Setiap pasutri tentunya mendamba kebahagiaan dari keberkahan pernikahannya. Bisa dikatakan pasutri itu laksana orang dahaga, haus sakinah dan ingin segera mereguknya. Pasutri yang seia-sekata akan bersama-sama dan bantu-membantu serta bahu-membahu untuk segera merasakan barokah pernikahannya.Suami membimbing dan mengayomi, sedangkan isteri mendukung, membantu, dan memudahkan jalan mereka berdua menuju ke muara lautan barokah. Manis dan pahitnya kehidupan, onak dan duri yang melintang, maupun mengarungi samudera yang berombak dan bergelombang, semuanya mereka jalani dan lalui bersama. Itulah sekilas gambaran kehidupan pasutri yang saling cinta dan menyayangi dalam berusaha bersama menggapai rumah tangga yang bahagia.
Bila antara pasutri saling cinta dan saling kasih maka setiap diri mereka berdua pasti akan saling menghormati dan saling menghargai, sebab itu merupakan sebagian bukti cinta kasih keduanya. Adanya sikap saling hormat dan saling menghargai tentu mempererat dan memperkokoh jalinan mereka dan menguatkan asa untuk berjalan bersama sampai pada berkah pernikahan yang sangat indah. Sehingga bisa dimaknai, bahwa jalinan cinta kasih pasutri merupakan bekal asasi keberkahan pernikahan mereka. Ia juga yang akan menjadi bingkai hubungan pasutri yang penuh kedamaian dan kerohmatan.
Cobalah kita renungkan, bagaimana seandainya Alloh mentaqdirkan pada pasutri salah satu di antara mereka berdua tidak mencintai pasangannya sepenuh hati? Akankah kebencian yang mulai tumbuh tanpa diharapkan itu menjadi benalu yang mematikan pokok pilar kebahagiaan pasutri? Pertanyaan ini kiranya yang butuh pembahasan untuk menjawabnya.
Sebelumnya perlu dipahami, Alloh-lah Dzat Yang menganugerahkan rasa cinta dan kasih sayang di dalam kalbu pasutri, Alloh subhanahu wata’ala menegaskannya dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum [30]: 21)
Ayat tersebut mengisyaratkan pada pentingnya arti sebuah cinta dan kasih sayang dalam membangun serta membina rumah tangga, sehingga Alloh subhanahu wata’ala menganugerahkannya bagi pasutri yang hidup berdua dalam keteduhan dan kedamaian.
Suatu hal yang dimaklumi bahwa perasaan cinta dan kasih sayang di dalam hati pasutri tidak selamanya memuncak, tidak selamanya pula berubah menjadi kebencian semata, namun ia mengalami pasang dan surut. Yang demikian itu lantaran tidak dipungkiri bahwa di dalam mengarungi bahtera rumah tangga ada saat-saat, peristiwa-peristiwa, perbuatan-perbuatan, karakter-karakter, serta sifat-sifat yang timbul dari diri-diri pasutri yang mengakibatkan seorang dari mereka berdua mendiamkan pasangannya atau bahkan membencinya. Rona-rona kehidupan rumah tangga inilah yang menimbulkan gelombang pasang serta surutnya cinta dan kasih sayang pasutri.
Dengan dasar pemahaman tersebut, setiap diri pasutri diingatkan pada sebuah keharusan memahami apa dan bagaimana mu’amalah yang harus dia lakukan terhadap pasangannya di saat-saat kedamaian hubungan mereka hatta di saat kebencian mulai menerpa pasangannya, yaitu hendaknya senantiasa tercipta mu’amalah yang tetap terbangun di atas asas cinta dan kasih sayang yang Alloh telah anugerahkan kepada keduanya. Sekali lagi, mu’amalah seperti inilah yang terbangun di atas dasar cinta dan kasih sayang, yang seharusnya menghiasi hubungan pasutri dalam kedekatan maupun saat kebencian meregangkan keduanya.
Di antara bentuk rasa cinta dan kasih sayang seseorang kepada orang lain adalah ia tunaikan hak-haknya dan tidak menelantarkannya. Dalam sebuah hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan hal ini:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
Dari Anas radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga Dia mencintai hak saudaranya sebagaimana dia mencintai haknya sendiri.” (HR. Bukhori)
Artinya, dalam setiap keadaan serta warna-warni kehidupan rumah tangga, setiap diri pasutri harus selalu memelihara hak-hak pasangannya dan jangan sampai mengabaikannya.
Kita semua yakin bahwa hak seorang isteri atas suaminya atau hak seorang suami atas isterinya sangat agung dan lebih agung daripada hak seorang muslim terhadap muslim lainnya untuk dipelihara. Hal ini sebab pasutri telah disatukan oleh dua ikatan sekaligus, ikatan jalinan Islam dan ikatan jalinan pernikahan yang sangat kokoh yang disebut mitsaqon gholizhon, sebagaimana Alloh sebutkan dalam firman-Nya:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. an-Nisa’ [4]: 21)
Dari sini, seyogianya setiap pasutri memperhatikan kembali perintah Alloh kepada mereka berdua agar menunaikan hak-hak pasangannya dengan ma’ruf, bahwa Dia azza wajalla tidak mensyaratkan ada atau tidak adanya rasa cinta dan kasih sayang dalam hati mereka berdua kepada pasangannya[1]. Artinya hak-hak tersebut harus senantiasa dipelihara dan ditunaikan meski rasa cinta dalam hati mulai meredup.
Bahkan dalam rangka memelihara hak-hak pasutri, di samping Alloh memerintahkan bergaul dengan baik antara kedua insan tersebut, Alloh subhanahu wata’ala juga memerintahkan untuk tidak memperturutkan nafsu begitu saja dengan mengubah pandangan pasutri terhadap pasangannya tatkala kebencian mulai melanda, Alloh berfirman:
وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
… dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. an-Nisa’ [4]: 19)
Hikmah di balik ini—Wallohu A’lam—agar tatkala rasa cinta pasutri terhadap pasangannya mulai melemah dan kasih sayang mulai surut, hak-hak kedua pasutri tetap terpelihara dan kehormatan masing-masing pun tetap dihargai, sehingga hidup mereka tetap dalam bingkai rohmah, kasih sayang, meski dalam hati salah satu di antara mereka mulai tumbuh kebencian. Ini adalah perkara yang sulit, namun setidaknya kesulitan itu akan menjadi mudah tatkala setiap pasutri harus merenungkan dan berpikir tentang hak-haknya sendiri yang tertelantarkan, akankah kita diam dan menerimanya begitu saja? Begitulah, hak-hak tiap diri benar-benar dibutuhkan saat-saat dada ini lega menghela nafas bahagia maupun di saat-saat dada ini sesak terhimpit oleh desakan-desakan dan merontanya hati disebabkan kebencian.
Memang, tatkala pasutri saling cinta dan saling berkasih sayang, mungkin mereka berdua tidak butuh nasehat agar mereka berdua bergaul dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Akan tetapi, bila salah satunya membenci pasangannya dan bila sakit hati mulai meronta-ronta, maka sepatutnya pasutri mengetahui cara bergaul bil ma’ruf dengan pasangannya sekalipun ia tidak mencintainya dan ia membencinya. Sebab inilah kunci keberkahan pernikahan mereka, yaitu kebencian yang menyayangi.
Kita semua yakin bahwa tentunya banyak kebaikan yang ada pada diri setiap pasutri, hanya saja rasa bencilah yang menutup mata ini untuk bisa melihat kebaikan-kebaikannya. Bagaimana tidak, sedangkan Alloh subhanahu wata’ala menegaskan: “mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak”! Maka sadarilah wahai saudara dan saudariku.
Wallohu A’lam wa Huwal Muwaffiqu ila sabili rohmatih.
0 komentar:
Posting Komentar