Abu Maryam Majdi Bin Fathi As Sayid
Saudariku muslimah….
Istri shalihah percaya bahwa tempat terbaik untuk menjaga diri dari keterjerumusan ke dalam jurang kebinasaan adalah tinggal di rumahnya, karena itu ia tidak menjadi orang yang suka keluar dan pergi dari rumahnya. Istri shalihah beriman terhadap firman Allah Ta’ala yaitu perintah untuk tinggal di dalam rumahnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
"Dan tinggallah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian."(Al-Ahdzab:33)
Makna ayat ini adalah perintah agar para wanita tetap tinggal di dalam rumah, meskipun asalnya ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Sholalahu ‘Alaihi Wasallam namun wanita selain mereka masuk ke dalam ayat ini dari sisi maknanya.
Hal ini kalau tidak ada dalil khusus yang mencakup seluruh wanita, bagaimana? Sedangkan syari’at telah menerangkan agar supaya wanita tinggal di rumah mereka dan menahan diri untuk keluar dari rumah kecuali untuk suatu yang darurat. Allah Ta’ala memerintahkan kepada para istri Nabi untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka dan mereka menjadi orang yang dituju oleh ayat tadi secara langsung sebagai bentuk penghormatan bagi mereka.
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (3/482), "Tetaplah kalian di rumah kalian, janganlah keluar tanpa ada kebutuhan, diantara kebutuhan yang syar’i adalah shalat di masjid dengan berbagai syaratnya."
Muhammad Bin Siriin berkata, "Saya diberitahu bahwa Saudah (Istri Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam) pernah ditanya,"Kenapa kamu tidak haji dan juga tidak umrah seperti yang dilakukan oleh saudari-saudarimu?". Ia menjawab, "Saya sudah pernah haji dan juga pernah umrah, Allah Ta’ala memerintahkan untuk tetap tinggal di rumahku. Demi Allah, saya tidak akan keluar rumahku sampai mati"."
Muhammad berkata, "Demi Allah, ia tidak pernah keluar dari pintu kamarnya hingga ia keluar dalam keadaan sudah menjadi jenazah."
Ibnul ‘Arabi berkata, "Sungguh saya telah memasuki beribu-ribu kampung, saya belum pernah melihat wanita yang lebih menjaga keluarganya dan menjaga harga dirinya daripada wanita Nablus, suatu negeri yang Nabi Ibrahim pernah dilemparkan ke dalam api. Saya pernah tinggal di negeri tersebut dan saya tidak pernah melihat seorang perempuan pun di jalanan pada siang hari kecuali pada hari Jum’at, mereka keluar ke masjid pada hari Jum’at hingga masjid-masjid pun penuh sesak dengan mereka. Bila telah selesai shalat maka mereka segera kembali ke rumah mereka dan saya tidak melihat seorang perempuan pun sampai hari Jum’at berikutnya."
Al ‘Allammah Kamaludin Al Adhami -semoga Allah merahmatinya- berkata, "Tetap tinggal di rumah bagi seorang perempuan adalah gerbang kebaikan, yang memasukinya akan aman kehormatannya, jiwanya, hartanya, agamanya dan kemuliaannya. Rumahnya adalah tempat yang paling mulia untuk menjaga diri dan kehormatannya, karena ia dapat menunaikan kewajiban rumah tangganya, dapat memenuhi hak suami dan anak-anaknya serta menjalankan ajaran agamanya tanpa disibukkan dengan berbagai kesibukan di luar rumah. Bahkan ia mempunyai waktu luang untuk beribadah, membaca buku-buku agama dan mempelajari akhlak yang sejati."
Saat itulah ia bisa menikmati lezatnya hidup, ia juga akan bisa menyadari bahwa kebahagiaan telah menyelimuti hidupnya. Bagaimana tidak demikian, Rabbnya telah ridha kepadanya, suaminya puas dengannya karena ia menjalankan semua yan menjadi kewajibannya. Kebahagiaan mana lagi yang lebih besar bagi seorang perempuan daripada keridhaan Rabbnya dan kepuasan suaminya. Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang suka keluar dan pergi dari rumahnya, perempuan yang tidak betah tinggal di rumahnya walau sesaat. Bahkan sukanya kesana kemari baik malam maupun siang hari.
Berkumpul dan berbaur dengan semua orang tanpa melihat apakah itu mahram atau bukan, halal atau haram. Bila pulang ke rumahnya maka kepalanya sudah penuh berbagai macam tuntutan dan permintaan karena pengaruh apa yang dilihat dan disaksikannya. Lalu ia meminta uang kepada suaminya dan kadang suaminya tidak mampu memenuhi permintaan maka mulailah menyala api perselisihan diantara keduanya. Lantas ia pun tidak peduli dengan urusan rumahnya, pendidikan anak-anaknya, tidak menjalankan kewajiban kepada Rabbnya juga terhadap suaminya. Ia pun melecehkan buku-buku agama dan adab jika ia bisa membaca dan menulis, bahkan ia konsentrasi untuk membaca buku-buku murahan dan vulgar, bila dinasehati suaminya maka ia berbangga dengan dosa yang dilakukannya malah ia meyerang balik dengan mencaci dan mencelanya. Pada setiap saat kamu mendapati sesak dadanya, picik pemikirannya dan inilah balasannya dengan sebab apa yang diperbuatnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" (Thaha: 124)
Itu semua adalah akibat keluar dari rumah dan tidak adanya keterikatan dengan hukum syar’i. Dampak negatif keluar dari rumah dan tidak menetap didalamnya yang pertama kali adalah melecehkan dan meremehkan kenikmatan yang ada padanya, menganggap suaminya dengan sebelah mata karena ia telah melihat kehidupan yang lebih enak daripada yang dialaminya dan mulailah ia mencela suaminya, apalagi kalau suaminya lebih tua atau terlambat memberikan nafkahnya.
Lalu akan merangkaklah bibit pertengkaran dan percekcokan yang kadang bisa mengantarkan kepada perceraian dan perpisahan, dan pada saat itu rumah tangganya jadi berantakan dan hidupnya menjadi hancur.
Perempuan yang tetap tinggal di dalam rumahnya, akan kamu lihat ia berada dalam puncak kenikmatan dan berdampingan dengan suaminya yang terbaik. Matanya tidak jelalatan kepada selain suaminya, ia tidak mengingkari kenikmatan yang diberikan suaminya walaupun sedikit. Tidak ada celah bagi setan untuk menciptakan perselisihan di antara keduanya. Keduanya hidup bersama dengan penuh kebahagiaan dan kecerahan hidupnya di ridhai, semua itu adalah berkah dari tetap tinggalnya seorang perempua di rumahnya.
Saudariku Muslimah….
Islam menghendaki seorang istri shalihah berada dalam keadaan yang sangat baik, jauh dari keragu-raguan dan syubhat-syubhat. Karena itu bila memang ada kebutuhan yang mendesak untuk keluar rumah maka hendaknya ia keluar dengan memakai hijab (pakaian penutup aurat), berjalan dengan sopan, menundukkan mata dan menghindari jalan bagian tengah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Tidak boleh bagi wanita berjalan di jalan bagian tengah" (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (7/447), Ad Daulabi (1/45), Al Baihaqi (7821,7823) dalam kitab Syu’abul Iman dan ada beberapa penguatnya)
Wanita shalihah berjalan di pinggir jalan bukan di tengahnya, karena berjalan di tengah jalan merupakan sebab dirinya menjadi sasaran pandang kaum lelaki, lalu berjalannya tersebut menghilangkan kewibawaan dirinya dan penghormatan kepadanya. Adapun wanita yang berjalan di pinggir jalan jauh dari bagian tengahnya, maka ia telah mengurangi sorotan pandangan kaum lelaki dan menjauhkan penilaian negatif terhadap dirinya. Ia keluar rumahnya dengan memakai hijabnya, berjalan dengan dengan penuh penghormatan, jauh dari segala hal yang bisa mendatangkan syubhat.
Saudariku Muslimah….
Maksud hadits ini bukan seperti yang banyak disangka oleh sebagian besar muslimah bahwa maksid hadits ini adalah membatasi ruang gerak seorang perempuan atau mengurangi peranannya. Sesungguhnya maksudnya adalah untuk mengatur bagaimana seorang perempuan keluar dari rumahnya
Hukum asalnya seorang perempuan adalah tinggal di rumahnya, memikirkan urusan rumahnya dan tidak keluar kecuali dalam keadaan darurat saja. Kalaulah seorang perempuan ingin bekerja maka harus pada hal-hal yang dibolehkan oleh syari’at yang lurus ini, berupa pekerjaan-pekerjaan yang memang khusus bagi kaum hawa.
Adapun seorang perempuan keluar dari rumahnya dengan berpenampilan tabarruj(berdandan tidak menutup aurat), berkeliaran di jalan-jalan, bercampur baur dengan lelaki dengan anggapan bahwa ia sedang bekerja dan berusaha maka dalam perkara ini memerlukan pemikiran yang panjang. Seorang perempuan mestinya instropeksi diri dan menimbang-nimbang pekerjaanya. Kemanakah perginya agama dia karena sebab ngobrol dengan lelaki dalam perkara yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Bahkan kemanakah perginya pekerjaanya yang semestinya seorang perempuan berlomba-lomba untuk bisa memberikan manfaat kepada anak-anak generasi kaum muslimin atau untuk kaum hawa sejenisnya? Sesungguhnya seorang istri pada saat ini menganggap bahwa pekerjaan merupakan sarana untuk mencukupi dirinya dan dunianya, menurut kadar pemahaman agamanya yang lemah.
Lalu bagaimana keadaanmua wahai para istri dan saudariku muslimah….
Andai Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam melihat keadaan wanita saat ini dan melihat perbuatan mereka yang sia-sia di jalanan juga melihat pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan yang dilakukan wanita pada saat ini, apakah yang akan dikatakan oleh beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam ?!!!
Ibu kita, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, seandainya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita pada saat ini, tentulah beliau tidak akan mengizinkan mereka untuk keluar, yakni keluar ke masjid untuk shalat".
Perkataan beliau ini diucapkan tak selang lama setelah wafat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, lantas bagaimana keadaan para wanita pada zaman kita ini yang sangat jauh dari zaman Nabi Sholallahu ‘Alahi Wasallam dan telah lewat 15 abad dari masa beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam ?!
Wahai para wanita yang ingin mencapai martabat istri shalihah
Wahai para wanita yag menginginkan kebahagiaan rumah tangga.
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabbmu
Wahai para wanita yag menginginkan kebahagiaan rumah tangga.
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabbmu
Disadur dan diterjemah oleh Al-Ustadz Abu Muqbil Ahmad Yuswaji dari kitan Linnisaa Faqath, Az Zaujah Ash Shalihah Sumber: Majalah As Salam no IV/ Tahun II-2006 M/1427 H
0 komentar:
Posting Komentar