Minggu, 29 Agustus 2010

Menanam Mahabbah Menuai Ukhuwwah



Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary 
 
Mahabbah dari asal kata al-hub yang bermakna cinta, keberadaannya begitu berarti dalam kehidupan manusia, ia bukanlah sekedar cerita indah tapi asyik, bukan pula pemicu kecemburuan yang berbuntut, hanya orang-orang yang beriman yang mampu menginterpretasikan nilai positif dan berharga darinya.
 
Apa jadinya bila manusia hidup tanpa cinta, ketidakstabilan dan kesenjangan serta kekacauan tentu mewarnai perjalanan hari-harinya di dunia, pola kehidupan hewani yang kemudian jadi acuan, siapa kuat dialah yang berkuasa. Inilah fenomena yang nampak pada kaum kolotisme (jahiliyyah) dulu.
 
Cinta mempunyai arti yang sangat penting dan kedudukan tinggi dalam agama seorang mukmin, sebab bila aqidah, ibadah dan mu’amalahnya tidak disertai dengan adanya kecintaan, pastilah ada organ-organ kesempurnaan yang hilang dari semuanya itu.
 
Penghubung yang kokoh antara seorang hamba dengan Robnya adalah kecintaan, yang dengan itu memacunya untuk melakukan hal-hal yang diridhoiNya dan disenangiNya serta meninggalkan perkara-perkara yang dibenciNya dan tidak disukaiNya.
 
Demikian pula hubungan seorang mukmin dengan mukmin lainnya akan menjadi erat dalam lingkaran persaudaraan ketika saling mencintai dan menyayangi, karena hanya orang-orang berimanlah yang mampu mewujudkan persaudaraan yang hakiki. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." {QS Al-Hujuraat:10}.
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), "Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagai sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya."{HR. Bukhori no. 6026, Muslim no. 2585}.

Kaum mukminin tidak hanya diibaratkan sebuah bangunan dalam hal persaudaraan tetapi juga berbilangnya jumlah mereka diumpamakan satu, Rasulullah bersabda (yang artinya), 
"Kaum muslimin (dalam riwayat lain: mukminin) itu ibarat satu orang, jika matanya sakit, seluruh (tubuhnya) ikut sakit, dan jika kepalanya sakit, seluruh tubuhnya pun ikut sakit." {HR. Bukhori no. 6011, Muslim no. 2586}.

Karena itu, tindakan mendholimi, menyusahkan dan menyakiti seorang mukmin hendaknya dihindari. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam muhkam tanzilNya (yang artinya), 
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." {QS Al-Ahzab: 58}. Dalam ayat ini Allah menjelaskan betapa agung dan mulianya harga diri seorang mukmin, dimana kita dilarang untuk melemparkan tuduhan-tuduhan, fitnah-fitnah dan caci-makian yang tidak berdasar.
 
Sedini mungkin Rasulullah memproteksi agar tidak terjadi hal-hal yang mengarah kepada tindakan-tindakan itu semua, beliau bersabda (yang artinya), "Siapa yang melewati masjid-masjid kami atau pasar-pasar kami sedang ia membawa anak panah, hendaknya ia menahannya atau memegangi ujung dari anak panah itu dengan telapak tangannya agar tidak mengenai seorang pun dari kaum muslimin." {HR. Bukhori no. 7075, Muslim no. 2615}

Seorang mukmin harus menjadi cermin bagi mukmin lainnya, baik untuk kalangan mereka yang masih kecilnya, yang mudanya atau pun kaum tuanya, dalam hal ahklaq dan kepribadiannya, dalam tutur katanya dan segenap mu’amalah-mu’amalahnya, sebab Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam sabdanya (yang artinya),
"Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya." {HR. Abu Dawud no. 4918, Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 239, dari sahabat Abi Hurairoh, dishahihkan Al-Albaniy dalam As-Shohihah no. 926}.

Diriwayatkan pula dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari sahabat Abi Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, 
"Seorang muslim adalah yang menyelamatkan muslim-muslim lainnya dari lisannya dan tangannya." {HR. Bukhori no. 10, Muslim no. 41}.

Pembaca, sepatutnya bagi seorang mukmin untuk menumbuhkan dalam dirinya rasa cinta terhadap saudara-saudaranya dan berusaha agar mereka pun memberikan rasa cinta padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah dengan mengatakan (yang artinya), 
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, kalian tidaklah dikatakan beriman, hingga kalian saling mencintai! Maukah kuberitahukan tentang sesuatu yang bila kalian lalukan niscaya kalian akan saling mencintai? (yaitu) sebarkan salam di antara kalian!" {HR. Ahmad 1/165 dan 167, At-Tirmidzi no. 251 dan dihasankan oleh Al-Albaniy}

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menjauhkan sebab-sebab yang akan menimbulkan kerenggangan antar mukminin, beliau bersabda (yang artinya),
"Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, dan saling membelakangi, namun jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." {HR. Al-Bukhari no. 6065 dan 6076, Muslim no.2559, serta Abu Dawud no. 4910}
 
Kebencian dan kedengkian adalah karakter orang-orang kafir, yang dengan itu mereka hendak memurtadkan kaum mukminin. Allah berfirman (yang artinya),"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." {QS Al-Baqoroh: 109}

Seorang mukmin hendaknya memperhatikan siapa yang ada di sekitarnya, yang tuanya, kaum mudanya dan yang kecilnya serta memperlakukan mereka dengan perlakuan-perlakuan yang pantas, dalam hal ini Rasulullah adalah teladan yang baik sosok pemerhati kaumnya sehingga beliau bersabda (yang artinya),
 "Siapa yang tidak menyayangi yang kecil dari kalangan kami dan tidak mengenali kemuliaan kaum yang tuanya, maka bukan golongan kami." {HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 335, dishahihkan Al-Albaniy}

Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Abdul Aziz, "Jadikanlah kaum tua yang muslim sebagai bapak disisimu (yakni: menghormatinya, bertutur kata kepadanya dengan baik, mengajaknya bermusyawaroh, memperhatikan pendapat-pendapatnya, tidak menganggapnya sesama, -pent) dan perlakukan yang kecilnya sebagai anak (yakni: menyayanginya, mengajarinya, membimbingnya dan menjaganya, -pent) serta jadikan yang mudanya sebagai saudara." {Jami’ul Ulum wal-Hikam: 450}.
 
Memang benar, yang menyebabkan manusia itu bertingkat-tingkat keadaannya hanyalah karena taqwa. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa." {QS Al-Hujuraat: 13}.
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, "Siapakah manusia yang paling mulia?" Beliau menjawab, "Yang paling bertaqwa kepada Allah." {HR. Al-Bukhori no. 2353, Muslim no. 2378}.
 
Namun demikian, menempatkan manusia sesuai dengan posisinya dan memperlakukan mereka sesuai dengan usianya adalah bagian dari keadilan dan ketaqwaan, serta pertanda mencintai mereka, sementara Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan taqwa. Allah berfirman (yang artinya), "Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan." {QS Al-Maidah: 8}
 
Diriwayatkan dari Abu Kinanah dari Al-Asy’ariy, ia berkata, "Sesungguhnya termasuk dari mengagungkan Allah adalah menghormati kaum tua yang muslim." {Dikeluarkan oleh Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 357, dihasankan Al-Albaniy dalam takhrij Al-Misykaat no. 4972}

Bila kaum mukminin satu sama lainnya itu bersaudara, tentulah mereka diperitahkan untuk melakukan hal-hal yang dapat merekatkan hati dan menyatukannya serta mencegah penyebab yang akan mencerai-beraikannya, lagi pula sudah menjadi satu kemestian yang namanya saudara itu mesti memberikan sesuatu yang bermanfa’at bagi saudaranya dan mencegah kemudharatan baginya.
 
Kemanfa’atan terbesar bagi saudara kita yang mukmin adalah memberikan kasih sayang dan kecintaan sehingga akan memotivasi untuk sama-sama membangun jalinan ukhuwwah sebagai perwujudan mahabbah.
 
Ukhuwwah bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun, karenanya tidak setiap perkumpulan itu membuahkan ukhuwwah. Apa pula manfa’at yang dicapai bila gambaran lahirnya seolah berkumpul dan bersatu namun batinnya berpisah dan berselisih. Untuk itulah Allah berfirman (yang artinya), "Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti." {QS Al-Hasyr: 14}.
 
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), "Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." {QS Al-Anfaal: 63}.

Begitu besar nikmat yang telah Allah anugrahkan kepada kita temasuk di antaranya nikmat kebersamaan dalam Islam dan diberikan kepercayaan sebagai ummat yang mampu mewujudkannya dalam bentuk bingkaian ukhuwwah. Allah berfirman (yang artinya), 
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu masa (jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." {QS Ali ‘Imran: 103}.

Demikianlah saudara-saudaraku, kita diperintahkan untuk mengingat kembali nikmat yang satu ini setelah kita disatukan di atas islam dan atas nama muslimin merajut lembaran ukhuwwah islamiyyah dan imaniyyah di atas Kitabulloh dan Sunnah Rasulullah dengan pemahaman salaful ummah, bukan sekedar ukhuwah insaniyyah.

Semoga kita diberikan kekokohan iman dan keistiqomahan agar tetap menjadi hambaNya yang beriman dan beramal soleh. Allah berfirman (yang artinya), 
"Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun, tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang mereka kerjakan, dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga)." {QS Saba: 37}.
 
Wal ‘ilmu indallah.
 
Sumber: Buletin Dakwah Al Wala Wal Bara’
Edisi ke-41 Tahun ke-3 / 16 September 2005 M / 12 Sya’ban 1426 H  


0 komentar:

Posting Komentar

thank you