawas dari jauh. Berbagai masalah timbul karenanya. Anak-anak menjadi nakal karena kurang perhatian. Mereka lari keluar rumah untuk mencari kompensasi, mengais-ngais kasih sayang yang mungkin masih tersisa.
 
Rumah tangga terbengkalai, suami pun menyeleweng. Si wanita itu sendiri mendapatkan godaan dari kawan sekerja yang lebih tampan menawan daripada suami di rumah. Akibatnya si wanita pun terdorong untuk berbuat serong. Dan akhirnya…. pernikahan berakhir dengan perceraian. Tinggallah anak-anak sebagai korbannya.
 
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
 
Sebenarnya terlalu banyak dampak emansipasi untuk disebutkan di sini. Cukuplah apa yang telah kami sebutkan sebagai contoh. Yang perlu diingat oleh setiap wanita, bahwa emansipasi sama sekali bukanlah solusi untuk mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap dirinya. Karena emansipasi yang lebih dahulu telah diperjuangkan oleh wanita Barat hanya menghasilkan penderitaan yang lebih parah bagi kaum wanita.
 
Setelah tercapai apa yang menjadi tujuan ternyata timbul akibat yang buruk bagi individu, masyarakat dan generasi penerus. Dilanggarnya tuntunan Islam tanpa rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicampakkannya hijab, dibuangnya rasa malu, lahirnya anak yang tak diketahui siapa orang tuanya, perpecahan keluarga, mudahnya kawin cerai, kebebasan hubungan lelaki dan wanita, dan sebagainya menjadikan kehidupan para pelaku serta korban emansipasi dipenuhi stres dan depresi. Wallahul musta’an.
 
Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari akibat yang diperbuat oleh orang-orang yang jahil dan zalim di antara kita.
 
Bila sudah seperti ini keadaannya, tidak ada solusi yang lebih tepat kecuali kembali kepada ajaran Islam yang benar. Kembali kepada tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
 
Kembalilah engkau wahai wanita kepada fitrahmu! Lihatlah bagaimana Islam telah memuliakanmu! Pegangilah apa yang diajarkan Nabimu, niscaya kebahagiaan di dua negeri akan kau raih.
 
Wallahu a’lam.
 
[1] Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan adzab.
Sumber: www.asysyariah.com

0 komentar:

Posting Komentar

thank you