Sesuatu yang sudah dimaklumi adalah bahwa setiap perbuatan refleksi dari sebuah niat. Demikian pula pernikahan dua orang manusia, laki-laki dan perempuan pun berangkat dari sebuah niat, yaitu niat yang melahirkan gambaran tujuan kedua insan yang sedang mulai mengarungi samudera rumah tangga. Dari banyak dan beragamnya pasutri, tentu beraneka ragam pula niat serta tujuan pernikahan mereka. Namun mewujudkan tujuan dan cita-cita pernikahan, tidaklah semudah membalik telapak tangan, serta tidak begitu saja niat serta tujuan pernikahan membuahkan kebahagiaan di kemudian hari.
Tidak dipungkiri bahwa pernikahan adalah sumber keberkahan bagi pasutri. Pernikahan juga lahan memadu cinta kasih dan sayang yang telah dikaruniakan oleh Alloh Ta’ala kepada mereka berdua, Alloh subhanahu wata’ala menegaskan:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum [30]: 21)
Namun, bercinta dan berkasih sayang bukanlah satu-satunya tujuan, sehingga pasutri hanya terpaku dan sibuk memadu cinta dan kasih sayangnya, sementara mereka tidak tahu hendak dibawa ke mana dan dijadikan apa cinta dan kasih sayang yang dipadunya. Ketahuilah ia sekedar sarana yang Alloh anugerahkan sebagai pengantar pasutri menuju ke tujuan pernikahannya yang sangat luhur lagi mulia. Ia adalah sarana terwujudnya keharmonisan, yang dengannya pasutri harus bersama menjalani segala upaya dengan usaha nyata menuju cita-cita yang mulia lagi tinggi martabat serta derajatnya.
Alloh subhanahu wata’ala yang mensyari’atkan pernikahan, sehingga sudah semestinya setiap pasutri meniatkan pernikahannya hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala semata. Dan Alloh subhanahu wata’ala menetapkan tegaknya rumah tangga Islami sebagai muara akhir pernikahan. Yaitu tegaknya sebuah keluarga terdiri dari pasutri yang sholih dan sholihah, yang dengan kehendak Alloh subhanahu wata’ala akan menurunkan keturunan yang sholih serta sholihah juga. Dengan bekal kesholihan tersebut mereka bersama-sama merealisasikan ketulus-ikhlasan pengabdian kepada Robbnya subhanahu wata’ala. Itulah hakikat dan tujuan pernikahan yang sesungguhnya. Bila demikian, pernikahan adalah hal yang sangat besar urusannya, bukan hal yang sepele dan sederhana. Ia merupakan hal yang agung seagung tujuan yang ditetapkan oleh Alloh subhanahu wata’ala yang mensyari’atkannya.
Dan ketahuilah, keagungan tersebut hanya bisa diraih dengan bekal iman, yaitu keimanan yang membuahkan amal-amal sholih. Keagungan itu akan didapat oleh setiap pasutri yang mampu memadukan langkahnya, bersama -sama membina tumbuh dan berkembangnya keharmonisan sejati, bahu membahu menuju keridhoan Robb semesta alam. Allohsubhanahu wata’ala menegaskan:
… وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ …
… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…. (QS. al-Maidah [5]: 2)
Harmonis menuju keridhoan Alloh subhanahu wata’ala, memadu langkah bersama mengayunkan kaki menuju kecintaan Ilahi subhanahu wata’ala itulah cinta yang sejati, cinta hamba kepada sesamanya yang membuahkan cinta kepada dan dari Dzat Yang Maha Pencipta. Semuanya itu, tidak akan dapat digapai, melainkan dengan keharmonisan sejati.Wallohu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar