Indahnya pergaulan pasutri dalam membina mahligai rumah tangganya sarat dengan keharmonisan. Keharmonisan merupakan sebutan yang sering dan selalu didamba keberadaannya oleh setiap pasutri. Hal ini wajar, mengingat begitu penting peranannya dalam kehidupan setiap pasutri. Bisa jadi dan sangat mungkin sebab keharmonisan itu merupakan pokok keberhasilan dalam usaha mereka berdua mendayung sampan mengarungi samudera kehidupan rumah tangganya.
Termasuk unsur pokok keharmonisan setiap pasutri adalah akhlaq yang terpuji dari tiap-tiap individu. Dan termasuk pokok akhlaq terpuji adalah berbuat adil dan tidak menzholimi. Seorang suami harus mempergauli isterinya dengan penuh keadilan dan tidak ada kezholiman. Begitu pula seorang isteri harus mengimbangi keadilan suami dengan keadilan serupa. Bersihnya suami dari kezholiman ialah dengan menahan diri dari melakukan kezholiman kepada isterinya. Bukankah itu adalah keharmonisan?
Alloh subhanahu wata’ala telah memberi kedudukan yang berbeda antara suami dan isteri dalam rumah tangganya, hal ini menuntut keadilan dan dibuangnya jauh-jauh kezholiman dari setiap pasutri terhadap pasangannya. Sebab di balik perbedaan itulah Alloh subhanahu wata’ala akan menganugerahkan keharmonisan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Simaklah firman Alloh subhanahu wata’ala berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…. (QS. an-Nisa’ [4]: 34)
Alloh subhanahu wata’ala menjadikan para suami sebagai orang yang memiliki kuasa dalam membina para isterinya, mendidik mereka, serta memerintah mereka untuk melaksanakan seluruh kewajiban yang harus mereka tunaikan kepada Alloh subhanahu wata’ala dan kepada suaminya, serta memberikan pelajaran kepada mereka bila mereka tidak menunaikannya. Dan Alloh subhanahu wata’ala tidak menghendaki sebaliknya.
Mengapa ditetapkan demikian? Padahal yang demikian ini benar-benar sebuah perbedaan. Memang benar, itu adalah perbedaan, sedangkan keharmonisan tidak selamanya harus sepadan, harus sama, dan harus selaras. Dalam perbedaan pun Alloh subhanahu wata’alamenghendaki keharmonisan, bahkan merupakan keharmonisan yang sesungguhnya.
Mengapa hanya suami? Sebab Alloh subhanahu wata’ala telah melebihkan para suami atas para isteri dengan mahar-mahar yang mereka bayarkan, dengan harta yang mereka nafkahkan untuk isteri mereka, dan dengan kecukupan yang mereka berikan kepada para isteri mereka. Benar-benar sebuah keharmonisan. Para isteri itu di sisi suami laksana bunga-bunga di taman yang selalu disirami. Bukankah tidak harmonis bila taman yang selalu disirami tidak ‘mengerti’ tuannya? Seperti juga bukan keharmonisan bila si tuan tidak menyirami tamannya?
Karena taman itu disirami, maka selayaknya mawar-mawar itu memahami perbedaan ini. Hanya karena taman itu disirami maka bunga-bunga keharmonisan pun harum semerbak mewangi…
0 komentar:
Posting Komentar